Senin, 11 Maret 2013

Teori Proyeksi dalam Studi Hadist (kritik atas hizbut tahrir Indonesia)

Bagi yang akrab dengan studi Islam yang dikembangkan oleh orientalis di dunia akademia Barat sudah tentu mengenal teori proyeksi yang dikembangkan mula-mula oleh Ignaz Goldziher, diteruskan oleh Joseph Schacht, dan kemudian diradikalkan lagi dalam studi Quran oleh John Wansbrough.

Inti teori ini adalah bahwa banyak hadis sebetulnya muncul dan “dibuat” belakangan sebagai bagian dari debat-debat di kalangan ahli fikih perdana, kemudian dinisbahkan ke belakang (projected back) kepada Nabi. Kasus kongkretnya adalah: misalkan saja seorang ahli fikih sedang berdebat tentang suatu hukum. Lalu ia “menciptakan” sebuah hadis guna memberikan legitimasi dan otoritas pada pedapatnya itu, dan menisbahan hadis “buatan”-nya itu kepada Nabi.

Praktek “membuat hadis” palsu sangat luas terjadi dalam sejarah Islam perdana, terutama di kalangan para “da’i” dan penceramah yang disebut “al-qash-shash“. Agar ceramahnya menarik perhatian umat dan diperhatikan, seorang qash-shash sengaja menciptakan sebuah hadis dan dinisbahkan kepada Nabi.

Taha Husain di tahun 30an pernah menerbitkan sebuah buku, “Fi al-Shi’r al-Jahili” yang kontroversial yang berisi studi kritis atas syair-syair Arab pra -Islam. Menurut studi dia, banyak syair Arab yang selama ini dianggap sebagai syair pra-Islam atau jahiliyyah, sejatinya dibuat jauh setelah Islam datang sebagai bagian dari tradisi eksegesis atau penafsiran Quran.

Sebagaimana kita tahu, salah satu metode tafsir yang berkembang pada fase awal adalah dengan cara menerangkan sejumlah kosa-kata yang artinya ambigu dalam Quran dengan merujuk kepada syair-syair pra-Islam. Menurut Taha Husain, syair-syair ini diciptakan belakangan lalu diproyeksikan ke belakang, yakni ke masa jahiliyyah.

Teori proyeksi ini memang tidak bisa sepenuhnya dibuktikan secara ilmiah, meskipun tidak bisa ditolak begitu saja. Kalangan sarjana Islam umumnya menolak teori ini “outright” dengan mengatakan bahwa ini bagian dari konspirasi kaum orientalis untuk menghancurkan otoritas hadis sebagai landasan hukum dalam Islam. Reaksi semacam ini tentu bisa dimaklumi.

Studi kesarjanaan di Barat memang tidak dibebani oleh pretensi iman, sehingga kesimpulan mereka bisa saja menabrak doktrin agama yang telah mapan. Keberatan semacam ini bukan saja datang dari kalangan Islam, tetapi juga dari kalangan Kristen yang memprotes studi-studi para sarjana Barat sendiri mengenai Bibel yang menghasilkan kesimpulan yang bertentangan dengan doktrin yang ada dalam Kristen.

Tetapi, teori proyeksi ini membantu kita dalam memahami beberapa hadis secara lebih proporsional. Baru-baru ini, saya membaca kembali buku-buku yang ditulis oleh Taqiyyuddin al-Nabhani, pendiri gerakan Hizbut Tahrir. Ada dua buku karangan Nabhani yang menarik perhatian saya. Yang pertama berjudul “Al-Khilafah” (Kekhilafahan), yang kedua “Al-Dawlah al-Islamiyyah” (Negara Islam). Dalam dua buku itu, Nabhani mencoba mengemukakan beberapa argumen tentang keharusan agama untuk mendirikan sistem “khilafah”. Salah satu argumen yang ia pakai adalah sejumlah hadis berikut ini:

1. Hadis riwayat Nafi’ dari ‘Umar, Nabi SAW bersabda: “Man khala’a yadan min tha’at al-Lahi laqiya al-Laha yawm al-qiyamati la hujjata lahu. Wa man mata wa laysa fi ‘unuqihi bai’atun mata maytatan jahiliyyatan“.

Artinya: Barangsiapa melepaskan diri dari ketaatan kepada Allah, maka ia akan bertemu dengan Allah di hari kiamat dalam keadaan bungkam/tak memiliki argumentasi apapun. Barangsiapa meninggal dalam keadaan tak berbai’at (kepada seorang imam), maka ia akan mati secara jahiliyyah (mati dalam keadaan kafir).

