Rabu, 13 Maret 2013

KAJI ULANG ATAS MUTU KEHUJJAHAN HADIS DALAM HAZANAH KEILMUAN SYARI'AH

Adalah keniscayaan yang perlu direspon sebagai wujud pemantapan beragama Islam manakala gairah penguasaan umat dalam rangka pendalaman wawasan beragama, penghayatan serta upaya membangun kesadaran mengamalkan syari'at semakin mendekati standar ittiba'. Pola pengamalan syari'at dalam prikehidupan sehari-hari bila menerapkan asas ittiba' amat berkepentingan pada figur muttaba', yakni orang yang diikuti jejak perjalanan dan pemahaman keagamaannya. Untuk strata nabiyyullah Musa a.s. yang dikaderkan sebagai ulu al- `azmi tepat bila memilih figur muttaba' Hidhir a.s. (QS. al-Kahfi : 66). Strata pribadi Nabi Muhammad Saw mengidolakan figur Ibrahim a.s. (QS. Ali Imran : 68). Ketika penganut Islam masih minoritas di Makkah, orang setingkat Sa'ad bin Abi Waqash mengikuti seniornya yakni Abu Bakar al-Shiddiq (QS. Luqman : 15). Umat generasi tabi'in tentu mengambil pola anutan kolektifitas keagamaan sahabat Nabi Saw yang digolongkan kelompok Muhajirin dan Anshar (QS. al-Tawbah : 100). Ketika merambah generasi penerus tiada pilihan lain kecuali figur yang merepresentasikan sabil al-mu'minin (QS. al-Nisa' : 115).
Batasan sederhana ittiba' menurut penulis Jami 'u Bayani al- `Ilmi wa Fadhlihi yakni Ibnu Abdi al-Barr (w. 463 H) adalah : "merujuk pada pendapat seseorang yang ketetapannya didukung oleh hujjah".[1] Argumen penguat yang meyakinkan (hujjah) terkait dengan Islam sebagai agama samawi tentunya integral pada pribadi yang memperoleh mandat sebagai Rasul Allah (QS. alNisa : 165). Verbalisasi dari missi kerasulan Muhammad Saw terlembagakan dalam sunnah/hadis. Keberadaan hadis selaku hujjah syar'iyah menjadi amat strategis bagi pengembangan keilmuan syari' ah sebagaimana terwacanakan dalam hazanah keilmuan Islam, karena nisbah hadis kepada pemangku maqam risalah atau minimal nubuwah pada figur Muhammad Saw.
Jauh sebelum pembakuan sanad sebagai media transformasi hadis, pola pengembangan keilmuan syari'ah yang perintisnya : ilmu kalam, fiqih, tafsir, tarikh, sirah, ushul al-fiqh dan sejenisnya, sikap ulama lebih memfokuskan pada esensi isi yang dikandung oleh matan hadis, karena kepentingan yang mendasarinya adalah membangun pemikiran praktis. Jadi pemberdayaan hadis lebih ditekankan pada substansi (dirayah) dan untuk sementara waktu aspek eksistensi (keberadaan) hadis terkait validitas (nilai keshahihan) dan otentisitas (keaslian) riwayatnya tidak dijadikan acuan utama.
Ketika upaya mengembangkan konsep keilmuan syari'ah memasuki wilayah ijtihadiyah yang karena karakteristik pembahasannya hanya tersedia dukungan argumen yang sumber nash syar'inya dhanniyu al-tsubut" yaitu hadis dengan sistem transmisi (sanad) riwayat yang tidak memenuhi strata mutawatir atau tidak masyhur di kalangan ulama syar'i, maka terjadilah polemik dan esensi substansi hadis harus dipertaruhkan dalam uji kualitas riwayat. Seperti dikutip oleh Imam al-Nawawi (w. 676 H) dari koleksi hadis al-Mustadrak Imam al-Hakim (w. 405 H) guna memperlihatkan urgensi sanad bagi setiap unit hadis yang diberdayakan untuk ketahanan wawasan agama, beliau menyitir statemen tokoh tabi'in Muhammad Ibnu Sirin (w. 110 H)
"inna hadza al-ilma dinun, fa undzuru 'amman ta'khudzuna dina-kum".[2]
"ilmu pengetahuan ini (bagian integral dari) agama, maka perhatikan olehmu sekalian dari siapa kalian memungut (acuan) agama kalian".

