Jumat, 13 Desember 2013

URGENSI PENELITIAN SANAD DAN MATAN HADIS



Pendahuluan

 Hadis  sebagai ucapan, perbuatan, takrir dan hal-ihwal Nabi Muhammad saw., merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Quran.[1]  Hadis (sunnah) Nabi saw.  selanjutnya berfungsi sebagai  uswah (tauladan) bagi  setiap muslim.[2]


Memposisikan  hadis secara struktural dan fungsional sebagai sumber ajaran setalah al-Quran, atau sebgai bayaan (penjelas) terhadap al-Quran merupakan suatu keniscayaan.  Nabi Muhammd saw. dalam kapasitas sebagai Nabi dan Rasul, tidak seperti tukang pos dan bukan pula sebagai medium al-Quran, tetapi beliau adalah mediator,[3] mufassir awal al-Quran.

Dari aspek periwayatan, hadis Nabi berbeda dengan  al-Quran. Al-Quran, semua periwayatannya  berlangsung secara mutwatir, dan untuk  hadis Nabi sebagian periwyatannya berlangsung secara  mutwatir, dan sebagian yang lainnya berlangsung secara ahad.[4]  Olehnya  al-Quran dilihat dari aspek periwayatan dapat  dikategorikan qat’i al-wurud. Sedangkan untuk hadis Nabi, sebagiannya saja dikategorikan qat’i al-wurud, adan sebgian lainnya, bahkan yang terbanyak berkedudukan sebagai dzanni al-wurud.[5] Dengan demikian dilihat dari segi periwayatannya, seluruh ayat al-Quran tidak perlu lagi dilakukan penelitin untuk membuktikan orosinalitasnya.  Adapun hadis Nabi, dalam hal ini berkategori ahad, harus diteliti. Dengan penelitian itu akan diketahui, apakah hadis tersebut dapat dipertanggungjawabkan periwaytannya berasal dari Nabi atau tidak.

Dalam kenyataannya, kitab-kitab hadis yang beredar di tengah  masyarakat, dan diperpegangi oleh umat Islam juga dijadikan sebagai sumber ajaran setelah al-Quran ,  kenyataannya kitab-kitab tersebut disusun oleh penyusunnya itu  setelah lama Nabi  saw. wafat.  Jarak  antara wafatnya Nabi  saw. dan penulisan kitab-kitab hadis tersebut,  kemungkinan terjadi  kesalahan dalam periwayatan sehingga menyebabkan  riwayat hadis tersebut menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari nabi.

Dengan demikian untuk mengetahui apakah riwayat  berbagai hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis  tersebut dapat dijadikan  sebgai hujjah atau tidak, lebih dahulu harus diadakan penelitian.  Kegiatan penelitian , tidak hanya ditujukan kepada apa yang menjadi materi berita dalam hadis itu saja (matan), tetapi juga kepada berbagai hal yang berhubungan dengan periwayatan (sanad). Jadi, untuk membuktikan suatu hadis dapat dipertanggungjawabkan keorisinilannya, bahwa hadis tersebut benar berasal dari Nabi saw., diperlukan penelitian matan dan sanad hadis lebih seksama.
 
Dalam ilmu sejarah, penelitian matan(naqdu al-matan) dikenal dengan istilah kritik interen, atau al-naqdu al-dakhili.  Adapun untuk penelitian sanad, atau naqdu al-sanad, disebut  dengan kritik eksteren, atau naqdu al-khariji.

Ulama ahli hadis telah menyusun berbagai kaidah yang berhubungan dengan penelitian matan dan  sanad hadis, mereka menggunakan sejumlah kaidah, di antaranya pendekatan sejarah.  Peneliian sejarah, banyak persamaan disamping sejumlah perbedaan, antara kaidah yang berlaku dalam ilmu hadis dan ilmu sejarah. Untuk menghasilakan  penelitian yang lebih akurat, kedua ilmu dimaksud dapat dipadukan, karena keduanya  ternyata memberikan sumbangsih yang besar dan saling bermanfaat.

Selanjutnya, adakalanya setelah hadis diteliti sanad dan matan-nya, dan diketahui bahwa hadis tersebut berstatus maqbul, ternyata hadis tersebut bertentangan dengan hadis yang lain dengan status maqbul juga, atau dalil lainnya yang shah. Dalam keadaan seperti ini, kegiatan penelitian tersebut masih terus dilaksanakan,  bahwa yang diteliti bukan  status maqbul atau tidak maqbul-nya hadis itu, melainkan hadis itu digolongkan  dapat diamalkan atau tidak.