2. Hadis riwayat Hisyam b. ‘Urwah dari Abi Shalih dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: “Sayalikum ba’di wulatun fayalikum al-barru bi birrihi wa al-fajiru bi fujurihi fa-sma’u lahum wa athi’u fi kulli ma wafaqa al-haqqa, fa in ahsanu fa lakum wa in asa’u fa lakum wa ‘alaihim.”

Artinya: Setelah aku meninggal, kalian akan diperintah oleh penguasa yang baik dengan kebaikannya dan penguasa yang jahat dengan kejahatannya. Kalian harus patuh mendengarkan dan menaati mereka dalam hal-hal yang sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik, maka kebaikan itu akan berguna buat kalian. Tetapi jika mereka berbuat jahat, kalian tak rugi apa-apa, sebaliknya yang rugi adalah mereka sendiri.

3. Riwayat Muslim dari Abu Hazim, ia berkata: “Selama lima tahun aku bersahabat dengan Abu Hurairah dan aku pernah mendengarnya menceritakan sebuah hadis dari Nabi, “Kanat banu Isra’ila tasusuhum al-anbiya’ kullama halaka nabiyyun khalafahu nabiyyun, wa innahu la nabiyya ba’di, wa satakunu khulafa’u fa taktsuru.” Qalu: Fama ta’muruna? Qala, “Fu bi bai’at al-awwali fa al-awwali wa a’thuhum haqqahum fi inna l-Laha sa’iluhum ‘amma istar’ahum.”

Artinya: Bangsa Israel dulu diperintah oleh para nabi; setiap satu nabi meninggal, maka nabi lain akan menggantikannya. Sementara itu tak ada nabi lagi sepeninggalku, yang ada hanyalah para khulafa’/pengganti, dan mereka akan banyak jumlahnya. Para sahabat bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepada kami untuk menghadapi mereka. Nabi berkata: Berikanlah dan penuhilah ba’iat kalian kepada khalifah pertama, lalu yang berikutnya, dan seterusnya. Berikanlah hak mereka, sebab Allah akan meminta pertanggungjawaban kelak mengenai segala hal yang menjadi tanggung-jawab mereka.

Ada beberapa hadis lain yang dipakai oleh Nabhani sebagai dasar argumentasi mengenai keharusan menegakkan sistem khilafah menurut Islam. Isinya hampir serupa. Saya sengaja memilih tiga hadis ini sebagai contoh saja. Ketiga hadis di atas masuk dalam kategori yang ingin saya sebut “hadis-hadis politik”.

Marilah kita telaah tiga hadis di atas.

Hal pertama yang menarik perhatian saya adalah: kalau kita telaah literatur sejarah yang merekam perdebatan awal mengenai kekhilafahan paska Nabi (misalnya karya Ibn Qutaybah [w. 276 H/889 M], “Al-Imamah wa al-Siyasah“), tak satupun hadis-hadis politik yang sering kita dengar selama ini, termasuk tiga hadis di atas, disebut-sebut dan dikutip oleh sahabat sebagai dasar argumentasi, terutama pada fase genting saat mereka berdebat mengenai siapa yang akan menjadi penguasa baru sepeninggal Nabi.

Bahkan hadis yang sangat terkenal, “Al-a’immatu min quraisyin” (penguasa [haruslah] datang dari suku Quraisy”, tidak pernah dikutip oleh Abu Bakar saat dia berdebat dengan sahabat-sahabat Anshar di rumah Bani Sa’idah persis setelah Nabi wafat. Jika hadis itu memang benar-benar ada sejak dari awal, kenapa Abu Bakar tidak mengutipnya? Hadis ini dengan gampang akan menyelesaikan perdebatan, dan Abu Bakar tak harus susah-susah mencari argumen yang “njlimet” untuk mendukung pendapatnya bahwa yang berhak menjadi pengganti Nabi adalah suku Quraish.

Jika dia sendiri tak tahu mengenai hadis itu, dan sahabat lain tahu, tentu sahabat itu akan memberi tahu Abu Bakar. Mengandaikan bahwa sahabat yang lain tahu mengenai hadis tersebut tetapi menyembunyikannya dengan motif politik tertentu jelas tak sesuai dengan “konstruksi doktrinal” dalam kalangan Sunni sendiri di mana sahabat dianggap sebagai manusia-manusia adil yang tak akan berbohong.

