Pendahuluan
Hadis sebagai ucapan, perbuatan, takrir
dan hal-ihwal Nabi Muhammad saw., merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah
al-Quran.[1] Hadis (sunnah) Nabi saw. selanjutnya
berfungsi sebagai uswah (tauladan) bagi setiap muslim.[2]
Memposisikan hadis secara struktural dan fungsional
sebagai sumber ajaran setalah al-Quran, atau sebgai bayaan (penjelas)
terhadap al-Quran merupakan suatu keniscayaan. Nabi Muhammd saw. dalam
kapasitas sebagai Nabi dan Rasul, tidak seperti tukang pos dan bukan pula
sebagai medium al-Quran, tetapi beliau adalah mediator,[3] mufassir awal al-Quran.
Dari aspek periwayatan, hadis Nabi berbeda dengan
al-Quran. Al-Quran, semua periwayatannya berlangsung secara mutwatir,
dan untuk hadis Nabi sebagian periwyatannya berlangsung secara mutwatir,
dan sebagian yang lainnya berlangsung secara ahad.[4] Olehnya al-Quran dilihat dari aspek
periwayatan dapat dikategorikan qat’i al-wurud. Sedangkan untuk
hadis Nabi, sebagiannya saja dikategorikan qat’i al-wurud, adan sebgian
lainnya, bahkan yang terbanyak berkedudukan sebagai dzanni al-wurud.[5] Dengan demikian dilihat dari segi periwayatannya,
seluruh ayat al-Quran tidak perlu lagi dilakukan penelitin untuk membuktikan
orosinalitasnya. Adapun hadis Nabi, dalam hal ini berkategori ahad,
harus diteliti. Dengan penelitian itu akan diketahui, apakah hadis tersebut
dapat dipertanggungjawabkan periwaytannya berasal dari Nabi atau tidak.
Dalam kenyataannya, kitab-kitab hadis yang beredar di
tengah masyarakat, dan diperpegangi oleh umat Islam juga dijadikan
sebagai sumber ajaran setelah al-Quran , kenyataannya kitab-kitab
tersebut disusun oleh penyusunnya itu setelah lama Nabi saw. wafat.
Jarak antara wafatnya Nabi saw. dan penulisan kitab-kitab
hadis tersebut, kemungkinan terjadi kesalahan dalam periwayatan
sehingga menyebabkan riwayat hadis tersebut menyalahi apa yang sebenarnya
berasal dari nabi.
Dengan demikian untuk mengetahui apakah riwayat
berbagai hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis tersebut dapat
dijadikan sebgai hujjah atau tidak, lebih dahulu harus diadakan
penelitian. Kegiatan penelitian , tidak hanya ditujukan kepada apa yang
menjadi materi berita dalam hadis itu saja (matan), tetapi juga kepada
berbagai hal yang berhubungan dengan periwayatan (sanad). Jadi, untuk
membuktikan suatu hadis dapat dipertanggungjawabkan keorisinilannya, bahwa
hadis tersebut benar berasal dari Nabi saw., diperlukan penelitian matan
dan sanad hadis lebih seksama.
Dalam ilmu sejarah, penelitian matan(naqdu
al-matan) dikenal dengan istilah kritik interen, atau al-naqdu
al-dakhili. Adapun untuk penelitian sanad, atau naqdu
al-sanad, disebut dengan kritik eksteren, atau naqdu
al-khariji.
Ulama ahli hadis telah menyusun berbagai kaidah yang
berhubungan dengan penelitian matan dan sanad hadis, mereka
menggunakan sejumlah kaidah, di antaranya pendekatan sejarah. Peneliian
sejarah, banyak persamaan disamping sejumlah perbedaan, antara kaidah yang
berlaku dalam ilmu hadis dan ilmu sejarah. Untuk menghasilakan penelitian
yang lebih akurat, kedua ilmu dimaksud dapat dipadukan, karena keduanya
ternyata memberikan sumbangsih yang besar dan saling bermanfaat.
Selanjutnya, adakalanya setelah hadis diteliti sanad
dan matan-nya, dan diketahui bahwa hadis tersebut berstatus maqbul,
ternyata hadis tersebut bertentangan dengan hadis yang lain dengan status maqbul
juga, atau dalil lainnya yang shah. Dalam keadaan seperti ini, kegiatan
penelitian tersebut masih terus dilaksanakan, bahwa yang diteliti
bukan status maqbul atau tidak maqbul-nya hadis itu,
melainkan hadis itu digolongkan dapat diamalkan atau tidak.
Untuk kepentingan penelitian hadis, ulama ahli kritik
hadis telah menyusun berbagai kaidah dan cabang pengetahuan hadis, yang
disebut dengan ulum al-Hadis. Untuk selanjutnya,
metodologi penelitian sanad dan matan hadis
dapat dilengkapi dengan kaidah dan juga cabang pengetahuan yang
berhubungan dengan hadis, sehingga disiplin ilmu hadis tidak dapat dikatakan
sebagai ilmu yang berdiri sendiri, tetapi terintegrasi dengan ilmu-ilmu yang
lainnya.