Untuk kepentingan penelitian hadis, ulama ahli kritik hadis telah menyusun berbagai kaidah dan cabang pengetahuan hadis, yang disebut  dengan ulum al-Hadis.  Untuk selanjutnya,  metodologi penelitian sanad dan matan  hadis  dapat dilengkapi  dengan kaidah dan  juga cabang pengetahuan yang berhubungan dengan hadis, sehingga disiplin ilmu hadis tidak dapat dikatakan sebagai ilmu yang berdiri sendiri, tetapi terintegrasi dengan ilmu-ilmu yang lainnya.

Masalah yang dapat dirumuskan dalam tulisan ini adalah;  Bagaimana  urgensi  penelitian sanad dan matan hadis sebagai unsur penting untuk menentukan kualitas suatu hadis?

Pengertian sanad dan matan

Kata sanad menurut bahasa  ialah sesuatu yang kita bersandar kepadanya, baik itu berupa tembok dan yang lainnya.[6]  Olehnya, surat utang juga dinamai sanad, karena kedua pihak bersandar kepadanya. Kata sanad juga dapat diartikan dengan punggung atau puncak bukit.[7]

Dalam istilah ahli hadis, sanad ialah” jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis”. Ulama yang lain misalnya, al-Syayuthi mengatakan bahwa sanad  ialah, menerangkan tentang jalan yang manyampaikan kita kepada matan hadis, ia menyamakan dengan isnad menurut sebagian ulama hadis. Sanad, kadang diartikan thariq(jalan) dan juga wajh,[8] digunakan dalam maksud yang sama.  Sanad memegang peranan penting dalam menentukan keabsahan  suatu hadis, sampai-samapai ia dipandang setengah dari agama.

Kata matan menurut  bahasa ialah tengah jalan, punggung bumi, atau bumi yang keras dan tinggi. Misalnya,  kalimat “matan kitab”,  yang dimaksud adalah materi pokok, bukan merupakan syarah, hasiyah ataupun ta’liq.[9]

Menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh al-Thibi bahwa matan ialah, lafal-lafal hadis yang  dengan lafal itulah terbentuk makna.   Al-Syayuthi dan Ibnu Jamaah berpendapat bahwa matan ialah, sesuatu  yang kepadanya berakhir sanad dari berbagai macam perkataan, kemudian dihubungkan dengan hadis.[10]

Ajaj al-Khatib mengemukakan bahwa matan adalah redaksi hadis yang menjadi unsur pendukung pengertian atau maksud hadis, hal itu didasarkan bahwa matan itulah yang tampak pada hadis dan menjadi materi hadis itu[11].

Dari  pengertian  sanad dan matan hadis sebagaimana dikemukakan di atas, dapat difahami bahwa demikian urgennya keberadaan sanad juga matan dalam sebuah  hadis.  Olehnya  tidak dapat disebut hadis jika unsur sanad maupun matan tidak dijamin keabsahannya.

Urgensi penelitian sanad dan matan hadis

Penelitian hadis sebgai salah satu disiplin ilmu yang mengkaji hadis Nabi saw., dilakukannya sebagai usaha panelusuran hadis dengan  bersifat kritis dalam memeriksa dan menyelaksi hadis-hadis Nabi saw.  Dan selanjutnya dapat membebaskanya dari kecacatan.  Kekhawatiran itu dapat terbukti, karena adanya pemalsuan hadis. Di lain sisi adanya pendapat sahabat dan tabiin yang oleh sebagian ulama menilainya sebagai hadis, dengan  menamainya hadis mauquf dan maqthu, sedangkan yang lainnya menolak. Mereka beralasan bahwa yang  dimaksud dengan hadis adalah bersumber dari Nabi saw. dan dapat dijadikan sebagai sumber ajaran Islam, sebagai hujjah dan sebagai obyek kajian.

Dengan demikian penelitian hadis harus diarahkan kapada dua obyek penelitian, yakni penelitian sanad dan matan. Tujuan pokok penelitian hadis, baik penelitian sanad maupun matan adalah untuk mengetahui kualitas hadis dimaksud, hingga dipastikan status hadis itu shahih (maqbul) atau dhaif (mardud).

