Selasa, 05 Maret 2013

Mengenal Lebih Dekat HA. Muhtadi Ridwan

Masa kecil hidup di kampung, 14 km dari kota Lamongan; tepatnya di desa Glagah, kecamatan Glagah kabupaten Lamongan, sebagai anak  yang kesepuluh dari sebelas bersaudara dari pasangan ayahanda tercinta H. M. Ridwan Soleh (alm., Allahummaghfir lahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu) dan ibunda tersayang Hj. Masning Yunus (almh., Allahummaghfir laha warhamha wa’afihi wa’fu ‘anha).

Ketika kecil, yaitu sampai dengan lulus SD & Madrasah masih berkumpul dengan mereka. Ketika itu banyak sekali sumber inspirasi dan tauladan yang dapat saya serap dari beliau berdua.
Ibunda di hati saya adalah sosok yang sangat lugu, kontras dengan posisi ayahanda yang kepala desa (1948-1983). Beliau tidak akan keluar rumah tanpa memakai kerudung. Beliau juga tidak akan pernah pergi kecuali untuk tujuan silaturrahim (tandang sanak famili) dan nyekar (ziarah kubur) ke makam para tokoh (salah satu yang saya ingat adalah ke makam Nyai Ageng Penatih (Saudagar kaya yang merawat Sunan Giri), itupun beliau lakoninya dengan berjalan kaki. Ketika itu, saya sering menyertai beliau. Beliau juga tidak pernah pergi ke pasar, walaupun jarak rumah dan pasar hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki selama kurang lebih 5 menit saja. Menariknya, beliau tidak pernah minta apa-apa kepada ayahanda, termasuk kebutuhan belanja sehari-hari. Beliau juga sosok yang sabar dan telaten mengingatkan/mengantar saya dan adik (ketika malam tidur di rumah, karena biasanya saya tidur di masjid/langgar) mengaji, walaupun saya dan adik berangkat malam/pagi buta (pukul 02.00/03.00) agar dapat nomer urut lebih awal, dll.

Ayahanda yang kepala desa (1948-1983) adalah sosok ayah yang juga menjadi sumber inspirasi jalan hidup saya. Saya sering diajak beliau membetulkan genting yang pecah, menambal lantai (plesteran) madrasah tempat saya sekolah sore hari, ikut menyelesaikan pekerjaan administrasi desa walaupun terkadang hanya diminta untuk menggarisi buku, melipat surat. Ada juga kebiasaan beliau yang sulit saya lupakan dan sulit juga untuk ditiru, yaitu malam hari keliling kampung mengunjungi warga untuk sekedar mengecek siapa diantara mereka yang tidak mempunyai beras sebagai bahan pokok, kemudian esok harinya memanggil salah satu perangkat desa untuk mengantarkan beras tersebut ke rumah mereka, dll.

Sebagai anak kampung, banyak tradisi menarik yang selalu saya lakukan sebagaimana teman-teman sebaya, yaitu mengaji al-Qur’an habis solat subuh di langgar guru ngaji saya yang kebetulan paman saya sendiri; man Suha, demikian saya memanggilnya. Man Suha yang mempunyai nama lengkap Nasuha, (alm., Allahummaghfir lahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu) adalah sosok ustad yang sangat berwibawa, istiqamah, disiplin, dan ketat ketika mengajar ngaji. Di meja/bangku tempat beliau mengajar selalu tersedia tuding panjang yang terbuat dari rotan dan/atau bambu. Sepulang dari mengaji, kira-kira pukul 06.30 wib siap-siap berangkat sekolah SD, datang sekolah pergi ngarit (mencari rumput untuk makanan kambing) dan biasanya sambil mencari sayur (kangkung, bunga turi dll) atau mencari ikan untuk bekal lauk pauk. Habis solat dhuhur sekolah Madrasah, sepulang dari Madrasah siap-siap pergi ke masjid untuk solat Maghrib, dan biasanya baru pulang besok pagi harinya, karena malamnya tidur di masjid. Kegiatan malam hari di masjid adalah mengaji al-Qur’an, diba’an (membaca solawat Nabi saw.), main umpet-umpetan, obak sodor, dls.

Lulus SD/Madrasah nyantri di PP. Qomaruddin Sampurnan Bungah Gresik. Ketika itu, seringkali setelah masa liburan kemudian kembali ke pesantren saya tempuh dengan jalan kaki (20 km) dengan memanggul beras sebagai bekal. Sebenarnya banyak pengalaman berharga selama di pondok, yang akan saya ceritakan lain waktu.