Masalah yang dapat dirumuskan dalam tulisan ini
adalah; Bagaimana urgensi penelitian sanad dan matan
hadis sebagai unsur penting untuk menentukan kualitas suatu hadis?
Pengertian sanad dan matan
Kata sanad menurut bahasa ialah sesuatu yang
kita bersandar kepadanya, baik itu berupa tembok dan yang lainnya.[6] Olehnya, surat utang juga dinamai sanad,
karena kedua pihak bersandar kepadanya. Kata sanad juga dapat diartikan
dengan punggung atau puncak bukit.[7]
Dalam istilah ahli hadis, sanad ialah” jalan yang
menyampaikan kita kepada matan hadis”. Ulama yang lain misalnya,
al-Syayuthi mengatakan bahwa sanad ialah, menerangkan tentang
jalan yang manyampaikan kita kepada matan hadis, ia menyamakan dengan isnad
menurut sebagian ulama hadis. Sanad, kadang diartikan thariq(jalan)
dan juga wajh,[8] digunakan dalam maksud yang sama. Sanad
memegang peranan penting dalam menentukan keabsahan suatu hadis,
sampai-samapai ia dipandang setengah dari agama.
Kata matan menurut bahasa ialah tengah
jalan, punggung bumi, atau bumi yang keras dan tinggi. Misalnya, kalimat
“matan kitab”, yang dimaksud adalah materi pokok, bukan merupakan syarah,
hasiyah ataupun ta’liq.[9]
Menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh al-Thibi
bahwa matan ialah, lafal-lafal hadis yang dengan lafal itulah
terbentuk makna. Al-Syayuthi dan Ibnu Jamaah berpendapat bahwa matan
ialah, sesuatu yang kepadanya berakhir sanad dari berbagai
macam perkataan, kemudian dihubungkan dengan hadis.[10]
Ajaj al-Khatib mengemukakan bahwa matan adalah redaksi
hadis yang menjadi unsur pendukung pengertian atau maksud hadis, hal itu
didasarkan bahwa matan itulah yang tampak pada hadis dan menjadi materi hadis
itu[11].
Dari pengertian sanad dan matan
hadis sebagaimana dikemukakan di atas, dapat difahami bahwa demikian urgennya
keberadaan sanad juga matan dalam sebuah hadis.
Olehnya tidak dapat disebut hadis jika unsur sanad maupun matan
tidak dijamin keabsahannya.
Urgensi penelitian sanad dan matan hadis
Penelitian hadis sebgai salah satu disiplin ilmu yang
mengkaji hadis Nabi saw., dilakukannya sebagai usaha panelusuran hadis dengan
bersifat kritis dalam memeriksa dan menyelaksi hadis-hadis Nabi
saw. Dan selanjutnya dapat membebaskanya dari kecacatan.
Kekhawatiran itu dapat terbukti, karena adanya pemalsuan hadis. Di lain sisi
adanya pendapat sahabat dan tabiin yang oleh sebagian ulama menilainya sebagai
hadis, dengan menamainya hadis mauquf dan maqthu, sedangkan
yang lainnya menolak. Mereka beralasan bahwa yang dimaksud dengan hadis
adalah bersumber dari Nabi saw. dan dapat dijadikan sebagai sumber ajaran
Islam, sebagai hujjah dan sebagai obyek kajian.
Dengan demikian penelitian hadis harus diarahkan kapada
dua obyek penelitian, yakni penelitian sanad dan matan. Tujuan
pokok penelitian hadis, baik penelitian sanad maupun matan adalah
untuk mengetahui kualitas hadis dimaksud, hingga dipastikan status hadis itu
shahih (maqbul) atau dhaif (mardud).
Selanjutnya Posisi sanad untuk suatu hadis
demikian urgen, hingga suatu berita sudah dinyatakan sebagai hadis Nabi,
namun tidak memiliki sanad, maka ulama hadis tidak dapat menerimanya.
Abdullah ibnu Mubarak (w.181 H/797M) mengatakan bahwa: “Sanad
hadis merupakan bagian dari agama. Sekirannya sanad hadis tidak ada,
niscya siapa saja akan bebas mengatakan apa yang dia kehendaki”.[12]
Imam Nawawi dalam mengomentari pernyataan al-Mubarak di
atas, menjelaskan bahwa bila sanad suatu hadis berkualitas shahih, maka
hadis dimaksud berposisi maqbul dan bila sanad-nya tidak dapat
diterima, maka posisinya mardud.[13]
Keadaan dan kualitas sanad harus pertama
diperhatikan dan dikaji oleh ulama hadis dalam melakukan penelitiannya. Apabila
sanad hadis itu tidak mencapai kriteria sebagaimana ditentukan
misalnya, tidak adil, maka hadis tersebut langsung ditolak, dan tidak lagi
dilanjutkan penalitiannya. Dan jika sanad hadis tersebut
berkategori shahih, maka selanjutnya hadis dimaksud akan diperiksa
kualitas matan-nya.