Sejak itu penempatan setiap unit hadis harus menyertakan mata rantai periwayatan (sanad), betapa kitab yang memuat hadis itu bukan koleksi khusus untuk hadis/sunnah.
Semula hanya sebatas ulama berperingkat mujtahid mustaqil (mandiri) menurut pengamatan Syeikh Waliyullah al-Dahlawi (w. 1176 H) yang dengan kepiawaian individualnya menarik langsung konsep ajaran dari ayat Al-Qur'an dan hadis serta atsar dengan menerapkan kaidah istinbath (deduksi) hingga mensinergikan antar dalil.[3] Kecakapan yang mendukung mujtahid bersangkutan mencakup jalur proses penerimaan hadis dari sumber pembelajaran, kepastian derajat mutu sanad, jaminan integritas keadilan seluruh rangkaian periwayat berikut kadar kepercayaan serta kedhabitan, ditopang pula kecekatan mendeskripsikan makna tersurat/tersirat dari komposisi redaksi matan hadis bersangkutan. Kapabelitas mujtahid mustaqil tersebut dikategorikan sebagai penguasaan kemampuan ijtihad bayani.[4]
 Ketika proses penyusunan hazanah ilmu syari'at melibatkan mereka yang kadar wawasan ilmu hadis riwayatnya kurang memadai, terjadi praktek gelombang penggunaan hadis yang tidak selektif dari segi mutu kehujjahan. Sebagai contoh, banyak kitab tafsir Al-Qur'an menampung kisah israiliyat, terutama yang bercorak tafsir bi al-ma'tsur.[5]  Dengan nada keprihatinan betapa rajin mengkoleksi ahadis al-tafsir, Imam Ahmad ibnu Hanbal (w. 241 H) menyatakan :
"tsalatsatun laysa laha ashlun al-tafsiru wa al-maghazi wa al-malahim ".[6]
"Tiga (bidang informasi keagamaan) pada ghalibnya tidak didukung oleh sanad shahih muttashil, yaitu tafsir (al-Qur'an), peperangan besar dan pertempuran kecil".

Nasib serupa menimpa pula himpunan hadis yang dikoleksi oleh ulama dengan kadar profesionalitas kehadisan rendah, cenderung mengejar kuantitas dan mengabaikan kualitas. Indikasinya terjadi pembauran antara hadis nabawi dengan atsar sahabi hingga tabi'in, kisah israiliyat dan wejangan para hukama. Kondisi kitab koleksi hadis serupa itu mendorong inisiatif mengklasifikasikan peringkat (thabaqat kutubi al-hadis), seperti dilakukan oleh Syeikh Waliyullah al-Dahlawi (w. 1176 H) dalam bukunya "Hujjatullah al-Balighah" I, 132-135. Dengan pembatasan periode koleksi hadis sekitar sunan sittah, ditetapkan kriteria i'ttibar al-shihhah paralel i'tibar al-syuhrah, maka kitab koleksi hadis pada peringkat keempat dan kelima perlu diimbangi dengan upaya klarifikasi seksama (al-tahrir) memanfaatkan kaidah jarah-ta'dil, upaya menginventarisir muttaba' hadis/syahid dan sarana tahqiq lainnya.
Fakta penempatan hadis pada sebagian besar hazanah ilmu keislaman klasik (kutub al-turats) dengan pola kutip sederhana, yakni tanpa menunjuk sumber asal kitab hadis yang mengkoleksinya, tidak dicantumkan nama sahabat atau tabi'in selaku perawi, tidak pasti nisbah hadis pada maqam nubuwah/ risalah, terjadi reduksi atas struktur bahasa ungkapan matan atau memang hasil penyaduran (al-riwayah bi al-ma'na) dan nyaris lepas dari identifikasi mutu kehujjahan hadisnya. Seiring tuntutan sikap beragama yang kritis, dialogis dan kompetitif di masa sekarang, maka solusi "kaji ulang" atau takhrij menjadi sulit dihindarkan. Takhrij al-hadis secara metodologis merupakan langkah awal dari tahqiq (meneliti) yang memperan-aktifkan naqd (kritik) sanad dan matan hadis.