Selanjutnya  Posisi sanad untuk suatu hadis demikian urgen, hingga suatu  berita sudah dinyatakan sebagai hadis Nabi, namun tidak memiliki sanad, maka ulama hadis tidak dapat menerimanya.  Abdullah ibnu Mubarak (w.181 H/797M) mengatakan bahwa:  “Sanad hadis merupakan bagian dari agama. Sekirannya sanad hadis tidak ada, niscya siapa saja akan bebas mengatakan apa yang dia kehendaki”.[12]

Imam Nawawi dalam mengomentari pernyataan al-Mubarak di atas, menjelaskan bahwa bila sanad suatu hadis berkualitas shahih, maka hadis dimaksud berposisi maqbul dan bila sanad-nya tidak dapat diterima, maka posisinya mardud.[13]

Keadaan dan  kualitas sanad harus pertama diperhatikan dan dikaji oleh ulama hadis dalam melakukan penelitiannya. Apabila sanad hadis itu tidak mencapai kriteria sebagaimana  ditentukan misalnya, tidak adil, maka hadis tersebut langsung ditolak, dan tidak lagi dilanjutkan penalitiannya.  Dan jika sanad hadis tersebut berkategori shahih, maka selanjutnya hadis dimaksud akan diperiksa kualitas matan-nya.

Untuk penelitian matan, pada dasarnya dapat dilakukan dengan pendekatan  simantik dan dari segi kandungannya. Sekalipun demikian pendekatan  simantik  tidak gampang dilakukan, karena hadis  yang sampai kepada mukharrij telah melalui periwayat yang berbeda generasi, latar belakang budaya dan kecerdasan.[14] Hal tersebut dapat merobah penggunaan dan pemahaman suatu istilah. Sekali pun demikian, pendekatan bahasa sangat diperlukan karena bahasa yang dipakai Nabi saw.  dalam  menyampaikan hadisnya selalu dalam susunan yang baik dan benar.  Selain itu pendekatan bahasa sangat membantu dalam memahami  kandungan petunjuk dari hadis dimaksud.  Sealanjutnya penelitian matan hadis memerlukan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam.[15]

Olehnya itu, penelitian terhadap hadis Nabi saw. menjadi penting dilakukan oleh para ilmuan, dan  menjadikan hadis atau ilmu hadis sebagai bidang studi keahliannya. Hal ini berdasar pada beberapa faktor:

1.    Hadis Nabi saw. Sebagai sumber ajaran dan atau sumber hukum Islam sesudah al-Quran.

Cukup banyak ayat al-Quran yang memerintahkan orang beriman untuk patuh dan taat dan selanjutnya mengikuti petunjuk Nabi Muhammad saw. sebagai utusan Allah swt. Anjuran dimaksud  tercantum Al-Quran surat al-Khasyr/59: 7 yang terjemahnya sebagai berkut:

…” Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka hendaklah kamu menerimanya, dan apa yang dilarang bagimu, maka hendaklah kamu tinggalkan(apa yang dilarangnya itu”.[16]

Ulama misalnya al-Qurthubi, berpendapat bahwa ayat tersebut memberi  petunjuk secara umum, bahwa semua perintah dan larangan yang datang dari Rasul, wajib dipatuhi oleh setiap mukmin.[17] Olehnya, kewajiban patuh kepada Rasul adalah konsekuensi logis dari keimanan seseorang.

Al-Quran, surat Ali Imran/3:32menyebutkan:
“Katakanlah; Taatlah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling  maka sesungguhnya Allah tiadak menyukai orang-orang kafir.”[18]

Menurut penjelasan ulma, bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa bentuk ketaatan kepada Allah swt. adalah dengn mematuhi petunjuk al-Quran, sedangkan bentuk ketaatan kepada Nabi saw. adalah mengikuti sunnah-nya atau hadis[19]   Selanjutnya  ayat al-Quran yang menjelaskan tentang taat kepada Nabi saw.[20]

Dengan petunjuk ayat-ayat di atas, maka jelaslah bahwa hadis atau sunnah Nabi  Muhammad saw. merupakan sumber ajaran agama Islam, di samping al-Quran.  Orang yang menolak hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam, berarti orang itu menolak petunjuk al-Quran.

Sebagai alasan bahwa hadis Nabi saw. perlu diteliti kembali, maka dapat dikemukakan sejumlah alasan sebagai berikut;

2.    Hadis Nabi saw. tidak seluruhnya tertulis pada waktu Nabi masih hidup.

Nabi pernah melarang sahabat untuk  menulis hadis beliau, tapi di saat yang berbeda, beliau pernah mnyuruh sahabat untuk menulis hadis beliau[21]

Kebijakan Nabi tersebut, menimbulkan perbedan pendapat dikalangan ulama, bahkan dikalangan sahabat Nabi sendiri, tentang  boleh tidaknya menulis hadis Nabi.[22] Di masa Nabi, ada terjadi penulisan hadis misalnya surat-surat Nabi yang beliau kirim kepada sejumlah pembesar untuk memeluk Islam. Di antara sahabat yang menulis hadis Nabi tersebut, misalnyan Abdullah bin Amar bin ‘Ash, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Thalib, Sumrah bin Jundab, Jabir bin Abdullah dan Abdullah bin Abi Aufa’[23]    Sekalipun demikian tidak semua hadis terhimpun ketika itu,  hal itu sangat beralasan karena sahabat yang membuat catatan itu adalah inisiatif  sendiri. Di sisi lain mereka kesulitan untuk mencatat setiap peristiwa dari Nabi saw., apalagi kejadiannya hanya terjadi di hadapan satu atau dua orang saja.