Untuk penelitian matan, pada dasarnya dapat
dilakukan dengan pendekatan simantik dan dari segi kandungannya.
Sekalipun demikian pendekatan simantik tidak gampang dilakukan,
karena hadis yang sampai kepada mukharrij telah melalui periwayat
yang berbeda generasi, latar belakang budaya dan kecerdasan.[14] Hal tersebut dapat merobah penggunaan dan
pemahaman suatu istilah. Sekali pun demikian, pendekatan bahasa sangat
diperlukan karena bahasa yang dipakai Nabi saw. dalam menyampaikan
hadisnya selalu dalam susunan yang baik dan benar. Selain itu pendekatan
bahasa sangat membantu dalam memahami kandungan petunjuk dari hadis
dimaksud. Sealanjutnya penelitian matan hadis memerlukan pendekatan
rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam.[15]
Olehnya itu, penelitian terhadap hadis Nabi saw. menjadi
penting dilakukan oleh para ilmuan, dan menjadikan hadis atau ilmu hadis
sebagai bidang studi keahliannya. Hal ini berdasar pada beberapa faktor:
1. Hadis Nabi saw. Sebagai sumber
ajaran dan atau sumber hukum Islam sesudah al-Quran.
Cukup banyak ayat al-Quran yang memerintahkan orang
beriman untuk patuh dan taat dan selanjutnya mengikuti petunjuk Nabi Muhammad
saw. sebagai utusan Allah swt. Anjuran dimaksud tercantum Al-Quran surat
al-Khasyr/59: 7 yang terjemahnya sebagai berkut:
…” Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka hendaklah
kamu menerimanya,
dan apa yang dilarang bagimu, maka hendaklah kamu tinggalkan(apa yang
dilarangnya itu”.[16]
Ulama misalnya al-Qurthubi, berpendapat bahwa ayat
tersebut memberi petunjuk secara umum, bahwa semua perintah dan larangan
yang datang dari Rasul, wajib dipatuhi oleh setiap mukmin.[17] Olehnya, kewajiban patuh kepada Rasul adalah
konsekuensi logis dari keimanan seseorang.
Al-Quran, surat Ali Imran/3:32menyebutkan:
“Katakanlah; Taatlah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu
berpaling maka sesungguhnya Allah tiadak menyukai orang-orang kafir.”[18]
Menurut penjelasan ulma, bahwa ayat tersebut memberi
petunjuk bahwa bentuk ketaatan kepada Allah swt. adalah dengn mematuhi petunjuk
al-Quran, sedangkan bentuk ketaatan kepada Nabi saw. adalah mengikuti sunnah-nya
atau hadis[19] Selanjutnya ayat al-Quran yang
menjelaskan tentang taat kepada Nabi saw.[20]
Dengan petunjuk ayat-ayat di atas, maka jelaslah bahwa
hadis atau sunnah Nabi Muhammad saw. merupakan sumber ajaran agama Islam,
di samping al-Quran. Orang yang menolak hadis sebagai salah satu sumber
ajaran Islam, berarti orang itu menolak petunjuk al-Quran.
Sebagai alasan bahwa hadis Nabi saw. perlu diteliti
kembali, maka dapat dikemukakan sejumlah alasan sebagai berikut;
2. Hadis Nabi saw. tidak seluruhnya
tertulis pada waktu Nabi masih hidup.
Nabi pernah melarang sahabat untuk menulis hadis
beliau, tapi di saat yang berbeda, beliau pernah mnyuruh sahabat untuk menulis
hadis beliau[21]
Kebijakan Nabi tersebut, menimbulkan perbedan pendapat
dikalangan ulama, bahkan dikalangan sahabat Nabi sendiri, tentang boleh
tidaknya menulis hadis Nabi.[22] Di masa Nabi, ada terjadi penulisan hadis misalnya
surat-surat Nabi yang beliau kirim kepada sejumlah pembesar untuk memeluk
Islam. Di antara sahabat yang menulis hadis Nabi tersebut, misalnyan Abdullah
bin Amar bin ‘Ash, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Thalib, Sumrah bin Jundab,
Jabir bin Abdullah dan Abdullah bin Abi Aufa’[23] Sekalipun demikian tidak semua
hadis terhimpun ketika itu, hal itu sangat beralasan karena sahabat yang
membuat catatan itu adalah inisiatif sendiri. Di sisi lain mereka
kesulitan untuk mencatat setiap peristiwa dari Nabi saw., apalagi kejadiannya
hanya terjadi di hadapan satu atau dua orang saja.
3. Telah terjadi upaya pemalsuan
terhadap hadis Nabi saw.
