Adalah keniscayaan yang perlu direspon sebagai
wujud pemantapan beragama Islam manakala gairah penguasaan umat dalam rangka
pendalaman wawasan beragama, penghayatan serta upaya membangun kesadaran mengamalkan
syari'at semakin mendekati standar ittiba'. Pola pengamalan syari'at
dalam prikehidupan sehari-hari bila menerapkan asas ittiba' amat
berkepentingan pada figur muttaba', yakni orang yang diikuti jejak
perjalanan dan pemahaman keagamaannya. Untuk strata nabiyyullah Musa a.s. yang
dikaderkan sebagai ulu al- `azmi tepat bila memilih figur muttaba'
Hidhir a.s. (QS. al-Kahfi : 66). Strata pribadi Nabi Muhammad Saw
mengidolakan figur Ibrahim a.s. (QS. Ali Imran : 68). Ketika penganut Islam
masih minoritas di Makkah, orang setingkat Sa'ad bin Abi Waqash mengikuti
seniornya yakni Abu Bakar al-Shiddiq (QS. Luqman : 15). Umat generasi tabi'in
tentu mengambil pola anutan kolektifitas keagamaan sahabat Nabi Saw yang
digolongkan kelompok Muhajirin dan Anshar (QS. al-Tawbah : 100).
Ketika merambah generasi penerus tiada pilihan lain kecuali figur yang
merepresentasikan sabil al-mu'minin (QS. al-Nisa' : 115).
Batasan sederhana ittiba' menurut
penulis Jami 'u Bayani al- `Ilmi wa Fadhlihi yakni Ibnu Abdi al-Barr (w.
463 H) adalah : "merujuk pada pendapat seseorang yang ketetapannya
didukung oleh hujjah".[1]
Argumen penguat yang meyakinkan (hujjah) terkait dengan Islam sebagai agama
samawi tentunya integral pada pribadi yang memperoleh mandat sebagai Rasul
Allah (QS. alNisa : 165). Verbalisasi dari missi kerasulan Muhammad Saw
terlembagakan dalam sunnah/hadis. Keberadaan hadis selaku hujjah syar'iyah
menjadi amat strategis bagi pengembangan keilmuan syari' ah sebagaimana
terwacanakan dalam hazanah keilmuan Islam, karena nisbah hadis kepada pemangku maqam
risalah atau minimal nubuwah pada figur Muhammad Saw.
Jauh sebelum pembakuan sanad sebagai media
transformasi hadis, pola pengembangan keilmuan syari'ah yang perintisnya : ilmu
kalam, fiqih, tafsir, tarikh, sirah, ushul al-fiqh dan sejenisnya, sikap ulama
lebih memfokuskan pada esensi isi yang dikandung oleh matan hadis, karena
kepentingan yang mendasarinya adalah membangun pemikiran praktis. Jadi
pemberdayaan hadis lebih ditekankan pada substansi (dirayah) dan untuk
sementara waktu aspek eksistensi (keberadaan) hadis terkait validitas (nilai
keshahihan) dan otentisitas (keaslian) riwayatnya tidak dijadikan acuan
utama.
Ketika upaya mengembangkan konsep keilmuan
syari'ah memasuki wilayah ijtihadiyah yang karena karakteristik
pembahasannya hanya tersedia dukungan argumen yang sumber nash syar'inya dhanniyu
al-tsubut" yaitu hadis dengan sistem transmisi (sanad) riwayat
yang tidak memenuhi strata mutawatir atau tidak masyhur di kalangan ulama
syar'i, maka terjadilah polemik dan esensi substansi hadis harus dipertaruhkan
dalam uji kualitas riwayat. Seperti dikutip oleh Imam al-Nawawi (w. 676 H) dari
koleksi hadis al-Mustadrak Imam al-Hakim (w. 405 H) guna memperlihatkan
urgensi sanad bagi setiap unit hadis yang diberdayakan untuk ketahanan wawasan
agama, beliau menyitir statemen tokoh tabi'in Muhammad Ibnu Sirin (w. 110 H)
"inna hadza al-ilma dinun,
fa undzuru 'amman
ta'khudzuna dina-kum".[2]
"ilmu pengetahuan ini (bagian integral dari)
agama, maka perhatikan olehmu sekalian dari siapa kalian memungut (acuan) agama
kalian".
Sejak itu penempatan setiap unit hadis harus
menyertakan mata rantai periwayatan (sanad), betapa kitab yang memuat hadis itu
bukan koleksi khusus untuk hadis/sunnah.