(B)
KAJI ULANG MUTU KEHUJJAHAN HADIS

Idiom takhrij yang berarti "kaji ulang" semakna dengan al-ibrazu atau al-idhharu, yakni menampakkan dan memperlihatkan ke atas pamukaan. Bila mengamati pengertian terminologi versi Ushulu al-Takhrij wa Dirasah al Asanid karya Muhammad Ahmad al-Thahhan (1978) dan Thuruqu Takhriji Haditsi Rasulillah Saw yang diterbitkan oleh Dar al-I'tisham (1407 H), maka kegiatan takhrij hadis menghasilkan : (a) kitab koleksi hadis yang menjadi penuqilan lengkap sanad, utamanya nama sahabat/perawi hadis; (b) ungkapan matan yang mencerminkan format qauli, fi'li-`amaliy, taqririy, khalqi atau khuluqi; (c) nisbah matan hadis pada maqam nubuwah atau (d) informasi tentang peringkat nilai kehujjahan hadis sekira diperlukan; (e) tema atau judul bab sebagai payung hadis yang sekaligus mendiskripsi persepsi mukharij (kolektor) terhadap isi esensi kandungan matan hadis.
Nilai tambah dari takhrij antara lain : (1) diketahui status marfu' atau mawquf matan hadis; (2) dapat mengeliminir gejala tambahan ungkapan yang berasal dari oknum periwayat hadis; (3) memperoleh data tafsir atas kata gharib matan dari ahlinya; (4) informasi tentang kronologis kehadiran hadis berbentuk qishatu al-hadis atau sababu wurudi al-hadis; (5) bila penyajian menyertakan catatan kaki, ta'liq dan sejenisnya akan didapat petunjuk ketermuatan hadis pada kitab koleksi lain yang terbuka pula kemungkinan nama sahabat/tabi'in perawi berbeda yang menjadi sumber riwayatnya. Dengan ungkapan lain, kaji ulang (takhrij) membantu pendataan hadis secara utuh dan memastikan susunan kalimat matan berikut akses untuk ikut mengkritisi pengembangan konsep keilmuan melalui substansi 'ibarat matannya.
Diawali oleh al-Khatib (Ahmad bin Ali) al-Baghdadi (w. 463 H) perhatian ulama muhaddisin mengembangkan takhrij. Oleh karena bidang keilmuan yang ditekuni para mustakhrij itu disiplin hadis, maka obyek takhrij dilakukan dengan mengupayakan padanan sanad pendukung matan bertema sama yang dipunyai oleh pihak mustakhrij. Hasilnya adalah jalur sanad yang pada level tertentu akan bertemu dengan silsilah keguruan hadis yang dikaji ulang. Seperti yang dilakukan oleh Abu 'Awanah (Ya'qub bin Ishaq al-Isfarayiini, w. 316 H) terhadap hadis-hadis koleksi Imam Muslim (w. 261 H). Embrio takhrij model tersebut didorong oleh fakta para kolektor hadis tidak berkenan mempublikasikan hadis-hadis yang didapat dari proses belajar hadis dari guru seniornya dan ternyata beliau mentadwin hadis untuk umum. Sebagai contoh, betapa Abu Dawud (w. 275 H) dan Imam al-Bukhari (w. 256 H) lama berguru hadis kepada Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), namun dalam koleksi hadis yang dipublikasikan kedua mantan murid Imam Ahmad tidak menampilkan unit-unit hadis dari guru seniornya. Mungkin faktor psikologi hubungan antara murid versus guru diimbangi pola kemitraan dengan sikap moral "husnu al-adab" untuk tidak bersaing dalam mempublikasikan hadis yang sama. Kejadian serupa berlaku pula pada diri Imam Muslim (w. 261 H) dan al-Turmudzi (w. 279 H), keduanya tidak mengekspos hadis-hadis guru mereka yaitu Imam al-Bukhari (w.,256 H) sekira unit hadis tertentu telah dipublikasikan untuk umum oleh guru mereka.
Dinamika kaji ulang (tentang hadis) kemudian merambah ke sektor kitab-kitab keilmuan syari'ah non-hadis, antara lain :
(1) AI-Muhadzab karya Abu Ishaq al-Syairazi (w. 476 H) dalam disiplin fiqih Syafi'iyah ditakhrij oleh Muhammad bin Musa al-Hazimi (w. 584 H);
(2) AI-Luma' fi Ushuli al-Fiqhi karya al-Syairazi juga ditakhrij oleh Yusuf al-Mar'asliy;