Masih sulit dibuktikan, bahwa di zaman Nabi saw. sudah
terjadi pemalsuan hadis.[24] Kegiaatan pemalsuan hadis mulai muncul dan
berkembang di masa khalifah Ali bin Abi Thalib(memerintah 35-40 H). Demikian
pendapat ulama hadis pada umumnya.
Awalnya faktor yang mendorong seseorang melakukan
pemalsuan hadis karena kepantingan politik. Ketika itu terjadi pertentangan
politik antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Masing-masing
pendukung berusaha untuk memenangkan perjuangannya. Salah satu upaya yang
dilakukan oleh sebagian dari mereka adalah membut hadis-hadis palsu.[25]
Menurut sejarah, pertentangan politik tersebut telah pula
mengakibatkan timbulnya pertentangan di bidang teologi. Sebagian pendukung
aliran teologi yang timbul pada saat itu telah membuat berbagai hadis palsu
untuk memperkuat argumantasi aliran yang mereka yakini benar.[26]
Selain itu upaya dari musuh-musuh Islam yang berusaha
untuk menghancurkan Islam dari dalam, mereka membuat hadis palsu dalam rangka
memerangi Islam.[27] Demikian pula karena kepentingan ekonomi,
keinginan menyenangkan hati pejabat (menjilat kepada pejabat), dan ada juga
sebagian muballig berpendapat bahwa, untuk kepentingan dakwa dapat saja
membuat hadis palsu.[28]
Dengan telah terjadinya pemalsuan hadis tersebut, maka
kegiatan penelitian hadis menjadi sangat penting . Tanpa dilakukan penelitian
hadis, maka hadis Nab saw. akan bercampur aduk dengan yang bukan hadis Nabi
saw. dan akhirnya ajaran Islam akan dipenuhi dengan berbagai hal yang akan
menyesatkan umat.
4. Proses penghimpunan dan
periwayatan hadis Nabi saw. Telah memakan waktu yang sangat panjang.
Dalam sejarah, penghimpunn hadis secara resmi dan masal
terjadi atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz (W.101 H/750 M).[29] Dikatakan resmi karena kegiatan penghimpunan itu
merupakan kebijakan dari kepala negara; dan dikatakan masal karena perintah
kepala negara itu ditujukan kepada para gubernur dan ulama ahli hadis pada
zaman itu.
Pada sekitar pertengahan abad ke 2 hijriyah, telah muncul
karya-karya himpunan hadis diberbagai kota besar; misalnya di Makkah, Madinah,
dan Bashrah. Puncak penghimpinan hadis Nabi terjadi sekitar pertenghan abad ke
3 hijriyah.[30]
Dengan demikian, jarak waktu antara masa penhimpunan
hadis dan wafatnya Nabi saw. cukup lama. Hal itu membawa akibat bahwa berbagai
hadis yang dihimpun dalam berbagai kitab menuntut penelitian yang
seksama untuk menghindarkan dari penggunaan dalil hadis yang tidak dapat
dipertanggunjawabkan validitasnya.
5. Kitab-kitab hadis yang telah banyak
beredar ternyata menggunakan metode dan pendekatan penyusunan yng bervariasi.
Sebagai mana diketahui bahwa jumlah kitab hadis yang
telah disusun oleh ulama periwayat hadis cukup banyak. Jumlah tersebut sangat
sulit dipastikan angkanya sebab mukharrijul hadis(ulama yang
meriwayatkan hadis dan sekaligus mengadakan penghimpunan hadis) tidak terhitung
jumlahnya. Apalagi, sebagian dari penghimpun hadis itu ada yang menghasilkan
karya himpunan hadis lebih dari satu kitab.
Metode penyusuanan kitab-kitab himpunan hadis tersebut
ternyata tidak seragam. Hal itu memeng logis, seabab yang lebih ditekankan
dalam penulisan itu bukanlah metode penyusunannya, melainkan penghimpunan
hadisnya.
Masing-masing mukharrij memiliki metode
sendiri-sendiri, baik dalam penyusunan, sistemtikanya dan topik yang
dikemukakan oleh hadis yang dihimpunnya, maupun kriteria kualitas hadisnya
masing-masing. Karenanya tidaklah mengherankan, bila pada masa sesudah kegiatan
penghimpuanan itu, ulama menilai dan membuat krieteria tentang peringkat
kualitas kitab-kitab himpunan hadis tersebut, misalnya al-Kutubul khamsah(lima
kitab hadis yang standar), al-Kutubus sittah(enam kitab hadis yang
stanadar), dan al-Kutubus sab’ah (tujuh kitab hadis yang stanadar).[31]
6. Periwayatan hadis lebih banyak
berlangsung secara makna dari pada secara lafal.[32]
Mayoritas sahabat Nabi membolehkan
periwayatan hadis secara makna. Mereka misalnya, Ali bin Abi
Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik,
Abu Darda, Abu Hurairah dan ‘Aisyah istri Rasulullah. Adapun
yang menolak periwayatan hadis secara makna, misalnya, Umar bin Khattab,
Abdullah bin Umar bin Khattab dan Zaid bin Arqam.[33]
Perbedaan pandangn tentang periwayatan hadis secara makna
itu terjadi juga di kalangan ulama sesudah zaman sahabat. Ulama yang
membolehkan periwayatan secara makna menekankan pentingnya pemenuhan
syarat-syarat yang cukup ketat, misalnya proses periwayatan, yang bersangkutan
harus mendalam pengetahuannya tentang bahasa arab, hadis yang diriwayatkan
bukanlah bacaan yang bersifat ta’abbudi, umpamanya bacaan shalat,
dan periwayatan secara makna dilakukan karena sangat terpaksa.