3.    Telah terjadi upaya pemalsuan terhadap  hadis Nabi saw.

Masih sulit dibuktikan, bahwa di zaman Nabi saw. sudah terjadi pemalsuan hadis.[24] Kegiaatan pemalsuan hadis mulai muncul dan berkembang di masa khalifah Ali bin Abi Thalib(memerintah 35-40 H). Demikian pendapat ulama hadis pada umumnya.

Awalnya faktor yang mendorong seseorang  melakukan pemalsuan hadis karena kepantingan politik. Ketika itu terjadi pertentangan politik antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Masing-masing  pendukung berusaha untuk memenangkan perjuangannya. Salah satu upaya yang dilakukan oleh sebagian dari mereka  adalah membut hadis-hadis palsu.[25]

Menurut sejarah, pertentangan politik tersebut telah pula mengakibatkan timbulnya pertentangan di bidang teologi. Sebagian pendukung aliran teologi yang timbul pada saat itu telah membuat berbagai hadis palsu untuk memperkuat argumantasi aliran yang mereka yakini benar.[26]

Selain itu upaya dari musuh-musuh Islam yang berusaha untuk menghancurkan Islam dari dalam, mereka membuat hadis palsu dalam rangka memerangi Islam.[27] Demikian pula karena kepentingan ekonomi, keinginan menyenangkan hati pejabat (menjilat kepada pejabat), dan ada juga sebagian muballig berpendapat bahwa, untuk kepentingan  dakwa dapat saja membuat hadis palsu.[28]

Dengan telah terjadinya pemalsuan hadis tersebut, maka kegiatan penelitian hadis menjadi sangat penting . Tanpa dilakukan penelitian hadis, maka hadis Nab saw. akan bercampur aduk dengan yang bukan hadis Nabi saw. dan akhirnya ajaran Islam akan dipenuhi dengan berbagai hal yang akan menyesatkan umat.

4.      Proses penghimpunan dan periwayatan hadis Nabi saw. Telah memakan waktu yang sangat panjang.

Dalam sejarah, penghimpunn hadis secara resmi dan masal terjadi atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz (W.101 H/750 M).[29] Dikatakan resmi karena kegiatan penghimpunan itu merupakan kebijakan dari kepala negara; dan dikatakan masal karena perintah kepala negara itu ditujukan kepada para gubernur dan ulama ahli hadis pada zaman itu.

Pada sekitar pertengahan abad ke 2 hijriyah, telah muncul karya-karya himpunan hadis diberbagai kota besar; misalnya di Makkah, Madinah, dan Bashrah. Puncak penghimpinan hadis Nabi terjadi sekitar pertenghan abad ke 3 hijriyah.[30]

Dengan demikian, jarak waktu antara masa penhimpunan hadis dan wafatnya Nabi saw. cukup lama. Hal itu membawa akibat bahwa berbagai hadis yang dihimpun dalam berbagai kitab menuntut penelitian yang  seksama  untuk menghindarkan dari penggunaan dalil hadis yang tidak dapat dipertanggunjawabkan validitasnya.

5.    Kitab-kitab hadis yang telah banyak beredar ternyata menggunakan metode dan pendekatan penyusunan yng bervariasi.

Sebagai mana diketahui bahwa jumlah kitab hadis yang telah disusun oleh ulama periwayat hadis cukup banyak. Jumlah tersebut sangat sulit dipastikan angkanya sebab mukharrijul hadis(ulama yang meriwayatkan hadis dan sekaligus mengadakan penghimpunan hadis) tidak terhitung jumlahnya. Apalagi, sebagian dari penghimpun hadis itu ada yang menghasilkan karya himpunan hadis lebih dari satu kitab.

Metode penyusuanan kitab-kitab himpunan hadis tersebut ternyata tidak seragam.  Hal itu memeng logis, seabab yang lebih ditekankan dalam penulisan itu bukanlah metode penyusunannya, melainkan penghimpunan hadisnya.

