Studi
Kritik Hadits Nabi SAW. : Metodologi Penelitian Hadits
Mukadimah
Para pemerhati dan pemikir keislaman
yang kritis, sudah cukup lama peduli pada sumber ajaran Islam, terutama al-hadits
an-nabi saw.[1] Begitu pula
dengan penelitian terhadapnya, telah banyak juga dilakukan mereka,[2] termasuk di dalamnya adalah para
orientalis (baca: Islamolog Barat). Mengingat, Hadits Nabi SAW. adalah juga
petunjuk bagi umat Islam setelah al-Qur’an, yang sekaligus merupakan penjelas
utama al-Qur’an.[3]
Alasan lainnya adalah bahwa tidak
seluruh Hadits ditulis pada zaman Nabi SAW. [4]; sebagian Hadits Nabi SAW.
didapati telah dipalsukan; proses penghimpunan Hadits Nabi SAW. memakan waktu cukup
lama; jumlah kitab Hadits Nabi SAW. cukup banyak dengan metode penyusunan yang
berbeda-beda, dan; telah terjadinya periwayatan Hadits secara Maknawi.[5]
Analisis Fazlur Rahman menyebutkan,
bahwa secara historis Hadits Nabi SAW. dalam rangka formalisasinya untuk
dijadikan sebagai otoritas pasca al-Qur’an itu telah mengalami evolusi.
Katanya, ada tiga tahapan dalam perkembangan evolutifnya; informal, semi
formal, dan formal.[6] Jadi,
penelitian (baca: kritik) terhadap Hadits Nabi SAW. sangat perlu sekali
dilakukan, demi menjaga autentisitasnya.
Hemat penulis, berbagai kajian yang
dimaksud tersebut, masih cukup sedikit yang membahas secara langsung tentang
“Ilmu Kritik Hadits (‘ilm naqd al-hadits)”, atau lebih tepatnya yang
menggunakan term kritik. Baru sekitar abad XIV Hijriyah pengkajian itu
dilakukan secara serius[7].
Jika dikatakan, bahwa kritik terhadap
Hadits telah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. atau pada masa kegemilangan
sejarah Islam, penulis berasumsi, itu masih berupa “cikal bakal” atau proses
dari suatu kajian yg mengarah ke kritik dimaksud, yakni sistematisasi,
metodologisasi atau kajian yg komprehensif dalam ulum al-hadits.[8]
Tulisan pendek ini, tentu saja terlalu
berlebihan, jika dikatakan untuk menyelesaikan problem di atas. Karena itu,
maksud penulis hanya sekedar (cukup) untuk memperkenalkan saja tentang “Studi
Kritik Hadits”, yaitu kajian model mutakhir dari metodologi penelitian Hadits
Nabi SAW. Ini juga, lebih banyak mengambil referensi dari berbagai kitab dan
buku yang telah ada, khususnya sejak abad tersebut.
Beberapa pemerhati dan literatur yang
telah membahas dan langsung menyebutkan dengan istilah “kritik (naqd)”
hadits, antara lain; Nur ad-Din ‘Itr dengan karyanya, Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadits, Muhammad Mustafa A’zami dalam Studies In Hadith
Methodology and Literature dan Manhaj an-Naqd ‘ind al-Muhadditsin:
Nasy’atuh wa Tarikhuh, Muhammad Syuhudi Isma’il dalam Hadits Nabi
Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, dan Ali Mustafa Ya’qub dalam Imam
Bukhari & Metodologi Kritik dalam Hadits dan Kritik
Hadits. Berawal dari merekalah pengkajian atas studi kritik ini dilakukan.
Sekalipun, kajian itu belum memberikan pemahaman yang utuh sekali.
Kita akan mendapatkan sesuatu yang agak
utuh, baru dari para pengkaji dan beberapa literatur mengenai kritik (baca:
penelitian) Hadits Nabi SAW. yang lebih spesifik (yakni, secara terpisah), baik
untuk sanad ataupun matan hadits. Lebih-lebih, mereka telah mencoba
mengaktualisasikannya dalam pergulatan intelektual kontemporer dan
menerapkannya secara kontekstual. Antara lain; Shalahuddin ibn Ahmad al-Adlabi,
Manhaj Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulama al-Hadits an-Nabawi; Muhammad Thahir
al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadits an-Nabawi asy-Syarif;
Afif Muhammad, “Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual atas Hadis
Nabi SAW.”; dan Said Agil Husein al-Munawwar, “Urgensi Kritik Matan dalam Studi
Hadits Kontemporer: Rekonstruksi Metodologi atas Kriteria Kesahihan Hadits”.
Secara berurutan (sistematis), bahasan
dimulai dari paparan tentang pengertian kritik hadits, sejarah dan
perkembangannya, lalu pembagian dan metodologi kritik hadits, dan standarisasi.
Sebelum penutup atau kesimpulan, akan dikemukakan urgensi studi kritik hadits
dalam penelitian hadits Nabi SAW. saat ini (kontemporer).
Pengertian
Secara leksikal, istilah “kritik” dalam
bahasa Indonesia adalah celaan, kecaman, dan sanggahan. Pengertiannya yang agak
luas adalah memberi pertimbangan dan menunjukkan mana yang salah dan yang
benar. Orang yang ahli mempertimbangkan baik dan buruk disebut kritikus. [9]
Dalam berbagai literatur Arab modern,
kata naqd adalah mashdar dari kata naqada digunakan
dengan arti “kritik” (criticism).[10] Adapun dari segi bahasa, bisa
diartikan dengan “membedakan; memisahkan” dan “memilih”. Seperti dalam contoh; naqd
ad-darahim wa intaqadaha; tamyiz ad-darahim wa ikhraj az-zaif minha[11] (Dia membedakan uang
dan memisahkannya dari yang palsu); atau naqd al-kalam wa naqd asy-syi’r –diartikan
dengan–, He pick out the faults of the language and of the poetry,
[12] (Dia
telah memilih yang salah dari bahasa dan sastra).