Dengan demikian, periwayatan hadis secara makna tidaklah berlangsung
secara longgar, tetapi cukup ketat.
Selain itu ada sebagian kecil umat Islam yang menolak
hadis Nabi saw. Sebagai sumber ajaran dan hujjah, kelompok ini kemudian
disebut sebagai inkar al-sunnah (menolak sunah), mereka dengan beberapa
argumentasi misalnya; 1) al-Quran sudah sangat lengkap dan sempurna sebagaimana
Allah jelaskan dalam Q.S. al-Nahl :16; 89, 2) Hadis tidak ada perintah
untuk diikuti, andaikan ada perintah untuk itu, tentunya Nabi saw. Sejak awal
sudah menyuruh para sahabat untuk menulis seluruh hadis, ternyata tidak
demikian.
Olehnya itu, faktor-faktor tersebut menjadi pendorong
terhadap usaha penelitian hadis Nabi saw. Menjadi sangat penting dilakukan
untuk memelihara dan mengantisipasi berbagai ancaman dari virus yang dapat
menyerang dan atau menjangkitinya. Sehingga menyebabkan hadis tersebut menjadi
cacat dan akhirnya kualitasnya menjadi dhaif(lemah), maudhu
(palsu), dan selanjutnya menjadi tertolak dan tidak dapat dijadikan sebagai
hujjah. Sebab, kualitas hadis yang dapat dijadikan sebagi hujjah
atau dalil hukum, adalah hadis yang harus berkualitas shahih.
Untuk mengetahui, memahmi, dan meyakini sebuah
hadis sebagai hadis Nabi saw., atau hadis yang dinilai berkualitas shahih
atau tidak, diterima atau ditolak sebagai dalil agama, perlu dilakukan
penelitian secara kritis terhadap sanad dan matan-nya.
Kajian hadis dalam bentuk ini dikenal dengan sebutan naqdu al-sanad dan naqdu
al-matan (kritik sanad dan matan), yakni melakukan
penelitian dengan langkah-langkah yang bersifat kritis terhadap sanad
dan matan hadis, dengan pendekatan yag bersifat multi disiplir atau
inter disipliner dan antar disipliner.
Ke-hujjah-an sebuah hadis ditentukan oleh tingkat
kualitasnya, yakni terpenuhinya kriteria kesahihan hadis sepeti yang telah
disepakati oleh para ulama[34]. Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam,
maka petunjuk dan tuntuanan praktisnya wajib diikuti, seperti petunjuk tentang
pelaksanaan shalat, ibadah haji, puasa dan lain-lain.
Selain penelitian dilakukan dalam studi hadis juga
dilakukan proses pembelajaran disemua lapisan masyarakat muslim, hal demikian
dimaksudkan, selain untuk mengetahui kualitas ke-hujjah-an hadis
itu, juga sebagai pembelajaran kepada umat Islam terhadap pentingnya
mempelajari dan memahami hadis Nabi saw.
Kajian terhdap hadis Nabi saw. Dilakukan sebagai langkah
dan upaya strategis untuk mengetahui dan mamahami hadis-hadis Nabi saw.,
baik dalam kehidupannya sebagai salah satu sumber ajaran Islam, maupun dalam
statusnya sebagai dalil atau hujjh. Hadis Nabi saw., selain sebagai
sumber ajaran juga menjadi obyek kajian dalam studi Islam yang dapat melahirkan
banyak ilmuan dalam berbagai bidang keilmuan Islam yang bersumber dari ajaran
al-Quran dan hadis Nabi saw., terutama sebagai pembentuk cara pandang
yang dapat mencerahkan kehidupan umat agar terhindar dari perpecahan.
Kajian yang dilakukan terhadap hadis Nabi saw., juga
untuk mengetahui tingkat kualitas hadis dimaksud (shahih, hasan, atau Dha’if),
ketika hadis itu berkualitas shahih, maka hadis tersebut dapat dijadikan
hujjah atau dalil agama, yakni menjadi alasan terhadap sebuah pandangan
atau dalil mengenai sebuah amalan. Tapi sebaliknya, jika hadis itu dha’if,
maka tidak ada tempat bagi umat untuk mengamalkannya. Meskipun di antara ulama
ada yang sangat tasyahhud dalam menggunakan hadis-hadis sebagai hujjah,
mereka bependapat bahwa hadis dha’if dapat diamalkan dalam hal fadhail
al-amal (keutamaan amal).