Yang menarik, hadis-hadis politik itu muncul dan beredar di masyarakat jauh setelah khalifah empat (al-khulafa’ al-rashidun) berlalu. Hadis-hadis ini muncul setelah sarjana Islam mulai menulis literatur yang sering disebut sebagai “fiqh al-Siyasah” atau fikih politik.

Salah satu penulis penting di bidang ini adalah Abu al-Hasan ‘Ali al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), seorang juris penting dari lingkungan mazhab Syafii. Sebagaimana kita tahu, al-Mawardi hidup kira-kira empat abad lebih sepeninggal Nabi. Al-Mawardi hidup pada masa dinasti Abbasiyah, terutama pada fae awal saat imperium ini berada di tangan orang-orang Saljuk. Oleh beberapa sarjana, buku al-Mawardi yang terkenal, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, dianggap sebagai semacam cara untuk memberikan legitimasi pada dinasti Abbasiyah berhadapan dengan lawan-lawannya, seperti dinasti Fatimiyyah di Mesir.

Observasi lain yang relavan mengenai hadis-hadis “politik” adalah sebagai berikut: kenapa hadis-hadis ditu cocok dan pas benar dengan kondisi politik yang berkembang pada era kedinastian Islam?

Marilah kita lihat hadis yang pertama. Hadis itu berbicara mengenai dua model penguasa: penguasa yang adil (al-barr) dan penguasa tiran (al-fajir). Yang menarik, Nabi memerintahkan umat Islam untuk taat kepada seorang penguasa, tak peduli apakah mereka adil atau tiran, sebagaimana terbaca dalam hadis yang kedua.

Yang lebih mengagetkan adalah sabda Nabi berikut ini, “Fa in ahsanu falakum wa in asa’u falakum wa ‘alaihim“. Sesuai dengan sabda ini, jika seorang penguasa bertindak adil, maka yang diuntungkan adalah rakyat; jika penguasa bertindak lalim, maka rakyat tak dirugikan apapun; kelaliman itu hanya merugikan penguasa bersangkutan.

Saya nyaris tak percaya bahwa Nabi mengeluarkan statemen seperti ini. Bagaimana mungkin penguasa yang tiran tidak merugikan rakyat? Apakah masuk akal Nabi mengeluarkan statemen seperti ini?

Jika hadis ini memang benar-benar pernah diucapkan oleh Nabi, kenapa beberapa sahabat memberontak pada Usman, khalifah ketiga, saat ia dituduh mempraktekkan kebijakan-kebijakan yang “nepotistik” dan meresahkan banyak masyarakat, hingga akhirnya dia terbunuh? Apakah sahabat melanggar perintah Nabi untuk tunduk pada penguasa, baik penguasa adil ataupun jahat?

Kontradiksi-kontradiksi historis semacam ini tidak pernah dijawab secara memuaskan dalam literatur fikih siyasah, dan sebaliknya ditutup rapat-rapat melalui doktrin “al-shahabi ‘udul“, para sahabat adalah adil. Pokoknya diandaikan saja bahwa generasi sahabat pasti benar, tak mungkin mereka berbuat salah. Kalau pun mereka berbuat sesuatu yang tampaknya salah, itu adalah hasil ijtihad mereka. Ijtihad yang salah tetap mendapat pahala. Solusi semacam ini hanyalah melarikan diri dari masalah, bukan menghadapinya dengan “jantan”.

Hadis ketiga lebih menarik lagi. Di sana kita temukan suatu kesejajaran antara nabi dengan khalifah. Khalifah pada masa Islam sama kedudukannya dengan nabi-nabi pada bangsa Israel. Karena tak ada nabi lagi sepeninggal Nabi Muhammad, maka yang muncul sebagai “penguasa” yang melanjutkan misi Nabi adalah para khalifah. Oleh karena itu, seperti kita baca dalam penutup hadis itu, umat Islam diperintahkan untuk memberikan hak kepada para khalifah itu. Yang disebut dengan hak di sini adalah ketaatan.

Sekali lagi, hadis ini tak pernah diungkit-ungkit saat terjadi pembangkangan atas Usman, dan juga Ali, khalifah keempat.

Apa kesimpulan yang hendak saya capai dengan observasi ini? Saya menduga dengan kuat, bahwa hadis-hadis politik ini adalah hadis palsu yang “diciptakan” belakangan untuk menjustifikasi penguasa-penguasa dalam dinasti Islam. Sebagaimana kita tahu, banyak sekali khalifah Islam yang bertindak tiranik dan despotik. Hadis-hadis politik ini jelas menguntungkan mereka secara politik, sebab menekankan ketaatan rakyat, walaupun seorang penguasa menempuh kebijakan yang tak menguntungkan mereka.