Jadi dalam arti bahasa (lugawi),
naqd itu dapat menjelaskan pada setiap sesuatu untuk menyingkapkan dan
mengujikannya. Seperti itu pula makna lugawi dari naqd
menurut ahli Hadits.[13]
Dengan arti di atas, tidak mengherankan
jika Imam Muslim (w. 261), seorang ahli Hadits ternama, ketika menulis sekitar
metodologi kritik Hadits memberi nama kitabnya dengan At-Tamyiz. Hal
ini barangkali juga, karena dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. tidak dijumpai
dan digunakan kata naqd dengan maksud “kritik”, tapi dengan
maksud lain dan dengan menggunakan kata yamiz (asal katanya, maza).[14]
Sebenarnya, menurut Muhammad Mustafa
A’zami –lalu, disebut A’zami–, kata naqd sudah dipergunakan oleh ahli
Hadits masa awal, hanya saja kurang populer. Mereka ketika mengkritik Hadits
menamakannya dengan al-jarh wa at-ta’dil (tentang invaliditas dan
kredibelitas dalam Hadits). Karenanya, kata tersebut (naqd) sangat
mungkin telah digunakan pada abad kedua Hijriyah.[15] Seperti, dalam karya Ibn Hatim
ar-Razi (w. 327) al-Jarh wa at-Ta’dil, beliau menyebutkan istilah
kritik dan kritikus Hadits dengan an-Naqd wa an-Nuqqad.[16]
Kritik hadits, secara terminologis,
menurut A’zami dalam “Manhaj an-Naqd ‘inda al-Muhadditsin” adalah
menyeleksi hadits-hadits antara yang shahih dengan yang dla’if
dan meneliti para perawinya apakah dapat dipercaya dan kuat ingatannya (tsiqah)
atau tidak. [17]
Adapun ilmu kritik hadits (‘ilm naqd
al-hadits), menurut Muhammad Thahir al-Jawabi adalah menetapkan status
para perawi hadits, baik tajrih (kecacatan), maupun ta’dil
(keadilan) dengan menggunakan kata-kata tertentu yang ditentukan oleh para ahli
Hadits; dan meneliti matan-matan hadits yang sanadnya shahih untuk di-tashih
atau sebaliknya (di-tadla’if ), dan untuk menghilangkan (kesahihan
matan) dari yang musykil, lalu menolak atau menghindarkan dari matan
yang bertentangan dengan cara menerapkan aturan-standar yang tepat.[18]
Dari pengertian di atas, berarti menepis
pendapat yang beredar dikalangan umat Islam, bahwa kritik Hadits sebagai
sebuah upaya untuk melecehkan kedudukan dan fungsi Hadits. Juga, tentang bahwa
istilah tersebut datang dari islamolog Barat, berarti tidak 100 % benar.[19]
Dalam Ilmu Hadis, kritik ditujukan pada
dua aspek; aspek sanad dan matan hadis.[20]
Pada kritik dua aspek ini, yakni kritik sanad/kritik ekstern, naqd as-sanad/naqd
ar-rijal/naqd al-khariji dan kritik matan/kritik intern, naqd
al-matn/naqd al-bathini diperlukan syarat-syarat, kaedah-kaedah, atau
standarisasi tertentu.
Bila demikian, kritik dalam arti semacam
itu, sama halnya dengan istilah “penelitian” menurut M. Syuhudi Isma’il.[21] Lalu, dari penelitian tersebut
akan muncul istilah ahli hadis, ”hadza al-hadits shahih al-isnad” dan
“hadza al-hadits shahih al-matn”.[22] Paparan lebih lanjut, akan
dibahas dalam sub “Pembagian dan Metodologi”, setelah sub “Sejarah dan
Perkembangan”.
Sejarah dan Perkembangan
Dari beberapa batasan “kritik” di atas,
dapat dikatakan bahwa kritik terhadap Hadits Nabi SAW. telah dimulai sejak
zaman Nabi SAW [23] Jika demikian,
“ilmu” ini mengalami proses yang panjang, sesuai dengan perkembangan
intelektual.
Hal ini, sama sebagaimana dalam analisis
al-Jawabi, bahwa kritik Hadits Nabawi –seperti juga ilmu-ilmu keislaman lain—
dimulai dengan pertumbuhan, kemudian mengalami fase-fase (tahapan) tertentu dalam
perkembangan menuju kesempurnaannya, sehingga mempunyai kaedah dan
metodologinya.[24]
Tahapan-tahapan yang dimaksud adalah al-istitsaq
min al-khabar (eksplorasi Hadits), al-ihtiyath fi ar-riwayah tahammulan
wa ada’an (selektif dalam periwayatan, baik penyampaian ataupun
penerimaannya), naqd ma’na al-hadits (kritik makna Hadits), naqd
ar-ruwah min janib dabthihim wa shiyanah mabna al-matn (kritik para
perawi, dari segi keadilan dan kecacatan untuk mengetahui kredibelitasnya dan
akurasi materi Hadits), at-taftisy ‘an ar-ruwah wa al-bahts ‘an ‘adalatihim
(penyidikan tentang para perawi dan evaluasi tentang keadilannya),
al-muthalabah bi al-isnad (penyelidikan dengan susunan/urutan perawi),
ta’sis ‘ilm al-jarh wa at-ta’dil (pemberian landasan pada jarh wa
at-ta’dil), al-bahts ‘an ‘ilal al-hadits (koreksi atas cacat
Hadits).
Setelah itu, metode baru dari kritik
makna (naqd ma’na) untuk menghindarkan matan-matan yang bertentangan
dan menghilangkannya dari kemusykilan. Tahapan berikutnya, kritik bahasa Hadits
(naqd lugah al-hadits) meliputi; penjelasan yang ganjil dan
justifikasi kesalahan mengeja, dan; tahapan terakhir, pemahaman Hadits (bayan
fiqh al-hadits). Semuanya itu, kata al-Jawabi, ditujukan untuk dapat
membedakan antara Hadits yang Shahih dan yang dla’if.[25] Dari proses tersebut itulah,
sehingga muncul dan menghasilkan beberapa ilmu yang dapat membedakan dari suatu
Hadits Nabi SAW. yang diterima (al-maqbul) dan ditolak (al-mardud)
dari segi matan dan sanadnya, juga pemahaman terhadap makna dan lafadhnya.[26]
Dalam analisisnya, A’zami mengungkapkan
bahwa pada zaman Nabi SAW. penelitian Hadits masih bersifat verifikatif dan
konfirmatif. Seperti, “seseorang pergi menemui Nabi SAW. untuk membuktikan
sesuatu yang telah disabdakan beliau”. Jadi, pada tahap ini masih sangat
sederhana, dapat pula dikatakan sebagai konsolidasi dan demi ketenangan hati
orang-orang muslim; bahwa memang Nabi SAW. benar-benar menyampaikan hal itu.
Sebagai contohnya, adalah kasus ahl al-badiyah, seperti berikut ini.
“Anas ibn Malik berkata:…telah datang
seseorang dari ahl al-badiyyah kemudian bertanya,” Wahai Muhammad kami
telah didatangi utusanmu, ia mengatakan bahwa Allah SWT. telah mengangkat
engkau sebagai Rasul, benarkah? Nabi SAW. menjawab: benar…. Lalu bertanya lagi;
“Utusanmu juga menyampaikan tentang kewajiban untuk mengeluarkan zakat dari
harta kami, benarkah?” Jawab Nabi SAW., benar…. Selanjutnya, “Utusanmu juga
mengajarkan kepada kami tentang kewajiban untuk berpuasa Ramadlan setiap
tahunnya, benarkah?” Jawab Nabi SAW, benar…dst. (HR. Muslim).[27]
Beberapa Sahabat Nabi SAW. lain juga
melakukan hal demikian. Di antara mereka itu; Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Ali ibn
Abi Thalib, Ubay ibn Ka’b, Abdullah ibn Amr, umar ibn Khattab, ‘Aisyah bint Abu
Bakar, Ibn ‘Umar dan Zainab isteri ibn Mas’ud.[28]
Menurut Ibn Hibban, setelah generasi
‘Umar ibn Khattab dan ‘Ali ibn Abi Thalib, para penerusnya adalah para Tabi’in.
Pada masa kedua ini, sudah lebih berkembang lagi, setidaknya terdapat dua
aliran; aliran Madinah dan Irak. Beberapa dari Madinah antara lain Ibn
al-Musayyib (w. 93), al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakr (w. 106), Salim ibn
‘Abdullah ibn ‘Umar (w.106), ‘Ali ibn Husain ibn ‘Ali (w.93), Abu Salamah ibn
‘Abd ar-Rahman (w. 94), Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit (w.100), ‘Urwah ibn az-Zubair
(w. 91), Abu Bakr ibn ‘Abd ar-Rahman, ibn al-Harits (w. 94), dan Sulaiman ibn
Yasir (kira-kira w. 100). Selain mereka itu antara lain, az-Zuhri (w. 124).
Sedangkan yang mewakili dari Irak, diantaranya Sa’id ibn Zubair (w. 95),
asy-Sya’bi (w. 104), Thawus (w. 106), al-Hasan al-Bashri (w. 110), dan Ibn
Sirin (w. 110). Juga termasuk, as-Sakhtiyani (w. 131), dan Ibn ‘Awn (w. 151).
Selanjutnya, kritik Hadits Nabi SAW.
memasuki tahapan baru, setelah periode di atas. Tahap baru tersebut adalah
dengan melakukan perjalanan (journay) untuk memperoleh Hadits, meskipun
sebenarnya metode ini telah dilakukan pada zaman Nabi SAW. namun, tidak bisa
disamakan dengan perjalanan oleh para ulama abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah.
Perbedaan rihlah ilmiyah tersebut, semangatnya itu sebagaimana dipaparkan oleh
Yahya ibn Ma’in (w. 233); “There are four kinds of people who never became
mature in their life; among them is he who writes down hadith in his own and
never makes a jouney for this purpose”[29] (Ada empat jenis manusia yang
tidak pernah menjadi puas dalam hidup mereka; salah satunya adalah sesorang
yang mencatat hadits miliknya sendiri dan tidak peduli melakukan perjalanan
demi tujuan penulisannya).
Sejak abad itulah, secara umum
persyaratan peneliti Hadits adalah melakukan perjalanan dimanapun (extensive).
Sehingga, kritiknyapun tidak terbatas hanya pada guru-guru (syaikh) dimana
peneliti hidup, tapi sudah mendunia (Islamic world).
Beberapa diantara mereka adalah Sufyan
ats-Tsauri dari Kufah (97-161), Malik ibn Anas dari Madinah (93-179), Syu’bah
dari Wasith (83-100), al-Awza’I dari Beirut (88-158), Hammad ibn Salamah dari
Bashrah (w. 167), al-Laitsibn Sa’d dari Mesir (w. 175), Hammad ibn Zaid dari
Bashrah (w. 179), Ibn ‘Uyainah dari Mekkah (107-198), ‘Abdullah ibn al-Mubarak
dari Merv (118-181), Yahya ibn Sa’id al-Qattan dari Bashrah (w. 198), Waki’ ibn
Jarrah dari Kufah (w. 196), ‘Abd ar-Rahman ibn Mahdi dari Basrah (w. 198), dan
asy-Syafi’I dari Mesir (w. 204). Namun, menurut Ibn Hibban, yang termasyhur
dari mereka adalah Syu’bah, Yahya ibn Sa’id dan Ibn Mahdi. Syu’bah dalam bidang
ini adalah gurunya Yahya ibn Sa’id.[30]
Dari para kritikus tersebut, kemudian
mempunyai generasi penerusnya. Beberapa yang terkenal adalah Yahya ibn Ma’in
dari Bagdad (w. 233), ‘Ali ibn Al-Madini dari Bashra (w. 234), Ibn Hanbal dari
Bagdad (w. 241), Abu Bakr ibn Abu Syaibah dari Wasith (w. 235), Ishaq ibn
Rawaih dari Merv (w. 238), ‘Ubaidillah ibn ‘Umar al-Qawariri dari Bashrah (w.
235), dan Zuhair ibn Harb dari Bagdad (w. 234). Sedangkan yang lebih masyhur
lagi dari mereka adalah Yahya ibn Ma’in, ‘Ali ibn al-Madani, dan Ibn Hanbal. Sebagaimana
biasanya, diantara murid mereka ada juga yang terkenal, seperti halnya;
ad-Darimi (w. 255), al-Bukhari (w. 256), Muslim an-Naisaburi (w. 261), dan Abu
Zur’ah ar-Razi (w. 264).
Pada periode abad-abad itulah kritik
Hadits Nabi SAW. tumbuh dan berkembang sangat subur. Menurut al-Jawabi, periode
tersebut termasuk dalam kategori periode awal, dari tiga periode yang
disebutnya sebagai periodisasi dalam naqd al-hadits. Secara lengkap,
sebagai berikut; pertama, periode Shahabat dan Tabi’in (sampai paruh abad II
Hijriyah); kedua, periode tadwin al-hadits dan ta’sis funun
an-naqdiyah (hingga akhir abad IV Hijriyah)[31]; dan terakhir adalah periode
penyempurnaan dari periode sebelumnya, mulai abad IV-IX Hijriyyah.[32]
Setelah itu, perkembangan kritik Hadits
terus berlanjut, baik melalui metodologi ataupun segi sanad dan matannya,
bahkan terkesan semakin ketat dan kritis hingga dewasa ini. Beberapa literatur
telah disebutkan di muka.
Adapun literatur lainnya, antara lain; Studies
In Early Hadith Literature, “ Hadis Nabawi damn Sejarah Kodifikasinya” ,
M.M. A’zami; As-Sunnah an-Nabawiyyah: Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits,
“Studi Kritis Atas Hadits Nabi SAW. Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual” ,
Syaikh Muhammad Al-Ghazali; Kasyf Mauqif al-Ghazali Min as-Sunnah wa Ahliha
wa Naqd Ba’dl Ara’ih, “Membela Sunnah Nabawiy: Jawaban Terhadap Buku Studi
Kritis Atas Nabi (M.Al-Ghazali)”, Rabi’ bin Hadi al-Madkhali; Kaifa
Nata’ammal Ma’a as-Sunnat an-Nabawiyyah,“ Studi Kritis As-Sunnah, Yusuf
Qardlawi; As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami, “Sunnah dan
Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan Kaum Sunni,
Musthafa Al-Siba’I; dan Muhammad Syuhudi Isma’il, Kaedah Kesahihan Hadits:
Tela’ah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah.[33]
Dengan demikian, studi kritik Hadits
Nabi SAW. itu hingga sekarang masih tetap diminati oleh semua pemerhati
keislaman kontemporer. Perkembangan semacam ini, tentu saja akan memberikan
nuansa pada kerangka kritik Hadits selanjutnya.
Pembagian Kritik dan Metodologi
Sebagaimana dipaparkan sebelum ini,
bahwa kritik Hadits itu usaha untuk mengetahui shahih tidaknya suatu Hadits dan
mempertanyakan apakah Hadits tersebut benar-benar berasal dari Nabi SAW. atau
bukan. Berarti, sasarannya adalah dokumen dan teks sumber yang menginformasikan
tentang Nabi SAW. Jika demikian, mirip sekali –kalau bukan, tidak ada bedanya–
dengan penelitian sejarah, yakni sama-sama berupaya meneliti sumber dalam
rangka memperoleh data yang autentik dan dapat dipercaya.[34]
Dalam metode sejarah, terlebih dahulu
sumbernya harus diteliti sebelum data digunakan. Sumber data, dilihat dari
sifatnya ada dua, yaitu sumber primer dan sekunder[35]. Sementara, penelitian pada
sumber tersebut ada dua macam; kritik ekstern dan kritik intern.
Berkaitan dengan penelitian Hadits Nabi
SAW., kritik yang ditujukan pada sanad (perawi) atau naqd as-sanad adalah
kritik ekstern dalam ilmu sejarah atau naqd al-hadits al-khariji, an-naqd
adh-dhahiri; dan kritik pada matan (naqd al-matn), disebut
juga kritik intern dalam ilmu sejarah (an-naqd ad-dakhili, an-naqd
al-bathini).[36] Jadi, kritik
Hadits Nabi SAW. itu terbagi menjadi dua aspek atau segi, yakni segi sanad[37] dan segi matan.
Untuk menuju pada penelitian Hadits Nabi
SAW. tersebut, terdapat beberapa metode yang digunakan, baik pada zaman Nabi
SAW. ataupun era saat ini, kontemporer. Metode-metode yang dimaksud adalah
metode komparatif, metode rasionalisasi, dan kontekstual.
A. Metode Komparatif.
Dengan mengutip pendapat Ibn al-Mubarak
(w. 181),” …untuk mencapai pernyataan yang otentik, orang perlu membandingkan
kata-kata ulama satu dengan yang lainnya..”, A’zami menyatakan bahwa “metode
perbandingan, the methode of comparasion ” sangat penting dilakukan
berkaitan dengan kritik. Metode perbandingan tersebut, terdapat empat macam;[38]
1.
Perbandingan Hadits-hadits dari berbagai murid seorang
ulama (baca: Sahabat atau ahli Hadits). Caranya, dengan mengumpulkan berbagai Hadits,
kemudian dibandingkan dengan yang lainnya. Contohnya, seperti dilakukan para
Sahabat; Abu bakar ash-Shiddiq, Abu Hurairah, dst. atau seperti dicontohkan
suatu peristiwa yang disebutkan sebelum ini (lihat hlm. [39]
2.
Perbandingan pernyataan seorang ulama setelah jarak
waktu tertentu. Hal ini seperti dilakukan oleh ‘A`isyah bint Abu Bakar;
…Pada suatu ketika ‘A`isyah menyuruh keponakannya ‘Urwah,
pergi menemui ‘Abd Allah ibn Amr dan menanyakan kepadanya tentang sebuah hadits
dari Nabi, karena ‘Abd Allah mendengar banyak hadits dari Nabi. ‘Urwah menemui
‘Abd Allah dan menanyakan kepadanya tentang hadits dari Nabi.
Salah satu hadis yang didengarnya adalah tentang bagaimana
ilmu akad diambil (dihilangkan) dari dunia. ‘Urwah kembali pada ‘A`isyah dan
meriwayatkan apa yang telah didengarnya dari ‘Abd Allah…[40]
’A`isyah merasa tidak puas dengan Hadits satu ini. Setelah
kira-kira satu tahun, ‘A`isyah menyuruh ‘Urwah untuk bertanya kepada ‘Abd Allah
ibn ‘Umar tentang hadits tersebut, setelah ‘Urwah kembali kepada ‘A`isyah ia
mengatakan bahwa Abdullah mengulangi Hadits tersebut. Kemudian ‘A`isyah
berkata, “saya kira dia adalah benar, karena ia tidak menambah dan mengurangi
apapun dari Hadits itu”….[41]
3. Perbandingan dokumen yang
tertulis dengan Hadits yang disampaikan dari ingatan. Metode ini seperti
digunakan dalam peristiwa ‘Abd ar-Rahman ibn ‘Umar, ketika ia meriwayatkan
sebuah Hadits melalui Abu Hurairah tentang Shalat Dhuhur yang boleh diundurkan
dari awal waktunya bila musim panas. Menurut Abu Zur’ah bahwa itu tidak benar.
Hadits tersebut bersumber dari Abu Sa’id ‘Abd ar-Rahman ibn ‘Umar menerimanya
dengan serius dan tidak melupakannya. Ketika pulang ke kotanaya, ‘Abd ar-Rahman
mengecek dalam kitabnya dan menyadari bahwa ia memang salah. Kemudian ia
mengirim surat kepada Abu Zur’ah dengan mengakui kesalahannya, serta mohon
untuk diberitahukan kepada orang lain.
4. Perbandingan hadits dengan ayat
Al-Qur’an yang berkaitan. Cara ini diterapkan oleh Umar ibn Khattab ketika
menolak Hadits dari Fatimah bint Qais tentang uang nafkah bagi wanita yang
dicerai.[42]
B. Metode Rasional.
Selain pendekatan atau metode
komparatif tersebut, A’zami juga menawarkan satu metode lagi, dengan
sebuah statement, but was pure reasoning or rational approach used in such
critism? Menurutnya, kemampuan rasional tidak terlalu banyak membantu
dalam menerima atau menolak Hadits Nabi SAW. Dalam beberapa literatur hadits,
penalaran murni (pure reasoning) tidak pernah digunakan. Contohnya,
tentang kebiasaan Nabi SAW. tidur dengan berbaring pada lambung kanannya, dan
sebelum tidur beliau membaca do’a-do’a tertentu, begitu juga ketika
bangunnya. Dengan menggunakan rasionalitasnya, tentu saja semua manusia bisa
saja tidur dengan berbagai model.
Dalam kasus semacam itu, ‘aql tidak
bisa membuktikan benar atau tidaknya. Kebenarannya hanya dapat dipastikan
dengan para perawi atau saksi-saksi yang terpercaya. Jadi, penalaran itu
menjadikan kita bisa menerima atau tidak dari perawi-perawi tentang
pernyataannya itu. Jika bertentangan dengan akal, maka kita tolak.[43]
Selanjutnya, metode rasional juga dapat
dilakukan karena berbagai hal, setidaknya ada empat, yaitu pertentangan antara
hadits dan Al-Qur’an, hadits-hadits yang saling bertentangan, dan hadits-hadits
yang berkaitan dengan sains dan sunnatullah, tapi tidak bisa diterima secara
rasional.
1. Pertentangan antara Hadits dengan
Al-Qur’an.
Caranya adalah dengan meneliti matan hadits,
setelah itu dengan Al-Qur’an. Jika haditsnya bertentangan dengan Al-Qur’an dan
tidak bisa dikompromikan, maka hadits tersebut harus ditolak dan yang dijadikan
pegangan adalah Al-Qur’an. Sekalipun, Haditsnya itu termasuk kategori shahih
dari segi sanad. Untuk kritik yang demikian, memang jumlahnya tidak terlalu
banyak. Contohnya, hadits tentang “Siksaan terhadap mayyit yang ditangisi
keluarganya”.
…Haditsnya diriwayatkan oleh Tsabit
dari Anas ibn Malik. Juga diriwayatkan Shuhaib, Muhammad ibn Sirin, dan Ayah
Abu Burdah. Dari segi sanad (perawi), hadits tersebut shahih. Namun karena dari
segi isinya (matan) bertentangan dengan Al-Qur’an (wa la taziru waziratun
ukhra), maka ‘A`isyah bint Abu Bakar mengkritik dan menolak hadits itu. Ia
mengatakan dalam salah satu riwayat: “ semoga Allah merahmati Abu Abdurrahman,
sesungguhnya ia tidak berdusta tapi mungkin ia lupa atau keliru, bahwa
sesungguhnya hadits tersebut diperuntukkan bagi mayat seorang wanita Yahudi
yang ditangisi keluarganya. Nabi telah bersabda:” Mereka menangisi mayat wanita
Yahudi itu sedang disiksa dalam kubnurannya”. Lanjut ‘A`isyah, Rasul sama
sekali tidak mengatakan bahwa seorang mu’min disiksa karena tangisan
seseorang”….[44]
Rasionalisasinya sebagai berikut,
hadits tersebut tidak harus difahami secara hakiki, namun dari segi misi (pesan
moralnya) adalah diperuntukkan kepada ahli mayit yang masih hidup, agar mereka
tidak meratapi si mayit secara berlebihan. Sekalipun, mayit sendiri tidak akan
disiksa karena tangisan tersebut.[45]
2. Hadits-hadits yang saling bertentangan.
Caranya, dengan membandingkan satu
hadits dengan hadits lainnya, bila keduanya bertentangan dan tidak bisa
dikompromikan, maka yang dipakai adalah hadits yang lebih kuat dan lebih shahih
dari segala seginya. Contohnya, hadits tentang “Orang yang berpuasa dan
mendapati Subuh dalam keadaan Junub”. Diriwayatkan dari Abu Bakr ibn ‘Abd
ar-Rahman, mengabarkan bahwa Abu Hurairah mengatakan, “siapa yang mendapati
waktu subuh dalam keadaan junub, maka tidak boleh berpuasa”. Abd ar-Rahman ibn
Harits mengingkari fatwa tersebut, lalu ia menemui ‘A`isyah dan Ummu Salamah,
keduanya berkata: “Rasulullah SAW. mendapati Subuh dalam keadaan junub dengan
tidak disebabkan mimpi, kemudian beliau berpuasa”. Kemudian kembali lagi pada
Abu Hurairah, setelah menjelaskan apa yang dikatakan ‘A`isyah dan Ummu Salamah,
Abu Hurairah mengatakan, “Keduanya lebih tahu dari aku mengenai hal ini. Abu
Hurairah meralat fatwanya dan menyesuaikan dengan hadits ‘A`isyah dan Ummu
Salamah.
3. Hadits yang berkaitan dengan sains dan
sunnatullah, tapi tidak bisa diterima secara rasional.
Beberapa contohnya, tentang hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari muslim: “Seandainya tidak ada bani Israil maka
makanan dan daging tidak akan busuk”. Secara tekstual, hadits tersebut
bertentangan dengan sains dan sunnatullah, tapi bisa saja dirasionalisasikan
bahwa hadits itu mengecam kebiasaan bani Isra’il yang selalu bersifat kikir.[46]
Sedangkan tentang hadits-hadits
lainnya, seperti lalat masuk minuman, demam berasal dari neraka, dll.
sebagaimana dikritik oleh Maurice Bucaille.[47] Untuk pendapat semacam ini,
terdapat tiga pendapat; kaum konservatif, ekstrim, dan moderat.
Kaum konservatif, mengatakan bahwa jika
hadits tersebut shahih, meskipun berlawanan tetap harus diterima. Kaum ekstrim
dengan keras mengatakan, hadits-hadits berkaitan dengan sains harus diuji
kebenaranny secara saintis, jika bertentangan ditolak, apakah hadits itu shahih
atau tidak. Kaum moderat, berpendapat bahwa sains dapat saja dijadikan sebagai
tolak ukur kebenaran, jika memang telah menjadi kesepakan saintis, atau dengan
kata lain tidak mutlak sebagai satu-satunya penentu kebenaran.[48]
C. Metode Kontekstual.
Maksudnya dengan metode ini atau
pendekatan kontekstual atas Hadits Nabi SAW. adalah memahami hadits berdasarkan
dengan peristiwa-peristiwa situasi ketika hadits itu disampaikan, dan kepada
siapa pula ditujukan. Dengan lain perkataan, bahwa dengan metode kontekstual
itu diperlukan sabab al-wurud al-hadits. Contohnya, hadits mengenai
keharusan berbakti kepada ibu tiga kali lipat dibanding ayah. Jika dipahami
secara tekstual, maka akan timbul kesan diskriminasi antara berbakti pada ayah
dan ibu. Padahal, secara konteks saat itu, secara sosiologis wanita kurang
dihargai dan memperoleh hak-haknya, bahkan tertindas akibat warisan-warisan
jahiliyah atas tradisi yang melekat dari bangsa Arab saat itu.[49]
Dari paparan di atas, hingga saat ini
beberapa pemikir juga tetap banyak yang mengaplikasikannya. Seperti Muhammad
al-Ghazali dalam kitabnya, begitu juga dengan pemerhati keislaman lainnya,
meskipun tidak bersepaham dengan al-Ghazali atas pendapatnya itu. Untuk dapat
melakukan kritik Hadits lebih lanjut akan dibahas dalam sub, “standarisasi”
sebagai patokan, atau kaedah-kaedahnya.
Standarisasi
Oleh para pakar dan pemerhati
Ilmu Hadits Nabi SAW., kritik hadits sebagaimana dipaparkan di depan telah
mempunyai beberapa aturan, kaedah yang standar. Kaidah-kaidah yang dimaksud
atau standar kritik Hadits Nabi SAW., secara global dan sederhana dapat dilihat
dari pengertian tentang hadits shahih. Ibn ash-Shalah (w. 643) mengungkapkam, hadits
shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya (sampai ke Nabi SAW.),
diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dlabith sampai akhir sanad, (di dalam
hadits itu) tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan cacat (‘illah).[50]
Kaedah Mayor Kritik Sanad dan Matan
Hadits.
Dari definisi tersebut dapat
diuraikan unsur-unsur kaedah mayor hadits shahih dalam dua kategori; pertama,
shahih karena sanad, yakni bersambung, rawinya adil, dan dlabith; kategori
kedua, shahih karena matan, yakni tidak terdapat kejanggalan (syadz)
dan tidak terdapat cacat (‘illah).
Kaedah Minor Kritik Sanad dan Matan
Hadits
A. Sanad (Periwayatan)
Sanad adalah penjelasan tentang jalan
yang menyampaikan kita pada materi Hadits. Untuk menentukan kualitas hadits
(baca: kritik), kedudukan sanad itu sangat penting sekali. Dikatakan Abdullah
ibn al-Mubarak bahwa, “sanad (al-isnad) itu bagian dari agama, jika
sanad itu tidak ada, niscaya siapapun dapat mengatakan apapun yang
dikehendakinya”. [51]
Az-Zuhri dan ats-Tsauri juga mengatakan
hal yang sama tentang pentingnya sanad. Dikatakan az-Zuhri,”apakah engkau akan
menaiki langit tanpa tangga?”, sedangkan ats-Tsauri, “sanad itu senjata orang
mu’min, jika tidak ada, bagaimana bisa membunuh?”.[52]
Unsur-Unsur Kaidah Minor Kritik Sanad
1. Unsur
pertama kaidah mayor, sanadnya bersambung, mempunyai unsur kaidah
minornya antara lain; muttashil, marfu’, mahfudh, dan bukan
mu’allal.
2. Perawi
bersifat ‘adil, kaidah minornya antara lain; beragama Islam, mukallaf,
melaksanakan ketentuan agama Islam, dan memelihara muru’ah.
3. Unsur
ketiga dari kaidah mayor perawinya bersifat dlabit dan atau adlbath,
unsur kaidah minornya antara lain; hafal dengan baik hadits yang
diriwayatkannya, mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadits yang dihafalnya
kepada orang lain, terhindar dari syudzudz, dan terhindar dari
‘illah.[53]
B. Matan (Materi/Isi)
Yang dimaksud matan adalah
sabda Nabi SAW. setelah disebutkan sanadnya. Dalam ulum al-hadits
terdapat tiga kemungkinan pembagian tentang matan. Pertama dari
segi penyampainya, meliputi; al-hadits al-Qudsi, al-marfu’, al-mauquf, dan
al-maqthu’. Kedua dari segi ilmu-ilmu yang menjelaskan pada matan,
meliputi; garib al-hadits, asbab wurud al-hadits, nasikh al-hadits wa
mansukhuh, mukhtalaf al-hadits, dan muhkam al-hadits. Terakhir
yang ketiga, ilmu-ilmu yang berkembang dari aspek matan yang diriwayatkan
dengan berbagai periwayatan dan hadits-hadits lainnya.[54]
Kaidah Minor Kritik Matan Hadits
Terhindar dari syadz dan terhindar dari ‘illah
merupakan dua kaidah mayor untuk matan hadits. Untuk menjabarkan dua kaidah
mayor tersebut dalam kritik minor hadits, sebagaimana dalam sanad di atas,
nampaknya masih cukup kesulitan bagi para pemikir al-hadits. Namun
sebagian pemikir dan pemerhati Hadits Nabi SAW. telah melakukannya dengan cara
yang berbeda (secara sendiri) sebagai kesahihah suatu matan, sehingga tidak
mengherankan jika tidak semua ulama dalam mengungkapkannya sama persis.
Beberapa yang dapat disebutkan antara lain; pendapat Al-Baghdadi (w. 463),
al-Adlabi, dan terakhir dari jumhur ‘ulama, sebagaimana disebutkan oleh
as-Siba’i.
Al-Baghdadi,[55]
menyebutkannya sebagai berikut; tidak bertentangan dengan akal sehat; tidak
bertentangan dengan hukum Al-Qur’an yang muhkam; tidak bertentangan dengan
hadits mutawatir ; tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi
kesepakatan ulama sebelumnya ; tidak bertentangan dengan dalil yang pasti dan ;
tdk bertentrangan dgn hadits Ahad yg kualitas keshahihannya
lebih kuat.
Al-Adlabi mengemukakannya ada empat macam; tidak
bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an, tidak bertentangan dengan hadits yang
kualitasnya lebih kuat, tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan
sejarah, dan terakhir susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri kenabian.[56]
Dengan maksud yang sama, jumhur ‘ulama mengungkapkan, bahwa
untuk meneliti kepalsuan suatu Hadits Nabi SAW. diantara tanda-tandanya sebagai
berikut: Susunan bahasanya rancu; Isinya bertentangan dengan akal sehat
dan sangat sulit diinterpretasikan secara rasional; Isinya bertentangan dengan
tujuan pokok ajaran Islam; Isinya beretentangan dengan hukum alam atau
sunnatullah; Isinya bertentangan dengan sejarah; Isinya bertentangan dengan
petunjuk Al-Qur’an atau Hadits mutawatir; dan Isinya berada di luar kewajaran,
dilihat dari petunjuk umum ajaran Islam.[57]
Setidaknya, standar atau kaidah yang telah disebutkan itu,
dapat dijadikan sebagai alternatif untuk dapat mengkritik Hadits Nabi SAW. baik
dari aspek sanad ataupun matannya.
Urgensitas
Dalam awal pembahasan disebutkan, bahwa fungsi hadits Nabi
SAW. bagi umat Islam itu sangat urgen. Apalagi, dalam sejarah perkembangannya
tersebut. Karenanya, perlu sekali untuk sangat hati-hati dalam mengambil
atau menggunakannya. Bagaimanapun, hadits Nabi SAW. adalah hasil dari ikhtiar
manusia untuk menghimpun dan mengabadikan aktifitas Nabi SAW., padahal manusia
itu tidak anti lupa atau tempatnya salah. Karena itu pula, orisinalitas suatu
hadits harus dijaga. Di bawah ini akan dipaparkan, tentang beberapa hal kenapa
kritik hadits itu penting dilakukan.
Dengan tersebarnya Islam awal ke berbagai daerah dan negeri
muslim, khususnya pada masa ‘Umar ibn Khattab, hadits Nabi SAW. juga mengalami
hal yang sama. Tak dipungkiri, bahwa kemungkinan kekeliruan dalam
penyampaiannya juga timbul. Begitu juga, ketika seperempat abad setelah Nabi
SAW. wafat, dimana telah banyak kejadian, peristiwa besar, dan pergolakan
timbul. Sekedar contoh, fitnah pembunuhan Utsman ibn ‘Affan,
peperangan ‘Ali ibn ‘Affan dengan Mu’awiyyah ibn Shofyan telah menimbulkan
perpecahan dikalangan kaum muslim.[58]
Karena itu, perlu adanya pemisahan antara hadits yang shahih dan yang tidak.
Said agil Husein al-Munawwar, ulama Indonesia yang alumnus
“Ummul Quro” Mekkah melihat urgensi kritik hadits dari berbagai segi:
1. Untuk
mengetahui aspek-aspek sanad atau perawi hadits, antara lain; tsiqoh atau
tidak, dan adil atau tidak, dengan begitu akan diketahui mana hadits yang
maqbul atau ditolak.
2. Untuk
mengetahui aspek kualitas matan hadits, diantaranya apakah shahih atau dla’if,
atau juga apakah suatu hadits itu benar-benar bersumber dari Nabi SAW. atau
bukan.
3. Pentingnya
kritik itu, karena telah tersebarnya hadits di pelosok dunia.[59]
Urgensi lainnya adalah dapat menangkal
para kritikus Hadits Nabi SAW., yang berpendapat bahwa para ahli (baca:
peneliti) hadits hanya menggunakan metode kritik sanad saja, tanpa menggunakan
metode kritik matan, sehingga dikatakan mereka sering ditemukan hadits-hadits
yang semula sahih, tapi di belakang hari ternyata tidak (baca: palsu).[60] Studi kritik (baca; metodologi)
hadits di atas, sebagai model mutakhir penelitian hadits dapat ‘mematahkan’
pendapat para islamolog modern. Beberapa diantaranya adalah Ignaz Goldziher
(1850-1921), Aren Jan Wensinck (1882-1939), Joseph Schacht (1902-1969),
termasuk juga Ahmad Amin, pengarang Fajr al-Islam,[61] dll.
Senada dengan itu adalah Yusuf
Qardlawi, seorang ulama Mesir yang masyhur mengungkapkan, bahwa kritik hadits
itu akan dapat menghindarkan dari apa yang disebutmya sebagai “penyakit yang
harus dihindari”, yaitu penyimpangan kaum ekstern, manipulasi orang-orang
sesat, dan pemalsuan orang-orang jahil. [62]
Begitu juga, menurut M. Al-Ghazali ketika mengungkapkan dalam kata pengantar
ke-6 bukunya, bahwa tujuannya hanyalah membersihkan Hadits Nabi SAW. dari
segala yang mencemarinya, maka perlu untuk memberikan kritikan pada beberapa
pemahaman yang keliru.[63]
Meskipun upaya al-Ghazali tersebut, oleh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali dianggap
memusuhi as-Sunnah.[64]
Jadi, memang sungguh menarik dan unik
sekali urgensitas kritik Hadits Nabi SAW. dewasa ini. Bagi sebagian pemikir
menyatakan sebagai pembela Hadits Nabi SAW. tapi oleh sebagian lainnya, justru
kebalikannya. Lebih dari itu, disinilah pentingsnya “Ilmu Kritik Hadits”.
Penutup
Kecenderungan meneliti secara kritis
oleh para pemikir dan pemerhati keislaman sangat besar pada ulum al-hadits,
baik zaman Sahabat maupun dewasa ini. Barangkali, dikarenakan fungsi dan
peran hadits yang sangat urgent dalam kedudukannya sebagai salah sebuah sumber
ajaran Islam. Penelitian terhadap hadits selalu berkembang terus, sesuai
kebutuhan dan kepentingan umat Islam. Seiring dengan itu, berkenaan kesahihan
suatu hadits, telah banyak ilmu-ilmu yang lahir mengenainya, seperti ‘ilm
ar-rijal al-hadits, ‘ilm al-jarh wa at-ta’dil, ilm
at-takhrij al-hadits, dst. hingga muncullah ‘ilm an-naqd al-hadits,
yang dikaji pada pembahasan ini.
Studi kritik Hadits Nabi SAW.
sebagaimana dipaparkan dalam sub “sejarah dan perkembangan”, telah mengalami
pertumbuhan dan perkembangannya yang dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Hal
ini, karena secara esensial kritik digunakan untuk mengetahui kebenaran suatu
hadits, apakah berasal langsung dari Nabi SAW. atau bikinan sang perawi
sendiri. Penelitian (kritik) tersebut, lalu diteruskan oleh para tabi’in dan
para ulama, termasuk islamolog barat, hingga saat ini. Tentu saja, model atau
metode kritiknya tidak sama persis dengan sebelumnya, karena ia selalu berubah
setiap zaman, sesuai dengan perkembangan intelektual.
Sebagaimana dalam ilmu hadits, kritik
Hadits Nabi SAW. juga mengarah pada dua aspek, yaitu aspek sanad dan aspek
matan. Karena obyek kritik hadits adalah sumber dokumen dan teks, maka
penelitiannya itu tidak berbeda dengan penelitian sejarah. Seperti metode
sejarah, kritik sumber terbagi menjadi dua, yaitu kritik intern untuk kritik
matan (naqd al-khariji) dan kritik ekstern bagi kritik sanad (naqd
al-bathini). Untuk dapat melakukan kritik pada dua aspek tersebut, telah
digunakan berbagai metode, antara lain; metode verifikatif, komparatif,
rasional, dan kontekstual.
Penggunaan metode-metode tersebut, tentu
saja tidak dapat dilepaskan dari kaedah atau standar-standar yang telah
disepakati para kritikus, pakar ulum al-hadits, seperti al-Bagdadi,
al-Adlabi, dan Jumhur ‘Ulama Hadits. Standar penelitiannya mengacu pada
pengertian hadits shahih, sebagaimana didefinisakan oleh Ibn Shalah. Dari
definisi tersebut, oleh Syuhudi Isma’il untuk memudahkannya disebut sebagai kaedah
mayor kritik sanad dan matan hadits, kemudian dari kaedah tersebut mengandung
kaedah-kaedah minor, baik untuk kririk sanad ataupun matan hadits.
Dengan melihat perkembangannya, kritik
terhadap Hadits Nabi SAW. masih tetap mempunyai relevansi dan akurasi sampai
saat ini, sehingga tidak mengherankan jika masih sangat urgent sekali.
Setidaknya, urgensitas tersebut dilihat berbagai perkembangan kritik hadits
yang ada pada abad mutakhir, sehingga kita dapat membedakan kritik-kritik
manakah yang relevan untuk konteks saat ini, tentu saja sesuai dengan
metodologi yang dipakainya. Karena dalam kenyataannya, penelitian dengan hadits
yang sama dan alasan kritik yang sama, tetapi menghasilkan kritik yang berbeda
–sekedar tidak mengatakan bertolak belakang–. Barangkali, itu juga termasuk
salah satu urgensitas dari masalah yang dijumpai dalam diskursus kritik Hadits
Nabi SAW. masa kontemporer.
Demikianlah, tulisan pendek mengenai
studi kritik Hadits Nabi SAW. sebagai “perngenalan” atas metodologi penelitian
Hadits Nabi SAW. yang mutakhir, khususnya setelah al-jarh wa at-ta’dil.
Dengan kata lain, dapata dikatakan, bahwa secara toeritik itu ‘ilm naqd
al-hadits sedangkan dalam prakteknya menggunakan ilmu-ilmu lain, termasuk
al-jarh wa at-ta’dil.
Penulis merasa yakin bahwa tulisan ini
masih terdapat kekurangan disana-sini, karena itu tidak ada kata lain kecuali
mohon maaf dan kritik serta sarannya. Akhirnya, sesedikit apapun dari
pembahasan di atas, semoga dapat memberikan manfaat dan nuansa baru.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
BIBLIOGRAFI:
Allah, Faidl. Fath ar-Rahman li
Thalab ayat al-Qur’an. Indonesia: Maktabah Dahlan, [tt.t]
Amal, Taufik Adnan. Islam dan
Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman. Bandung:
Mizan, 1993. Cet. IV
Arkoun, Mohammed. Ulumul Qur’an
Edisi Khusus no. 5&6 Vol. V th. 1994. Hlm. 158-157
Azami, M.M. Studies in Hadith
Methodology and Literature. Indianapolis: American Trust Publications,
1977.
______. Hadis Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya. Penterj. Ali Mustofa Ya’qub. Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994.
_______. Metodologi Kritik Hadis.
Penterj. A. Yamin. Bandung: Pustaka Hidayah, 1996. Cet. II
Al-Bukhari, Matn al-Bukhari.
Kitab al-‘Ilm:6 bab Ma ja’a fi al-’ilm. Mesir: Maktabah an-Nashriyyah, [t.t.].
Jld. I
Dawud, Ahmad Muhammad ‘Ali. ‘Ulum
al-Qur’an wa al-Hadits. ‘Aman: Dar al-Basyir, 1984.
Depdikbud, Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Al-Ghazali, Mohammad. Studi Kritis
Atas Hadis Nabi SAW. Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Penterj.
Muhammad Al-Baqir, Bandung: Mizan, 1993. Cet. III
Goldziher, Ignaz. Muslim Studies:
Muhammedanisme Studien. Penterj. C. R. Barber and S. M. Stern, Edit. M.
Stern. London: George Allen & Unwim Ltd., 1971.
Hadiyono, Harun. Sari Sejarah
Filsafat Barat 2. Yogyakarta:Kanisius, 1998. Cet. XIV
Isma’il, M. Syuhudi. Kesahihan
Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinajauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah.
Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
______. Hadits Nabi Menurut
Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press,
1995.
______. Metodologi Penelitian
Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Al-Adlabi, Salah ad-Din. Manhaj
naqd al-matn ‘ind ‘ulama’ al-hadis an-nabawi. Beirut: Dar al-Afaq
al-Jadida, 1983.
Ilyas, Yunahar dan M.Mas’udi. Pengembangan
Pemikiran terhadap Hadis. Yogyakarta: LPPI, 1996.
‘Itr, Nur ad-Din. Manhaj an-Naqd fi
‘Ulum al-Hadis. Suriah: Dar al-Fikr, 1992. Cet III.
Al-Jawabi, Muhammad Thahir. Juhud
al-Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadits an-Nabawi asy-Syarif. Tunisia:
Muassasah ‘A. al-Karim ibn ‘Abd Allah, 1986.
Al-Khatib, ‘Ajjaj. Ushul al-Hadits:
Ulumuh wa Musthalahuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Al-Madkhali, Rabi’ bin Hadi. Membela
Sunnah Nabawiy: Jawaban Terhadap Buku Studi Kritis Atas Hadits Nabi
(M.Al-Ghazali). Penterj. Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 1995.
Al-Mandhur, Ibn. Lisan al-‘Arab.
Mesir: Dar-al-Mishriyah, [t.tt.] III
Moueleman, J.H. “Kata Pengantar”
Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan
Jalan Baru. Penterj. Rahayu S. Hidayat. Jakarta: INIS, 1994.
Muhammad, Afif. “Kritik Matan: Menuju
Pendekatan Kontekstual Hadis Nabi saw.”, Al-Hikmah, No. 5
Maret-Juni 1992. Bandung. Hlm. 23-35
Al-Munawwar, Said Agil Husein. “Urgensi
Kritik Matan dalam Studi Hadits Kontemporer: Rekonstruksi Metodologi atas
Kriteria Kesahihan Hadits”. Makalah. Yogyakarta, Ushuluddin HMJ
Tafsir Hadits, 1996
Muslim, Imam. Shahih Muslim,
Kitab al-Iman bab Arkan al-Islam wa Dama’ih. Beirut: Dar al-Fikr, [t.t]. Hadits
ke-10 juz I
Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami
Hadis Nabi SAW. Penterj. Muhammad Al-Baqir. Bandung: Karisma, 1993.
Al-Qur’an
Rahman, Fazlur. Membuka Pintu
Ijtihad. Penterj. Anas Mahyuddin. Bandung: Mizan, 1984. Cet II.
_______, Islam. Penterj. Ahsin
Muhammad. Bandung: Pustaka, 1984.
Ash-Shalih, Subhi. Ulum al-hadits
wa mushthalahuh. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1977.
As-Subki, Imam Taj ad-Din ‘Abd
al-Wahhab ibn ‘Ali. Qaidah fi al-Jarh wa at-Ta’dil wa Qai’dah fi
al-Muarrkhin. Kairo: Maktab al-Matbu’at al-Islamiyyah, 1984. Cet. V
Al-Siba’I, Musthafa. Sunnah dan
Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan Kaum Sunni.
Penterj. Nurcholis Madjid. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. Cet. II
_______. As-Sunnah wa Makanatuha fi
at-Tasyri’ al-Islami. [t.tp]: Dar al-Qaumiyah, 1996.
Thahhan, Mahmud. Ushul at-Takhrij
wa Dirasah al-Asanid. Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979. Cet. II
At-Tahanawi, Dhafar Ahmad al-‘Usmani. Qawa’id
fi ‘Ulum al-Hadis. Kairo: Maktab al-Matbu’at al-Islamiyyah, 1984. Cet. V
Wehr, Hans. A Dictionary of Modern
Written Arabic. Edit. J. Milton Cowan, Beirut: Maktabah Lubnan, 1980. Cet.
III
Yaqub, Ali Mustofa. Imam Bukhari
dan Metodologi Kritik Dalam Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Cet. III
______. Kritik Hadits,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. Cet. II
0 komentar:
Posting Komentar