(3) Al-Hidayah karya fiqih mazhab Hanafi oleh Ali al-Marghinani (w. 593 H) ditakhrij oleh Jamaluddin al-Zaila'iy (w. 762 H) dengan judul Nashbu al-Rayah. Takhrij serupa untuk kitab al-Hidayah dilakukan pula oleh Ibnu Hajar al-'Asqalaniy (w. 852 H) yang memperpadat kaji ulang al-Zaila'iy dan diberinya judul "al-Dirayah fi Takhrj Ahaditsi al-Hidayah
(4) Al-Wajiz karya fiqih Abu Hamid al-Ghazali penulis Ihya-u `Ulumuddin telah diulas dengan meletakkan hadis-hadis guna membackup pemikiran fiqih Syafi'iyahnya al-Ghazali (w. 505 H). Ulasan (syarah al-kabir) tersebut dikerjakan oleh Sirajuddin Ibnu Mulaqqin (w. 804 H). Kaji ulang atas hadis-hadis kontribusi Ibnu Mulaqqin tersebut dilakukan oleh Ibnu Hajar al-`Asqalaniy (w. 852 H) dengan judul al-Talkhis al-Habir;
(5) Minhaju al-Wushuli ilaa `Ilmi al-Ushuli karya al-Baidhawi (w. 685 H) hadis-hadisnya dikaji ulang oleh Zainuddin al-'Iraqiy (w. 806 H);
(6) Syarah al-Mawaqif  fi `Ilmi al-Kalami yang disusun oleh al-Iji (w. 756 H), hadis-hadisnya dikaji ulang oleh Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H);
(7) Tafsir al-Kasyaf susunan Jarullah Mahmud bin Umar al-Zamahsyari (w. 538 H), atas hadis-hadis yang difungsikan sebagai dasar pijakan dalam penafsiran ayat telah dilakukan kaji ulang oleh al-Zaila'iy (w. 762 H);
(8) Awdhahu al-Masalik karya Ibnu Hisyam (w. 213 H) yang menempatkan unit-unit hadis guna mendukung variasi qira'ah untuk cara baca al-Qur'an, dikaji ulang oleh Ali Hasan al-Bawwab; dan Ihya-u `Ulumuddin karya tasawuf Abu Hamid al-Ghazaliy (w. 505 H), seluruh hadis dikaji ulang oleh Zainuddin al `Iraqi (w. 806 H) dengan judul "al- Mughni `an Hamli al-Asfar fi al-Asfar".
Khusus untuk kaji ulang kitab Ihya-u `Ulumuddin diperoleh data keberadaan hadis bermutu dha'if hingga yang terlacak mawdhu' (palsu). Temuan data tersebut bisa di-cross check dengan hasil kaji ulang oleh Ibnu Hajar al-'Asqalaniy (w. 852 H) melengkapi takhrij oleh pendahulunya, yakni Zainuddin al-Iraqi. Juga dapat dilacak ulang pada basil takhrij oleh Zainuddin bin Quthlu-bagha yang bermazhab Hanafi (w. 879 H). Sebagai contoh, kaji ulang atas mutu kehujjahan hadis-hadis yang ditempatkan oleh al-Ghazali untuk pokok bahasan (quthub) halal dan haram : terdata hadis maqbul 55 unit dengan perincian 48 bermutu shahih dan 7 unit hadis bemutu hasan, sisanya terdapat 23 unit hadis mardud karena indikasi kedha'ifan, sedang selebihnya 8 unit hadis mawdhu' (palsu). Untuk mendukung bahasan halal-haram dalam koordinasi rub 'u al-adat masih ditemukan 19 unit hadis yang matannya berulang terpakai untuk bahasan yang sama.
Terhadap temuan sejumlah unit hadis dalam kitab Ihya-u `Ulumuddin yang dikategorikan di bawah standar hujjah syar'iyah, kiranya bisa dimaklumi kepentingan pemuatannya sebagai pembenaran (legitimasi) semata untuk mendukung pemikiran tasawuf. Mencermati kecenderungan tasawuf yang amat terbuka pada intuisi (dzauq) dan pengalaman rohani, mungkin pemberdayaan hadis ditekankan pada segi esensi substansi yang dikandung (aspek dirayah). Bisa juga terbentur basic keilmuan hadis yang memberi akses pada kritik kehujjahan setiap unit hadis tidak setingkat ulama ahlu al-jahri wa al-ta'dil. Kelemahan di sektor kritik hadis secara tak langsung terakui dalam Jawahir al-Qur'an. Lebih diperkuat pula dengan ketiadaan sebuah karya ilmiahpun dari 34 karangan al-Ghazali yang membahas bidang keilmuan hadis teoritis. Bila melusuri penulisan Jawahir al-Qur'an pasca Ihya-u `Ulumuddin dan 'oleh pengamat sejarah perkembangan tafsir digolongkan sebagai "tafsir ilmi" sejalan pandangan al-Ghazali mengenai pemahaman dan penafsiran dengan ra'yu terbuka sekalipun tanpa didasarkan dalil naqli,[7] wajar bila diestimasikan bahwa pemberdayaan hadis dalam kitab Ihya' lebih difokuskan pada esensi substansi matan guna mendukung pemikiran tasawuf beliau.