Saya hampir tak bisa percaya bahwa Nabi mengatakan bawa seorang penguasa yang zalim tak membawa kerugian apa-apa bagi rakyat. Hadis semacam ini kemungkinan besar dibuat belakangan dan “dinisbahkan” atau “diproyeksikan” ke belakang sebagai sabda Nabi.

Verifikasi hadis hanya dengan metode sanad atau mata rantai transmisi sebagaimana selamaini ditempuh oleh kesarjanaan Islam tradisional sama sekali tak memadai. Metode proyeksi ini membantu kita untuk melakukan verifikasi dengan metode non-sanad.

Sebetulnya metode ini sudah dibuka kemungkinannya dalam studi hadis sendiri. Sebagaimana kita tahu, dalam studi ilmu-ilmu hadis (mushthalah al-hadith) kita kenal dua metode kritik (naqd), yaitu kritik sanad dan kritik matan atau teks hadis. Kritik sanad sudah dikembangkan dengan canggih oleh sarjana Islam, tetapi kritik matan kurang banyak dicoba. Metode proyeksi bisa masuk dalam kritik matan itu.

Teori Proyeksi : Ingkarus Sunnah

Upaya menolak otoritas Hadis sebagai sumber rujukan kedua setelah al-Quran tidak hanya dilakukan oleh kalangan orientalis, seperti Goldziher, Schacht, Snouck, J. Robson, Fitzgerald, Anderson, Brosworth, Margoliouth, dan lain sebagainya; sejak awal-awal keemasan fikih Islam pun sudah muncul kelompok penolak sunnah (mungkarus sunnah). Kenyatan ini bisa ditemukan, misalnya, di dalam Kitab al-Risalah karya Imam Asy Syafiiy. Di dalam kitab ini didokumentasikan diskusi antara Imam Asy Syafiiy dengan para pengingkar sunnah. Para pengingkar sunnah menolak sunnah sebagai sumber rujukan (dalil al-syarâ), baik dalam perkara aqidah maupun hukum syariat. Mereka beralasan bahwa al-Quran telah lengkap dan tibyaan li kulli syai`i (menjelaskan segala sesuatu), sehingga kaum Muslim tidak membutuhkan lagi Hadis Nabi. Cukuplah al-Quran sebagai satu-satunya rujukan yang terpercaya (qath’iy). Akan tetapi, di dalam diskusi itu, Imam Asy Syafiy rahimahullah berhasil mematahkan argumentasi para penolak Hadis, sekaligus membuktikan otoritas Hadis sebagai sumber rujukan kedua (mashdar al-hukm) setelah al-Quran.

Setelah sekian lama hilang, propaganda untuk meruntuhkan otoritas sunnah mulai dicuatkan kembali oleh sarjana-sarjana barat, seperti Ignaz Goldziher, Snouck Hurgronje, dan sebagainya. Ignaz Goldziher, misalnya, meragukan otentitas Hadis Nabi saw sebagai sumber hukum Islam, dan menuduh Islam sebagai Mohammadenisme (ajaran Mohammad), bukan agama yang berasal dari Allah swt.

Hanya saja, propaganda mereka belum dianggap mampu meruntuhkan otoritas sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran secara ilmiah. Baru setelah terbit dua buah buku karya Prof Joseph Schacht, yakni The Origins of Muhammadan Jurisprudence, pada tahun 1950, dan buku An Introduction to Islamic Law, pada tahun 1960, kaum orientalis mengklaim telah berhasil meruntuhkan otoritas sunnah Nabi saw sebagai sumber hukum secara obyektif-ilmiah. Bahkan, mereka menyakini telah berhasil menemukan sebuah teori yang bisa membuktikan bahwa Hadis-Hadis hukum yang terdapat di dalam kitab-kitab fikih mu’tabar adalah buatan ulama-ulama fikih abad kedua dan ketiga hijriyyah. Teori itu mereka sebut dengan projecting back theory (teori proyeksi ke belakang). Teori ini dibangun di atas sebuah asumsi bahwa selama abad kedua dan ketiga hijriyah, para ulama fikih terbiasa memproyeksikan pendapat-pendapat mereka sendiri kepada ucapan Nabi saw melalui sanad-sanad yang mereka buat sendiri. Berdasarkan asumsi ini, kaum orientalis berkesimpulan; hampir-hampir, tidak ada Hadis hukum dari Nabi saw yang dianggap otentik. Keseluruhannya adalah kreasi ulama-ulama fikih abad kedua dan ketiga Hijriyyah, bukan benar-benar berasal dari Nabi saw .

