Kehadiran
ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ke muka bumi ini
diharapkan dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang damai dan
sejahtera lahir dan batin. Dalam risalah ajaran Islam terdapat berbagai
petunjuk bagi umat manusia, bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi
hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna. Petunjuk-petunjuk
tersebut tertuang secara jelas dalam sumber ajaran Islam, yakni
al-Qur`an dan Hadits.
Dalam
al-Qur`an, ajaran mengenai hidup dan kehidupan ini tampak begitu ideal
dan agung. Islam mengajarkan kepada para pengikutnya agar selalu
mengembangkan kesalehan dan kepedulian terhadap sesama, menjunjung
tinggi sikap marhamah (penuh kasih sayang), mengembangkan kualitas diri
serta berprilaku yang mencerminkan akhlakul karimah.
Karakter
dasar Islam sebagai agama mengejawantahkan misi kerasulan Muhammad Saw
berbentuk ajaran yang bersendikan rahmat (kasih sayang) diperuntukkan
bagi segenap alam semesta (QS. al-Anbiya’ 21: 107). Karakter dasar
tersebut terdistorsi oleh beragam pemahaman atas teks sumber pokok
ajaran (Al-Qur’an–Sunnah–Hadis) ketika diperhadapkan pada struktur
masyarakat Indonesia yang tergolong majemuk dan terakumulasi menjadi
doktrin-doktrin keagamaan radikal (tatharruf).
Masyarakat
majemuk menurut Clifford Greets (dalam Nasikun, 1984) adalah masyarakat
yang terbagi ke dalam sub sistem yang berdiri sendiri, masing-masing
terkait oleh ikatan bersifat primordial. Ikatan berbasis suku atau etnisitas,
agama dan kepercayaan, pandangan politik dan sebagainya. Identitas
agama dalam struktur masyarakat majemuk – berdasar catatan sejarah–
telah memperlihatkan legitimasi paling efektif dalam memperkuat posisi
kelompok. Hal itu terjadi karena keyakinan (credo) terhadap doktrin agama rentan memunculkan klaim kebenaran (claim of truth)
di kalangan pemeluk agama masing-masing. Tatkala fanatik keagamaan
diikuti oleh solidaritas kelompok secara berlebihan, maka akan muncul
perilaku keagamaan yang ekstrim berupa sentimen kolektif terhadap
kelompok pendukung faham keagamaan yang lain. Perlawanan oleh kelompok
faham keagamaan yang berseberangan sangat mungkin berupa tindakan
kekerasan kolektif.
Realitas kekerasan bernuansa keagamaan di Indonesia jelas berindikasi penyimpangan (deviasi)
terhadap teks-teks sumber pokok agama (Islam) dipahami secara tidak
benar dan membentuk doktrin-doktrin. Sayyid Muhammad ‘Alawi (1424: 45)
menegaskan bahwa faktor penyebab radikalisme pemahaman ajaran Islam
adalah “sathahiyyatu al-tsaqafah wa al-fiqhi fi al-dini”
(kedangkalan ilmu pengetahuan dan kedangkalan wawasan keagamaan).
Prediksi akan terjadi penyimpangan (deviasi) terhadap sumber pokok
ajaran Islam telah disampaikan oleh Nabi Saw melalui a’lam al-nubuwah-nya seperti diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dkk bahwa human error dalam memahami agama (Islam) bisa mengambil bentuk penyimpangan (tahrif) akibat sikap ekstrim, penyesatan atas nama agama (intihal) oleh musuh Islam dan pengulasan makna (ta’wil) oleh orang-orang yang bodoh. Hadis tersebut termuat dalam Miftahu Dar al-Sa’adah,
koleksi Ibnu al-Qayim yang diriwayatkan pula oleh Abi Hurairah, Ali bin
Abi Thalib, Ibnu ‘Amr, Abi Umamah dan Jabir bin Samurah (Yusuf
Al-Qaradhawi, 1991: 28).
Antisipasi terhadap arus gerakan radikalisme-fundamentalisme menurut Bassam Tibi perlu mensinergikan hadarah al-nash (penyangga budaya teks bayani), hadarah al-‘ilmi, hadarah al-falsafah dan dikombinasikan dengan humanities kontemporer (Amin Abdullah, 2006: 403). Pola sinergi tersebut guna menghindari jebakan pitfall
(keangkuhan disiplin ilmu yang merasa pasti dalam wilayah
sendiri-sendiri tanpa mengenal masukan dari disiplin di luar dirinya).
Bagi
bangsa Indonesia eksistensi, peran dan fungsi umat Islam sangat
strategis sebagai pengendali, penggerak, dan pemandu perubahan sosial di
tengah dinamika global. Di sinilah dibutuhkan karakter muslim yang
ramah, konsisten menghargai pluralitas, serta mampu bekerjasama dengan
komponen bangsa lain dalam membangun bangsa menuju terwujudnya Indonesia
yang adil, makmur dan sejahtera. Karakter muslim seperti ini disebut
dengan karakter muslim marhamah yang menghidupkan kembali ajaran Islam
sebagai agama yang rahmatan lil alamin (penebar kasih sayang bagi seluruh alam).
Islam rahmat jelas menolak dan melarang pemakaian kekerasan demi untuk mencapai tujuan-tujuan (al-ghayat), termasuk tujuan yang baik sekalipun. Sebuah kaidah ushul dalam Islam menegaskan al-ghayah la tubarrir al-wasilah
(tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara). Lebih jauh, Islam
menegaskan bahwa pembasmian suatu jenis kemungkaran tidak boleh
dilakukan dengan kemungkaran pula (al-nahyu ‘an al-munkar bi ghair al-munkar).
Tidak ada alasan etik dan moral yang bisa membenarkan suatu tindakan
kekerasan ataupun teror. Kalau ada tindakan-tindakan kekerasan atau
teror yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu, maka jelas alasannya
bukan karena ajaran etik-moral Islam, melainkan karena agenda-agenda
lain yang bersembunyi di balik tindakan tersebut.
Di
sisi lain Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi keagamaan
terbesar yang sangat serius dalam mewujudkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Konsepsi Islam rahmatan lil alamin dalam NU tercermin dalam dasar-dasar sikap kemasyarakatan NU yang tercakup dalam nilai-nilai sebagai berikut:
Pertama, tawassuth (moderat) dan i’tidal (lurus/tegak),
yaitu, sikap tengah dan lurus yang berintikan prinsip hidup yang
menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan
bersama, dan menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrem). Nilai ini disarikan dari ayat al-Quran surat al-Baqarah: 143 dan al-Maidah: 8.
Kedua, tasamuh (toleran), yaitu, sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan (terutama yang bersifat furu’iyyah), kemasyarakatan, maupun kebudayaan. Nilai ini disarikan dari ayat al-Quran surat Thaha: 44.
Ketiga, tawazun (seimbang),
yakni menyeimbangkan pengabdian kepada Allah, manusia, dan lingkungan.
Juga menyelaraskan kepentingan masa lalu, kini, dan akan datang. Nilai
ini disarikan dari ayat al-Quran surat al-Hadid: 25.
Keempat, amar ma’ruf nahi munkar.
NU selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik dan
bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah segala hal
yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kehidupan.
NU dengan nilai-nilai tersebut benar-benar berkomitmen untuk membumikan Islam rahmatan lil’alamin,
baik dalam ranah agama, sosial, hukum dan politik, baik dalam lingkup
nasional maupun internasional. Nilai-nilai tersebut tidak hanya dipahami
sebagai doktrin akan tetapi juga harus dipahami sebagai metode berpikir
(manhaj al-fikr) dalam mencarikan solusi atas berbagai persoalan umat yang kompleks.
B. Mengenal Istilah Muslim Marhamah
Istilah “muslim” bermakna orang-orang yang berserah diri kepada Tuhan atau orang yang mencari kedamaian Tuhan. Term “muslim” ini merupakan rangkaian kata “aslama – yuslimu – islam” yang berarti menyerah atau mencari kedamaian. Kata “Islam” (ketundukan, kepasrahan dan kedamaian) merupakan bentuk kata benda verbal yang searti dengan bentuk adjektif muslim (tunduk, pasrah dan damai).
Secara teknis operasional, kata muslim
dimaknai sebagai orang yang memeluk agama Islam (Cyril Glasse, 1996:
288). Dalam hal ini Islam dimaknai sebagai ajaran agama yang diwahyukan
kepada nabi Muhammad SAW. Kata muslim mengisyaratkan makna penuh ketundukan terhadap kehendak Tuhan dalam rangka mencari kedamaian.