Selama dua tahun di PGA 6 tahun di Bojonegoro. Ketika itu, pernah diminta sebagai sekretaris umum IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’) cabang Bojonegoro, seringkali diajak keliling ke hampir semua pelosok daerah Bojonegoro oleh salah satu guru saya yang kebetulan ketua Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif, yaitu Ust. Abd. Mukti, BA., untuk mengunjungi madrasah,  dan pada saat itu, saya kenal salah satu pengurus NU cabang yang juga sebagai agen koran. Didorong karena pingin selalu bisa baca koran setiap hari dan pingin juga mengetahui dan mungkin masuk di rumah para tokoh, termasuk rumah bupati, saya menawarkan diri sebagai pengantar (loper) koran dan dikabulkan. Pekerjaan itu saya lakukan pada pagi hari sebelum pukul 07.00 dan sore hari sekitar 17.00,  sebelum berangkat dan sesudah datang sekolah, sampai lulus sekolah PGA.

Setelah lulus PGA mencoba mendaftar di IAIN Sunan Ampel Surabaya dan diterima di fakultas Syari’ah, baru matur orang tua (ayah), karena ibunda sudah wafat sejak saya mau naik di kelas dua tsanawiyah dan masih di pondok.

Di IAIN saya masuk di Fakultas Syari’ah Program Sarjana Muda, kemudian melanjutkan di Program Doktoral Jurusan Tafsir Hadis, dan alhamdulillah lulus dengan skripsi yang bertema “AL-QUR’AN DAN SISTEM PEREKONOMIAN”. Selama sekolah mulai belajar memegang amanah; belajar sebagai sekretaris senat mahasiswa Fak. Syariah, pengurus PMII, ketua umum Dewan Mahasiswa, kordinator kontingen PORSENI IAIN se Indonesia, dll.

Kebiasaan main-main dengan koran masih saya teruskan selama kuliah, justru meningkat sedikit; semua koran, majalah ilmiah, jurnal yang terbit (nasional/local) saya beli (langganan Rp. 42.000,- per bulan). Ketika itu, harga langganan Koran Jawa Pos setiap bulan Rp. 1.600,- kemudian oleh teman-teman diklasifikasi isinya dan dicetak/digandakan dalam bentuk kliping dengan cover yang bertema “SINAR DUNIA”. Produk pekerjaan sederhana itu saya jual ke semua koperasi mahasiswa Perguruan Tinggi Surabaya (IKIP, UNAIR, ITS dan UBAYA). Jurnal, majalah, dan buku baru sering saya tawarkan kepada para dosen dan mahasiswa. Kegiatan ini saya lakukan semata-mata hanya upaya bagaimana dapat membaca dan memilikinya tanpa menunggu kiriman orang tua, dan memberdayakan teman-teman yang selalu di rumah kos saya.

Lulus IAIN tugas di Fakultas Syari’ah IAIN SA di Ponorogo (7 tahun), kemudian hijrah ke Fakultas Tarbiyah IAIN SA di Malang/sekarang Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang (1995). Di Malang, al. bergabung di tim pengembangan sebagai anggota tim pembuatan RENSTRA STAIN MALANG 10 TAHUN KE DEPAN. Pada ini saya meminta bagian merancang proyeksi perkembangan kelembagaan, inisiasi membuka Jurusan Syari’ah dengan dua program studi; akhwal al-Syakhshiyah dan Muamalah, konsentrasi ekonomi Islam (sekarang menjadi Fakultas Syari’ah dan Fakultas Ekonomi). Selama di Malang belajar mengemban amanat; mulai sekretaris jurusan merangkap ketua Program Studi Mu’amalah (1997), ketua jurusan merangkap ketua Program Studi Mu’amalah (1998), pembantu ketua/pembantu rektor III (1999-2004), dekan fe (2004-sekarang), disamping sebagai Management Representative (MR) UIN Maliki Malang, dst.

Didorong boleh tuntutan pekerjaan, di Malang ikut sekolah di Program Magister Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang dengan tema tesis “Manajemen Pengelolaan Dana ZIS di Lagzis Malang” dan sekolah Program Doktor Program Pascasarja IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan tema disertasi (bidang ilmu Sosiologi Ekonomi Islam) “Pola Pemahaman Agama dan Perilaku Ekonomi Masyarakat Perajin Tempe Kelurahan Purwantoro Blimbing Malang”

HA. MUHTADI RIDWAN
Alamat :
Rumah : Jl. Sebuku IV/11 Malang, Telp/fax : +62341418925, +6281334711732,
email : read_one@feuinmlg.ac.id atau read_one_feuinmlg@yahoo.co.id
web : http://www.muhtadiridwan.com atau
blog.uin-malang.ac.id/muhtadiridwan
fb : muhtadi ridwan
Kantor : Fakultas Ekonomi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Jalan Gajayana 50 Malang, Telp/fax : +62341558881, e-mail : admin@feuinmlg.ac.id – website : http://www.feuinmlg.ac.id

0 komentar:

Posting Komentar