Din (agama) merupakan hal pokok bagi kehidupan manusia yang
terkait dengan fitrah. Agama secara umum berarti keyakinan pada kekuatan
gaib Yang Maha, yang memiliki kekuasaan atas diri dan kehidupan
manusia. Di mana manusia membutuhkannya mempersembahkan berbagai bentuk
ritual dan pengorbanan. Ini makna umum yang mencakup semua agama -Islam
dan lainnya-. Agama juga berarti manhaj yang mengarahkan manusia pada perilaku tertentu. Sementara taduyyun adalah komitmen pada agama, lemah atau kuat komitmen itu. Komitmen yang dimaksud adalah komitmen pada ajaran-ajaran agama. Tadayyun adalah pengaruh agama dalam kehidupan manusia, hubungan dan perilaku mereka. Tadayyun dapat dipahami sebagai perilaku keagamaan.
Sebagian orang menyamakan antara istilah taduyyun (perilaku keagamaan), ibudah (ibadah) dan iltizam
(komitmen pada ajaran agama). Ibadah itu ajaran pokok dalam agama.
Setiap agama dipastikan memiliki ritual ibadah. Ibadah dengan demikian
merupakan unsur pokok dalam agama, tetapi ada perbedaan antara agama
yang satu dengan lainnya tentang ibadah. Ibadah dengan demikian bagian
dari din. Kata tadayyun memiliki pengertian yang hampir sama dengan iltizam.
Model al-Tadavvun al-Svamil
Menurut Qardlawi model al-tadavvun al-svamil hukanlah konsep
baru dalam dunia gerakan Islam kontemporer. Ide dasarnya diawali era
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang kemudian dilanjutkan dan diperluas
oleh Hasan al- Banna di Mesir dan al-Maududi di Pakistan. Mereka menyeru
pada al-tadavvun al-svamil yang mencakup semua aspek
kehidupan, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Banna bahwa Islam itu
ibadah dan kepemimpinan, shalat dan jihad, sumber daya ekonomi dan
kekayaan dan sebagainya. Maka menurut model ini perilaku keagaman
seorang muslim adalah cerminan dari Islam yang utuh dan menveluruh (nidhum syamil).
Masyarakat pun memahami hal ini, bahwa mereka kurang sependapat pada
praktek keagamaan yang timpang, misalnva melihat orang yang rajin
shalat, puasa atau bahkan haji sementara perilaku ekonorninya tidak
menunjukkan kesalihan pribadinya atau jauh dari ajaran agama.
Ayat yang artinva, “Katakanlah: .sesungguhnyu shalatku, ibadahku, hidupku dan mutiku hanyalah untuk Allah, Tuhan smesta alam.
” (al-An’am: 162) menjadi dasar bagi model tadayyun ini. Menurut
Qardlawi ayat ini menjelaskan bahwa praktek keagamaan yang sebenarnya,
yaitu yang menjadikan seorang muslim mengabdikan keseluruhan hidupnya
-dengan berbagai aspeknya- untuk Allah semata, tidak mengenal tab’idl, pembagian sebagian untuk Allah dan sebagian untuk thaghut.
Mengutip pendapat Ibnu Atha’illah, bahwa Allah Swt. tidak menghendaki
hati yang terbagi dan amal yang terbagi untuk Allah dan untuk
selain-Nya. Refleksi al-tadavvun al-svamil ini tercermin dalam
hubungan seorang muslim dengan Tuhannya dan hubungannnya dengan sesama
manusia, dengan keluarga, tetangga, dan masyarakatnya. Bahkan dengan
lingkungannya termasuk hewan dan binatang. Keberagamaan yang syami1 adalah keberagamaan yang seimbang (tawazun).
Model al-Tadayyun al-Maghsyusy (yang menipu)
Model lain dari perilaku keagamaan ini adalah al-tadayyun al-maghsyusy (yang menipu). Maghsyusy
artinya indah secara lahir tapi rusak di dalam (batin). Dalam praktek
ekonomi pernah terjadi pada masa Nabi Saw., ketika beliau masuk ke pasar
dan singgah di salah satu kios yang menjual gandum. Nabi memasukkan
tangannya ke dalam gandum itu dan ternyata basah. Nabipun bersabda, “Man Ghasysyana fa laisa minna.” Berbeda antara performa lahiriah dengan batin ini disebut ghisy (penipuan).
Dalam kehidupan sehari-hari, al-tadayyun al-maghsyusy ini
tampak pada perilaku di mana seseorang secara lahiriah terlihat saleh,
baju dan penampilan fisiknya menggambarkan sebagai orang yang komitmen
pada sunnah, tapi pada sisi lain ternyata ia adalah orang yang tidak
mampu berbakti pada orang tuanya, memutus kekerabatan, tidak jujur dalam
muamalahnya, kasar pada oranglain dan tidak memiliki tasamuh.
Al-tadayyun al-maghsyusy adalah salah satu varian dari nifaq, yaitu nifaq ‘amali. Bila nifaq a’qidi diistilahkan dengan al-nifaq al-akbar, maka nifaq a’mali ini dikategorikan sebagai al-nifaq al-ashghar. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Saw, “Ada empat sifat bila ada pada diri seseorang maka ia adalah munafik tulen, meskipun ia shalat dan puasa. Yaitu bila bicara dusta, bila dipercaya berkhianat, bila berjanji menyelisihi, dan bila berseteru is curang.”
Al-tadayyun al-maghsyusy -dalam istilah Qardlawi- memiliki padanan dengan istilah al-tadayyun al-maghluth (keliru) oleh Syekh Muhammad al-Ghazali atau al-tadayyun al-manqush (tidak sempurna) oleh Fahmi Huwaidi.
Praktek al-tadayyun al-maghsyusy ini memiliki dua makna, ghisy dalam pemahaman dan ghiys dalam perilaku atau suluk. Ghisy dalam pemahaman oleh Qardlawi terjadi kerena tidak memahami skala prioritas dalam amal islami. Misalnya, tidak bisa membedakan mana akidah dan amaliah,
mana yang fardlu dan mana yang sunnah, mana dosa besar dan mana dosa
kecil, mana yang disepakati dan mana yang diperselisihkan. Ketimpangan
dalam pemahaman ini melahirkan ketimpangan (ghisy) dalam suluk
dan perilaku. Sehingga didapati praktek keberagamaan yang menjaga
arnalan sunnah tapi mengabaikan yang wajib, mengutamakan amal yang
manfaatnya sangat pribadi dan mengesarnpingkan amal yang berdampak luas
bagi diri dan masyarakatnya, dan sebagainya. Atau yang disitilahkan
dengan ketimpangan dalam memahami fiqih awlawiyat (prioritas) yang berakibat pada perilaku yang maghsyusy,
tidak mencerminkan skala prioritas adalam amal. Sebagai contoh ada
orang yang berkali-kali menunaikan ibadah umrah sementara ia mengabaikan
hak-hak karyawannya, atau enggan melunasi hutangnya.
Yang tarnpak pada dirinya adalah ketaatan akan tetapi, sebagaimana
istilah Ibnu Atha’illah, boleh jadi Allah Swt membukakan baginya babu al-tha`ah (pintu ketaatan) tapi menutup dari babu al-qabul (pintu penerimaan).
0 komentar:
Posting Komentar