Selain itu, kajian hadis Nabi saw. Dimaksudkan agar dapat
melahirkan pandangan yang menjadi pegangan sebagai hasil ijtihad yang
mencerahkan umat terhadap masalah-masalah yang diperselisihkan, agar menjadi
jelas dan dapat diamalkan dengan baik tanpa perbedaan yang berarti. Demikian
pula agar umat terhindar dari perbedaan pandangan yang membingungkan
dalam mengamalkannya.
Untuk mengetahui dan memahami tingkat kualitas hadisNabi
saw. tersebut, ulama dan cendikiawan berusaha melakukan penelitian
kritis yang bersifat ilmiah sebagai langkah untuk menentukan kualitas sanad
maupun matan hadis yang dapat atau tidak dijadikan sebgai hujjah.
Metode Penelitian Hadis
Dalam penelitian hadis (naqd
al-hadits) klasik, model penelitian diarahkan kepada dua segi: sanad
dan matan. Dalam penelitian sanad, model yang ditempuh adalah dengan
melakukan langkah-langkah berikut ini:
- Melakukan At-Takhrij
Takhrij adalah menunjukkan
atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni berbagai
kitab yang di dalamnya dikemukakan hadis tersebut secara lengkap dengan
sanadnya masing-masing, kemudian untuk kepentingan kritik sanad, dijelaskan
kwalitas sanad dan para periwayatdari hadis yang bersangkutan.
- Melakukan al-I’tibar
Al-I’tibar berarti
menyertakan sanad-sanad untuk hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian
sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan
sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang
lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis dimaksud.
Dengan melakukan i’tibar,
diharapkan dapat terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad yang diteliti,
demikian juga nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan
oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Jadi, kegunaan al-I’tibar adalah
untuk mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidaknya
pendukung (corroboration) berupa periwayatan yang berstatus muttabi’
atau syahid.
- Mengkritisi pribadi periwayat serta metode periwayatannya
Ulama’ hadis sependapat bahwa ada
dua hal yang harus dikritisi pada diri pribadi periwayat hadis untuk diketahui
apakah riwayat hadis yang dikemukakannya dapat diterima sebagai hujjah
ataukah harus ditolak. Kedua hal itu adalah ke’adilan dan kedhabitannya.
Ke’adilan berhubungan dengan kwalitas pribadi, sedangkan kedhabitannya
berhubungan dengan kapasitas intelektualnya. Jika kedua hal itu dimiliki oleh
periwayat hadis, maka periwayat tersebut dinyatakan bersifat tsiqah.
Terkait dengan pelacakan terhadap
kebersambungan sanad, hubungan kwalitas periwayat dan metode periwayatan sangat
menentukan. Periwayat yang tidak tsiqah yang menyatakan telah menerima
riwayat dengan metode sami’na, misalnya, meski metode itu diakui ulama’
hadis memiliki tingkat akurasi yang tinggi, tetapi karena yang menyatakan
lambang itu adalah orang yang tidak tsiqoh, maka informasi yang
dikemukakannya itu tetap tidak dapat dipercaya. Sebaliknya, apabila yang
menyatakan sami’na adalah orang yang tsiqoh, maka informasinya
dapat dipercaya.
Selain itu, ada periwayat yang
dinilai tsiqoh oleh ulama’ ahli kritik hadis, namun dengan syarat bila
dia menggunakan lambang periwayatan haddatsani atau sami’tu,
sanadnya bersambung. Tetapi, bila menggunakan selain dua lambang tersebut,
sanadnya terdapat tadlis (penyembunyian cacat).
- Meneliti syudzudz dan ‘illat
Salah satu langkah kritik sanad
yang sangat penting untuk meneliti kemungkinan adanya syudzudz dalam
sanad adalah dengan melakukan studi komparatif terhadap seluruh sanad yang ada
untuk satu matan yang sama.
Sedangkan cara mengkritisi
kemungkinan terjadinya ‘illat yaitu dengan membanding-bandingkan semua
sanad yang ada untuk matan yang isinya semakna.
Hadis yang mengandung syudzudz
(ke-syadz-an), oleh ulama’ disebut sebagai hadis syadz, sedangkan
lawan dari hadis syadz disebut hadis mahfuzh.
- Menyimpulkan hasil studi kritik sanad
Dalam menyampaikan kesimpulan (natijah)
harus disertakan pula argumen-argumen yang jelas. Argumen-argumen ini dapat
disampaikan sebelum ataupun sesudah rumusan natijah dikemukakan.
Isi natijah untuk hadis
yang dilihat dari segi jumlah periwatnya mungkin berupa pernyataan bahwa hadis
yang bersangkutan berstatus mutawatir dan jika tidak demikian, maka
hadis tersebut berstatus ahad.