(C)
URGENSI TAKHRIJ HA.DIS ICE DEPAN

Kajian keilmuan syari'ah pada akhir-akhir ini semakin menerapkan pendekatan perbandingan (muqaranah) dengan mendialektikakan persepsi, pemahaman, pemikiran dan kreasi ijtihad produk ulama masa lalu, serta memperhadapkan antar mazhab/sekte/aliran sunniy/pandangan perorangan maupun institusi. Pada tataran kaji banding itulah dalil naqli yang berupa hadis disikapi secara kritis guna mengukur kadar hujjiahnya. Oleh karena penilaian individual ulama hadis tentang status kehujjahan hadis tidak selamanya sama, maka pengkajian ulang terhadap validitas serta originalitas hadis membawa serta kritik total (naqd dakhili/matan, naqd khariji/sanad), tidak sesederhana takhrij data keberadaan hadis semata. Sebagai akibat tidak langsung dari proses panjang dokumentasi hadis oleh perorangan kolektor dan masing-masing mengaplikasikan kaidah mayor-minor kritik yang tidak sama, maka watak mayoritas hadis sebagai dalil naqli yang dzanniyu al-tsubut semakin meramaikan polemik di tataran mutu kehujjahan.
Program spesialisasi hadis pada strata magister hingga strata doktoral di perguruan tinggi dalam negeri (Indonesia) hingga Timur Tengah banyak menguji-cobakan aplikasi kaidah kritik hadis, tentunya cukup mengindikasikan betapa upaya mensyiarkan Islam sebagai agama perlu mengefektifkan epistimologi keilmuan, termasuk upaya pencerahan wawasan hadis secara elementer dan penguasaan doktrinalnya lebih komprehensif. Sudah bukan waktunya lagi pengertian keilmuan syari'ah berpola instan dan cepat puas bila norma dan etika syari'ah telah menjadi kultur, terlepas kadar kesadaran beragama yang rentan pengaruh dari luar.
Di balik harapan idealis tersebut kalangan elit ulama yang tradisionalis  faham dan pemikiran keagamaan mereka masih dibayangi keragu-raguan perihal :
(a) Bukankah kaji ulang hadis selaku argumen (hujjah) akan berdampak langsung pada faham keagamaan yang telah mapan, dalam arti telah mengakar di tengah-tengah masyarakat ?
(b) Setarakah subyek yang akan melakukan kaji ulang atas mutu kehujjahan hadis dari segi kadar ilmiahnya dengan figur muallif (pengarang) kitab yang berbekal tanggung jawab ilmiahnya telah menempatkan hadis tersebut?
(c) Apakah kriteria yang menjadi standar kelayakan bagi seseorang untuk terjun ke sektor kaji ulang mutu kehujjahan hadis ?
Sebagai ulasan dari ketiga pertanyaan penting di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
(a) Kemapanan (establised) faham agama mempersyaratkan kapasitas dalil naqli -bila berupa hadis- benar-benar qath'iyyu al-tsubut dan qath'iy dalalahnya. Fakta tsubut (keberadaan) hadis mencapai kadar qath'iy (pasti) apabila sistem transmisi (sanad) periwayatannya memenuhi kriteria mutawatir. Dalalah substansi hadis bila telah membentuk wawasan atau praktik pengamalan keagamaan yang mujma' 'alaih, dengan sendirinya bertaraf qath'iy. Bukankah upaya menganalisis secara deduktif makna kandungan matan hadis membutuhkan malakah al-istinbath', sedang mengkongkritkan konsep ajaran agama ke dalam bentuk pratik `amaliyah amat berkepentingan pada sarana ijtihad tathbiqi (aplikatif) berpendekatan analisis induktif
Contoh praktisnya pilihan persepsi Imam Malik (w. 179 H) dan Imam Syafi'i (w. 204 H) meniadakan konsep "radd" pada kaidah pembagian waris yang hanya beranggotakan ashhabu al-furudh. Sisa pusaka tak terbagi diterimakan pada lembaga bait al-mal. Pandangan serupa dipegang oleh Imam Ibnu Hazm al-Zhahiri (w. 456 H).[8]
Doktrin hukum tersebut merujuk pada pandangan Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Abbas r.a. Logika hukum yang ditampilkan bahwa bagian fardhu untuk ahlu al-furudh harus mengacu pada rumusan al-Qur'an. Konsekuensinya tidak boleh ada penambahan lewat radd, karena melampaui batas normatif syari'at. Bagi ulama Zhahiri diperteguh dengan asumsi kuat ketiadaan pengaturan tertulis dalam al-Qur'an, Sunnah dan tidak pernah ada ijma' untuk menerima konsep radd.
Mapankah konsep hukum menolak radd dalam pembagian waris ? Ternyata masih di jajaran ashab al-Syafi'i -seperti terbaca pada Syarhu al-Kabir al-Dardir dan Hasyiyah al-Dasuqi- mengesampingkan konsep penolakan radd apabila managemen lembaga bait al-mal menyimpang dari mekanisme operasional syari'ah.[9] Revisi atas konsep menjadi siap mengembangkan radd bila kondisi managemen Bait al-Mal tidak memenuhi cara kerja versi syari'at pada jajaran mazhab Syafi'i dipelopori oleh Qadhi Husein al-Mutawalli.
Indikasi dzanniy dalalah bisa dilacak dari sikap sesama sabahat Nabi Saw, yaitu Abdullah bin Mas'ud, Ali bin Abi Thalib serta Usman bin `Affan, karena mereka merujuk hadis nabawi yang bertaraf jawaban hukum. Bermula seorang wanita (sebagai anak tunggal) bersedekah untuk ibundanya berupa seorang budak wanita. Beberapa waktu kemudian si ibu meninggal dunia. Nabi Saw menjawab/mengarahkan "wajaba ajruki wa raja'at ilaiki al-jariyatu fi al-mirats.[10] Implikasi sabda Nabi Saw tersebut : anak perempuan tunggal itu beroleh pusaka secara pasti (50% nilai jual budak) plus sisa waris yang tidak terbagi.[11] Melalui proses penerimaan atas hadis tersebut, konsep radd dalam pembagian waris diterima atas dasar sunnah nabawiyah diperkuat penafsiran QS. al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6. Praktik revisi atas hal-hal yang bersumber dari ijtihad secara teoritik dibenarkan. Revisi dimaksud masih dalam koridor taghyiru hukmi al-ijtihad.[12]  Preseden yang menjadi padanan antara lain revisi Imam Syafi'i (w. 204 H) terhadap qawl qadim menjadi qawl jadid.