Di dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Joseph Schacht menyatakan bahwa; system isnaad (rantai periwayatan) yang digunakan untuk membuktikan keotentikan Hadis sama sekali tidak didukung oleh sumber-sumber sejarah. Masih menurut Schacht, system ini dibuat oleh para ulama fikih abad kedua dan ketiga Hijriyyah secara bohong untuk menisbatkan pendapat-pendapat mereka sendiri ke belakang kepada sumber-sumber sebelumnya [perbuatan, ucapan dan persetujuan Nabi saw]. Dengan kata lain, Schact ingin kita mempercayai bahwa praktek hukum di abad kedua dan ketiga hijriyyah adalah palsu dan buatan ahli fikih abad tersebut, bukan benar-benar berasal dan bersumber dari praktek Nabi saw dan para shahabat. Ia menyatakan bahwa praktek hukum abad kedua dan ketiga hijriyyah ada terlebih dahulu sebelum adanya Hadis Nabi dan isnaad (system periwayatan). Hadis Nabi beserta isnaad (system periwayatan) hanyalah alat yang sengaja dibuat ahli fikih abad kedua dan ketiga Hijriyyah untuk mengesankan bahwa pendapat pribadi mereka berasal dan bersumber dari praktek Nabi saw dan shahabat.

Benarkah praktek hukum abad kedua hijriyyah adalah pendapat pribadi ahli fikih abad itu yang kemudian dinisbahkan ke belakang sampai kepada sunnah Nabi saw? Benarkah Hadis-Hadis hukum yang terdapat di dalam kitab-kitab fikih mutabar adalah kreasi ulama fikih abad kedua dan ketiga Hijriyyah?

Kelemahan Projecting Back Theory

Teori proyeksi yang dikenalkan Prof. Joseph Schacht tidak hanya keliru secara metodologis, akan tetapi juga menuduh para ulama fikih abad kedua dan ketiga hijriyyah melakukan persekongkolan jahat membuat Hadis-Hadis palsu untuk membenarkan pendapat pribadi mereka. Kekeliruan dan kelemahan teori ini tampak pada hal-hal berikut ini;

Pertama, menyakini teori proyeksi sama dengan menyakini adanya kekosongan hukum hampir 100 tahun lamanya. Pasalnya, teori proyeksi mengajak kita untuk mempercayai bahwa praktek hukum Islam yang begitu kompleks baru ada dan berkembang pada abad kedua dan ketiga hijrah setelah ulama-ulama fikih abad itu membuat Hadis-Hadis hukum hampir di seluruh aspek kehidupan. Schact menolak sepenuhnya anggapan yang menyatakan bahwa praktek hukum abad kedua dan ketiga hijrah berasal atau bersumber dari abad sebelumnya (abad pertama hijriyyah). Dengan demikian, Schacht cenderung menolak dan menafikan adanya praktek hukum Islam abad pertama Hijriyyah. Seandainya kita menerima teori proyeksi, berarti kita harus menyakini pula bahwa; praktek hukum Islam pada masa Nabi saw dan para shahabat belum ada atau belum berkembang, sampai-sampai ahli fikih abad kedua dan ketiga Hijriyyah harus memalsukan Hadis-Hadis hukum. Artinya, selama hampir 100 tahun lamanya, kaum Muslim abad pertama Hijriyyah mengalami kekosongan hukum. Lalu, praktek hukum seperti apa yang terjadi pada abad pertama Hijriyyah? Apakah Nabi saw dan shahabat hanya berasyik masyuk dengan masalah-masalah moral-spiritual belaka tanpa pernah menggariskan sistem hukum modern dan kompleks yang kemudian dicontoh dan diteruskan oleh generasi berikutnya? Anggapan semacam itu tentunya bertentangan dengan;