Kedamaian
dan perdamaian adalah kata kunci untuk melihat hakekat diri seorang
muslim. Agaknya, cukup dengan memahami makna nama agama Islam, seseorang
dapat mengetahui bahwa ia adalah agama yang mendambakan perdamaian.
Cukup juga dengan mendengarkan ucapan yang dianjurkan untuk disampaikan
pada setiap pertemuan, “assalamu ‘alaikum” (damai dan keselamatan
untuk anda), seseorang dapat menghayati bahwa kedamaian yang didambakan
bukan hanya untuk diri-sendiri, tetapi juga untuk pihak lain (M.
Quraish Shihab, 1997: 378). Maka tidak heran bila salah satu ciri
seorang muslim adalah seperti sabda Nabi Muhammad Saw: “seorang muslim
adalah siapa yang menyelamatkan orang lain (yang mendambakan kedamaian)
dari gangguan lidahnya dan tangannya.”
Adapun kata “marhamah” merupakan verbal noun atau kata benda, berasal dari kata kerja arhama. Kata ini berasal dari akar kata rahima dengan penambahan huruf hamzah di awal kata yang memiliki faidah ta’diyah (karakter kalimat yang tidak perlu menampilkan obyek). Dari kata asal rahima ini, terdapat kata-kata jadian lainnya dalam al-Qur’an, yakni: rahima, arham, marhamah, rahim, rahman dan ruhm. Berikut adalah gambaran arti dari kata-kata jadian tersebut:
Tabel arti kata jadian “r-h-m”[1]
KATA
|
A R T I
|
Rahima
|
Memiliki kemurahan hati atau belas kasihan kepada seseorang (to have mercy on someone); merasa kasihan, ingin menghibur atau menyenangkan hati orang lain (to be compassionate).
|
Arham
|
Bentuk jamak dari kata rahim (peranakan/kandungan).
|
Marhamah
|
Kemurahan (mercy); perasaan sayang (compassion).
|
Rahim
|
Penyayang (merciful); suka menyenangkan (compassionate); Maha Pemurah (All Compassionate).
|
Rahman
|
Pengasih (merciful); Maha Kasih (All Merciful)
|
Ruhm
|
Kelembutan (tenderness)
|
Tabel
di atas hanya merupakan arti formal harfiyahnya, tentu saja dalam
kata-kata tersebut terkandung makna yang lebih mendalam. Dari berbagai
kata yang berakar dari “r-h-m” sebagaimana tebel di atas, terdapat
benang merah yang memberikan kesan makna sangat kuat tentang sikap kasih
sayang dan saling menyayangi. Dengan demikian makna marhamah di sini
adalah energi kasih sayang murni yang secara integral terdapat dalam
diri manusia. Dengan energi ini seseorang akan selalu menebarkan kasih
sayang ke segala penjuru alam semesta.
Menggabungkan dua kata “muslim” dan “marhamah” adalah bukan perkara yang lumrah. Hal ini karena karakter kedua kata tersebut adalah berbeda, satunya mudzakkar dan satunya muannats.
Keberbedaan karakter dua kata ini, tentu saja, harus melalui
penyesuaian (adjusment) manakala keduanya hendak dipersandingkan.
Upaya penyesuaian dalam menyandingkan kedua kata ini dapat mengacu pada teori “makhdzuf”
(tidak menampilkan sebagian kalimat). Dalam teori ini dijelaskan bahwa
suatu kalimat tidak harus selalu tampil lengkap. Boleh jadi ada bagian
dari kalimat tersebut yang tidak tampil. Tidak tampilnya sebagian
kalimat tersebut dalam perspektif ilmu gramatika bahasa Arab disebut
dengan makhdzuf.
Tampilan istilah “muslim marhamah”, bila diurai sebenarnya ada bagian kalimat yang makhdzuf. Terdapat kata “thabiah”
(artinya: karakter) yang harus tampil mengiringi kalimat muslim
marhamah. Bila dijabarkan secara lengkap maka akan muncul tampilan
kalimat “Thabiah al-Muslim Marhamah”.
Thabiah al-Muslim Marhamah
dapat dimaknai karakter orang Islam yang penuh perasaaan kasih sayang.
Penampilan kalimat sebatas ‘muslim marhamah’, dengan kata thabiah yang makhdzuf,
memberi penekanan pada hakekat kepribadian muslim yang integral dengan
nilai-nilai kasih sayang. Nilai-nilai kasih sayang di sini bukan hanya
sekedar sesuatu yang berada di luar diri muslim untuk kemudian dilakukan
penyerapan. Akan tetapi, terdapat internalisasi nilai-nilai kasih
sayang yang secara organik ada pada diri seorang muslim.
Dengan
demikian, muslim marhamah dalam konteks pembahasan ini adalah pribadi
orang Islam yang secara integral memiliki energi kedamaian (Islam) dan kasih sayang (marhamah).
Dengan energi tersebut, pribadi muslim akan menggunakannya dalam setiap
gerak kehidupannya, utamanya dalam menghadapi berbagai persoalan sosial
kemasyarakatan. Penuh kedamaian dan penuh kasih sayang akan selalu
dijadikan sebagai pendekatan utama dalam menyikapi berbagai persoalan
umat.
C. Muslim Marhamah Dalam lintas Sejarah Islam
Dalam
sub bab ini akan dibahas berbagai fragmen peristiwa yang terekam dalam
lintas sejarah umat Islam, baik pada masa Rasulullah, sahabat, para imam
madzhab maupun pada masa para ulama yang membina umat Islam di
Indonesia. Berbagai peristiwa tersebut berkenaan dengan sikap kedamaian
dan kasih sayang serta anti pertengkaran dan kekerasan yang dikembangkan
oleh para pendahulu kita dalam bersosial-masyarakat. Diharapkan paparan
dalam bab ini dapat menjadi inspirasi kita semua dalam menjalankan
kehidupan bermasyarakat di bumi pertiwi ini.
Suatu
Ketika Nabi Muhammad saw. mendatangi seseorang yang sedang sakit dengan
membawa makanan kesukaannya, sedangkan orang tersebut selalu
melemparinya kotoran. Nabi adalah orang yang pertama kali datang dan
mendoakan kesembuhannya. Tidak ada kebencian, balas dendam, dan emosi
dalam diri Nabi SAW. Dengan moral agung inilah seseorang tersebut masuk
agama Islam secara suka rela, bahkan terharu melihat moralitas luhur
Nabi SAW. Keteladanan Nabi SAW ini menjadi entry point dalam mengembangkan toleransi dalam Islam yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan universal.
Dikisahkan
bahwa Khalifah Utsman bin Affan yang berada di Mina dalam rangkaian
ibadah hajinya melakukan shalat dhuhur dan ashar masing-masing empat
rakaat. Peristiwa itu diceritakan oleh Abdurrahman bin Yazid kepada
Abdullah bin Mas’ud. Mendengar hal itu, ia kemudian mengucapkan inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un. Menurut Ibnu Mas’ud apa yang dilakukan
oleh Utsman itu adalah musibah. Utsman sudah meninggalkan sunnah
Rasulullah, Abu Bakar dan Umar. Ia menyatakan “Aku shalat bersama
Rasulullah di Mina dan ia shalat dua rakaat. Aku shalat bersama Abu
Bakar di Mina dan ia shalat dua rakaat. Aku shalat bersama Umar di Mina
dan ia shalat dua rakaat.”
Ternyata
dalam suatu kesempatan melaksanakan ibadah haji, Ibnu Mas’ud juga
melaksanakan shalat dhuhur dan ashar empat rakaat. Ketika ditanya
tentang pendapatnya dulu dan prakteknya sekarang, ia mengatakan “Benar
bahwa aku menyatakan berdasarkan sunnah, shalat di Mina haruslah
diqashar. Tetapi Utsman sekarang adalah Imam yang harus diikuti. Wa al-khilafu syarr, “semua pertengkaran itu buruk” (Sunan Abu Dawud, 1969: 491).
Peristiwa
ini menunjukkan perbedaan keyakinan fiqh antara dua sahabat besar
Utsman bin Affan dan Abdullah Ibnu Mas’ud. Yang menarik untuk kita
perhatikan adalah sikap Abdullah ibn Masud. Ia menegaskan pendapatnya
tentang salat qashar di Mina, tetapi ia tidak mempraktekkan keyakinannya
itu, karena menghormati Utsman sebagai Imam/Khalifah dan karena ia
ingin menghindari pertengkaran.