Untuk hasil penelitian hadis ahad,
maka natijahnya mungkin berisi pernyataan bahwa hadis yang bersangkutan
berkwlitas shahih atau hasan atau dha’if sesuai dengan apa
yang diteliti. Jika diperlukan, pernyataan kwalitas tersebut disertai dengan
macamnya, misalnya dengan mengemukakan bahwa hadis yang dikritisi berkwalitas shahih
li ghayrihi atau hasan li ghayrihi.
Adapun metode kritik matan,
menurut al-A’zhami, banyak terfokus pada metode mu’aradhah. Versi
lain menyebutnya metode muqaranah (perbandingan) atau metode muqabalah.
Metode mu’aradhah yang dimaksud adalah
pencocokan konsep yang menjadi muatan pokok setiap matan hadis, agar tetap
terpelihara kebertautan dan keselarasan antar konsep dengan hadis (sunnah) lain
dengan dalil syariat lain. Langkah pencocokan itu dilakukan dengan petunjuk
eksplisit, yaitu dengan cara:
1.
Mengkomparasikan hadis dengan al-Qur’an.
2.
Membandingkan antar hadis atau antara hadis
dengan sirah nabawiyah.
3.
Mengkonfirmasikan riwayat hadis dengan realita
dan sejarah.
4.
Mengkomparasikan hadis dengan rasio.
5.
Membandingkan hadis-hadis dari berbagai murid
seorang ulama’.
6.
Membandingkan pernyataan seorang ulama’ setelah
berselang suatu waktu.
- Perbandingan dokumen tertulis dengan hadis yang disampaikan dari ingatan.
Mengenai hal kritik
matan, Al-Siba’i mengungkapkan bahwa:
1. Matan tidak boleh mengandung kata-kata yang aneh, yang tidak pernah diucapkan oleh seorang ahli retorika atau penutur bahasa yang baik.
2. Tidak boleh bertentangan dengan pengertian-pengertian rasional yang aksiomatik, yang sekiranya tidak mungkin ditakwilkan.
3. Tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum dalam hukum dan akhlak.
4. Tidak boleh bertentangan dengan indra dan kenyataan.
5. Tidak mengandung hal-hal yang hina, yang agama tentu tidak membenarkannya
6. Tidak bertentangan dengan hal-hal yang masuk akal dalam prinsip-prinsip kepercayaan tentang sifat-sifat Allah dan para rosulNya.
7. Tidak boleh bertentangan dengan sunnatullah dalam alam dan manusia.
8. Tidak boleh bertentangan dengan kenyataan-kenyataan sejarah yang diketahui dari zaman nabi saw.
9. Tidak boleh mengandung janji yang berlebihan dalam pahala untuk perbuatan kecil, atau berlebihan dalam ancaman yang keras untuk perkara sepele.
2. Tidak boleh bertentangan dengan pengertian-pengertian rasional yang aksiomatik, yang sekiranya tidak mungkin ditakwilkan.
3. Tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum dalam hukum dan akhlak.
4. Tidak boleh bertentangan dengan indra dan kenyataan.
5. Tidak mengandung hal-hal yang hina, yang agama tentu tidak membenarkannya
6. Tidak bertentangan dengan hal-hal yang masuk akal dalam prinsip-prinsip kepercayaan tentang sifat-sifat Allah dan para rosulNya.
7. Tidak boleh bertentangan dengan sunnatullah dalam alam dan manusia.
8. Tidak boleh bertentangan dengan kenyataan-kenyataan sejarah yang diketahui dari zaman nabi saw.
9. Tidak boleh mengandung janji yang berlebihan dalam pahala untuk perbuatan kecil, atau berlebihan dalam ancaman yang keras untuk perkara sepele.
1
[1] Lihat, Q.S. al-Hasyr, 59: 71.
[2] Lihat, Q.s. al-Ahzab, 22:21
[3] Mediatur mengandung pengertian penengah pihk ketiga
sampai pemisah atau juru damai, juru bicara antara pihak-pihak lain. Lihat,
Mas’ud Khaasan Abdul Qahar, Kamus Ilmu Pengetahuan Populer( Jakarta: CV.
Bintang Pelajar, t,th,),h.150
[4] Arti harfiah mutawatir adalah tatabu’, yakni berurut,
sedangkan istilah dalam ilmu hadis ialah berita yang diriwayatkan oleh orang
banyak pada setiap tingkat periwayat, mulai dari tingkat sahabat sampai dengan
mukharrij, yang menurut ukuran rasio dan kebisaan, mustahil periwayat yang
jumlahnya banyak itu bersepakat lebih dahulu untuk berdusta. Sebagian ulaama
memasukkan penaksian pancainda sebagai syarat. Sedangkan kata ahad sebagai
jamak untuk kata wahid, yang arti hrfiahnya satu. Arti istilah dalam ilmu hadis
ialah apa yang diberikan orang-seorang yang tidak mencapai tingkat mutawatir.