1. Praktek hukum yang dilakukan oleh Nabi saw. Pada dasarnya, al-Quran yang diturunkan kepada Nabi saw memuat aturan-aturan baru yang menjelaskan seluruh aspek kehidupan manusia, dan bertentangan dengan aturan dan kebiasaan masyarakat yang berkembang pada saat itu. Perintah-perintah al-Quran, semacam sholat, puasa, zakat, haji, jihad, pemerintahan, muamalah, hukum pidana, dan lain sebagainya, membutuhkan penjelasan yang teliti, hati-hati, dan rinci dari Nabi saw sebagai pemegang otoritas penjelas al-Quran. Penjelasan Nabi atas al-Quran ini, tentunya memiliki kekuatan hukum yang mengikat, dan termasuk dalam sunnah Nabi saw. Dengan demikian, sunnah Nabi sudah tumbuh dan berkembang sedemikian kompleks bersamaan dengan al-Quran, sekaligus sebagai bagian dari pembentuk yurisprudensi Islam di awal abad pertama Hijriyyah. Selanjutnya, praktek yudisial di awal-awal Islam ini dilestarikan dan dipraktekkan oleh generasi berikutnya melalui sistem transimisi (isnaad). Realitas ini menunjukkan kepada kita bahwa, teori proyeksi telah gagal mengungkap asal usul praktek hukum yang dilakukan oleh kaum Muslim pada abad kedua dan ketiga Hijriyyah. Tidak hanya itu saja, teori ini juga telah menuduh ahli fikih abad kedua dan ketiga Hijriyyah melakukan persekongkolan jahat memalsukan Hadis-Hadis hukum. .

2. Catatan dan keputusan hukum yang didasarkan pada praktek dan contoh dari Nabi saw. Di dalam sumber-sumber terpecaya, disebutkan bahwasanya qadli maupun wali yang ditunjuk pada masa awal-awal Islam senantiasa mendasarkan keputusan mereka pada hukum Allah dan RasulNya (Sunnah Nabi). Contohnya, dalam korespondensi yang dilakukan Umar ra dengan Abu Musa al-Asyariy di Bashrah, Qadli Syuraih di Kufah, para qadli dan wali-wali yang diangkatnya terungkap bahwa Umar ra meminta mereka untuk memutuskan perkara berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi saw; dan masih banyak contoh-contoh lain yang menunjukkan kepada kita bahwa praktek hukum Islam yang sangat kompleks dan lengkap sudah berkembang dan menjadi ’urf (praktek umum) pada abad pertama Hijriyyah. Praktek inilah yang kemudian ditransfer ke generasi-generasi berikutnya melalui jalur tranmisi yang bisa dipercaya. Berdasarkan fakta ini, teori proyeksi telah terbukti kekeliruannya.

3. Literatur abad pertama Hiijriyyah. Dokumen hukum abad pertama yang sampai kepada kita diantaranya adalah; keputusan-keputusan Muadz bin Jabal (18 H) yang didokumentasikan dan diriwayatkan oleh Thaâus (23-101 H) di Yaman. Beberapa keputusan hukum Muadz bin Jabal tertanggal hingga tahun haji Wadaâ; surat-surat resmi Umar mengenai masalah hukum yang dirujuk oleh Abu Musa al-Asyâariy; karya-karya Ali bin Abi Thalib (w.40 H) dilaporkan menjadi milik beberapa ulama, seperti Ibnu Abbas, Hasan bin Ali, Hujr bin Adi, dan Mohammad. Abdillah bin Amr bin Ash ra (7-65 H) memiliki tulisan dari Nabi saw yang terkumpul dalam al-Shahifah al-Shadiqah. Buku ini berisi 1000 Hadis, dihafal dan dipelihara oleh keluarganya. Jabir bin Abdullah (16-17 H) juga memiliki kumpulan tulisan Hadis Nabi yang dinamai Shahifah Jabir. Selain itu, juga ditemukan pula karya ulama abad pertama yang dirujuk oleh ulama-ulama berikutnya; diantaranya buku tentang hukum waris karya Zaid bin Tsabit (w. 45 H); tulisan Sya’bi (w. 103 H) mengenai pernikahan, perceraian, warisan, mengenai luka-luka dan diyatnya; dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini tidak hanya membuktikan bahwa praktek hukum abad kedua dan ketiga Hijriyyah jelas-jelas merujuk dan bersumber pada abad-abad sebelumnya; tetapi juga membuktikkan kesalahan fatal teori proyeksi.