Berbeda diametral dengan "naqdhu al-ijtihad" yang bersifat praktis (yuridis) cenderung tidak dibenarkan. Diskripsi pelarangan itu berlaku bagi hakim yang memutus perkara di pengadilan berdasar ijtihadnya. Amar putusan hakim untuk perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Bila pada saat lain hakim tersebut dihadapkan perkara sejenis, dan is berketetapan memutus dengan hasil ijtihad yang berbeda, maka hakim tersebut tidak dibenarkan mencabut (merusak) putusan pertama.[13] Prosedur tersebut menjadi berbeda ketika pihak tertentu dapat mengajukan novum (bukti hukum baru), betapa untuk perkaranya telah diputus dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, hakim perlu melakukan peninjauan kembali atas putusan pertama.[14]
Dari paparan di atas diketahui bahwa predikat (nisbah) kemapanan faham keagamaan sangat relatif dan bisa tentatif (sementara), terutama bila pijakan referensinya hasil ijtihad. Justru bila diperoleh data hadis dengan kadar kehujjahan meyakinkan, segera mungkin ditempuh langkah "muraja'atu al-haqqi khairun min al-tamadi fi al-bathil".[15] Doktrin hukum tersebut bersumber dari bimbingan teknis Khalifah Umar bin Khathab kepada hakimnya, yakni Abu Musa al-Asy'ari.
(b) Keraguan ini bisa dilokalisir pada klaim dominasi kaji ulang mutu kehujjahan hadis terbatas pada ulama yang kompeten melakukan ijtihad. Memang cukup populer statemen (fatwa) Ibnu Shalah (w. 643 H) yang intinya melarang dilakukan kritik hadis selepas kodifikasi sunnah/hadis oleh kolektor yang kredibel.[16] Fatwa tersebut sealur dengan statemen Ibnu Shalah bahwa pintu ijtihad di bidang fiqih telah tertutup pada akhir abad ke-empat hijriah.[17] Statemen Ibnu Shalah bukan hendak mematikan daya kreatifitas generasi umat, melainkan trauma dengan bukti kecerobohan para kritikus hadis yang terobsesi oleh popularitas pribadi sekalipun kadar penguasaan hazanah hadisnya amat minim untuk digelari "hafidz al-hadis". Kesenjangan lain terkait kaidah kritik yang belum teruji kehandalannya di medan tahqiq (penelitian) hadis, karena instrumen analisis datanya tidak reliable (terpercaya untuk mengukur) dan terkesan tidak measuremen. Kritikus hadis sering terjebak kaidah kritik rasional (naqd `aqliy) langsung diaplikasikan pada substansi kandungan matan. Kaidah kritik tersebut tak dikenal dalam tradisi muhaddisin masa lalu.
Fatwa pelarangan dilakukan uji mutu hadis oleh generasi pasca terbukukan hadis-hadis ke dalam koleksi standar, bersifat antisipatif demi mengupayakan perlindungan dan pelestarian hazanah hadis, sekaligus menolak keterlibatan orang yang bukan ahlinya ikut-ikut menjadi kritikus hadis.. Kekhawatiran itu telah terbukti, utamanya dugaan mawdhu' pada sejumlah besar hadis yang jatidirinya memenuhi kriteria shahih, hasan atau sebatas dha'if saja.[18]
Tersebab oleh potensi penguasaan syarat kualifikasi sebagai kritikus hadis, justru sepeninggal Ibnu Shalah (w. 643 H) telah muncul karya kritik hadis semacam : Dhiyauddin al-Maqdisi (w. 643 H), al-Mundziri (w. 656 H), Syarafuddin al-Dimyathi (w. 705 H), Taqiyyud-din al-Subki (w. 756 H), Ibnu Hajar al-`Asqalani (w. 852 H), Zainuddin al-Iraqi (w. 806 H), Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H), al-Shan'aniy (w. 1182 H).[19] Belakangan muncul Ahmad Muhammad Syakir yang surprice mentahqiq 11 kitab koleksi hadis, dan Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H/ 1999 M) dengan koleksi hasil klarifikasi ulang berjudul "Silsilatu al-Ahadis" untuk kategori dha'if, mawdhu' dan shahih.
Tanpa mengurangi rasa hormat pada ketegasan Ibnu Shalah (w. 643 H) dengan fatwanya, mengingat kebutuhan akan peran kritikus hadis terutama menghadapi gerakan orientalis yang mendiskreditkan potensi hadis dan tantangan dari kelompok inkaru al-sunnah, seyogyanya efektifitas fatwa beliau mentolerir kehadiran kritikus hadis yang mumpuni secara ilmiah. Akses untuk mereka dipayungi dengan penerimaan atas prinsip "tajazzu-u al-ijtihad", yakni ulama dengan kapasitas keilmuan spesialisasi kritik hadis, sekalipun yang bersangkutan tetap berstatus muqallid di bidang luar spesialisasinya. Pemikiran tersebut sejalan dengan pandangan al-Ghazali "barangsiapa menguasai kaidah pengoperasian teori qiyas (analogi), maka kepadanya diperkenankan berfatwa terhadap kasus yang solusi hukumnya cukup dengan giyas."[20]
(c) Profil yang menangani kegiatan kaji ulang (takhrij) hadis harus memiliki integritas keislaman, cinta kepada penerima mandat nubuwah/risalah secara meyakinkan dan tidak cidera moral kepribadiannya. Kualifikasi per profil tersebut setara persyaratan "al-`adalah fi al-riwayah" yang oleh ulama muhaddisin dipatok kriteria lebih tinggi dari profil "al-`adalah fi al-syahadah". Kualifikasi kepribadian setinggi itu karena resiko yang dipertaruhkan adalah kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam dan kepadanya umat Islam menggantungkan tanggung jawab kolektif merawat pusaka (warisan) peninggalan Nabi Saw. Strata al-'adalah secara eksplisit terpampang pada sabda Nabi Saw
"yahmilu hadza al`ilma min kulli khalafin `uduluhu".[21]
"Kelak akan memikul ilmu ini (informasi kenabian dan pusaka kerasulan) dari generasi penerus (terdiri atas) orang-orang yang adil..."

Integritas kepribadian sebagai landas pacu bagi i'tikad baik yang bersangkutan dalam kiprah dedikasinya membentengi hadis dari setiap usaha "intihal al-mubthilin" kelanjutan hadis di atas. Pengabdian luhur tersebut pada garis besarnya mencerminkan program menggagalkan setiap usaha yang hendak mencemari perbendaharaan hadis nabawi dengan kepalsuan-kepalsuan betapa terkemas sebagai ajaran agama. Seberat tanggung jawab tersebut, maka subyek pelaku kaji ulang mutu kehujjahan hadis harus benar-benar memiliki malakah (kecakapan) meneliti sanad dan matan hadis dan terampil mengaplikasikan kaidah kritik minor untuk setiap komponen hadis.[22]  Sarana pendukung malakah adalah kadar penguasaan sejumlah besar hadis, benar-benar memahami metode takhrij/i'tibar/tahqiq, pengalaman melakukan evaluasi data ikhtilaf hingga ta'arudh yang lazim mewarnai jarah-ta'dil, peka mengidentifisir gejala kelainan pada ungkapan matan dan ketajaman dzauq pada karakteristik bahasa kenabian. Sekira kesiapan malakah berikut ilmu pendukungnya tak dapat dicapai secara perorangan, jalan keluarnya adalah kaji ulang berbentuk team yang bekerja seperti proses ijtihad jama'i (kolektif).
Tanpa berpretensi menilai hasil kerja team Forum Kajian Kitab Kuning atau Lajnah Dirasat Kutubi al-Turats bentukan LSM Puan Amal Hayati, ketika menta'liq dan mentakhrij kitab daras pondok pesantren berjudul "Syarah 'Uqud al-Lujaini fi Bayani Huquqi al-Zawjaini" dilaporkan hasil pengkajian sebagai berikut:
a.   Jumlah satuan hadis                : ± 100 unit hadis
b.   Berstatus hukum shahih          : ± 30%
c.   Mawdhu' (palsu)                     : 9 unit hadis
d.   Sangat dha'if                           : 5 unit hadis
e.   Dha'if                                      : 18 unit hadis
f.    La ashla lahu                          : 12 unit hadis
Pedoman pengkajian ulang dirujuk pada kitab koleksi hadis masyhur, dan ternyata berjumlah di bawah 27 kitab koleksi hadis standar yang terbit dalam format cetak mesin, belum lagi menghubungi kitab koleksi hadis yang dokumentasinya makhtuthat (tulisan tangan manual). Pedoman klarifikasi data hadis menjadikan klasifikasi "la ashla lahu" cenderung bias (eror). Terjadi olah data uji matan ditekankan pada substansi kandungan dengan kaidah kritik penalaran subyektif peneliti. Diindikasikan ada 2 (dua) unit hadis yang berdasar narasumber informasinya mawquuf, langsung divonis sebagai "dha'if”. Dalam kaidah pengukuran kedha'ifan tidak menjadikan status marfu'/mawquf/maqthu' sebagai indikasi kelemahan hadis, kecuali diperoleh petunjuk telah ada rekayasa memanipulir kemawqufan matan berubah menjadi marfu' sharih/haqiqi. Sandaran teori/referensi untuk menentukan status hadis menyertakan persepsi ulama berinisial Ahmad Luthfi Malaysia. Demikian juga merujuk kepada hasil evaluasi Nashirud-din al-Albani yang kredibilitas tahqiqnya belum memperoleh pengakuan maksimal. Informasi tentang status hukum hadis yang masih diperselisihkan kehasanannya dikesampingkan begitu saja dan jatuh penilaian dha'if.
Mencermati cara kerja Forum Kajian Kitab Kuning berbentuk team beranggotakan 14 orang, sembilan orang di antaranya wanita dengan latar belakang sepesialisasinya belum tentu keahlian tahqiq hadis, kiranya hasil kaji ulang hadis-hadis pada karya Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi (w. t 898 M) masih perlu ditindak-lanjuti. Semoga dedikasi forum tersebut_tidak disemangati prakonsepsi bahwa substansi matan ±100 unit hadis itu penghambat aspirasi kesetaraan gender yang tengah mereka perjuangkan.

(D)
RANGKUMAN

1.  Kegiatan ilmiah kaji ulang mutu kehujjahan hadis merupakan pelestarian usaha ulama muhaddisin yang perlu didukung guna memantapkan kesadaran beragama umat Islam dari pola pengamalan bertaqlid menjadi pengamalan ittiba';
2.  Kaji ulang mutu kehujjahan hadis yang menjadi sandaran wawasan keilmuan syari'at berfungsi setara klarifikasi kemapanan faham keagamaan dengan sandaran ijtihad fardi (individual) dan belum mengambil bentuk ijma' `amaliy;
3.  Profil yang pantas membidangi kegiatan kaji ulang atas mutu kehujjahan hadis harus terjamin integritas keislamannya, i'tikad baik dedikasinya, mampu bekerja profesional dengan basic spesialisasi keilmuan hadis dan melakukan kaji ulang tanpa prakonsepsi kecuali semata-mata demi menjaga originalitas sumber ajaran Islam dan mendukung program sosialisasinya.
           
           











DAFTAR PUSTAKA

al-Dzahabiy, Muhamad Husein, al-Tafsiru wa al-Mufassirun, Beirut : Dar alFikr, 1976
al-Ghazaliy, Abu Hamid, al-Mustashfa min Ushuli al-Fiqhi, Beirut : Dar al- Fikr, tt.
................., Ihya-u `Ulumuddin, Beirut : Dar Ihya-u al-Kutub al-'Arabiy, 1957
al-Hafnawiy, Muhamad Ibrahim, Tabshirah al-Nujaba, Kairo : Dar al-Hadis, 1995.
Muhamad, Muh. Abdu al-Rahim, al-Tafsiru al-Nabawiy, Kairo : Maktabah alZahra, 1992.
Masyrafah, 'Athiyah Musthafa, al-Qadha-u iva al-Qanuniyyah, Beirut : Dar al`Ilmi Ii al-Malayin, 1967.
Musa, Muhamad Yusuf, al-Tirkah wa al-Mirats al-Islami, Kairo : Dar al-Ma'rifah, 1967.
Nayel, Muhammad, Dirasat fi al-Dakhili fi Tafsiri al-Qur'an al-Karim, Kairo: Maktabah al-Husein, 1991.
al-Padangi, Muhamad Yasin, al-Fawa-id al-Janiyyah, Beirut : Dar al-Fikr, 1989.
al-Qardhawi, Yusuf, Kayfa Nata'amalu ma'a al-Sunnah al-Nabawiyah, Virginia AS : al-Muayyad, 1991
al-Syawkani, Muhammad bin Ali, Irsyadu al-Fuhul, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
al-Shan'aniy, Muhammad bin Ismail, Taudhih al-Afkar, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
al-Syahrazuri, Ibu Shalah, Muqaddimah Ibnu Shalah fi 'Ulumi al-Hadis, Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsagafiyah, 1999.
al-Sayuthi, Jalaluddin, Tadrib al-Rawi, Beirut: Dar al-F kr, 1998.
................. al-Itqanu fi `Ulumi al-Qur'an, Mesir : Musthafa al-Babi, 1951.
................. al-Jami'u al-Shaghir, Beirut : Dar al-Fikr, tt.
Sayfuddin, al-Amidi, al-Ihkamu fi Ushuli al-Ahkam, Kairo : Muh. Ali Shabih, 1968.
Salam Madzkur, Ushul al-Fiqhi al-Islamiy, Kairo : Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1984.
al-Zarqa, Musthafa Ahmad, al-Madkhal al-Fighiyi al-`Amm, Damaskus Mathba'ah Tharbayn, 1968.
al-Zuhailry, Wahbah, al-Fiqhu al-Islamiy wa Adillatuhu, Damaskus : Dar al-Fikr al-Mu'ashir, 1989.
Malang, 3 Oktober 2011


[1] Muhammad Ibrahim.  al-Hafnawi, Tabshirah al-Nujaba (Kairo : Dar al-Hadis, 1995), hlm. . 215

[2] Jalaluddin al-Sayuthiy, al-Jami'u al-Shaghir, I (Beirut : Dar al-Fikr, tt.), hlm. 100
[3] al-Hafnawi, al-Tabshirah, hlm. . 38-39
[4] Salam Madzkur, Ushul al-Fiqh al-Islamiy (Kairo : Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1984), hlm. . 348-349
[5] Abdullah Nayel, Dirasat fi al-Dakhili fi Tafsiri al-Qur'ani al-Karim (Kairo Maktabah al-Husein, 1991), h1m. 61-69
[6] Muh. Abdu al-Rahim Muhammad, al-Tafsiru al-Nabawiy (Kairo : Maktabah al-Zahra,1992), hlm. . 35; Jalaluddin al-Sayuthi, al-Itqan fi 'Ulumi al-Qur'an, II (Mesir : Musthafa al-Babi, 1951). hlm.  178

[7] M. Husein al-Dzahabiy, al-Tafsiru wa al-Mufassirun, II (Beirut : Dar al-Fikr, 1976), hlm. . 474

[8] Muhammad Yusuf Musa, al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam (Kairo : Dar al-Ma'rifah, 1967) h1m. X28-329
[9] M Yusuf Musa, Ibid, hlm. 330; Shubhi Mahmashanni, al-Mabadi'u al-Syar'iyah wa al-Qanuniyah (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayini, 1967), hlm. . 327
[10] M. Yusuf Musa, Ibid, hlm. 332
[11] Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, VIII (Damaskus : Dar al-Fikr, 1989), hlm. 360 -
[12] Saifuddin al-Amidi, al Ihkam fi Ushuli al Ahkam, IV (Kairo : Muh. All Shabih, 1968), hlm. 176

[13] Muh. Yasin al-Padangi, al-Fawaid al-Janiyyah (Beirut : Dar al-Fikr, 1996), hlm. . 291-295
[14] Musthafa A al-Zarqa, al-Madkal al-Fiqhiyyi al-`Amm, II (Damaskus : Mathba'ah Tharbayn, 1968), hlm. 1010-1011.
[15] A. Fattah Muh. Abu al-`Ainair, al-Qadha-u wa al-Itsbatu (tp. tt.), hlm. 80
[16] Ibnu Shalah/Abu `Amr al-Syahrazuri, Muqaddimah (Beirut : Muassasah al-Kutub al-Saqafiyah, 1999), hlm~ 22-23
[17] al-Syawkani, Irsyadz al-Fuhul (Beirut : Dar al-Fikr, tt.), hlm. . 253
[18] Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, I (Beirut : Dar al-Fikr, 1998), hlm. . 278-279
[19] al-Syan'aniy, Tawdhih al-Afkar, I, (Beirut : Dar al-Fikr, tt.), hlm. . 118-119
[20] Abu Hamid al-Ghozali, al-Mustashfa min Ushuli al-Fiqh, II (Beirut : Dar al-Fikr, tt.), hlm. 353
[21]Yusuf al-Qardhawi, Kaifa Nata'amalu Ma'a al-Sunnah al-Nabawiyah (Virginia AS: aI-Muayyad, 1991), hlm. 2i3
[22] Setara persyaratan individu setiap hakim syar'i

0 komentar:

Posting Komentar