Semula hanya sebatas ulama berperingkat mujtahid
mustaqil (mandiri) menurut pengamatan Syeikh Waliyullah al-Dahlawi (w. 1176
H) yang dengan kepiawaian individualnya menarik langsung konsep ajaran dari
ayat Al-Qur'an dan hadis serta atsar dengan menerapkan kaidah istinbath
(deduksi) hingga mensinergikan antar dalil.[3] Kecakapan
yang mendukung mujtahid bersangkutan mencakup jalur proses penerimaan hadis
dari sumber pembelajaran, kepastian derajat mutu sanad, jaminan integritas
keadilan seluruh rangkaian periwayat berikut kadar kepercayaan serta
kedhabitan, ditopang pula kecekatan mendeskripsikan makna tersurat/tersirat
dari komposisi redaksi matan hadis bersangkutan. Kapabelitas mujtahid mustaqil
tersebut dikategorikan sebagai penguasaan kemampuan ijtihad bayani.[4]
Ketika
proses penyusunan hazanah ilmu syari'at melibatkan mereka yang kadar wawasan
ilmu hadis riwayatnya kurang memadai, terjadi praktek gelombang penggunaan
hadis yang tidak selektif dari segi mutu kehujjahan. Sebagai contoh, banyak
kitab tafsir Al-Qur'an menampung kisah israiliyat, terutama yang
bercorak tafsir bi al-ma'tsur.[5] Dengan nada keprihatinan betapa rajin
mengkoleksi ahadis al-tafsir, Imam Ahmad ibnu Hanbal (w. 241 H)
menyatakan :
"tsalatsatun laysa laha ashlun al-tafsiru
wa al-maghazi wa al-malahim ".[6]
"Tiga (bidang informasi keagamaan) pada
ghalibnya tidak didukung oleh sanad shahih muttashil, yaitu tafsir (al-Qur'an),
peperangan besar dan pertempuran kecil".
Nasib serupa menimpa pula himpunan hadis yang
dikoleksi oleh ulama dengan kadar profesionalitas kehadisan rendah, cenderung
mengejar kuantitas dan mengabaikan kualitas. Indikasinya terjadi pembauran
antara hadis nabawi dengan atsar sahabi hingga tabi'in, kisah israiliyat dan
wejangan para hukama. Kondisi kitab koleksi hadis serupa itu mendorong inisiatif
mengklasifikasikan peringkat (thabaqat kutubi al-hadis), seperti
dilakukan oleh Syeikh Waliyullah al-Dahlawi (w. 1176 H) dalam bukunya "Hujjatullah
al-Balighah" I, 132-135. Dengan pembatasan periode koleksi hadis
sekitar sunan sittah, ditetapkan kriteria i'ttibar al-shihhah
paralel i'tibar al-syuhrah, maka kitab koleksi hadis pada peringkat
keempat dan kelima perlu diimbangi dengan upaya klarifikasi seksama (al-tahrir)
memanfaatkan kaidah jarah-ta'dil, upaya menginventarisir muttaba'
hadis/syahid dan sarana tahqiq lainnya.
Fakta penempatan hadis pada sebagian besar
hazanah ilmu keislaman klasik (kutub al-turats) dengan pola kutip
sederhana, yakni tanpa menunjuk sumber asal kitab hadis yang mengkoleksinya,
tidak dicantumkan nama sahabat atau tabi'in selaku perawi, tidak pasti nisbah
hadis pada maqam nubuwah/ risalah, terjadi reduksi atas struktur bahasa
ungkapan matan atau memang hasil penyaduran (al-riwayah bi al-ma'na) dan
nyaris lepas dari identifikasi mutu kehujjahan hadisnya. Seiring tuntutan sikap beragama yang kritis,
dialogis dan kompetitif di masa sekarang, maka solusi "kaji ulang"
atau takhrij menjadi sulit dihindarkan. Takhrij al-hadis secara
metodologis merupakan langkah awal dari tahqiq (meneliti) yang
memperan-aktifkan naqd (kritik) sanad dan matan hadis.
(B)
KAJI ULANG MUTU KEHUJJAHAN HADIS
Idiom takhrij yang berarti
"kaji ulang" semakna dengan al-ibrazu atau al-idhharu,
yakni menampakkan dan memperlihatkan ke atas pamukaan. Bila mengamati
pengertian terminologi versi Ushulu al-Takhrij wa Dirasah al Asanid
karya Muhammad Ahmad al-Thahhan (1978) dan Thuruqu Takhriji Haditsi
Rasulillah Saw yang diterbitkan oleh Dar al-I'tisham (1407 H), maka kegiatan
takhrij hadis menghasilkan : (a) kitab koleksi hadis yang menjadi penuqilan
lengkap sanad, utamanya nama sahabat/perawi hadis; (b) ungkapan matan yang
mencerminkan format qauli, fi'li-`amaliy, taqririy, khalqi atau khuluqi;
(c) nisbah matan hadis pada maqam nubuwah atau (d) informasi tentang peringkat
nilai kehujjahan hadis sekira diperlukan; (e) tema atau judul bab sebagai
payung hadis yang sekaligus mendiskripsi persepsi mukharij (kolektor)
terhadap isi esensi kandungan matan hadis.
Nilai tambah dari takhrij antara
lain : (1) diketahui status marfu' atau mawquf matan hadis; (2)
dapat mengeliminir gejala tambahan ungkapan yang berasal dari oknum periwayat
hadis; (3) memperoleh data tafsir atas kata gharib matan dari ahlinya; (4)
informasi tentang kronologis kehadiran hadis berbentuk qishatu al-hadis
atau sababu wurudi al-hadis; (5) bila penyajian menyertakan catatan
kaki, ta'liq dan sejenisnya akan didapat petunjuk ketermuatan hadis pada kitab
koleksi lain yang terbuka pula kemungkinan nama sahabat/tabi'in perawi berbeda
yang menjadi sumber riwayatnya. Dengan ungkapan lain, kaji ulang (takhrij)
membantu pendataan hadis secara utuh dan memastikan susunan kalimat matan
berikut akses untuk ikut mengkritisi pengembangan konsep keilmuan melalui
substansi 'ibarat matannya.