Masing-masing mukharrij memiliki metode sendiri-sendiri, baik dalam penyusunan, sistemtikanya dan topik yang dikemukakan oleh hadis yang dihimpunnya, maupun kriteria kualitas hadisnya masing-masing. Karenanya tidaklah mengherankan, bila pada masa sesudah kegiatan penghimpuanan itu, ulama menilai dan membuat krieteria tentang peringkat kualitas kitab-kitab himpunan hadis tersebut, misalnya al-Kutubul khamsah(lima kitab hadis yang standar), al-Kutubus sittah(enam kitab hadis yang stanadar), dan al-Kutubus sab’ah (tujuh kitab hadis yang stanadar).[31]

6.    Periwayatan hadis lebih banyak berlangsung secara makna dari pada secara lafal.[32]

Mayoritas  sahabat Nabi membolehkan periwayatan  hadis secara makna. Mereka  misalnya,  Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud,  Anas bin Malik,  Abu Darda,  Abu Hurairah dan ‘Aisyah istri Rasulullah. Adapun  yang menolak periwayatan hadis secara makna, misalnya, Umar bin Khattab,  Abdullah bin Umar bin Khattab dan  Zaid bin Arqam.[33]

Perbedaan pandangn tentang periwayatan hadis secara makna itu terjadi juga di kalangan ulama sesudah zaman sahabat. Ulama yang membolehkan periwayatan secara makna menekankan pentingnya pemenuhan syarat-syarat yang cukup ketat, misalnya proses periwayatan, yang bersangkutan harus mendalam pengetahuannya tentang bahasa arab, hadis yang diriwayatkan bukanlah bacaan yang bersifat ta’abbudi, umpamanya bacaan shalat, dan  periwayatan secara makna dilakukan karena sangat terpaksa.  Dengan demikian, periwayatan hadis secara makna tidaklah berlangsung secara longgar, tetapi cukup ketat.

Selain itu ada sebagian kecil umat Islam yang menolak hadis Nabi saw. Sebagai sumber ajaran dan hujjah, kelompok ini kemudian disebut sebagai inkar al-sunnah (menolak sunah), mereka dengan beberapa argumentasi misalnya; 1) al-Quran sudah sangat lengkap dan sempurna sebagaimana Allah jelaskan dalam Q.S. al-Nahl :16; 89,  2) Hadis tidak ada perintah untuk diikuti, andaikan ada perintah untuk itu, tentunya Nabi saw. Sejak awal sudah menyuruh para sahabat untuk menulis seluruh hadis, ternyata tidak demikian.

Olehnya itu, faktor-faktor tersebut menjadi pendorong terhadap usaha penelitian hadis Nabi saw. Menjadi sangat penting dilakukan untuk memelihara dan mengantisipasi berbagai ancaman dari virus yang dapat menyerang dan atau menjangkitinya. Sehingga menyebabkan hadis tersebut menjadi cacat dan akhirnya kualitasnya menjadi dhaif(lemah), maudhu (palsu), dan selanjutnya menjadi tertolak dan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Sebab, kualitas hadis yang dapat dijadikan sebagi hujjah atau dalil hukum, adalah hadis yang harus berkualitas shahih.

Untuk mengetahui, memahmi, dan meyakini  sebuah hadis sebagai hadis Nabi saw., atau hadis yang dinilai berkualitas shahih atau tidak, diterima atau ditolak sebagai dalil agama, perlu dilakukan penelitian secara kritis  terhadap sanad dan matan-nya. Kajian hadis dalam bentuk ini dikenal dengan sebutan naqdu al-sanad dan naqdu al-matan (kritik sanad dan matan), yakni melakukan penelitian dengan langkah-langkah yang  bersifat kritis terhadap sanad dan matan hadis, dengan pendekatan yag bersifat multi disiplir atau inter disipliner dan antar disipliner.

Ke-hujjah-an sebuah hadis ditentukan oleh tingkat kualitasnya, yakni terpenuhinya kriteria kesahihan hadis sepeti yang telah disepakati oleh para ulama[34]. Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam, maka petunjuk dan tuntuanan praktisnya wajib diikuti, seperti petunjuk tentang pelaksanaan shalat, ibadah haji, puasa dan lain-lain.

Selain penelitian dilakukan dalam studi hadis juga dilakukan proses pembelajaran disemua lapisan masyarakat muslim, hal demikian dimaksudkan, selain untuk mengetahui kualitas ke-hujjah-an  hadis itu, juga sebagai pembelajaran kepada umat Islam terhadap pentingnya mempelajari dan memahami hadis Nabi saw.

Kajian terhdap hadis Nabi saw. Dilakukan sebagai langkah dan upaya  strategis untuk mengetahui dan mamahami hadis-hadis Nabi saw., baik dalam kehidupannya sebagai salah satu sumber ajaran Islam, maupun dalam statusnya sebagai dalil atau hujjh. Hadis Nabi saw., selain sebagai sumber ajaran juga menjadi obyek kajian dalam studi Islam yang dapat melahirkan banyak ilmuan dalam berbagai bidang keilmuan Islam yang bersumber dari ajaran al-Quran dan hadis Nabi saw., terutama sebagai  pembentuk cara pandang yang dapat mencerahkan kehidupan umat agar terhindar dari perpecahan.