Lihat, M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,(Cet.I;
Jakarta; Bulan Bintang, 1992),h.1. Lihat selanjutnya misalnya, Subhi al-Shalih,
Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu,(Bairut: Dar al-‘Ilm li Mlayin
1977M),hh. 146-147.
[5] Maksud qath’i al-wurud atau qath;i al-tsubut ialah
absolut(mutlak) tingkat kebenaran beritanya. Sedangkan dzanni al-tsubut atau
zanni al-wurud ialah nisbi, relatif(tidak mutlak), Lebih lanjut lihat
misalnya, Subhi Shalih, op.cit. h.151.
[6]M. Hasbi Ash-Shidieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah
Hadits, Jilid I, (Cet.VII; Jakarta: Bulan Bintng, 1987), h.42
[8] M. ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits, Pokok-Pokok Ilmu
Hadits,(Bairut: Dar al-Fikr t.th.),h.10.
[9] Lihat, M. Hasbi Ash-Shidieqy, op.cit. h.41
[10] Lihat, ibid.,h.44
[11] M.Ajaj al-Khatib, loc.cit.
[12] Abu Husain Muslin bin al-Hajjaj al-Naisabury, Shahih
Muslim, juz I,(Mustafa al-Babi al-Halaby,t.th.).h.11
[13] Lihat, M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian
Hadis,op.cit.,h.25-26
[14] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis
Nabi,(Cet.I; Jakarta: Renaisan, 2005),h.45
[15] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,(cet. I;
Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001),h.364. Lihat pula, M. Syuhudi Ismail, Metode
Penelitian Hadis Nabi, op.cit.,h.126,
[16] Lihat al-Q.S. al-khasar, 59:7.
[17] Lihat, al-Qurthubi, al-Jami’ li ahkam al-Quran,
Juz XVII (kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi,1387H/1967M),h.17
[18] Lihat Q.S. al-Ali Imran, 3: 32.
[19] Lihat, al-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz
I,(Bairut: Dar al-Fikr, 1393H/1973M),h.333
[20] Lihat misalnya, Q.S. al-Nisa/4: 80, ayat tersebut
memandung petunjuk bahwa kepatuhan kepada Rasulullah, merupakan salah satu
tolok ukur kepatuhan seseorang kepada Allah. Selanjutnya lihat pula, Q.S.
al-Ahzab/33:21, ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Nabi Muhammad adalah
teladan hidup bagi orang-orang yng beriman. Bagi mereka yang sempat bertemu
langsung dengan Rasulullah, maka cara meneladani Rasulullah dapat mereka
lakukan secara langsung, sedangkan bagi mereka yang tidak sezaman dengan
Rasulullah, maka cara meneladani beliau adalah dengan mempelajari,
memahami dan mengikuti berbagai petunjuk yang termuat dalam sunnah atau
hadis beliau.
[21] Lihat, Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian
Hadis Nabi, op.cit.,h.11
[22][22] Lihat, Ibnu Abdil Barr, Jami’ Bayan al-Ilm
wa Fadlih,juz I,(Bairut: Dar al-Fikr, t.th.,).h. 66
[23] Lihat misalnya, Subhi al-Salih, op.cit.,hh.31-32
[24] M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahehn Sanad Hadis(Telaah
Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah), (Cet. III; Jakarta:
Bulan Bintang, 2005),hh. 92-95
[25] Lihat misalnya, Al-Siba’I, Al-sunnah wa
Makanatuha fi al-Tasyri al-Islami,(t.tp; al-Dar al-Qaumiyah, 1966
M),h.76
[26][26] Lihat, M. Syuhudi Ismail, kaidah kesahehan
sanad Hadis, op.cit.,h.94
[27] Lihat, Ajjaj al-Khatib, op.cit.,hh. 420-421
[28] Lihat, Ahmad Amin, Dhuha al-Islam , juz
I(Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah,),hh.3-4.
[29] M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis,
op.cit., h.98 dan 100
[30] Lihat, ibid.,hh. 102-103
[31] Ibid. Lihat, subhi shalih, op.cit.,hh.
117-119
[32] Lihat, Ambo Asse, Ilmu Hadis Pengantar Memahami
Hadis Nabi(Cet.I; Makassar: Dar al-Hikmah wa al-Ulum, 2010), h.149.
[33] Lihat, Muhammad Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah
qabla al-Tadwin,(Kairo: Maktabah Wahbah, 1383H/1963M),hh. 126-133
[34][34] Ulama misalnya Nuruddin ‘Itr memberikan
syarat hadis shahih ialah; bersambung sanad, yang diriwayatkan oleh
periwyat yang ‘adil, dhabit, dari rawi yang lainnya juga ‘adil
dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadis itu terhindar dari syaz
dan terhindar dari ’illat. Lihat misalnya Nuruddir ‘Itr, Manhaj
al-Naqd li ‘Ulum al-Hadis, (Cet. III; Bairut: Dar al-Fikr, 1997), h. 242.
0 komentar:
Posting Komentar