Diawali oleh al-Khatib (Ahmad bin
Ali) al-Baghdadi (w. 463 H) perhatian ulama muhaddisin mengembangkan takhrij.
Oleh karena bidang keilmuan yang ditekuni para mustakhrij itu disiplin
hadis, maka obyek takhrij dilakukan dengan mengupayakan padanan sanad
pendukung matan bertema sama yang dipunyai oleh pihak mustakhrij. Hasilnya adalah jalur sanad yang pada level
tertentu akan bertemu dengan silsilah keguruan hadis yang dikaji ulang. Seperti
yang dilakukan oleh Abu 'Awanah (Ya'qub bin Ishaq al-Isfarayiini, w. 316 H)
terhadap hadis-hadis koleksi Imam Muslim (w. 261 H). Embrio takhrij
model tersebut didorong oleh fakta para kolektor hadis tidak berkenan
mempublikasikan hadis-hadis yang didapat dari proses belajar hadis dari guru
seniornya dan ternyata beliau mentadwin hadis untuk umum. Sebagai contoh,
betapa Abu Dawud (w. 275 H) dan Imam al-Bukhari (w. 256 H) lama berguru hadis
kepada Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), namun dalam koleksi hadis yang
dipublikasikan kedua mantan murid Imam Ahmad tidak menampilkan unit-unit hadis
dari guru seniornya. Mungkin faktor psikologi hubungan antara murid versus guru
diimbangi pola kemitraan dengan sikap moral "husnu al-adab"
untuk tidak bersaing dalam mempublikasikan hadis yang sama. Kejadian serupa
berlaku pula pada diri Imam Muslim (w. 261 H) dan al-Turmudzi (w. 279 H),
keduanya tidak mengekspos hadis-hadis guru mereka yaitu Imam al-Bukhari (w.,256
H) sekira unit hadis tertentu telah dipublikasikan untuk umum oleh guru mereka.
Dinamika kaji ulang (tentang hadis) kemudian
merambah ke sektor kitab-kitab keilmuan syari'ah non-hadis, antara lain :
(1) AI-Muhadzab
karya Abu Ishaq al-Syairazi (w. 476 H) dalam disiplin fiqih Syafi'iyah
ditakhrij oleh Muhammad bin Musa al-Hazimi (w. 584 H);
(2) AI-Luma'
fi Ushuli al-Fiqhi karya al-Syairazi juga ditakhrij oleh Yusuf
al-Mar'asliy;
(3) Al-Hidayah
karya fiqih mazhab Hanafi oleh Ali al-Marghinani (w. 593 H) ditakhrij oleh
Jamaluddin al-Zaila'iy (w. 762 H) dengan judul Nashbu al-Rayah. Takhrij
serupa untuk kitab al-Hidayah dilakukan pula oleh Ibnu Hajar
al-'Asqalaniy (w. 852 H) yang memperpadat kaji ulang al-Zaila'iy dan diberinya
judul "al-Dirayah fi Takhrj Ahaditsi al-Hidayah”
(4) Al-Wajiz
karya fiqih Abu Hamid al-Ghazali penulis Ihya-u `Ulumuddin telah diulas
dengan meletakkan hadis-hadis guna membackup pemikiran fiqih Syafi'iyahnya
al-Ghazali (w. 505 H). Ulasan (syarah al-kabir) tersebut dikerjakan oleh
Sirajuddin Ibnu Mulaqqin (w. 804 H). Kaji ulang atas hadis-hadis kontribusi
Ibnu Mulaqqin tersebut dilakukan oleh Ibnu Hajar al-`Asqalaniy (w. 852 H)
dengan judul al-Talkhis al-Habir;
(5) Minhaju
al-Wushuli ilaa `Ilmi al-Ushuli karya al-Baidhawi (w. 685 H) hadis-hadisnya
dikaji ulang oleh Zainuddin al-'Iraqiy (w. 806 H);
(6) Syarah
al-Mawaqif fi `Ilmi al-Kalami yang
disusun oleh al-Iji (w. 756 H), hadis-hadisnya dikaji ulang oleh Jalaluddin
al-Suyuthi (w. 911 H);
(7) Tafsir
al-Kasyaf susunan Jarullah Mahmud bin Umar al-Zamahsyari (w. 538 H), atas
hadis-hadis yang difungsikan sebagai dasar pijakan dalam penafsiran ayat telah
dilakukan kaji ulang oleh al-Zaila'iy (w. 762 H);
(8) Awdhahu
al-Masalik karya Ibnu Hisyam (w. 213 H) yang menempatkan unit-unit hadis
guna mendukung variasi qira'ah untuk cara baca al-Qur'an, dikaji ulang oleh Ali
Hasan al-Bawwab; dan Ihya-u `Ulumuddin karya tasawuf Abu Hamid
al-Ghazaliy (w. 505 H), seluruh hadis dikaji ulang oleh Zainuddin al `Iraqi (w.
806 H) dengan judul "al- Mughni `an Hamli al-Asfar fi al-Asfar".
Khusus untuk kaji ulang kitab Ihya-u
`Ulumuddin diperoleh data keberadaan hadis bermutu dha'if hingga yang
terlacak mawdhu' (palsu). Temuan data tersebut bisa di-cross check
dengan hasil kaji ulang oleh Ibnu Hajar al-'Asqalaniy (w. 852 H) melengkapi
takhrij oleh pendahulunya, yakni Zainuddin al-Iraqi. Juga dapat dilacak ulang
pada basil takhrij oleh Zainuddin bin Quthlu-bagha yang bermazhab Hanafi (w.
879 H). Sebagai contoh, kaji ulang atas mutu kehujjahan hadis-hadis yang
ditempatkan oleh al-Ghazali untuk pokok bahasan (quthub) halal dan haram :
terdata hadis maqbul 55 unit dengan perincian 48 bermutu shahih dan 7 unit
hadis bemutu hasan, sisanya terdapat 23 unit hadis mardud karena indikasi
kedha'ifan, sedang selebihnya 8 unit hadis mawdhu' (palsu). Untuk mendukung bahasan
halal-haram dalam koordinasi rub 'u al-adat masih ditemukan 19 unit
hadis yang matannya berulang terpakai untuk bahasan yang sama.
Terhadap temuan sejumlah unit hadis dalam kitab
Ihya-u `Ulumuddin yang dikategorikan di bawah standar hujjah syar'iyah,
kiranya bisa dimaklumi kepentingan pemuatannya sebagai pembenaran (legitimasi)
semata untuk mendukung pemikiran tasawuf. Mencermati kecenderungan tasawuf yang
amat terbuka pada intuisi (dzauq) dan pengalaman rohani, mungkin
pemberdayaan hadis ditekankan pada segi esensi substansi yang dikandung (aspek
dirayah). Bisa juga terbentur basic keilmuan hadis yang memberi akses pada kritik
kehujjahan setiap unit hadis tidak setingkat ulama ahlu al-jahri wa
al-ta'dil. Kelemahan di sektor kritik hadis secara tak langsung terakui
dalam Jawahir al-Qur'an. Lebih diperkuat pula dengan ketiadaan sebuah
karya ilmiahpun dari 34 karangan al-Ghazali yang membahas bidang keilmuan hadis
teoritis. Bila melusuri penulisan Jawahir al-Qur'an pasca Ihya-u
`Ulumuddin dan 'oleh pengamat sejarah perkembangan tafsir digolongkan
sebagai "tafsir ilmi" sejalan pandangan al-Ghazali mengenai
pemahaman dan penafsiran dengan ra'yu terbuka sekalipun tanpa didasarkan
dalil naqli,[7] wajar
bila diestimasikan bahwa pemberdayaan hadis dalam kitab Ihya' lebih difokuskan
pada esensi substansi matan guna mendukung pemikiran tasawuf beliau.
(C)
URGENSI TAKHRIJ HA.DIS ICE DEPAN
Kajian keilmuan syari'ah pada akhir-akhir ini
semakin menerapkan pendekatan perbandingan (muqaranah) dengan
mendialektikakan persepsi, pemahaman, pemikiran dan kreasi ijtihad produk ulama
masa lalu, serta memperhadapkan antar mazhab/sekte/aliran sunniy/pandangan
perorangan maupun institusi. Pada tataran kaji banding itulah dalil naqli yang
berupa hadis disikapi secara kritis guna mengukur kadar hujjiahnya. Oleh karena
penilaian individual ulama hadis tentang status kehujjahan hadis tidak
selamanya sama, maka pengkajian ulang terhadap validitas serta originalitas
hadis membawa serta kritik total (naqd dakhili/matan, naqd khariji/sanad),
tidak sesederhana takhrij data keberadaan hadis semata. Sebagai akibat tidak
langsung dari proses panjang dokumentasi hadis oleh perorangan kolektor dan
masing-masing mengaplikasikan kaidah mayor-minor kritik yang tidak sama, maka
watak mayoritas hadis sebagai dalil naqli yang dzanniyu al-tsubut
semakin meramaikan polemik di tataran mutu kehujjahan.
Program spesialisasi hadis pada strata magister
hingga strata doktoral di perguruan tinggi dalam negeri (Indonesia) hingga
Timur Tengah banyak menguji-cobakan aplikasi kaidah kritik hadis, tentunya
cukup mengindikasikan betapa upaya mensyiarkan Islam sebagai agama perlu
mengefektifkan epistimologi keilmuan, termasuk upaya pencerahan wawasan hadis
secara elementer dan penguasaan doktrinalnya lebih komprehensif. Sudah bukan
waktunya lagi pengertian keilmuan syari'ah berpola instan dan cepat puas bila
norma dan etika syari'ah telah menjadi kultur, terlepas kadar kesadaran
beragama yang rentan pengaruh dari luar.
Di balik harapan idealis tersebut kalangan elit
ulama yang tradisionalis faham dan
pemikiran keagamaan mereka masih dibayangi keragu-raguan perihal :
(a) Bukankah
kaji ulang hadis selaku argumen (hujjah) akan berdampak langsung pada faham
keagamaan yang telah mapan, dalam arti telah mengakar di tengah-tengah
masyarakat ?
(b) Setarakah
subyek yang akan melakukan kaji ulang atas mutu kehujjahan hadis dari segi
kadar ilmiahnya dengan figur muallif (pengarang) kitab yang berbekal
tanggung jawab ilmiahnya telah menempatkan hadis tersebut?
(c) Apakah
kriteria yang menjadi standar kelayakan bagi seseorang untuk terjun ke sektor
kaji ulang mutu kehujjahan hadis ?
Sebagai ulasan dari ketiga pertanyaan penting
di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
(a) Kemapanan (establised) faham agama
mempersyaratkan kapasitas dalil naqli -bila berupa hadis- benar-benar qath'iyyu
al-tsubut dan qath'iy dalalahnya. Fakta tsubut (keberadaan)
hadis mencapai kadar qath'iy (pasti) apabila sistem transmisi (sanad)
periwayatannya memenuhi kriteria mutawatir. Dalalah substansi hadis bila
telah membentuk wawasan atau praktik pengamalan keagamaan yang mujma' 'alaih,
dengan sendirinya bertaraf qath'iy. Bukankah upaya menganalisis secara deduktif
makna kandungan matan hadis membutuhkan malakah al-istinbath', sedang
mengkongkritkan konsep ajaran agama ke dalam bentuk pratik `amaliyah amat
berkepentingan pada sarana ijtihad tathbiqi (aplikatif) berpendekatan
analisis induktif
Contoh praktisnya pilihan persepsi
Imam Malik (w. 179 H) dan Imam Syafi'i (w. 204 H) meniadakan konsep "radd"
pada kaidah pembagian waris yang hanya beranggotakan ashhabu al-furudh. Sisa
pusaka tak terbagi diterimakan pada lembaga bait al-mal. Pandangan
serupa dipegang oleh Imam Ibnu Hazm al-Zhahiri (w. 456 H).[8]
Doktrin hukum tersebut merujuk
pada pandangan Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Abbas r.a. Logika hukum yang
ditampilkan bahwa bagian fardhu untuk ahlu al-furudh harus mengacu pada
rumusan al-Qur'an. Konsekuensinya tidak boleh ada penambahan lewat radd,
karena melampaui batas normatif syari'at. Bagi ulama Zhahiri diperteguh dengan
asumsi kuat ketiadaan pengaturan tertulis dalam al-Qur'an, Sunnah dan tidak
pernah ada ijma' untuk menerima konsep radd.
Mapankah konsep hukum menolak radd
dalam pembagian waris ? Ternyata masih di jajaran ashab al-Syafi'i -seperti
terbaca pada Syarhu al-Kabir al-Dardir dan Hasyiyah al-Dasuqi- mengesampingkan
konsep penolakan radd apabila managemen lembaga bait al-mal
menyimpang dari mekanisme operasional syari'ah.[9]
Revisi atas konsep menjadi siap mengembangkan radd bila kondisi
managemen Bait al-Mal tidak memenuhi cara kerja versi syari'at pada
jajaran mazhab Syafi'i dipelopori oleh Qadhi Husein al-Mutawalli.
Indikasi dzanniy dalalah
bisa dilacak dari sikap sesama sabahat Nabi Saw, yaitu Abdullah bin Mas'ud, Ali
bin Abi Thalib serta Usman bin `Affan, karena mereka merujuk hadis nabawi yang
bertaraf jawaban hukum. Bermula seorang wanita (sebagai anak tunggal)
bersedekah untuk ibundanya berupa seorang budak wanita. Beberapa waktu kemudian
si ibu meninggal dunia. Nabi Saw menjawab/mengarahkan "wajaba ajruki wa
raja'at ilaiki al-jariyatu fi al-mirats.[10] Implikasi sabda Nabi Saw tersebut : anak
perempuan tunggal itu beroleh pusaka secara pasti (50% nilai jual budak) plus
sisa waris yang tidak terbagi.[11] Melalui proses penerimaan atas hadis
tersebut, konsep radd dalam pembagian waris diterima atas dasar sunnah
nabawiyah diperkuat penafsiran QS. al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6. Praktik revisi
atas hal-hal yang bersumber dari ijtihad secara teoritik dibenarkan. Revisi
dimaksud masih dalam koridor taghyiru hukmi al-ijtihad.[12] Preseden yang menjadi padanan antara lain
revisi Imam Syafi'i (w. 204 H) terhadap qawl qadim menjadi qawl jadid.
Berbeda diametral dengan "naqdhu
al-ijtihad" yang bersifat praktis (yuridis) cenderung tidak
dibenarkan. Diskripsi pelarangan itu
berlaku bagi hakim yang memutus perkara di pengadilan berdasar ijtihadnya. Amar
putusan hakim untuk perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Bila pada saat lain hakim tersebut dihadapkan perkara sejenis, dan is
berketetapan memutus dengan hasil ijtihad yang berbeda, maka hakim tersebut
tidak dibenarkan mencabut (merusak) putusan pertama.[13]
Prosedur tersebut menjadi berbeda ketika pihak tertentu dapat mengajukan novum
(bukti hukum baru), betapa untuk perkaranya telah diputus dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, hakim perlu melakukan peninjauan kembali atas putusan
pertama.[14]
Dari paparan di atas diketahui bahwa predikat
(nisbah) kemapanan faham keagamaan sangat relatif dan bisa tentatif
(sementara), terutama bila pijakan referensinya hasil ijtihad. Justru bila
diperoleh data hadis dengan kadar kehujjahan meyakinkan, segera mungkin
ditempuh langkah "muraja'atu al-haqqi khairun min al-tamadi fi
al-bathil".[15] Doktrin
hukum tersebut bersumber dari bimbingan teknis Khalifah Umar bin Khathab kepada
hakimnya, yakni Abu Musa al-Asy'ari.
(b) Keraguan ini bisa dilokalisir pada klaim
dominasi kaji ulang mutu kehujjahan hadis terbatas pada ulama yang kompeten
melakukan ijtihad. Memang cukup populer statemen (fatwa) Ibnu Shalah (w. 643 H)
yang intinya melarang dilakukan kritik hadis selepas kodifikasi sunnah/hadis
oleh kolektor yang kredibel.[16] Fatwa tersebut sealur dengan statemen Ibnu Shalah
bahwa pintu ijtihad di bidang fiqih telah tertutup pada akhir abad ke-empat
hijriah.[17] Statemen Ibnu Shalah bukan hendak mematikan daya
kreatifitas generasi umat, melainkan trauma dengan bukti kecerobohan para
kritikus hadis yang terobsesi oleh popularitas pribadi sekalipun kadar
penguasaan hazanah hadisnya amat minim untuk digelari "hafidz
al-hadis". Kesenjangan lain terkait kaidah kritik yang belum teruji
kehandalannya di medan
tahqiq (penelitian) hadis, karena instrumen analisis datanya tidak
reliable (terpercaya untuk mengukur) dan terkesan tidak measuremen. Kritikus
hadis sering terjebak kaidah kritik rasional (naqd `aqliy) langsung
diaplikasikan pada substansi kandungan matan. Kaidah kritik tersebut tak
dikenal dalam tradisi muhaddisin masa lalu.
Fatwa pelarangan dilakukan uji mutu
hadis oleh generasi pasca terbukukan hadis-hadis ke dalam koleksi standar,
bersifat antisipatif demi mengupayakan perlindungan dan pelestarian hazanah
hadis, sekaligus menolak keterlibatan orang yang bukan ahlinya ikut-ikut menjadi
kritikus hadis.. Kekhawatiran itu telah terbukti, utamanya dugaan mawdhu' pada
sejumlah besar hadis yang jatidirinya memenuhi kriteria shahih, hasan atau
sebatas dha'if saja.[18]
Tersebab oleh potensi penguasaan
syarat kualifikasi sebagai kritikus hadis, justru sepeninggal Ibnu Shalah (w.
643 H) telah muncul karya kritik hadis semacam : Dhiyauddin al-Maqdisi (w. 643
H), al-Mundziri (w. 656 H), Syarafuddin al-Dimyathi (w. 705 H), Taqiyyud-din
al-Subki (w. 756 H), Ibnu Hajar al-`Asqalani (w. 852 H), Zainuddin al-Iraqi (w.
806 H), Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H), al-Shan'aniy (w. 1182 H).[19]
Belakangan muncul Ahmad Muhammad Syakir yang surprice mentahqiq 11 kitab
koleksi hadis, dan Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H/ 1999 M) dengan
koleksi hasil klarifikasi ulang berjudul "Silsilatu al-Ahadis"
untuk kategori dha'if, mawdhu' dan shahih.
Tanpa mengurangi rasa hormat pada
ketegasan Ibnu Shalah (w. 643 H) dengan fatwanya, mengingat kebutuhan akan
peran kritikus hadis terutama menghadapi gerakan orientalis yang
mendiskreditkan potensi hadis dan tantangan dari kelompok inkaru al-sunnah,
seyogyanya efektifitas fatwa beliau mentolerir kehadiran kritikus hadis yang
mumpuni secara ilmiah. Akses untuk mereka dipayungi dengan penerimaan atas
prinsip "tajazzu-u al-ijtihad", yakni ulama dengan kapasitas
keilmuan spesialisasi kritik hadis, sekalipun yang bersangkutan tetap berstatus
muqallid di bidang luar spesialisasinya. Pemikiran tersebut sejalan
dengan pandangan al-Ghazali "barangsiapa menguasai kaidah pengoperasian
teori qiyas (analogi), maka kepadanya diperkenankan berfatwa terhadap kasus
yang solusi hukumnya cukup dengan giyas."[20]
(c) Profil yang menangani kegiatan kaji ulang (takhrij)
hadis harus memiliki integritas keislaman, cinta kepada penerima mandat nubuwah/risalah
secara meyakinkan dan tidak cidera moral kepribadiannya. Kualifikasi per profil
tersebut setara persyaratan "al-`adalah fi al-riwayah" yang
oleh ulama muhaddisin dipatok kriteria lebih tinggi dari profil "al-`adalah
fi al-syahadah". Kualifikasi kepribadian setinggi itu karena resiko
yang dipertaruhkan adalah kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam dan
kepadanya umat Islam menggantungkan tanggung jawab kolektif merawat pusaka
(warisan) peninggalan Nabi Saw. Strata al-'adalah secara eksplisit
terpampang pada sabda Nabi Saw
"yahmilu
hadza al`ilma min kulli khalafin `uduluhu".[21]
"Kelak akan memikul
ilmu ini (informasi kenabian dan pusaka kerasulan) dari generasi penerus
(terdiri atas) orang-orang yang adil..."
Integritas kepribadian sebagai
landas pacu bagi i'tikad baik yang bersangkutan dalam kiprah dedikasinya
membentengi hadis dari setiap usaha "intihal al-mubthilin"
kelanjutan hadis di atas. Pengabdian
luhur tersebut pada garis besarnya mencerminkan program menggagalkan setiap
usaha yang hendak mencemari perbendaharaan hadis nabawi dengan
kepalsuan-kepalsuan betapa terkemas sebagai ajaran agama. Seberat tanggung
jawab tersebut, maka subyek pelaku kaji ulang mutu kehujjahan hadis harus
benar-benar memiliki malakah (kecakapan) meneliti sanad dan matan hadis
dan terampil mengaplikasikan kaidah kritik minor untuk setiap komponen hadis.[22]
Sarana pendukung malakah adalah
kadar penguasaan sejumlah besar hadis, benar-benar memahami metode takhrij/i'tibar/tahqiq,
pengalaman melakukan evaluasi data ikhtilaf hingga ta'arudh yang
lazim mewarnai jarah-ta'dil, peka mengidentifisir gejala kelainan pada
ungkapan matan dan ketajaman dzauq pada karakteristik bahasa kenabian.
Sekira kesiapan malakah berikut ilmu pendukungnya tak dapat dicapai
secara perorangan, jalan keluarnya adalah kaji ulang berbentuk team yang
bekerja seperti proses ijtihad jama'i (kolektif).
Tanpa berpretensi menilai
hasil kerja team Forum Kajian Kitab Kuning atau Lajnah Dirasat Kutubi
al-Turats bentukan LSM Puan Amal Hayati, ketika menta'liq dan mentakhrij
kitab daras pondok pesantren berjudul "Syarah 'Uqud al-Lujaini fi Bayani
Huquqi al-Zawjaini" dilaporkan hasil pengkajian sebagai berikut:
a. Jumlah satuan hadis : ± 100 unit
hadis
b. Berstatus hukum shahih : ± 30%
c. Mawdhu' (palsu) : 9 unit hadis
d. Sangat dha'if :
5 unit hadis
e. Dha'if : 18 unit hadis
f. La ashla lahu : 12 unit hadis
Pedoman pengkajian ulang
dirujuk pada kitab koleksi hadis masyhur, dan ternyata berjumlah di
bawah 27 kitab koleksi hadis standar yang terbit dalam format cetak mesin,
belum lagi menghubungi kitab koleksi hadis yang dokumentasinya makhtuthat (tulisan
tangan manual). Pedoman klarifikasi data hadis menjadikan klasifikasi "la
ashla lahu" cenderung bias (eror). Terjadi olah data uji matan
ditekankan pada substansi kandungan dengan kaidah kritik penalaran subyektif
peneliti. Diindikasikan ada 2 (dua) unit hadis yang berdasar narasumber
informasinya mawquuf, langsung divonis sebagai "dha'if”.
Dalam kaidah pengukuran kedha'ifan tidak menjadikan status marfu'/mawquf/maqthu'
sebagai indikasi kelemahan hadis, kecuali diperoleh petunjuk telah ada rekayasa
memanipulir kemawqufan matan berubah menjadi marfu' sharih/haqiqi.
Sandaran teori/referensi untuk menentukan status hadis menyertakan persepsi
ulama berinisial Ahmad Luthfi Malaysia. Demikian juga merujuk kepada hasil
evaluasi Nashirud-din al-Albani yang kredibilitas tahqiqnya belum memperoleh
pengakuan maksimal. Informasi tentang status hukum hadis yang masih
diperselisihkan kehasanannya dikesampingkan begitu saja dan jatuh
penilaian dha'if.
Mencermati cara kerja Forum
Kajian Kitab Kuning berbentuk team beranggotakan 14 orang, sembilan orang di
antaranya wanita dengan latar belakang sepesialisasinya belum tentu keahlian tahqiq
hadis, kiranya hasil kaji ulang hadis-hadis pada karya Imam Nawawi
al-Bantani al-Jawi (w. t 898 M) masih perlu ditindak-lanjuti. Semoga dedikasi
forum tersebut_tidak disemangati prakonsepsi bahwa substansi matan ±100 unit
hadis itu penghambat aspirasi kesetaraan gender yang tengah mereka perjuangkan.
(D)
RANGKUMAN
1. Kegiatan ilmiah kaji ulang mutu kehujjahan
hadis merupakan pelestarian usaha ulama muhaddisin yang perlu didukung guna
memantapkan kesadaran beragama umat Islam dari pola pengamalan bertaqlid
menjadi pengamalan ittiba';
2. Kaji ulang mutu kehujjahan hadis yang menjadi
sandaran wawasan keilmuan syari'at berfungsi setara klarifikasi kemapanan faham
keagamaan dengan sandaran ijtihad fardi (individual) dan belum mengambil
bentuk ijma' `amaliy;
3. Profil yang pantas membidangi kegiatan kaji
ulang atas mutu kehujjahan hadis harus terjamin integritas keislamannya,
i'tikad baik dedikasinya, mampu bekerja profesional dengan basic spesialisasi
keilmuan hadis dan melakukan kaji ulang tanpa prakonsepsi kecuali semata-mata
demi menjaga originalitas sumber ajaran Islam dan mendukung program
sosialisasinya.
DAFTAR PUSTAKA
al-Dzahabiy, Muhamad Husein, al-Tafsiru wa al-Mufassirun, Beirut : Dar alFikr, 1976
al-Ghazaliy, Abu Hamid, al-Mustashfa min Ushuli al-Fiqhi, Beirut : Dar al- Fikr, tt.
................., Ihya-u `Ulumuddin,
Beirut : Dar Ihya-u al-Kutub al-'Arabiy, 1957
al-Hafnawiy, Muhamad Ibrahim, Tabshirah
al-Nujaba, Kairo : Dar al-Hadis, 1995.
Muhamad, Muh. Abdu al-Rahim, al-Tafsiru
al-Nabawiy, Kairo : Maktabah alZahra, 1992.
Masyrafah, 'Athiyah Musthafa, al-Qadha-u iva
al-Qanuniyyah, Beirut : Dar al`Ilmi Ii al-Malayin, 1967.
Musa, Muhamad Yusuf, al-Tirkah wa al-Mirats
al-Islami, Kairo : Dar al-Ma'rifah, 1967.
Nayel, Muhammad, Dirasat fi al-Dakhili fi
Tafsiri al-Qur'an al-Karim, Kairo: Maktabah al-Husein, 1991.
al-Padangi, Muhamad Yasin, al-Fawa-id
al-Janiyyah, Beirut : Dar al-Fikr, 1989.
al-Qardhawi, Yusuf, Kayfa Nata'amalu ma'a al-Sunnah
al-Nabawiyah, Virginia AS : al-Muayyad, 1991
al-Syawkani, Muhammad bin Ali, Irsyadu al-Fuhul,
Beirut: Dar al-Fikr, tt.
al-Shan'aniy, Muhammad bin Ismail, Taudhih
al-Afkar, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
al-Syahrazuri, Ibu Shalah, Muqaddimah Ibnu
Shalah fi 'Ulumi al-Hadis, Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsagafiyah, 1999.
al-Sayuthi, Jalaluddin, Tadrib al-Rawi,
Beirut: Dar al-F kr, 1998.
................. al-Itqanu fi `Ulumi al-Qur'an, Mesir : Musthafa al-Babi, 1951.
................. al-Jami'u al-Shaghir,
Beirut : Dar al-Fikr, tt.
Sayfuddin, al-Amidi, al-Ihkamu fi Ushuli
al-Ahkam, Kairo : Muh. Ali
Shabih, 1968.
Salam Madzkur, Ushul al-Fiqhi al-Islamiy,
Kairo : Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1984.
al-Zarqa, Musthafa Ahmad, al-Madkhal al-Fighiyi
al-`Amm, Damaskus Mathba'ah Tharbayn, 1968.
al-Zuhailry, Wahbah, al-Fiqhu al-Islamiy wa
Adillatuhu, Damaskus : Dar al-Fikr al-Mu'ashir, 1989.
Malang, 3 Oktober 2011
[4] Salam Madzkur, Ushul al-Fiqh al-Islamiy (Kairo
: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1984), hlm. . 348-349
[5] Abdullah Nayel, Dirasat fi al-Dakhili fi Tafsiri
al-Qur'ani al-Karim (Kairo Maktabah al-Husein, 1991), h1m. 61-69
[6] Muh. Abdu al-Rahim Muhammad, al-Tafsiru al-Nabawiy
(Kairo : Maktabah al-Zahra,1992), hlm. . 35; Jalaluddin al-Sayuthi, al-Itqan
fi 'Ulumi al-Qur'an, II (Mesir : Musthafa al-Babi, 1951). hlm. 178
[8] Muhammad Yusuf
Musa, al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam (Kairo : Dar al-Ma'rifah, 1967)
h1m. X28-329
[9] M Yusuf Musa, Ibid, hlm. 330; Shubhi Mahmashanni,
al-Mabadi'u al-Syar'iyah wa al-Qanuniyah (Beirut: Dar al-Ilmi li
al-Malayini, 1967), hlm. . 327
[10] M. Yusuf Musa, Ibid,
hlm. 332
[11] Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh
al-Islamiy wa Adillatuhu, VIII (Damaskus : Dar al-Fikr, 1989), hlm. 360 -
[12] Saifuddin al-Amidi, al
Ihkam fi Ushuli al Ahkam, IV (Kairo : Muh. All Shabih, 1968), hlm. 176
[13] Muh. Yasin al-Padangi, al-Fawaid
al-Janiyyah (Beirut : Dar al-Fikr, 1996), hlm. . 291-295
[14] Musthafa A al-Zarqa, al-Madkal
al-Fiqhiyyi al-`Amm, II (Damaskus : Mathba'ah Tharbayn, 1968), hlm.
1010-1011.
[15] A. Fattah Muh. Abu
al-`Ainair, al-Qadha-u wa al-Itsbatu (tp. tt.), hlm. 80
[16] Ibnu Shalah/Abu `Amr
al-Syahrazuri, Muqaddimah (Beirut : Muassasah al-Kutub al-Saqafiyah,
1999), hlm~ 22-23
[17] al-Syawkani, Irsyadz al-Fuhul
(Beirut : Dar al-Fikr, tt.), hlm. . 253
[18] Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib
al-Rawi, I (Beirut : Dar al-Fikr, 1998), hlm. . 278-279
[19] al-Syan'aniy, Tawdhih al-Afkar, I,
(Beirut : Dar al-Fikr, tt.), hlm. . 118-119
[20] Abu Hamid al-Ghozali, al-Mustashfa
min Ushuli al-Fiqh, II (Beirut : Dar al-Fikr, tt.), hlm. 353
[21]Yusuf al-Qardhawi, Kaifa
Nata'amalu Ma'a al-Sunnah al-Nabawiyah (Virginia AS: aI-Muayyad, 1991),
hlm. 2i3
0 komentar:
Posting Komentar