Kedua, kesalahan teori proyeksi juga terlihat pada generalisasi berlebihan terhadap Sunnah Nabi. Memang benar, tidak semua Hadis Nabi yang sampai di tangan kita, keseluruhannya adalah shahih. Ada Hadis yang sengaja dibuat-buat (dipalsukan) untuk memperkuat posisi kelompok atau madzhab tertentu, atau untuk membela rejim tertentu; ada Hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang memiliki reputasi ilmiah dan personalitas yang buruk, dan lain sebagainya. Namun, kita juga tidak boleh menyatakan bahwa seluruh Hadis Nabi itu palsu dan dibuat-buat. Rasanya sulit diterima oleh akal sehat, bahwa seluruh praktek hukum yang ada di abad kedua dan ketiga Hijriyyah adalah kreasi ulama fikih abad itu, dan sama sekali tidak bersumber dari praktek hukum Nabi. Pasalnya, ada Hadis-Hadis Nabi saw yang sampai ke tangan kita melalui periwayatan yang akurat dan dituturkan oleh perawi-perawi yang memiliki kredibilitas ilmu dan personalitas. Selain itu, gejala dan praktek pemalsuan Hadis sudah disadari sepenuhnya oleh ulama-ulama kaum Muslim, terutama ulama Hadis. Oleh karena itu, sejak dini, mereka telah mencurahkan tenaga untuk meneliti dan mengklasifikasi Hadis; mana yang shahih, mana yang dlaif, mana yang dibuat-buat (palsu), dan sebagainya. Tidak hanya itu saja, mereka juga menggariskan metodologi penelitian terhadap Hadis baik sanad maupun matan– yang lebih kokoh dan komprehensif. Upaya tersebut mereka lakukan demi menjaga sunnah Nabi saw dari pemalsuan, sekaligus menjamin bahwa prinsip keyakinan dan praktek hukum yang mereka jalankan benar-benar bersumber dari Nabi saw. Pada dasarnya, al-Quran sendiri telah menjelaskan prinsip-prinsip dasar ilmu Hadis. Al-Quran menyatakan,

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu [QS Al Hujuurat (49): 6]

Ayat ini berisi perintah agar kaum Muslim melakukan verifikasi (tabayyun) terhadap berita-berita yang disampaikan oleh orang fasiq. Di kemudian hari, prinsip tabayyun inilah yang mendasari lahirnya metodologi penelitian terhadap Hadis dan berbagai macam disiplin ilmu yang berhubungan dengan Hadis. Dengan demikian, kaedah umum ilmu Hadis (semacam jarh wa ta’diil) sudah dipraktekkan oleh generasi Islam abad pertama, walaupun dalam bentuk yang masih sederhana. Pada masa berikutnya, di samping menggariskan metodologi penelitian terhadap Hadis, para ulama juga menyusun berbagai macam disiplin ilmu yang berkaitan dengan Hadis Nabi seperti;

1.      Rijaal al-Hadis, yakni, ilmu yang mengkaji hal ihwal dan sejarah kehidupan para perawi Hadis, baik shahabat, tabiun, tabiut tabiiin. Kitab yang membahas masalah ini sangatlah banyak, diantaranya adalah Ma’rifat al-Rijaal karya Yahya ibn Mu’in; al-Dlu’afaa karya Imam Mohammad bin Ismail al-Bukhari; al-Tsiqaat karya Abu Hatim bin Hibban al-Busty; al-Jarh wa al-Ta’diil karya Abd al-Rahman bin Abi Hatim al-Raaziy. Kitab ini merupakan kitab terbesar yang sampai kepada kita dan sangat besar faedahnya. Kitab ini terdiri dari 4 jilid besar yang memuat 18050 perawiy; Mizaan al-I’tida al karya Imam Syamsuddin Mohammad al-Dzahabiy. Kitab ini membahas 10.907 perawi Hadis; Lisaan al-Mizaan, karya al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalaniy; dan lain-lain.

2.      Al-jarh wa al-ta’diil, yakni, ilmu yang mengkaji personalitas perawi, sehingga dapat diputuskan apakah seorang perawiy itu bisa diterima beritanya atau tidak.

3.      Tawaarikh al-ruwah; ilmu yang membahas kapan dan di mana seorang perawi dilahirkan, dari siapa ia menerima Hadis, siapa yang menerima Hadis darinya, serta kapan dan di mana ia wafat. Kitab yang mengkaji masalah ini misalnya, al-Taariikh al-Kabiir, karya Imam Bukhari (194-225 H); Taariikh Nisabur, karya Imam Mohammad bin Abdullah al-Hakim al-Nisaburiy (321-404 H); Taariikh Baghdaad, karya Imam al-Khatib al-Baghdadiy (392-463); Tahdziib al-Kamaal fi Asmaa` al-Rijaal, karya al-Hafidz Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf al-Mizzay al-Dimasyqiy (654-742 H), dan lain sebagainya.