Kajian yang dilakukan terhadap hadis Nabi saw., juga untuk mengetahui tingkat kualitas hadis dimaksud (shahih, hasan, atau Dha’if), ketika hadis itu berkualitas shahih, maka hadis tersebut dapat dijadikan hujjah atau dalil agama, yakni menjadi alasan terhadap sebuah pandangan atau dalil mengenai sebuah amalan. Tapi sebaliknya, jika hadis itu dha’if, maka tidak ada tempat bagi umat untuk mengamalkannya. Meskipun di antara ulama ada yang sangat tasyahhud dalam menggunakan hadis-hadis sebagai hujjah, mereka bependapat  bahwa hadis dha’if dapat diamalkan dalam hal fadhail al-amal (keutamaan amal).

Selain itu, kajian hadis Nabi saw. Dimaksudkan agar dapat melahirkan pandangan yang menjadi pegangan sebagai hasil ijtihad yang mencerahkan umat terhadap masalah-masalah yang diperselisihkan, agar menjadi jelas dan dapat diamalkan dengan baik tanpa perbedaan yang berarti. Demikian pula agar umat terhindar dari perbedaan pandangan yang  membingungkan dalam mengamalkannya.

Untuk mengetahui dan memahami tingkat kualitas hadisNabi saw. tersebut,  ulama dan cendikiawan berusaha  melakukan penelitian kritis yang bersifat ilmiah sebagai  langkah untuk menentukan kualitas sanad maupun matan hadis yang dapat atau tidak dijadikan sebgai hujjah.

Metode Penelitian Hadis

Dalam penelitian hadis (naqd al-hadits) klasik, model penelitian diarahkan kepada dua segi: sanad dan matan. Dalam penelitian sanad, model yang ditempuh adalah dengan melakukan langkah-langkah berikut ini:

  • Melakukan At-Takhrij
Takhrij adalah menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab yang di dalamnya dikemukakan hadis tersebut secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian untuk kepentingan kritik sanad, dijelaskan kwalitas sanad dan para periwayatdari hadis yang bersangkutan.

  • Melakukan al-I’tibar
Al-I’tibar berarti menyertakan sanad-sanad untuk hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis dimaksud.

Dengan melakukan i’tibar, diharapkan dapat terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Jadi, kegunaan al-I’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidaknya pendukung (corroboration) berupa periwayatan yang berstatus muttabi’ atau syahid.

  •  Mengkritisi pribadi periwayat serta metode periwayatannya
Ulama’ hadis sependapat bahwa ada dua hal yang harus dikritisi pada diri pribadi periwayat hadis untuk diketahui apakah riwayat hadis yang dikemukakannya dapat diterima sebagai hujjah ataukah harus ditolak. Kedua hal itu adalah ke’adilan dan kedhabitannya. Ke’adilan berhubungan dengan kwalitas pribadi, sedangkan kedhabitannya berhubungan dengan kapasitas intelektualnya. Jika kedua hal itu dimiliki oleh periwayat hadis, maka periwayat tersebut dinyatakan bersifat tsiqah.

Terkait dengan pelacakan terhadap kebersambungan sanad, hubungan kwalitas periwayat dan metode periwayatan sangat menentukan. Periwayat yang tidak tsiqah yang menyatakan telah menerima riwayat dengan metode sami’na, misalnya, meski metode itu diakui ulama’ hadis memiliki tingkat akurasi yang tinggi, tetapi karena yang menyatakan lambang itu adalah orang yang tidak tsiqoh, maka informasi yang dikemukakannya itu tetap tidak dapat dipercaya. Sebaliknya, apabila yang menyatakan sami’na adalah orang yang tsiqoh, maka informasinya dapat dipercaya.

Selain itu, ada periwayat yang dinilai tsiqoh oleh ulama’ ahli kritik hadis, namun dengan syarat bila dia menggunakan lambang periwayatan haddatsani atau sami’tu, sanadnya bersambung. Tetapi, bila menggunakan selain dua lambang tersebut, sanadnya terdapat tadlis (penyembunyian cacat).

  • Meneliti syudzudz dan ‘illat
Salah satu langkah kritik sanad yang sangat penting untuk meneliti kemungkinan adanya syudzudz dalam sanad adalah dengan melakukan studi komparatif terhadap seluruh sanad yang ada untuk satu matan yang sama.

Sedangkan cara mengkritisi kemungkinan terjadinya ‘illat yaitu dengan membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang isinya semakna.
Hadis yang mengandung syudzudz (ke-syadz-an), oleh ulama’ disebut sebagai hadis syadz, sedangkan lawan dari hadis syadz disebut hadis mahfuzh.

  • Menyimpulkan hasil studi kritik sanad
Dalam menyampaikan kesimpulan (natijah) harus disertakan pula argumen-argumen yang jelas. Argumen-argumen ini dapat disampaikan sebelum ataupun sesudah rumusan natijah dikemukakan.
Isi natijah untuk hadis yang dilihat dari segi jumlah periwatnya mungkin berupa pernyataan bahwa hadis yang bersangkutan berstatus mutawatir dan jika tidak demikian, maka hadis tersebut berstatus ahad.

Untuk hasil penelitian hadis ahad, maka natijahnya mungkin berisi pernyataan bahwa hadis yang bersangkutan berkwlitas shahih atau hasan atau dha’if sesuai dengan apa yang diteliti. Jika diperlukan, pernyataan kwalitas tersebut disertai dengan macamnya, misalnya dengan mengemukakan bahwa hadis yang dikritisi berkwalitas shahih li ghayrihi atau hasan li ghayrihi

Adapun metode kritik matan, menurut al-A’zhami, banyak terfokus pada metode mu’aradhah. Versi lain menyebutnya metode muqaranah (perbandingan) atau metode muqabalah.

Metode mu’aradhah yang dimaksud adalah pencocokan konsep yang menjadi muatan pokok setiap matan hadis, agar tetap terpelihara kebertautan dan keselarasan antar konsep dengan hadis (sunnah) lain dengan dalil syariat lain. Langkah pencocokan itu dilakukan dengan petunjuk eksplisit, yaitu dengan cara:

1.       Mengkomparasikan hadis dengan al-Qur’an.
2.       Membandingkan antar hadis atau antara hadis dengan sirah nabawiyah.
3.       Mengkonfirmasikan riwayat hadis dengan realita dan sejarah.
4.       Mengkomparasikan hadis dengan rasio.
5.       Membandingkan hadis-hadis dari berbagai murid seorang ulama’.
6.       Membandingkan pernyataan seorang ulama’ setelah berselang suatu waktu.
  1. Perbandingan dokumen tertulis dengan hadis yang disampaikan dari ingatan. 
Mengenai  hal kritik matan,  Al-Siba’i mengungkapkan bahwa:

 1.    Matan tidak boleh mengandung kata-kata yang aneh, yang tidak pernah diucapkan oleh seorang   ahli retorika atau penutur bahasa yang baik.
2.    Tidak boleh bertentangan dengan pengertian-pengertian rasional yang aksiomatik, yang sekiranya tidak mungkin ditakwilkan.
3.    Tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum dalam hukum dan akhlak.
4.    Tidak boleh bertentangan dengan indra dan kenyataan.
5.    Tidak mengandung hal-hal yang hina, yang agama tentu tidak membenarkannya
6.    Tidak bertentangan dengan hal-hal yang masuk akal dalam prinsip-prinsip kepercayaan tentang sifat-sifat Allah dan para rosulNya.
7.    Tidak boleh bertentangan dengan sunnatullah dalam alam dan manusia.
8.    Tidak boleh bertentangan dengan kenyataan-kenyataan sejarah yang diketahui dari zaman nabi saw.
9.    Tidak boleh mengandung janji yang berlebihan dalam pahala untuk perbuatan kecil, atau berlebihan dalam ancaman yang keras untuk perkara sepele.

1






[1] Lihat, Q.S. al-Hasyr, 59: 71.
[2] Lihat, Q.s. al-Ahzab, 22:21
[3] Mediatur mengandung pengertian penengah pihk ketiga sampai pemisah atau juru damai, juru bicara antara pihak-pihak lain. Lihat, Mas’ud Khaasan Abdul Qahar, Kamus Ilmu Pengetahuan Populer( Jakarta: CV. Bintang Pelajar, t,th,),h.150
[4] Arti harfiah mutawatir adalah tatabu’, yakni berurut, sedangkan istilah dalam ilmu hadis ialah berita yang diriwayatkan oleh orang banyak pada setiap tingkat periwayat, mulai dari tingkat sahabat sampai dengan mukharrij, yang menurut ukuran rasio dan kebisaan, mustahil periwayat yang jumlahnya banyak itu bersepakat lebih dahulu untuk berdusta. Sebagian ulaama memasukkan penaksian pancainda sebagai syarat. Sedangkan kata ahad sebagai jamak untuk kata wahid, yang arti hrfiahnya satu. Arti istilah dalam ilmu hadis ialah apa yang diberikan orang-seorang yang tidak mencapai tingkat mutawatir. Lihat, M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,(Cet.I; Jakarta; Bulan Bintang, 1992),h.1. Lihat selanjutnya misalnya, Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu,(Bairut: Dar al-‘Ilm li Mlayin 1977M),hh. 146-147.
[5] Maksud qath’i al-wurud atau qath;i al-tsubut ialah absolut(mutlak) tingkat kebenaran beritanya. Sedangkan dzanni al-tsubut atau zanni al-wurud ialah  nisbi, relatif(tidak mutlak), Lebih lanjut lihat misalnya, Subhi Shalih, op.cit. h.151.
[6]M. Hasbi Ash-Shidieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jilid I, (Cet.VII; Jakarta: Bulan Bintng, 1987), h.42
[7] Ibid,
[8] M. ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits, Pokok-Pokok Ilmu Hadits,(Bairut: Dar al-Fikr t.th.),h.10.
[9] Lihat, M. Hasbi Ash-Shidieqy, op.cit. h.41
[10] Lihat, ibid.,h.44
[11] M.Ajaj al-Khatib, loc.cit.
[12] Abu Husain Muslin bin al-Hajjaj al-Naisabury, Shahih Muslim, juz I,(Mustafa al-Babi al-Halaby,t.th.).h.11
[13] Lihat, M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis,op.cit.,h.25-26
[14] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi,(Cet.I; Jakarta: Renaisan, 2005),h.45
[15] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,(cet. I; Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001),h.364. Lihat pula, M. Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Hadis Nabi, op.cit.,h.126,
[16] Lihat al-Q.S. al-khasar, 59:7.
[17] Lihat, al-Qurthubi, al-Jami’ li ahkam al-Quran, Juz XVII (kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi,1387H/1967M),h.17
[18] Lihat Q.S. al-Ali Imran, 3: 32.
[19] Lihat, al-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz I,(Bairut: Dar al-Fikr, 1393H/1973M),h.333
[20] Lihat misalnya, Q.S. al-Nisa/4: 80, ayat tersebut memandung petunjuk bahwa kepatuhan kepada Rasulullah, merupakan salah satu tolok ukur kepatuhan seseorang kepada Allah. Selanjutnya lihat pula, Q.S. al-Ahzab/33:21, ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Nabi Muhammad adalah teladan hidup bagi orang-orang yng beriman. Bagi mereka yang sempat bertemu langsung dengan Rasulullah, maka cara meneladani Rasulullah dapat mereka lakukan secara langsung, sedangkan bagi mereka yang tidak sezaman dengan Rasulullah, maka cara  meneladani beliau adalah dengan mempelajari, memahami dan mengikuti berbagai petunjuk  yang termuat dalam sunnah atau hadis beliau.
[21] Lihat, Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, op.cit.,h.11
[22][22] Lihat, Ibnu Abdil Barr, Jami’ Bayan al-Ilm wa Fadlih,juz I,(Bairut: Dar al-Fikr, t.th.,).h. 66
[23] Lihat misalnya, Subhi al-Salih, op.cit.,hh.31-32
[24] M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahehn Sanad Hadis(Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah), (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 2005),hh. 92-95
[25] Lihat misalnya, Al-Siba’I,  Al-sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islami,(t.tp; al-Dar al-Qaumiyah, 1966 M),h.76
[26][26] Lihat, M. Syuhudi Ismail, kaidah kesahehan sanad Hadis, op.cit.,h.94
[27] Lihat, Ajjaj al-Khatib, op.cit.,hh. 420-421
[28] Lihat, Ahmad Amin, Dhuha al-Islam , juz I(Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah,),hh.3-4.
[29] M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, op.cit., h.98 dan 100
[30] Lihat, ibid.,hh. 102-103
[31] Ibid. Lihat, subhi shalih, op.cit.,hh. 117-119
[32] Lihat, Ambo Asse, Ilmu Hadis Pengantar Memahami Hadis Nabi(Cet.I; Makassar: Dar al-Hikmah wa al-Ulum, 2010), h.149.
[33] Lihat, Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah qabla al-Tadwin,(Kairo: Maktabah Wahbah, 1383H/1963M),hh. 126-133
[34][34] Ulama misalnya  Nuruddin ‘Itr memberikan syarat hadis shahih ialah; bersambung sanad, yang diriwayatkan oleh periwyat yang ‘adil, dhabit,  dari rawi yang lainnya juga ‘adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadis itu terhindar dari syaz dan terhindar dari  ’illat. Lihat misalnya Nuruddir ‘Itr, Manhaj al-Naqd li ‘Ulum al-Hadis, (Cet. III; Bairut: Dar al-Fikr, 1997), h. 242.

0 komentar:

Posting Komentar