Kecenderungan
pada kedamaian, saling menghormati dan anti pertengkaran seperti inilah
yang kemudian juga banyak dipraktekkan oleh para ulama pada periode
berikutnya. Misalnya yang dilakukan oleh Imam Syafii, pendiri madzhab
Syafii yang banyak dianut oleh umat Islam di Indonesia. Suatu hari Imam
Syafii ditunjuk untuk menjadi imam shalat subuh di sebuah masjid kota
Kufah. Tidak jauh dari masjid itu ada makam Abu Hanifah. Imam Syafii
tidak membaca qunut dalam shalat subuhnya dan tidak melakukan sujud
sahwi, sebagaimana seharusnya dalam fiqih Syafii. Ketika usai shalat
para jamaah bertanya kepadanya mengapa ia tidak melakukan qunut. Imam
Syafii menjawab sambil menunjuk makam Abu Hanifah, “Aku menghormati
penghuni makam itu” (Rosyidi, 2004: 74).
Sungguh
kejadian di atas adalah cermin pribadi muslim yang marhamah. Betapa
tingginya akhlak dan toleransi yang dipraktekkan oleh para imam kita
dahulu. Bahkan penghormatan dan toleransi tidak hanya ditujukan kepada
yang masih hidup dan ada di hadapannya, melainkan juga kepada mereka
yang sudah wafat dan tidak ada di hadapannya. Hal ini harus menjadi
renungan kita semua, terkadang dengan orang atau kelompok yang
seharusnya kita hargai dan hormati selagi mereka masih hidup saja kita
tidak melakukannya, apalagi apabila sudah meninggal. Bahkan tidak segan
kita memaksakan kehendak kita, padahal tiap orang diberi kebebasan dalam
berkreasi dengan pikirannya.
Sikap
penghormatan terhadap orang lain idealnya juga dilakukan dalam hal
berdakwah kepada umat manusia baik yang muslim maupun non-muslim.
Perilaku menghargai dan menghormati dalam berdakwah kerap dilakukan oleh
para wali yang menyebarkan agama Islam di Indonesia. Bahkan penghargaan
dan penghormatan kepada orang lain adalah menjadi strategi utama dalam
berdakwah di kalangan para wali tersebut. Dengan mengadaptasi budaya
lokal, Sunan Giri mampu mengambil hati masyarakat melalui berbagai
tembang dan permainan yang bernafaskan ajaran Islam. Kemampuan dalam
mengaransmen musik dan mencipta berbagai alat musik tradisional telah
mengharumkan nama Sunan Bonang. Nama Bonang sendiri adalah nama dari
salah satu alat musik orkestra gamelan Jawa.
Dakwah
elegan, humanis dan penghargaan terhadap adat-istiadat masyarakat juga
dipraktekkan oleh Sunan Kalijaga, seorang wali yang digambarkan selalu
berbalut baju wulung dan udeng, pakaian khas orang Jawa (javanese
traditional fashion). Prinsip elegan dalam berdakwah telah memunculkan masterpiece karya budaya dalam bentuk wayang kulit. Dengan wayang kulit inilah masyarakat merasa feel at home (nyaman dan kerasan) ketika masuk Islam.
Mayoritas
masyarakat pada masa wali songo adalah beragama Hindu. Oleh karenanya
Sunan Kudus membuat sebuah aturan fenomenal bagi umat Islam pada waktu
itu, yaitu larangan menyembelih dan mengkonsumsi sapi. Sebagaimana
diketahui, sapi adalah hewan yang sangat disucikan oleh umat Hindu,
sedang sisi lain, sapi merupakan hewan yang halal dikonsumsi dagingnya.
Tentu saja kebijakan Sunan Kudus ini didasari penghormatan terhadap
keyakinan umat Hindu dan penghormatan atas harkat-martabat sesama
manusia ciptaan Tuhan.
Pola
dakwah yang tidak kalah fenomenal juga dilakukan oleh Sunan Drajat.
Melalui program pemberdayaan yang penuh kesantunan dan tanpa pandang
bulu terhadap orang yang disantuni, Sunan Drajat mendakwahkan ajaran
Islam yang penuh kedamaian. Salah satu dasar ajarannya yang menganjurkan
penghargaan terhadap ke-anekaragaman (pluralitas) masyarakat adalah: “Wenehono teken marang wong kang wuto.”
Secara literal, makna kalimat tersebut adalah ‘berilah tongkat penuntun
bagi orang yang tuna netra’. Namun kalimat ini memiliki dimensi sosial
yang mendalam. Orang yang tuna netra dalam kalimat tersebut secara
tersirat dapat dimaknai sebagai orang yang masih berada dalam kondisi
ketidaktahuan, kebodohan dan kegelapan. Oleh karena itu mereka
membutuhkan pencerahan yang disimbolisasi dalam bentuk tongkat. Yang
menarik adalah bahwa dengan penuh kasih sayang kita diperintahkan untuk
memberi tongkat kepada yang membutuhkan tanpa memperdulikan perbedaan di
antara kita, karena pemberian kepada yang membutuhkan adalah salah satu
bentuk kasih sayang.
K.
H. Hasyim Asy’ari tokoh dan pendiri NU, ketika menjadi Rais Akbar NU,
sering menjadikan nilai-nilai marhamah sebagai dasar dan metode untuk
menyelesaikan persoalan umat. Salah satu buktinya adalah fatwa beliau
yang menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk bersatu dan moderat
serta dilarang untuk bersikap ekstrim. Seruan ini disampaikan oleh K. H.
Hasyim Asy’ari dalam berbagai kesempatan pada waktu itu mengingat
kondisi umat yang cenderung terpecah-belah dan kebutuhan akan persatuan
yang sangat mendesak bagi bangsa Indonesia. Pemikiran K. H. Hasyim
Asy’ari tentang hal ini tertuang dalam pidato beliau, al-Mawa’idz
(berbagai petuah sosial-keagamaan), yang disampaikan pada 1936 di
Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin. Dalam petuah sosial-keagamaan
tersebut, K. H. Hasyim Asy’ari mengajak segenap umat Islam untuk
mengakhiri rasa permusuhan akibat perbedaan masalah furu’iyyah dan khilafiyyah. [2]
Dari
berbagai cerita dan peristiwa di atas, dapat dipahami bahwa dalam
berkehidupan, termasuk dalam mendakwahkan ajaran Islam, para pendahulu
kita selalu mengedepankan nilai-nilai kasih sayang (marhamah).
Nilai-nilai kasih sayang tersebut tampak pada sikap yang menghindari
pertengkaran, penghormatan terhadap pendapat orang lain yang berbeda
dengan kita, penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan tanpa
memandang keyakinan dan status sosialnya, dan selalu menjadi pemberi
bagi orang-orang yang membutuhkan.
D. Landasan Spirit Muslim Marhamah
Sebagaimana
kajian pemikiran Islam lainnya, kajian pemikiran tentang muslim yang
marhamah juga dilandasi dengan dasar utama ajaran Islam, yakni al-Quran
dan hadits. Banyak sekali al-Quran dan hadits yang menjelaskan tentang
bagaimana pribadi muslim yang penuh kasih sayang ini harus
diejawantahkan dalam kehidupan.
Islam
sebagai agama yang terakhir diturunkan oleh Allah swt merupakan agama
yang memberi rahmat bagi alam semesta sebagaimana yang telah dinyatakan
dalam al-Qur’ an tentang diutusnya Rasulullah saw.
“ Dan tidaklah aku mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk memberi rahmat bagi seluruh alam semesta” ( QS. Al-Anbiya’: 107 ).
Ayat
tersebut merupakan tujuan utama diutusnya Rasulullah saw. di dunia
ini. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa misi utama Rasulullah saw.
adalah menebar kasih sayang. Kasih sayang yang dimaksud adalah kasih
sayang yang bersifat universal, bukan parsial atau sebatas untuk
kalangan tertentu. Kata “al-alamin” dalam ayat tersebut menunjukkan
universalitas dari misi menebar kasih sayang. Seluruh alam semesta yang
menjadi arti kata tersebut merujuk pada keanekaragaman makhluk hidup di
bumi ini, baik dari sisi jenis, suku, ras, golongan maupun keyakinannya.
Secara teknis, ayat di atas dukung oleh sabda Rasulullah saw. yakni “innama bu’itstu li utammima makaarim al-akhlaaq”
(sesungguhnya aku diutus oleh Allah swt. Untuk menyempurnakan budi
pekerti yang mulia). Pembinaan akhlak merupakan upaya pembentukan
karakter seseorang. Untuk membentuk karakter yang baik tentu saja
membutuhkan pendekatan yang baik, dan pendekatan yang baik adalah
pendekatan yang penuh kasih sayang (marhamah).
Dari
sini dapat dipahami bahwa antara menebar kasih sayang dan pembinaan
akhlak adalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lainnya. Tujuan menebar kasih sayang adalah dalam rangka
pembinaan akhlak dan membina akhlak haruslah menggunakan pendekatan
kasih sayang.
Akhlak
atau etika adalah sikap utama yang mendasari semua ajaran Islam. Dalam
hal ubudiyah, melaksanakan amal ibadah adalah dalam rangka peneguhan
akhlak seseorang kepada Sang Khalik. Dalam hal muamalah, seluruh
interaksi antar sesama manusia dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan
budaya haruslah mencerminkan tindakan etis di antara mereka. Berkenaan
dengan alam, menjaga kelestarian ekosistem dan lingkungan dari kerusakan
akibat eksploitasi adalah bentuk implementasi akhlak terhadap alam.
Keseluruhan implementasi tentang akhlak atau budi pekerti yang baik
tersebut tentu saja dalam frame kasih sayang sebagaimana yang
diisyaratkan oleh ayat di atas.
Kedua
ayat dan hadits di atas merupakan landasan spirit mengapa kita harus
mengembangkan sikap marhamah dalam kehidupan sehari-hari. Ayat lain yang
juga dapat dijadikan sebagai landasan spirit dari muslim marhamah
adalah surat Ibrahim ayat 24 – 25 yang berbunyi:
Ulama tafsir mememiliki pendapat yang variatif menyangkut maksud kata “kalimah thayyibah”.
Ada yang berpendapat bahwa ia adalah kalimat tauhid, ada yang
memahaminya dalam arti al-Quran dan petunjuk-petunjuknya, ada juga yang
memaknainya sebagai kepercayaan yang haq. Bahkan kata ini oleh sebagian
ulama juga dipahami sebagai pribadi seorang mukmin (M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Vol. VII, Jld. 14, hal. 52).
Karakter
pribadi seorang mukmin yang benar adalah keimanan yang terhunjam ke
dalam hatinya, seperti terhunjamnya akar pohon. Amal-amalnya menunjukkan
keluhuran akhlaknya sebagaimana cabang-cabang pohon yang menjulang ke
langit. Keberadaannya selalu memberikan kesejukan, ketenangan, solusi
dan manfaat untuk pihak lain dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi
apapun. Hal ini ibarat buah dari pohon yang baik yang selalu memberikan
manfaat dalam setiap musim.
Dalam hal amar ma’ruf nahyu an al-munkar
yang menjadi kewajiban setiap muslim, maka pribadi muslim yang marhamah
mendasarkan aktivitas dakwahnya pada metode yang ditawarkan oleh
al-Quran dalam surat al-Nahl ayat 125.
Ayat
ini menjelaskan tentang tiga macam metode dakwah dengan
mempertimbangkan sasaran dakwah. Terhadap cendekiawan yang memiliki
pengetahuan tinggi diperintahkan menyampaikan dakwah dengan hikmah, yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka. Hikmah
sendiri maknanya adalah sesuatu yang bila digunakan akan mendatangkan
kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar, serta
menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih
besar (M. Quraish Shihab, Jld. 16, h. 384).
Terhadap kaum awam, diperintahkan untuk menerapkan mauidhah, yakni memberikan nasehat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan mereka yang sederhana. Mauidhah
baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu
disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang menyampaikannya.
Inilah yang dimaksud dengan mauidhah hasanah (uraian yang
menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan). Di sisi lain, karena
mauidhah biasanya bertujuan mencegah sasaran dari sesuatu yang kurang
baik, dan ini dapat mengundang emosi – baik dari yang menyampaikan,
lebih-lebih yang menerimanya – maka mauidhah adalah sangat perlu untuk
mengingatkan kebaikannya itu.
Kepada Ahl al-Kitab dan penganut agama-agama lain yang diperintahkan adalah jidal (perdebatan) dengan cara yang terbaik, yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan. Jidal (perdebatan) terdiri dari tiga macam, yang buruk adalah yang disampaikan dengan kasar, yang mengandung kemarahan serta yang menggunakan dalih-dalih yang tidak benar. Yang baik adalah yang disampaikan dengan sopan, serta menggunakan dalil-dallil atau alasan yang hanya diakui oleh lawan. Tetapi yang terbaik adalah yang disampaikan dengan baik, dan dengan argumen yang benar lagi melemahkan lawan (M. Quraish Shihab, Jld. 16, h. 385).
Dengan
demikian pendekatan yang digunakan oleh pribadi muslim yang marhamah
dalam berdakwah adalah dengan mengedepankan keramahan dan keteladanan
serta menjauhi sikap yang tidak sopan dan cara-cara kekerasan.
E. Konstruksi Muslim Marhamah
Tidak
mudah memang membentuk karakter pribadi muslim yang penuh kepedulian
dan kasih sayang (marhamah). Hal ini karena karakter seseorang sangat
terkait dengan kesadaran dirinya terhadap nilai-nilai yang dia ikuti dan
praktekkan dalam kehidupan. Namun ada beberapa poin yang perlu
dikemukakan di sini sebagai sebuah ikhtiar dalam mengkonstruk karakter
pribadi muslim yang marhamah.
- Kontekstualisasi Teologi
Realita
menunjukkan bahwa umat Islam saat ini mengalami apa yang disebut dengan
romantisme sejarah yang kurang produktif. Pengulangan atas masa lalu di
bidang teologi sangat tampak jika dilihat pengkajian teologi di
berbagai lembaga keislaman. Apa yang diajarkan di institusi pendidikan
Islam ini adalah teologi-teologi skolastik yang zaman dan tantangan yang
dihadapi ketika formulasi-formulasi teologi itu dirumuskan sangat jauh
berbeda dengan zaman sekarang. Ironisnya, perdebatan-perdebatan teologis
yang bersifat abstrak, utopis dan tidak membumi inilah yang selalu
diajarkan dan disebarkan tanpa melakukan kontekstualisasi serta
merumuskan dan mengembangkan formulasi teologi yang cocok dengan
realitas zaman sekarang.
Bagi
sementara pemikir kontemporer, tampaknya sudah menjadi keniscayaan
untuk mempertanyakan teologi klasik yang bersifat defensif dan
apologetik itu (Josef van Ess, dalam Issa J. Boullata (ed), An Antology of Islamic Studies,
1992: 24), yang hanya membahas tentang Tuhan saja dan melupakan aspek
kemanusiaan dalam sebuah wilayah kajian yang ilmiah. Apalagi teologi
merupakan produk budaya, hasil pemikiran manusia. Untuk itulah
diperlukan suatu teologi yang peduli dan menyentuh persoalan-persoalan
riil kemanusiaan yang mampu menginisiasi penghapusan ketidakadilan dan
penindasan. Inilah yang disebut dengan teologi yang membebaskan.
Teologi
yang membebaskan sebagai refleksi iman yang tidak hanya merefleksikan
wahyu Tuhan dalam pesan verbal-Nya, tetapi juga wahyu Tuhan di dalam
realitas-realitas sejarah. Teologi ini didasarkan pada diktum al-Quran
dalam surat al-Ankabut ayat 69.
Teologi
yang membebaskan tidak hanya bersifat transendental, tetapi juga
bersifat kontekstual. Teologi yang hanya memilki perhatian pada
persoalan-persoalan transendental atau metafisis akan tercerabut dari
masalah-masalah dunia. Ia akan kehilangan relevansianya terhadap
maslah-masalah aktual. Teologi akan memiliki makna dalam merumuskan
tujuan-tujuan hidup manusia, bila ia selalu dikaitkan secara kreatif
dengan kondisi manusia (Wahono Nitiprawiro, 2000: 10). Karenanya,
kontekstualisasi teologi adalah tidak kalah pentingnya dengan
mentransedensikannya.
Teologi
yang membebaskan dalam Islam tidaklah membatasi dirinya hanya pada
wilayah yang murni pemikiran spekulatif, akan tetapi juga mencakup pada
wilayah-wilayah praksis (Asghar Ali Engineer, 1993: 84). Praksis di sini
adalah kombinasi antara refleksi dan aksi, teori dan praktek, serta
iman dan amal. [3] Oleh karena itu perhatian terhadap persoalan-persoalan keadilan, kebebasan, dan persamaan menjadi dominan.
Formulasi teologi yang membebaskan dalam Islam yang ditawarkan Engineer dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Teologi yang membebaskan memiliki perhatian yang sangat besar terhadap persoalan-persoalan yang ada di dunia, “kini” dan “di sini”, dan baru kemudian pada persoalan ukhrowi, “esok” dan “di sana”. Ini berarti bahwa teologi yang membebaskan diorientasikan untuk bergelut dengan realitas praktis dann kongkret, bukan dengan realitas metafisis dan abstrak sebagaimana yang terjadi pada teologi skolastik. Akan tetapi ini bukan berarti mengabaikan sama sekali persoalan-persoalan akhirat.
- Teologi yang membebaskan tidak menginginkan status quo, yakni kemapanan yang menimbulkan ketidakadilan dan eksploitasi. Dengan demikian, teologi ini mengidekan kepedulian seorang muslim terhadap kondisi di sekitarnya.
- Teologi yang membebaskan berusaha untuk mengemansipasi mereka yang tertindas dengan memberikan kesadaran kritis atas realitas di sekitar mereka lewat formulasi teologis. Lebih lanjut teologi ini juga berkepentingan untuk menciptakan strukutur yang non-eksploitatif dan berkeadilan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan derajat manusia.
- Teologi yang membebaskan tidak hanya mengakui satu konsep metafisis tentang takdir dalam rentang sejarah umat Islam. Namun juga mengakui konsep bahwa manusia itu bebas menentukan nasib sendiri. Tidak boleh ada pemaksaan kehendak oleh pihak lain dalam penentuan tujuan hidup seseorang.
- Teologi yang membebaskan lebih banyak menekankan pada masalah praksis daripada pemikiran-pemikiran abstraktif-spekulatif. Ini berarti teologi yang membebaskan tidak hanya menekankan diskursus yang bersifat melangit, tapi lebih menekankan wacana yang bersifat membumi agar proyek emansipasi masyarakat dapat direalisasikan.
Kontekstualisasi
teologi ini menjadi sangat penting untuk mengkonstruk karakter pribadi
muslim yang marhamah. Tujuannya untuk membangun kesadaran akan
kepedulian terhadap persoalan-persoalan masyarakat yang terjadi di
sekitarnya melalui perangkat ajaran dasar teologi.
- Pengayaan Metodologi Pemahaman Doktrin Keagamaan
Memahami
ajaran Islam, tentu saja, tidak bisa meninggalkan metodologi pemahaman
ajaran tersebut, karena pemahaman ajaran adalah ilmu pengetahuan tentang
ajaran. Pentingnya metodologi ilmu pengetahuan dapat dilihat dari
relaitas sejarah orang-orang Barat. Mengapa Eropa menghabiskan waktu
seribu tahun dalam keadaan stagnasi, tetapi setelah itu dengan waktu
yang sangat singkat berubah bangkit dan maju pesat. Lalu mengapa Yunani,
di masa kuno dengan para filosuf yang jenius itu tidak mampu melahirkan
kemajuan peradaban dunia, sedangkan Eropa pasca renaisans dengan para
ilmuwan yang biasa, tidak sejenius para filosuf Yunani, berhasil
mewujudkan peradaban baru dunia. Singkatnya, karena mereka menguasai
metodologi. Meskipun jenius, para filosuf Yunani tidak menemukan metode
yang tepat. Sebaliknya, meskipun tidak jenius ilmuan Eropa sekitar abad
15-16, berhasil menemukan metode yang tepat untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan (Moh. Nurhakim, 2004: 9-10).
Ilustrasi
di atas memberikan pemahaman kepada kita, bahwa dengan metode studi
Islam yang tepat akan membawa hasil perkembangan ilmu-ilmu agama
sehingga lebih sesuai dengan apa yang semestinya, baik dalam ukuran
agama maupun kebutuhan hidup manusia dewasa ini.
Studi
Islam menyangkut banyak aspek, seperti: studi al-Quran, studi hadits,
studi hukum Islam, studi pemikiran dan filsafat Islam, studi sosiologi
Islam, studi sejarah Islam dan lain-lain. Masing-masing studi memiliki
model metodologinya yang khas sesuai bidang kajian. Tentu saja dalam
tulisan ini tidak hendak membahas metodologi semua aspek studi Islam,
karena pembahasannya yang sangat luas. Di sini hanya akan dikemukakan
salah satu contoh pentingnya alternatif metodologi studi tafsir
al-Quran. Posisi al-Quran sebagai sumber utama dalam ajaran Islam
menjadi sangat penting untuk dibahas dalam diskusi ini.
Salah
satu ciri al-Quran adalah ia diturunkan secara kontekstual atau menurut
kebutuhan masyarakat. Ia memberikan petunjuk menyelesaikan masalah, dan
mengajak dialog dalam konteks budaya yang berkembang pada saat itu.
Al-Quran juga memberikan alternatif budaya, atau justru mensahkan suatu
budaya yang ada.
Jika
al-Quran sebagai petunjuk hidup yang universal, maka tidaklah cukup
hanya dipelajari dari sisi teksnya saja, atau dari segi teks dan konteks
turunnya saja tanpa memperhatikan konteks al-Quran dipahami dan
ditafsiri seperti sekarang (konteks kekinian). Bahkan diperlukan konteks
sejarah sebagai bahan analisa perbandingan perkembangan al-Quran dan
penafsirannya dari masa ke masa. Hal ini dilakukan untuk menangkap inti
ajaran (maqashid) setelah mengetahui illat hukumnya (Moh. Nurhakim,
2004: 52). Mengapa Umar pernah tidak memberlakukan hukum potong tangan
untuk kasus pencurian. Ternyata Umar mengajukan alasan yang mendasar,
bahwa pencurian itu dalam posisi terpaksa dan kondisi saat itu memang
sedang dalam keadaan paceklik. Menurut Umar, adalah tidak manusiawi bila
dalam keadaan seperti itu si pencuri harus dipotong tangannya, bukankah
dengan dipotong tangannya dia tidak akan lagi bisa mencari nafkah untuk
keluarganya.
Untuk
mendapatkan pemahaman al-Quran yang santun, penuh kasih sayang,
menyejukkan dan meminimalisasi kekerasan, maka dibutuhkan metode tafsir
yang tepat. Di samping berbagai metode tafsir yang selama ini
dikemukakan oleh para ulama, misalnya ijmali, tahlili, muqarin dan
maudhu’i, salah satu metode lain yang dapat ditawarkan di sini adalah
menafsirkan teks al-Quran dalam perspektif historis dan sekaligus
konteks sosialnya. Adapaun kerangka metodologinya terdiri dari tiga hal.
Pertama, memahami teks (nash) serta konteks sosialnya. Kedua, menangkap pesan dasar teks (ruh nash). Ketiga, mengkaji konteks kekinian serta mendialogkannya dengan pesan dasar teks (Moh. Nurhakim, 2004: 53).
Contoh
penafsiran dengan metode historis kontekstual ini adalah sebagaimana
yang dilakukan oleh Amina Wadud Muhsin, cendekiawan muslim perempuan
dari Amerika, ketika menafsirkan surat al-Nisa ayat 34 tentang istri
yang nusyuz. Penafsiran tersebut berdasarkan pada tahap-tahap
perkembangan interpretasi teks. Adapun tahap-tahap perkembangan
interpretasi teks adalah sebagai berikut :
Pertama, tahap
perkembangan interpretasi teks yang berupa waktu dan konteks turunnya
wahyu. Jawaban Nabi terhadap wahyu tersebut adalah “saya menginginkan
satu hal, tetapi Allah menginginkan hal yang lain”. Beliau (Nabi
Muhammad saw) tidak pernah melaksanakan teks ini selama hidupnya
(memukul, al-Nisa: 34). Begitu juga beliau tidak pernah memukul
perempuan ataupun budak.
Al-Quran
juga menguraikan suatu peristiwa yang menimpa pada diri Nabi Muhammad
saw, yaitu ketika Nabi menyatakan jika beliau mengasingkan dirinya
selama satu bulan dari semua istrinya setelah mereka menentang beliau
tentang sesuatu yang telah beliau lakukan yang tidak menyenangkan hati
mereka. Kemudian turunlah wahyu secara khusus dengan tujuan menawari
beliau agar mengganti semua istrinya (QS. 66: 5). Pengasingan diri Nabi
selama satu bulan dapat dipandang sebagai usaha untuk memperlihatkan
penyelesaiaan kedua yang dianjurkan pada al-Nisa: 34, yakni untuk tetap
berpisah ranjang. Dalam hal ini, jika Nabi tetap dijadikan contoh
terbaik makna al-Quran, maka beliau hendaknya bergeser dari menjauhi
istri ke memukul istri-istrinya. Akan tetapi al-Qur’an mengatakan
kemungkinan bercerai (QS. 66: 4) dan nabi memperlihatkan syarat tambahan
interpretasi dan aplikasi, yakni refleksi diri.
Kedua,
tahap perkembangan interpretatif diperlihatkan secara terus menerus dan
dengan cara yang berbeda selama dua atau tiga abad setelah wahyu
sebagai fiqh mengembangkan dan memberikan tanggapan interpretatif lain.
Ia merupakan intervensi praktis antara aplikasi tekstual harfiah dan
aplikasi bersyarat. Sementara itu yang terpenting dari intervensi ini
bahwa Fiqh membatasi pemukulan seperti itu sampai pada ghayr mubarrih, tidak menimbulkan bahaya. Selanjutnya fiqh menginterpresikan pemukulan hanya bersifat ramziyyun,
simbolis saja. Hal ini menegaskan pemahaman tekstual penggunaan untuk
melakukan tindak kekerasan rumah tangga atau percekcokan pasutri yang
tidak henti-hentinya. Para ahli hukum tampaknya ingin menyatakan dalam
konteks sosiologis yang ada dan mengatakan pemahaman tujuan kontekstual
yang mungkin juga didasarkan pada preseden contoh yang dialami Nabi.
Dalam buku Quran and Women,
Amina menggarap potensi tahap ketiga perkembangan berdasarkan inspirasi
dari bacaan yang dia gunakan dalam konteks wawasannya. Makna ganda
dapat diambil dari berbagai penggunaan dan definisi untuk kata daraba sebagaimana
yang disebutkan dalam al-Qur’an dan di buku-buku lain. Bidang luas
nuansa linguistik dan daftar definisi yang luas diberikan oleh kamus
bahasa Arab dan leksikon Lisan al-‘Arab ini menunjukkan bahwa
dapat saja lebih banyak makna yang harus diperhatikan dan kemudian
diterapkan dalam usaha untuk memahami ayat tersebut. Dari sini diketahui
bahwa kata daraba memiliki arti tidak hanya memukul tetapi juga berarti melakukan perjalanan.
Tahap
terakhir yang dia kemukakan di sini dalam konteks pengetahuan manusia
sekarang dan data eksplisit kekerasan rumah tangga dengan
mempertimbangkan informasi yang dikumpulkan dari penelitian tentang dan
pengalaman perempuan yang diperlakukan kejam. Di sini dapat diajukan
gagasan bahwa laki-laki tidak dapat diterima jika memukul istrinya.
Dorongan atau tujuan apapun untuk menerapkan ayat ini dengan cara
seperti melanggar prinsip-prinsip lain teks itu sendiri, terutama
dorongan untuk menegakkan keadilan dan martabat manusia, sebagaimana
yang diupayakan oleh Allah untuk dipahami umat manusia sekarang ini
(Amina Wadud, 2006: 2001-2003).
Tahapan-tahapan ini dipandang sangat bagus, karena jika tahapan pertama tidak mencerminkan weltanschaung (pandangan dunia) yang
berupa keadilan, maka mufassir akan menggunakan tahapan-tahapan yang
lain sehingga makna al-Qur’an dapat hidup dan memecahkan berbagai
permasalahan. Dalam al-Nisa’: 34, jika seorang istri nusyuz, maka langkahnya harus diberi nasehat, pisah ranjang, dan yang terakhir dipukul (darb). Secara
harfiyah, perbuatan “memukul” istri merupakan tindak pidana dan ini
tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw walaupun istri-istri
beliau melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. Pada tahap
selanjutnya, kata “memukul” diberi batasan “tidak melukai”, yang oleh
sebagian orang diartikan dengan memukul dengan “tongkat Madura”.
Selanjutnya, kata darb dicari padanannya dari kamus bahasa Arab dan leksikon Lisan al-‘Arab sehingga darb bermakna istri diajak pergi melihat keindahan alam (bermakna safar). Terakhir, Amina Wadud menerima pemaknaan darb dengan
memukul, tetapi tidak dapat diterapkan karena bertentangan dengan ayat
yang berisi tentang keadilan. Hal ini sama dengan ayat tentang
perbudakan yang tidak dapat diterapkan. Artinya, ayatnya masih ada
tetapi secara ijma’ sukuti ulama tidak menerapkannya.
Dari contoh di atas dapat dipahami bahwa ajaran al-Quran yang dipandang shalih fi kulli al-zaman wa al-makan
harus didialogkan dengan konteks kekinian. Upaya menjadikan masyarakat
yang lebih beradab, santun dan penuh kedamaian harus diimbangi dengan
metode pemahaman teks nash yang penuh kedamaian pula. Tujuannya adalah
agar gaya berpikir radikal dalam memahami teks nash tidak terjadi. Tidak
saja terhadap ayat-ayat yang secara implisit “dianggap” memiliki
potensi kekerasan, melainkan juga terhadap ayat-ayat yang secara
eksplisit dianggap membenarkan tindakan kekerasan, sebagaimana kebolehan
memukul dalam surat al-Nisa ayat 34.
- Kesadaran akan Pluralitas
Pluralitas
adalah keragaman yang didasari oleh keutamaan, keunikan dan kekhasan.
Karena itu, pluralitas tidak dapat terwujud, diadakan atau terbayangkan
keberadaannya kecuali sebagai obyek komparatif dari keseragaman dan
kesatuan yang merangkum seluruh dimensinya. Pluralitas tidak dapat
dilabelkan pada situasi cerai-berai dan permusuhan yang tidak mempunyai
tali persatuan yang mengikat semua pihak. Tidak juga pada kondisi
cerai-berai yang sama sekali tidak memiliki hubungan antar masing-masing
pihak. Pluralitas juga tidak dapat disematkan pada kesatuan yang tidak
memiliki parsial-parsial, atau yang bagian-bagiannya dipaksa untuk tidak
menciptakan keutamaan, keunikan dan kekhasan tersendiri (Muhammad
Imarah, 1997: 9).
Anggota
suatu keluarga adalah bentuk pluralitas dalam kerangka kesatuan
keluarga. Pria dan wanita adalah bentuk pluralitas dari kerangka
kesatuan jiwa manusia. Bangsa-bangsa dan suku-suku adalah bentuk
pluralitas jenis manusia. Ide pluralitas ini bersumber dari al-Quran,
banyak sekali ayat-ayat yang menunjukkan adanya pluralitas ini.
Dalam
menafsirkan ayat dalam surat Hud di atas, para mufassir mengatakan
bahwa perbedaan, kemajemukan, serta pluralitas dalam syariat-syariat dan
manhaj-manhaj itu sebagai keadaan atau syarat yang sangat diperlukan (conditio sine qua non) dalam menciptakan makhluk. Menurut mereka, makna “Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka” seakan-akan pluralitas itu sebagai illat atau sebab keberadaan wujud ini (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, juz 9: 114-115).
Menyangkut
perbedaan, kemajemukan dan pluralitas ini, Quraish Sihab menjelaskan
ketika menafsirkan surat al-Fatir ayat 28, bahwa ayat ini memberikan
penekanan pada keanekaragaman serta perbedaan-perbedaan yang terhampar
di bumi. Ini mengandung arti bahwa keanekaragaman dalam kehidupan
merupakan keniscayaan yang dikehendaki Allah. Termasuk dalam hal ini
perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan
keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci,
penafsiran kandungannya, serta bentuk-bentuk pengamalannya (M. Quraish
Shihab,2007: 467).
Menurut
Rashid Ridha, realitas yang menunjukkan bahwa Allah swt. menginginkan
adanya perbedaan (pluralitas) di tengah manusia adalah dengan
menciptakan mereka dalam kondisi siap berbeda dalam ilmu pengetahuan,
pendapat dan perasaan mereka, juga konsekuensi dari hal itu; seperti
keinginan mereka dan pilihan mereka akan pekerjaan yang ingin dijalani.
Termasuk di sana adalah agama, iman, taat atau maksiat. Perbedaan adalah
suatu yang normal dan alami dalam diri manusia, di dalamnya mengandung
faedah dan manfaat ilmiah sekaligus alamiah yang tidak tampak
keutamaannya tanpa keberadaannya (Rashid Ridha, Tafsir al-Manar , juz 12, h. 19).
Islam
hanya mengakui “ketunggalan” (yang tidak memiliki sisi parsial dan
bentuk plural) semata bagi Dzat Allah swt. dan tidak bagi makhluk,
seluruh alam dan semua yang ada di segala bidang makhluk. Dengan
demikian, pemikiran Islam menjadikan pluralitas sebagai suatu “sunnah”
dari sunnah-sunnah Allah dalam penciptaan dan makhluk seluruhnya, dan
suatu tanda kekuasaan (ayat) dari ayat-ayat Allah swt.
Dengan
kesadaran akan pluralitas, seseorang akan lebih arif dalam melihat
realitas, lebih bijak dalam menyikapi persoalan, lebih adil dalam
memberi pertimbangan, dan tentu saja lebih toleran dalam menyikapi
perbedaan. Dari sinilah urgensi kesadaran akan pluralitas dalam
membentuk karakter pribadi muslim yang marhamah.
F. Berpikir dan Bertindak Model Muslim Marhamah
1. Mengembangkan Sikap Toleransi
Rahmat
sebagai doktrin utama Islam dalam aplikasinya menemui banyak kendala.
Salah satunya adalah adanya konflik. Manusia mempunyai potensi besar
melakukan konflik. Kompetisi untuk merebutkan status sosial sering
berujung pertikaian, ketegangan, dan kerawanan. Menurut Achmad Gunaryo,
penerimaan terhadap konflik sebagai bagian dari hidup tampaknya bukanlah
pilihan melainkan keharusan. Dipahami demikian, maka akan sia-sia
menolak konflik. Menolak konflik adalah menolak sunnatullah. Manusia
harus mau hidup dalam atau berdampingan dengan konflik.
Salah
satu cara menyikapi konflik adalah mengembangkan budaya toleransi.
Dalam toleransi, yang harus dilakukan adalah menghindari hal-hal yang
memicu munculnya konflik, memunculkan persamaan-persamaan yang sifatnya
universal yang bisa diterima semua kalangan, dan memberikan keteladanan
dalam pembumiannya. Toleransi atau tenggang rasa akan sukses jika
masing-masing individu menghargai kesepakatan-kesepakatan yang sudah
ditetapkan dalam konteks kepentingan universal. Mereka bisa menahan diri
dan mencari jalan terbaik dalam memecahkan persoalan, tidak terbawa
konflik kepentingan dan perebutan kekuasaan personal yang merugikan
kepentingan sosial universal.
Keadilan,
kedamaian, dan kesejahteraan adalah hal-hal yang sifatnya universal
lintas sektoral. Semua orang membutuhkan dan menginginkannya. Semua
orang menginginkan agama, kekuasaan dan differensiasi status sosial yang
dapat menjamin dan berkontribusi nyata dalam perbaikan derajat
kehidupan sosial. Bukan sebaliknya, agama, kekuasaan, dan status sosial
menjadi penyebab lahirnya ketidakadilan, kekerasan, dan pertikaian.
Kalau itu terjadi maka akan menjadi titik tolak berkembangnya
delegitimasi agama, kekuasaan, dan status sosial.
Kemampuan
untuk hidup berdampingan (koeksistensi) dengan kelompok dan agama lain
harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya secara
individual, tapi juga secara sosial dan institusional. Tidak ada
demarkasi dan diskriminasi dalam pergaulan sosial. Semua manusia
menginginkan persamaan, kesetaraan, kerukunan, dan keselarasan dalam
kehidupan sosial.
Pemahaman
agama yang intoleran terhadap sebagian ayat dalam al-Qur’an dan hadis
Nabi harus ditafsirkan dalam kerangka ayat-ayat dan hadis-hadis
universal yang mendorong manusia untuk menghargai kemanusiaan,
perbedaan, hak-hak asasi manusia, kerjasama, tolong menolong, dan
berkompetisi dalam kebaikan (fastabiq al-khairat). Dalam kerangka
pemikiran inilah kita memahami ajaran dakwah yang bersifat ekspansionis
(dakwah, mengembangkan diri). Masing-masing agama memang mempunyai
ajaran ekspansionis, namun hal itu tidak harus dimaknai sebagai
pemaksaan terhadap seseorang untuk memeluk suatu agama. Ajaran tersebut
seyogyanya dimaknai sebagai motivasi kepada pemeluk agama untuk
mendemonstrasikan keagungan moral dan keindahan perilaku kepada orang
lain, sehingga orang lain menjadi apresiatif, respek, dan akhirnya
tertarik terhadap agama yang diikuti. Keteladanan menjadi kunci utama
dalam keberhasilan dakwah.
Jika
umat Islam dalam dakwahnya kepada kelompok lain mengedepankan
keteladanan dalam bertutur sapa, berinteraksi, bekerjasama, dan
memberdayakan kaum miskin-papa, maka akan terjadi eskalasi dan
massifikasi kebaikan yang menjadi esensi ajaran agama, bukan adu fisik,
klaim, emosi, perang, agitasi, konflik, intrik, dan hal-hal negatif
lainnya yang merusak persaudaraan dan kerukunan. Kalau dengan bukti
nyata, seseorang tertarik dan masuk sebuah agama itu adalah hasil
refleksi dan kontemplasinya. Hal ini karena kesadaran dan pilihan
hidupnya, bukan karena paksaan, kompensasi materi, jabatan, popularitas,
dan motif pragmatis duniawi lainnya. Inilah yang dipilih Nabi Muhammad
dalam dakwahnya. Moralitas agung yang didemonstrasikannya membuat
orang-orang kagum dan terkesima, sehingga masuk dalam agamanya.
Toleransi
yang dipraktekkan umat Islam akan menjadi rahmat bagi diri mereka
sendiri dan bagi sesama. Tidak ada rasa saling curiga, negative thinking,
dan rekayasa yang menjurus kepada timbulnya fitnah, agitasi, iri hati,
dan lain sebagainya yang mencabik-cabik harmoni dan kohesi sosial.
Keimanan seseorang adalah hak prerogatif Allah, bukan wilayah manusia,
sehingga interaksi harmonis dengan agama lain bukan menjadi penyebab
goyahnya keimanan seseorang, tetapi justru akan mengokohkan keimanan
seseorang, karena bisa membuktikan kebenaran imannya kepada agama lain.
Tragedi perang dengan alasan agama seharusnya tidak sampai terulang di
era modern sekarang ini.
Umat
Islam sudah waktunya tampil dalam percaturan dunia dengan aksi-aksi
sosial simpatik yang mendatangkan kesejahteraan ekonomi, kemajuan
pendidikan, keagungan moral dan solidaritas sosial. Intinya, cita-cita
mewujudkan muslim yang marhamah yang cinta perdamaian tidak akan mungkin
terwujud apabila tidak dilandasi basis pemikiran keagamaan yang bervisi
rahmatan lil’alamin. Dengan basis pemikiran inilah, Islam akan
tampil cantik mempesona, indah menawan, dan sejuk mendamaikan. Dengan
itulah Islam benar-benar akan terwujud sebagai rahmat bagi seluruh alam.
2. Mengedepankan Ukhuwah
Ukhuwah
pada awalnya berarti persamaan dan keserasian dalam banyak hal.
Karenanya, persamaan dalam keturunan mengakibatkan persaudaraan,
persamaan dalam sifat-sifat juga mengakibatkan persaudaraan.
Seringkali kita mendengar istilah ukhuwah islamiyah yang diartikan sebagai persaudaraan antar sesama muslim. Mungkin banyak pertanyaan yang muncul dalam menyikapi istilah ukhuwah islamiyah tersebut, misalnya, apakah yang dimaksud dengan istilah tersebut? Apa kedudukan kata islamiyah sebagai pelaku ukhuwah atau kata sifat darinya?
M. Quraish Shihab menyatakan bahwa islamiyah di sini adalah kata sifat (adjektif) dari ukhuwah,
sehingga maknanya adalah persaudaraan yang bersifat Islam atau
persaudaraan secara Islam (islami). Meskipun demikian ia memberi catatan
bahwa harus diakui bahwa persaudaraan antar sesama muslim, yang
kemudian diartikan sebagai kerukunan intern umat Islam, merupakan salah
satu pokok ajaran Islam, yang juga termasuk dalam bagian ukhuwah islamiyah itu sendiri (M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, 1994, h. 358).
Bila
ukhuwah diartikan sebagai “persamaan” sebagaimana makna asalnya, maka
paling tidak kita dapat menemukan ukhuwah tersebut tercermin dalam empat
hal sebagai berikut:
- Ukhuwah fi al-Ubudiyah, yaitu bahwa seluruh makhluk adalah bersaudara, dalam arti memiliki persamaan. Sebagaimana dalam surat al-An’am ayat 38: “Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi,dan tidak pula burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, kecuali umat seperti kamu juga”. Persamaan ini, antara lain, dalam ciptaan dan ketundukan kepada Allah.
- Ukhuwah fi al-Insaniyah, dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka bersumber dari ayah dan ibu yang satu. Surat al-Hujurat ayat 12 menjelaskan tentang hal ini.
- Ukhuwah fi al-Wathaniyah wa al-Nasab. Persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan seperti yang disyaratkan oleh surat al-A’raf ayat 65.
- Ukhuwah fi Din al-Islam. Persaudaraan antar sesama muslim, seperti yang terdapat dalam surat al-Ahzab ayat 5 (M.Quraish Shihab,358-359).
Faktor
penunjang lahirnya persaudaraan adalah persamaan. Semakin banyak
persamaan semakin kokoh pula persaudaran. Persamaan dalam rasa dan cita
merupakan faktor yang sangat dominan yang mendahului lahirnya
persaudaraan hakiki. Pada akhirnya, dengan persaudaraan hakiki ini akan
menjadikan seorang saudara akan merasakan derita saudaranya. Sebagai
contoh adalah mengulurkan bantuan kepada saudaranya sebelum diminta
serta memperlakukannya bukan atas dasar take and give, tetapi berdasar pada kasih sayang dalam bentuk “mengutamakan orang lain meskipun dirinya sendiri kekurangan” (QS. Al-Hasyr: 9).
Keberadaan
manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan nyaman yang
dirasakannya pada saat berada bersama jenisnya, dan dorongan kebutuhan
ekonomi, juga merupakan faktor-faktor penunjang lahirnya rasa
persaudaraan itu. Islam datang menekankan hal-hal tersebut dan
menganjurkan untuk mencari titik singgung dan titik temu. Tidak hanya
kepada sesama muslim, kepada non-muslim pun demikian juga seharusnya,
hal ini diisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 64 dan Saba’ ayat 24-25.
Mengedepankan ukhuwah adalah ciri khas karakter muslim yang marhamah. Ukhuwah islamiyah yang dipahami dalam konteks ini adalah ukhuwah
yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Maka, membangun persaudaraan
tidak hanya sebatas pada orang-orang yang muslim saja melainkan juga
kepada orang-orang non-muslim, karena kita semua adalah memiliki
persamaan dan oleh karena itu kita semua adalah bersaudara.
3. Menjadikan Musyawarah sebagai Mekanisme Problem Solving
Kata musyawarah terambil dari akar kata syawara,
yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna
ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat
diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat. Musyawarah
dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah
pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan
makna dasarnya (M. Quraish Shihab, 2007: 469).
Madu
bukan saja manis, melainkan juga obat untuk banyak penyakit, sekaligus
sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu dicari di mana pun dan
oleh siapa pun. Madu dihasilkan oleh lebah. Dengan demikian, yang
bermusyawarah mesti bagaikan lebah yakni makhluk yang sangat disiplin,
kerja samanya sangat mengagumkan, makanannya terjaga dan hasilnya adalah
madu. Di mana pun hinggap, lebah tidak pernah merusak. Ia tidak akan
mengganggu kecuali diganggu. Seperti itulah makna permusyawarahan,
seperti itu pulalah sifat yang melakukannya. Maka tidak heran bila Nabi
Muhammad saw. menyamakan seorang mukmin dengan lebah.
Seruan yang jelas untuk melakukan musyawarah apabila ada suatu urusan terdapat dalam al-Quran surat ‘Ali Imran ayat 159.
Ayat
ini dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. agar
memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota
masyarakatnya. Tetapi, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap
muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan
anggota-anggotanya.
Pada
ayat tersebut disebutkan tiga sikap yang secara berurutan diperintahkan
kepada Nabi Muhammad saw. untuk dilakukan sebelum datangnya perintah
bermusyawarah. Ketiga sikap tersebut sengaja dikemukakan dalam ayat itu
agar ketiganya menghiasi diri Nabi dan setiap orang yang melakukan
musyawarah. Ketiga sikap tersebut adalah (M. Quraish Shihab, 2007: 474-476):
1) Sikap Lemah lembut ; Seseorang
yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari
tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra
musyawarah akan meninggalkan majelis musyawarah.
2) Memberi maaf dan membuka lembaran baru.
Maaf berarti menghapus. Memaafkan adalah menghapus bekas luka di hati
akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Di sisi lain,
orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia
memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan
pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain.
3) Permohonan ampunan kepada Allah swt. Untuk
mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah, maka hubungan dengan
Tuhan pun harus harmonis. Keharmonisan ini akan membawa efek positif
bahwa keputusan yang diambil dalam musyawarah akan membawa manfaat
kepada semua pihak.
Setelah
itu disebutkan satu lagi sikap yang harus dilakukan setelah musyawarah,
yakni kebulatan tekad untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan
dalam musyawarah.
Agaknya
dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa musyawarah
diperintahkan al-Quran, serta dinilai sebagai salah satu prinsip dalam
berkehidupan dan bermasyarakat. Musyawarah ini menjadi karakter pribadi
muslim yang marhamah karena musyawarah adalah jalan terbaik dalam
menyelesaikan permasalahan. Dalam musyawarah dituntut untuk selalu
santun dan penuh kedamaian, bukan amarah dan penuh kebencian. Apalagi
terdapat tiga prasyarat yang harus dilakukan (sikap lemah lembut, penuh
maaf, dan memohonkan ampun), yang kesemuanya meniadakan unsur kekerasan.
Hal ini karena pendekatan kekerasan tidak mungkin dilakukan oleh
seorang muslim yang marhamah.
DAFTAR BACAAN
Abu Daud, Sunan Abu Dawud, 1969: 491.
Amina Wadud Muchsin, 2006, Qur’an and Women, Kualalumpur: Fajaar Bakti, 2001-2003.
Amin Abdullah, 2006, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 403.
Asghar Ali Engineer, 1993, Devolusi Negara Islam, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 84.
Clifford Greets (dalam Nasikun, 1984)
Cyril Glasse, 1996: 288).
Farid Essack, 1997, Quran, Liberation and Pluralism, Oxford: Oneworld Publication, 1997, 85.
Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation, 1996, New York: Orbis Books, 5-12.
Hasyim Asy’ari, K. H., 1416 H., At-Tibyaan Fi al-Nahyii ‘An Muqaathiaat al-Arhaam wa al-Aqaarib wa al-Ikhwaan, Muhammad Ishom Hadzik (ed.), Jombang : Maktabah al-Turaats al-Islaami Tebuireng, 31-39.
Josef van Ess, dalam Issa J. Boullata (ed), An Antology of Islamic Studies, 1992: 24), (Wahono Nitiprawiro, 2000: 10).
M. Nurhakim, 2004, Islam Doktrin, Pemikiran dan Realitas Historis, Malang: UMM Press, 9-10.
M. Nurhakim, 2004, Islam Doktrin, Pemikiran dan Realitas Historis, Malang: UMM Press, 52.
Muhammad Imarah, Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam, 1997: 9).
al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, juz 9: 114-115).
M. Quraish Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Mizan, Bandung, 1997: 378.
M. Quraish Shihab, 2007, Tafsir al-Mishbah, Vol. VII, Jilid. 14, Jakarta: Lentera Hati, 52.
M. Quraish Shihab, 2007, Tafsir al-Mishbah, Vol. VII, Jilid. 16, Jakarta: Lentera Hati, 384.
M. Quraish Shihab, 2007, Tafsir al-Mishbah, Vol. VII, Jilid. 16, Jakarta: Lentera Hati, 467.
M. Quraish Shihab, 1994, Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: ..... 358.
M. Quraish Shihab, 1994, Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: ..... 358-359).
M. Quraish Shihab, 2007, Tafsir al-Mishbah, Vol. VII, Jilid. 16, Jakarta: Lentera Hati, 469.
M. Quraish Shihab, 2007, Tafsir al-Mishbah, Vol. VII, Jilid. 16, Jakarta: Lentera Hati, 474-476.
Rashid Ridha, Tafsir al-Manar , juz 12, h. 19).
Rosyidi, 2004: 74).
Sayyid Muhammad ‘Alawi (1424: 45) menegaskan bahwa faktor penyebab radikalisme pemahaman ajaran Islam adalah “sathahiyyatu al-tsaqafah wa al-fiqhi fi al-dini”
M. Dawam Rahardjo, 1996, Ensiklopedi Al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 212.
Yusuf Al-Qaradhawi, 1991, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, Kairo: Dar al-Syuruq, 28.
[1] Diadaptasi dari M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), 212.
[2] Ujaran al-Mawaa’idz bisa dilihat dalam kitab K. H. Hasyim Asy’ari, At-Tibyaan Fi al-Nahyii ‘An Muqaathiaat al-Arhaam wa al-Aqaarib wa al-Ikhwaan, Muhammad Ishom Hadzik (ed.), (Jombang : Maktabah al-Turaats al-Islaami Tebuireng, 1416 H), hal. 31-39
[3]
Konsep tentang praksis ini merupakan basis fundamental dan menjadi
karakteristik utama konsep teologi pembebasan. Konsep ini juga banyak
dipakai kalangan ilmuwan untuk dijadikan paradigma intelektual dalam
melihat sebuah realitas. Lihat misalnya, Farid Essack, Quran, Liberation and Pluralism (Oxford: Oneworld Publication, 1997), hal. 85. Lihat juga Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation (New York: Orbis Books, 1996), hal. 5-12.
0 komentar:
Posting Komentar