4.      Thabaqat al-ruwah; ilmu thabaqat al-ruwah termasuk bagian dari ilmu rijaal al-Hadis. Adapun yang dimaksud dengan ilmu thabaqat al-ruwah adalah ilmu yang mengkaji penggolongan para rawiy dalam satu atau beberapa golongan (thabaqat) sesuai dengan alat pengikatnya. Kitab yang membahas masalah ini di antaranya adalah; al-Thabaqat al-Kubra, karya Imam al-Hafidz Katib al-Waqidiy (168-230 H); Thabaqat al-Ruwah, karya al-Hafidz Abu Amr Khalifah bin Khayyath al-Syaibaniy (240 H) [salah seorang guru Imam Bukhari]; Thabaqat al-Tabiin, karya Imam Muslim bin Hajjaj al-Qusyiriy (204-261 H); Thabaqat al-Hufaadz, karya al-Hafidz Syamsuddin al-Dzahabiy (673-748 H), dan sebagainya.

5.      Disamping ilmu-ilmu di atas, para peneliti Hadis juga menyusun ilmu-ilmu lain semacam ilmu gharib al-Hadis, asbaab wurud al-Hadis, tawaarih al-mutun, ilal al-Hadis, nasikh mansukh dan sebagainya. Kesungguhan dan ketelitian para ulama Hadis dalam meneliti dan mengklasifikasi Hadis tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan penelitian Schacht yang rapuh secara metodologis, sembarangan, dan sarat dengan kepentingan. Dan jika kaum Muslim sekarang lebih mempercayai hasil penelitian para ulama Hadis, sesungguhnya, itu adalah perkara yang wajar dan bisa diterima secara ilmiah.

Ketiga, tuduhan Schacht bahwa sanad-sanad Hadis telah diduplikasi sedemikian rupa oleh ulama abad kedua dan ketiga Hijriyyah dengan memakai nama orang lain, agar pendapat mereka bisa dinisbahkan kepada sumber pertama, yaitu Rasul, shahabat, dan tabiin; sesungguhnya ini adalah tuduhan yang tidak masuk akal. Sebab, sejak semula kaum Muslim sudah mengetahui bahwa banyak Hadis yang diriwayatkan oleh puluhan perawi dalam setiap tingkatan periwayatan; dan perawi tersebut tersebar dan tinggal di tempat-tempat yang berjauhan. Keadaan semacam ini tentunya memustahilkan mereka bersepakat untuk memalsu Hadis Nabi saw. Oleh karena itu, kenyataan ini tidak hanya mengungkap bagaimana proses transmisi Hadis Nabi saw pada abad pertama Hijriyyah, namun juga telah menggugurkan teori projecting back secara menyakinkan.

Keempat, teori proyeksi juga bertentangan dengan fakta; banyak materi Hadis hukum (matnu al-Hadis) yang mempunyai persamaan di kalangan kelompok-kelompok Islam, seperti Khawarij, Mu’tazilah, Zaidiyyah, dan Imamiyyah; padahal, kelompok ini telah memisahkan diri dari kelompok Ahlus Sunnah kurang lebih 25 tahun sejak wafatnya Nabi saw. Tidak hanya itu saja, kelompok-kelompok tersebut juga saling berperang dalam rentang waktu yang cukup lama, dan saling menuduh kelompok lain telah menyimpang dari Islam. Seandainya pemalsuan Hadis hukum terjadi pada abad kedua dan ketiga Hijriyyah, tentunya, tidak ada satupun Hadis hukum yang secara bersamaan terdapat dalam kitab kelompok-kelompok Islam tersebut. Namun, kenyataan justru menunjukkan; banyak materi Hadis hukum yang memiliki persamaan dan keterkaitan di tengah-tengah kelompok-kelompok Islam tersebut. Sebenarnya, masih banyak alasan yang mengharuskan kaum Muslim menolak teori proyeksi yang dikenalkan oleh Schacht. Namun, empat point di atas rasa-rasanya sudah lebih dari cukup untuk membuktikan kesalahan projecting back theory. Walhasil, Hadis-Hadis hukum yang tercantum di dalam kitab-kitab fikih mu’tabar absah digunakan sebagai hujjah.

Oleh karena itu, kewajiban menegakkan Khilafah, struktur Khilafah, aparatus, serta mekanisme kerja Khilafah Islamiyyah benar-benar berasal dan bersumber dari Nabi saw dan para shahabat; sama sekali bukan buatan ahli fikih abad kedua dan ketiga Hijriyyah. Kewajiban kaum Muslim sekarang adalah berjuang untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah sebagaimana generasi-generasi terbaik umat Islam pernah menjalankan sistem tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar