Rabu, 13 Maret 2013

MEMBENTUK PRIBADI MUSLIM MARHAMAH (Upaya Proteksi Radikalisasi)

A.   PENDAHULUAN
Kehadiran ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ke muka bumi ini diharapkan dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang damai dan sejahtera  lahir dan batin. Dalam risalah ajaran Islam terdapat berbagai petunjuk bagi umat manusia, bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna. Petunjuk-petunjuk tersebut tertuang secara jelas dalam sumber ajaran Islam, yakni al-Qur`an dan Hadits.
Dalam al-Qur`an, ajaran mengenai hidup dan kehidupan ini tampak begitu ideal dan agung. Islam mengajarkan kepada para pengikutnya agar selalu mengembangkan kesalehan dan kepedulian terhadap sesama, menjunjung tinggi sikap marhamah (penuh kasih sayang), mengembangkan kualitas diri serta berprilaku yang mencerminkan akhlakul karimah.
Karakter dasar Islam sebagai agama mengejawantahkan misi kerasulan Muhammad Saw berbentuk ajaran yang bersendikan rahmat (kasih sayang) diperuntukkan bagi segenap alam semesta (QS. al-Anbiya’ 21: 107). Karakter dasar tersebut terdistorsi oleh beragam pemahaman atas teks sumber pokok ajaran (Al-Qur’an–Sunnah–Hadis) ketika diperhadapkan pada struktur masyarakat Indonesia yang tergolong majemuk dan terakumulasi menjadi doktrin-doktrin keagamaan radikal (tatharruf).
Masyarakat majemuk menurut Clifford Greets (dalam Nasikun, 1984) adalah masyarakat yang terbagi ke dalam sub sistem yang berdiri sendiri, masing-masing terkait oleh ikatan bersifat primordial. Ikatan berbasis suku atau etnisitas, agama dan kepercayaan, pandangan politik dan sebagainya. Identitas agama dalam struktur masyarakat majemuk – berdasar catatan sejarah– telah memperlihatkan legitimasi paling efektif dalam memperkuat posisi kelompok. Hal itu terjadi karena keyakinan (credo) terhadap doktrin agama rentan memunculkan klaim kebenaran (claim of truth) di kalangan pemeluk agama masing-masing. Tatkala fanatik keagamaan diikuti oleh solidaritas kelompok secara berlebihan, maka akan muncul perilaku keagamaan yang ekstrim berupa sentimen kolektif terhadap kelompok pendukung faham keagamaan yang lain. Perlawanan oleh kelompok faham keagamaan yang berseberangan sangat mungkin berupa tindakan kekerasan kolektif.
Realitas kekerasan bernuansa keagamaan di Indonesia jelas berindikasi penyimpangan (deviasi) terhadap teks-teks sumber pokok agama (Islam) dipahami secara tidak benar dan membentuk doktrin-doktrin. Sayyid Muhammad ‘Alawi (1424: 45) menegaskan bahwa faktor penyebab radikalisme pemahaman ajaran Islam adalah “sathahiyyatu al-tsaqafah wa al-fiqhi fi al-dini”  (kedangkalan ilmu pengetahuan dan kedangkalan wawasan keagamaan). Prediksi akan terjadi penyimpangan (deviasi) terhadap sumber pokok ajaran Islam telah disampaikan oleh Nabi Saw melalui a’lam al-nubuwah-nya seperti diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dkk bahwa human error dalam memahami agama (Islam) bisa mengambil bentuk penyimpangan (tahrif) akibat sikap ekstrim, penyesatan atas nama agama (intihal) oleh musuh Islam dan pengulasan makna (ta’wil) oleh orang-orang yang bodoh. Hadis tersebut termuat dalam Miftahu Dar al-Sa’adah, koleksi Ibnu al-Qayim yang diriwayatkan pula oleh Abi Hurairah, Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Amr, Abi Umamah dan Jabir bin Samurah (Yusuf Al-Qaradhawi, 1991:  28).
Antisipasi terhadap arus gerakan radikalisme-fundamentalisme menurut Bassam Tibi perlu mensinergikan hadarah al-nash (penyangga budaya teks bayani), hadarah al-‘ilmi, hadarah al-falsafah dan dikombinasikan dengan humanities kontemporer (Amin Abdullah, 2006: 403). Pola sinergi tersebut guna menghindari jebakan pitfall (keangkuhan disiplin ilmu yang merasa pasti dalam wilayah sendiri-sendiri tanpa mengenal masukan dari disiplin di luar dirinya).
Bagi bangsa Indonesia eksistensi, peran dan fungsi umat Islam sangat strategis sebagai pengendali, penggerak, dan pemandu perubahan sosial di tengah dinamika global. Di sinilah dibutuhkan karakter muslim yang ramah, konsisten menghargai pluralitas, serta mampu bekerjasama dengan komponen bangsa lain dalam membangun bangsa menuju terwujudnya Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Karakter muslim seperti ini disebut dengan karakter muslim marhamah yang menghidupkan kembali ajaran Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin (penebar kasih sayang bagi seluruh alam).
Islam rahmat jelas menolak dan melarang pemakaian kekerasan demi untuk mencapai tujuan-tujuan (al-ghayat), termasuk tujuan yang baik sekalipun. Sebuah kaidah ushul dalam Islam menegaskan al-ghayah la tubarrir al-wasilah (tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara). Lebih jauh, Islam menegaskan bahwa pembasmian suatu jenis kemungkaran tidak boleh dilakukan dengan kemungkaran pula (al-nahyu ‘an al-munkar bi ghair al-munkar). Tidak ada alasan etik dan moral yang bisa membenarkan suatu tindakan kekerasan ataupun teror. Kalau ada tindakan-tindakan kekerasan atau teror yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu, maka jelas alasannya bukan karena ajaran etik-moral Islam, melainkan karena agenda-agenda lain yang bersembunyi di balik tindakan tersebut.
Di sisi lain Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi keagamaan terbesar yang sangat serius dalam mewujudkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Konsepsi Islam rahmatan lil alamin dalam NU tercermin dalam dasar-dasar sikap kemasyarakatan NU yang tercakup dalam nilai-nilai sebagai berikut:
Pertama, tawassuth (moderat) dan i’tidal (lurus/tegak), yaitu, sikap tengah dan lurus yang berintikan prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama, dan menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrem). Nilai ini disarikan dari ayat al-Quran surat al-Baqarah: 143 dan al-Maidah: 8.
Kedua, tasamuh (toleran), yaitu, sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan (terutama yang bersifat furu’iyyah), kemasyarakatan, maupun kebudayaan. Nilai ini disarikan dari ayat al-Quran surat Thaha: 44.
Ketiga, tawazun (seimbang), yakni menyeimbangkan pengabdian kepada Allah, manusia, dan lingkungan. Juga menyelaraskan kepentingan masa lalu, kini, dan akan datang. Nilai ini disarikan dari ayat al-Quran surat al-Hadid: 25.
Keempat, amar ma’ruf nahi munkar. NU selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah segala hal yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kehidupan.
NU dengan nilai-nilai tersebut benar-benar berkomitmen untuk membumikan Islam rahmatan lil’alamin, baik dalam ranah agama, sosial, hukum dan politik, baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Nilai-nilai tersebut tidak hanya dipahami sebagai doktrin akan tetapi juga harus dipahami sebagai metode berpikir (manhaj al-fikr) dalam mencarikan solusi atas berbagai persoalan umat yang kompleks.

B.  Mengenal Istilah Muslim Marhamah
Istilah “muslim” bermakna orang-orang yang berserah diri kepada Tuhan atau orang yang mencari kedamaian Tuhan. Term “muslim” ini merupakan rangkaian kata “aslama – yuslimu – islam” yang berarti menyerah atau mencari kedamaian. Kata “Islam” (ketundukan, kepasrahan dan kedamaian) merupakan bentuk kata benda verbal yang searti dengan bentuk adjektif muslim (tunduk, pasrah dan damai).
Secara teknis operasional, kata muslim dimaknai sebagai orang yang memeluk agama Islam (Cyril Glasse, 1996: 288). Dalam hal ini Islam dimaknai sebagai ajaran agama yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW. Kata muslim mengisyaratkan makna penuh ketundukan terhadap kehendak Tuhan dalam rangka mencari kedamaian.
Kedamaian dan perdamaian adalah kata kunci untuk melihat hakekat diri seorang muslim. Agaknya, cukup dengan memahami makna nama agama Islam, seseorang dapat mengetahui bahwa ia adalah agama yang mendambakan perdamaian. Cukup juga dengan mendengarkan ucapan yang dianjurkan untuk disampaikan pada setiap pertemuan, “assalamu ‘alaikum” (damai dan keselamatan untuk anda), seseorang dapat menghayati bahwa kedamaian yang didambakan bukan hanya untuk diri-sendiri, tetapi juga untuk pihak lain (M. Quraish Shihab, 1997: 378). Maka tidak heran bila salah satu ciri seorang muslim adalah seperti sabda Nabi Muhammad Saw: “seorang muslim adalah siapa yang menyelamatkan orang lain (yang mendambakan kedamaian) dari gangguan lidahnya dan tangannya.”
Adapun kata “marhamah” merupakan verbal noun atau kata benda, berasal dari kata kerja arhama. Kata ini berasal dari akar kata rahima dengan penambahan huruf hamzah di awal kata yang memiliki faidah ta’diyah (karakter kalimat yang tidak perlu menampilkan obyek). Dari kata asal rahima ini, terdapat kata-kata jadian lainnya dalam al-Qur’an, yakni: rahima, arham, marhamah, rahim, rahman dan ruhm. Berikut adalah gambaran arti dari kata-kata jadian tersebut:

Tabel arti kata jadian “r-h-m”[1]
KATA
A R T I
Rahima
Memiliki kemurahan hati atau belas kasihan kepada seseorang (to have mercy on someone); merasa kasihan, ingin menghibur atau menyenangkan hati orang lain (to be compassionate).
Arham
Bentuk jamak dari kata rahim (peranakan/kandungan).
Marhamah
Kemurahan (mercy); perasaan sayang (compassion).
Rahim
Penyayang (merciful); suka menyenangkan (compassionate); Maha Pemurah (All Compassionate).
Rahman
Pengasih (merciful); Maha Kasih (All Merciful)
Ruhm
Kelembutan (tenderness)

Tabel di atas hanya merupakan arti formal harfiyahnya, tentu saja dalam kata-kata tersebut terkandung makna yang lebih mendalam. Dari berbagai kata yang berakar dari “r-h-m” sebagaimana tebel di atas, terdapat benang merah yang memberikan kesan makna sangat kuat tentang sikap kasih sayang dan saling menyayangi. Dengan demikian makna marhamah di sini adalah energi kasih sayang murni yang secara integral terdapat dalam diri manusia. Dengan energi ini seseorang akan selalu menebarkan kasih sayang ke segala penjuru alam semesta.
Menggabungkan dua kata “muslim” dan “marhamah” adalah bukan perkara yang lumrah. Hal ini karena karakter kedua kata tersebut adalah berbeda, satunya mudzakkar dan satunya muannats. Keberbedaan karakter dua kata ini, tentu saja, harus melalui penyesuaian (adjusment) manakala keduanya hendak  dipersandingkan.
Upaya penyesuaian dalam menyandingkan kedua kata ini dapat mengacu pada teori “makhdzuf” (tidak menampilkan sebagian kalimat). Dalam teori ini dijelaskan bahwa suatu kalimat tidak harus selalu tampil lengkap. Boleh jadi ada bagian dari kalimat tersebut yang tidak tampil. Tidak tampilnya sebagian kalimat tersebut dalam perspektif ilmu gramatika bahasa Arab disebut dengan makhdzuf.
Tampilan istilah “muslim marhamah”, bila diurai sebenarnya ada bagian kalimat yang makhdzuf. Terdapat kata “thabiah” (artinya: karakter) yang harus tampil mengiringi kalimat muslim marhamah. Bila dijabarkan secara lengkap maka akan muncul tampilan kalimat “Thabiah al-Muslim Marhamah”.
Thabiah al-Muslim Marhamah dapat dimaknai karakter orang Islam yang penuh perasaaan kasih sayang. Penampilan kalimat sebatas ‘muslim marhamah’, dengan kata thabiah yang makhdzuf, memberi penekanan pada hakekat kepribadian muslim yang integral dengan nilai-nilai kasih sayang. Nilai-nilai kasih sayang di sini bukan hanya sekedar sesuatu yang berada di luar diri muslim untuk kemudian dilakukan penyerapan. Akan tetapi, terdapat internalisasi nilai-nilai kasih sayang yang secara organik ada pada diri seorang muslim.
Dengan demikian, muslim marhamah dalam konteks pembahasan ini adalah pribadi orang Islam yang secara integral memiliki energi kedamaian (Islam)  dan kasih sayang (marhamah). Dengan energi tersebut, pribadi muslim akan menggunakannya dalam setiap gerak kehidupannya, utamanya dalam menghadapi berbagai persoalan sosial kemasyarakatan. Penuh kedamaian dan penuh kasih sayang akan selalu dijadikan sebagai pendekatan utama dalam menyikapi berbagai persoalan umat.

C.  Muslim Marhamah Dalam lintas Sejarah Islam
Dalam sub bab ini akan dibahas berbagai fragmen peristiwa yang terekam dalam lintas sejarah umat Islam, baik pada masa Rasulullah, sahabat, para imam madzhab maupun pada masa para ulama yang membina umat Islam di Indonesia. Berbagai peristiwa tersebut berkenaan dengan sikap kedamaian dan kasih sayang serta anti pertengkaran dan kekerasan yang dikembangkan oleh para pendahulu kita dalam bersosial-masyarakat. Diharapkan paparan dalam bab ini dapat menjadi inspirasi kita semua dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat di bumi pertiwi ini.
Suatu Ketika Nabi Muhammad saw. mendatangi seseorang yang sedang sakit dengan membawa makanan kesukaannya, sedangkan orang tersebut selalu melemparinya kotoran. Nabi adalah orang yang pertama kali datang dan mendoakan kesembuhannya. Tidak ada kebencian, balas dendam, dan emosi dalam diri Nabi SAW. Dengan moral agung inilah seseorang tersebut masuk agama Islam secara suka rela, bahkan terharu melihat moralitas luhur Nabi SAW. Keteladanan Nabi SAW ini menjadi entry point dalam mengembangkan toleransi dalam Islam yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan universal.
Dikisahkan bahwa Khalifah Utsman bin Affan yang berada di Mina dalam rangkaian ibadah hajinya melakukan shalat dhuhur dan ashar masing-masing empat rakaat. Peristiwa itu diceritakan oleh Abdurrahman bin Yazid kepada Abdullah bin Mas’ud. Mendengar hal itu, ia kemudian mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Menurut Ibnu Mas’ud apa yang dilakukan oleh Utsman itu adalah musibah. Utsman sudah meninggalkan sunnah Rasulullah, Abu Bakar dan Umar. Ia menyatakan “Aku shalat bersama Rasulullah di Mina dan ia shalat dua rakaat. Aku shalat bersama Abu Bakar di Mina dan ia shalat dua rakaat. Aku shalat bersama Umar di Mina dan ia shalat dua rakaat.”
Ternyata dalam suatu kesempatan melaksanakan ibadah haji, Ibnu Mas’ud juga melaksanakan shalat dhuhur dan ashar empat rakaat. Ketika ditanya tentang pendapatnya dulu dan prakteknya sekarang, ia mengatakan “Benar bahwa aku menyatakan berdasarkan sunnah, shalat di Mina haruslah diqashar. Tetapi Utsman sekarang adalah Imam yang harus diikuti. Wa al-khilafu syarr, “semua pertengkaran itu buruk” (Sunan Abu Dawud, 1969: 491).
Peristiwa ini menunjukkan perbedaan keyakinan fiqh antara dua sahabat besar Utsman bin Affan dan Abdullah Ibnu Mas’ud. Yang menarik untuk kita perhatikan adalah sikap Abdullah ibn Masud. Ia menegaskan pendapatnya tentang salat qashar di Mina, tetapi ia tidak mempraktekkan keyakinannya itu, karena menghormati Utsman sebagai Imam/Khalifah dan karena ia ingin menghindari pertengkaran.
Kecenderungan pada kedamaian, saling menghormati dan anti pertengkaran seperti inilah yang kemudian juga banyak dipraktekkan oleh para ulama pada periode berikutnya. Misalnya yang dilakukan oleh Imam Syafii, pendiri madzhab Syafii yang banyak dianut oleh umat Islam di Indonesia. Suatu hari Imam Syafii ditunjuk untuk menjadi imam shalat subuh di sebuah masjid kota Kufah. Tidak jauh dari masjid itu ada makam Abu Hanifah. Imam Syafii tidak membaca qunut dalam shalat subuhnya dan tidak melakukan sujud sahwi, sebagaimana seharusnya dalam fiqih Syafii. Ketika usai shalat para jamaah bertanya kepadanya mengapa ia tidak melakukan qunut. Imam Syafii menjawab sambil menunjuk makam Abu Hanifah, “Aku menghormati penghuni makam itu” (Rosyidi, 2004: 74).
Sungguh kejadian di atas adalah cermin pribadi muslim yang marhamah. Betapa tingginya akhlak dan toleransi yang dipraktekkan oleh para imam kita dahulu. Bahkan penghormatan dan toleransi tidak hanya ditujukan kepada yang masih hidup dan ada di hadapannya, melainkan juga kepada mereka yang sudah wafat dan tidak ada di hadapannya. Hal ini harus menjadi renungan kita semua, terkadang dengan orang atau kelompok yang seharusnya kita hargai dan hormati selagi mereka masih hidup saja kita tidak melakukannya, apalagi apabila sudah meninggal. Bahkan tidak segan kita memaksakan kehendak kita, padahal tiap orang diberi kebebasan dalam berkreasi dengan pikirannya.
Sikap penghormatan terhadap orang lain idealnya juga dilakukan dalam hal berdakwah kepada umat manusia baik yang muslim maupun non-muslim. Perilaku menghargai dan menghormati dalam berdakwah kerap dilakukan oleh para wali yang menyebarkan agama Islam di Indonesia. Bahkan penghargaan dan penghormatan kepada orang lain adalah menjadi strategi utama dalam berdakwah di kalangan para wali tersebut. Dengan mengadaptasi budaya lokal, Sunan Giri mampu mengambil hati masyarakat melalui berbagai tembang dan permainan yang bernafaskan ajaran Islam. Kemampuan dalam mengaransmen musik dan mencipta berbagai alat musik tradisional telah mengharumkan nama Sunan Bonang. Nama Bonang sendiri adalah nama dari salah satu alat musik orkestra gamelan Jawa.
Dakwah elegan, humanis dan penghargaan terhadap adat-istiadat masyarakat juga dipraktekkan oleh Sunan Kalijaga, seorang wali yang digambarkan selalu berbalut baju wulung dan udeng, pakaian khas orang Jawa (javanese traditional fashion). Prinsip elegan dalam berdakwah telah memunculkan masterpiece karya budaya dalam bentuk wayang kulit. Dengan wayang kulit inilah masyarakat merasa feel at home (nyaman dan kerasan) ketika masuk Islam.
Mayoritas masyarakat pada masa wali songo adalah beragama Hindu. Oleh karenanya Sunan Kudus membuat sebuah aturan fenomenal bagi umat Islam pada waktu itu, yaitu larangan menyembelih dan mengkonsumsi sapi. Sebagaimana diketahui, sapi adalah hewan yang sangat disucikan oleh umat Hindu, sedang sisi lain, sapi merupakan hewan yang halal dikonsumsi dagingnya. Tentu saja kebijakan Sunan Kudus ini didasari penghormatan terhadap keyakinan umat Hindu dan penghormatan atas harkat-martabat sesama manusia ciptaan Tuhan.
Pola dakwah yang tidak kalah fenomenal juga dilakukan oleh Sunan Drajat. Melalui program pemberdayaan yang penuh kesantunan dan tanpa pandang bulu terhadap orang yang disantuni, Sunan Drajat mendakwahkan ajaran Islam yang penuh kedamaian. Salah satu dasar ajarannya yang menganjurkan penghargaan terhadap ke-anekaragaman (pluralitas) masyarakat adalah: “Wenehono teken marang wong kang wuto.” Secara literal, makna kalimat tersebut adalah ‘berilah tongkat penuntun bagi orang yang tuna netra’. Namun kalimat ini memiliki dimensi sosial yang mendalam. Orang yang tuna netra dalam kalimat tersebut secara tersirat dapat dimaknai sebagai orang yang masih berada dalam kondisi ketidaktahuan, kebodohan dan kegelapan. Oleh karena itu mereka membutuhkan pencerahan yang disimbolisasi dalam bentuk tongkat. Yang menarik adalah bahwa dengan penuh kasih sayang kita diperintahkan untuk memberi tongkat kepada yang membutuhkan tanpa memperdulikan perbedaan di antara kita, karena pemberian kepada yang membutuhkan adalah salah satu bentuk kasih sayang.
K. H. Hasyim Asy’ari tokoh dan pendiri NU, ketika menjadi Rais Akbar NU, sering menjadikan nilai-nilai marhamah sebagai dasar dan metode untuk menyelesaikan persoalan umat. Salah satu buktinya adalah fatwa beliau yang menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk bersatu dan moderat serta dilarang untuk bersikap ekstrim. Seruan ini disampaikan oleh K. H. Hasyim Asy’ari dalam berbagai kesempatan pada waktu itu mengingat kondisi umat yang cenderung terpecah-belah dan kebutuhan akan persatuan yang sangat mendesak bagi bangsa Indonesia. Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang hal ini tertuang dalam pidato beliau, al-Mawa’idz (berbagai petuah sosial-keagamaan), yang disampaikan pada 1936 di Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin. Dalam petuah sosial-keagamaan tersebut, K. H. Hasyim Asy’ari mengajak segenap umat Islam untuk mengakhiri rasa permusuhan akibat perbedaan masalah furu’iyyah dan khilafiyyah. [2]
Dari berbagai cerita dan peristiwa di atas, dapat dipahami bahwa dalam berkehidupan, termasuk dalam mendakwahkan ajaran Islam, para pendahulu kita selalu mengedepankan nilai-nilai kasih sayang (marhamah). Nilai-nilai kasih sayang tersebut tampak pada sikap yang menghindari pertengkaran, penghormatan terhadap pendapat orang lain yang berbeda dengan kita, penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan tanpa memandang keyakinan dan status sosialnya, dan selalu menjadi pemberi bagi orang-orang yang membutuhkan.

D.  Landasan Spirit Muslim Marhamah
Sebagaimana kajian pemikiran Islam lainnya, kajian pemikiran tentang muslim yang marhamah juga dilandasi dengan dasar utama ajaran Islam, yakni  al-Quran dan hadits. Banyak sekali al-Quran dan hadits yang menjelaskan tentang bagaimana pribadi muslim yang penuh kasih sayang ini harus diejawantahkan dalam kehidupan.
Islam sebagai agama yang terakhir diturunkan oleh Allah swt merupakan agama yang memberi rahmat bagi alam semesta sebagaimana yang telah dinyatakan dalam al-Qur’ an tentang diutusnya Rasulullah saw.
“ Dan tidaklah aku mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk memberi rahmat bagi seluruh alam semesta”  ( QS. Al-Anbiya’: 107 ).
Ayat tersebut  merupakan tujuan utama diutusnya Rasulullah saw. di dunia ini. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa misi utama Rasulullah saw. adalah menebar kasih sayang. Kasih sayang yang dimaksud adalah kasih sayang yang bersifat universal, bukan parsial atau sebatas untuk kalangan tertentu. Kata “al-alamin” dalam ayat tersebut menunjukkan universalitas dari misi menebar kasih sayang. Seluruh alam semesta yang menjadi arti kata tersebut merujuk pada keanekaragaman makhluk hidup di bumi ini, baik dari sisi jenis, suku, ras, golongan maupun keyakinannya.
Secara teknis, ayat di atas dukung oleh sabda Rasulullah saw. yakni “innama bu’itstu li utammima makaarim al-akhlaaq” (sesungguhnya aku diutus oleh Allah swt. Untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia). Pembinaan akhlak merupakan upaya pembentukan karakter seseorang. Untuk membentuk karakter yang baik tentu saja membutuhkan pendekatan yang baik, dan pendekatan yang baik adalah pendekatan yang penuh kasih sayang (marhamah).
Dari sini dapat dipahami bahwa antara menebar kasih sayang dan pembinaan akhlak adalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Tujuan menebar kasih sayang adalah dalam rangka pembinaan akhlak dan membina akhlak haruslah menggunakan pendekatan kasih sayang.
Akhlak atau etika adalah sikap utama yang mendasari semua ajaran Islam. Dalam hal ubudiyah, melaksanakan amal ibadah adalah dalam rangka peneguhan akhlak seseorang kepada Sang Khalik. Dalam hal muamalah, seluruh interaksi antar sesama manusia dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya haruslah mencerminkan tindakan etis di antara mereka. Berkenaan dengan alam, menjaga kelestarian ekosistem dan lingkungan dari kerusakan akibat eksploitasi adalah bentuk implementasi akhlak terhadap alam. Keseluruhan implementasi tentang akhlak atau budi pekerti yang baik tersebut tentu saja dalam frame kasih sayang sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat di atas.      
Kedua ayat dan hadits di atas merupakan landasan spirit mengapa kita harus mengembangkan sikap marhamah dalam kehidupan sehari-hari. Ayat lain yang juga dapat dijadikan sebagai landasan spirit dari muslim marhamah adalah surat Ibrahim ayat 24 – 25 yang berbunyi:
Ulama tafsir mememiliki pendapat yang variatif menyangkut maksud kata “kalimah thayyibah”. Ada yang berpendapat bahwa ia adalah kalimat tauhid, ada yang memahaminya dalam arti al-Quran dan petunjuk-petunjuknya, ada juga yang memaknainya sebagai kepercayaan yang haq. Bahkan kata ini oleh sebagian ulama juga dipahami sebagai pribadi seorang mukmin (M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Vol. VII, Jld. 14, hal. 52).
Karakter pribadi seorang mukmin yang benar adalah keimanan yang terhunjam ke dalam hatinya, seperti terhunjamnya akar pohon. Amal-amalnya menunjukkan keluhuran akhlaknya sebagaimana cabang-cabang pohon yang menjulang ke langit. Keberadaannya selalu memberikan kesejukan, ketenangan, solusi dan manfaat untuk pihak lain dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun. Hal ini ibarat buah dari pohon yang baik yang selalu memberikan manfaat dalam setiap musim.
Dalam hal amar ma’ruf nahyu an al-munkar  yang menjadi kewajiban setiap muslim, maka pribadi muslim yang marhamah mendasarkan aktivitas dakwahnya pada metode yang ditawarkan oleh al-Quran dalam surat al-Nahl ayat 125.
Ayat ini menjelaskan tentang tiga macam metode dakwah dengan mempertimbangkan sasaran dakwah. Terhadap cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi diperintahkan menyampaikan dakwah dengan hikmah, yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka. Hikmah sendiri maknanya adalah sesuatu yang bila digunakan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar (M. Quraish Shihab,  Jld. 16, h. 384).
Terhadap kaum awam, diperintahkan untuk menerapkan mauidhah, yakni memberikan nasehat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan mereka yang sederhana. Mauidhah baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang menyampaikannya. Inilah yang dimaksud dengan mauidhah hasanah (uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan). Di sisi lain, karena mauidhah biasanya bertujuan mencegah sasaran dari sesuatu yang kurang baik, dan ini dapat mengundang emosi  –  baik dari yang menyampaikan, lebih-lebih yang menerimanya – maka mauidhah adalah sangat perlu untuk mengingatkan kebaikannya itu.
Kepada Ahl al-Kitab dan penganut agama-agama lain yang diperintahkan adalah jidal (perdebatan) dengan cara yang terbaik, yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan. Jidal (perdebatan) terdiri dari tiga macam, yang buruk adalah yang disampaikan dengan kasar, yang mengandung kemarahan serta yang menggunakan dalih-dalih yang tidak benar. Yang baik adalah yang disampaikan dengan sopan, serta menggunakan dalil-dallil atau alasan yang hanya diakui oleh lawan. Tetapi yang terbaik adalah yang disampaikan dengan baik, dan dengan argumen yang benar lagi melemahkan lawan (M. Quraish Shihab, Jld. 16, h. 385).
Dengan demikian pendekatan yang digunakan oleh pribadi muslim yang marhamah dalam berdakwah adalah dengan mengedepankan keramahan dan keteladanan serta menjauhi sikap yang tidak sopan dan cara-cara kekerasan.

E.  Konstruksi Muslim Marhamah
Tidak mudah memang membentuk karakter pribadi muslim yang penuh kepedulian dan kasih sayang (marhamah). Hal ini karena karakter seseorang sangat terkait dengan kesadaran dirinya terhadap nilai-nilai yang dia ikuti dan praktekkan dalam kehidupan. Namun ada beberapa poin yang perlu dikemukakan di sini sebagai sebuah ikhtiar dalam mengkonstruk karakter pribadi muslim yang marhamah.
  1. Kontekstualisasi Teologi
Realita menunjukkan bahwa umat Islam saat ini mengalami apa yang disebut dengan romantisme sejarah yang kurang produktif. Pengulangan atas masa lalu di bidang teologi sangat tampak jika dilihat pengkajian teologi di berbagai lembaga keislaman. Apa yang diajarkan di institusi pendidikan Islam ini adalah teologi-teologi skolastik yang zaman dan tantangan yang dihadapi ketika formulasi-formulasi teologi itu dirumuskan sangat jauh berbeda dengan zaman sekarang. Ironisnya, perdebatan-perdebatan teologis yang bersifat abstrak, utopis dan tidak membumi inilah yang selalu diajarkan dan disebarkan tanpa melakukan kontekstualisasi serta merumuskan dan mengembangkan formulasi teologi yang cocok dengan realitas zaman sekarang.
Bagi sementara pemikir kontemporer, tampaknya sudah menjadi keniscayaan untuk mempertanyakan teologi klasik yang bersifat defensif dan apologetik itu (Josef van Ess, dalam Issa J. Boullata (ed), An Antology of Islamic Studies, 1992:  24), yang hanya membahas tentang Tuhan saja dan melupakan aspek kemanusiaan dalam sebuah wilayah kajian yang ilmiah. Apalagi teologi merupakan produk budaya, hasil pemikiran manusia. Untuk itulah diperlukan suatu teologi yang peduli dan menyentuh persoalan-persoalan riil kemanusiaan yang mampu menginisiasi penghapusan ketidakadilan dan penindasan. Inilah yang disebut dengan teologi yang membebaskan.
Teologi yang membebaskan sebagai refleksi iman yang tidak hanya merefleksikan wahyu Tuhan dalam pesan verbal-Nya, tetapi juga wahyu Tuhan di dalam realitas-realitas sejarah. Teologi ini didasarkan pada diktum al-Quran dalam surat al-Ankabut ayat 69.
Teologi yang membebaskan tidak hanya bersifat transendental, tetapi juga bersifat kontekstual. Teologi yang hanya memilki perhatian pada persoalan-persoalan transendental atau metafisis akan tercerabut dari masalah-masalah dunia. Ia akan kehilangan relevansianya terhadap maslah-masalah aktual. Teologi akan memiliki makna dalam merumuskan tujuan-tujuan hidup manusia, bila ia selalu dikaitkan secara kreatif dengan kondisi manusia (Wahono Nitiprawiro, 2000: 10). Karenanya, kontekstualisasi teologi adalah tidak kalah pentingnya dengan mentransedensikannya.
Teologi yang membebaskan dalam Islam tidaklah membatasi dirinya hanya pada wilayah yang murni pemikiran spekulatif, akan tetapi juga mencakup pada wilayah-wilayah praksis (Asghar Ali Engineer, 1993: 84). Praksis di sini adalah kombinasi antara refleksi dan aksi, teori dan praktek, serta iman dan amal. [3]  Oleh karena itu perhatian terhadap persoalan-persoalan keadilan, kebebasan, dan persamaan menjadi dominan.
Formulasi teologi yang membebaskan dalam Islam yang ditawarkan Engineer dapat dirumuskan sebagai berikut:
  1. Teologi yang membebaskan memiliki perhatian yang sangat besar terhadap persoalan-persoalan yang ada di dunia, “kini” dan “di sini”, dan baru kemudian pada persoalan ukhrowi, “esok” dan “di sana”. Ini berarti bahwa teologi yang membebaskan diorientasikan untuk bergelut dengan realitas praktis dann kongkret, bukan dengan realitas metafisis dan abstrak sebagaimana yang terjadi pada teologi skolastik. Akan tetapi ini bukan berarti mengabaikan sama sekali persoalan-persoalan akhirat.
  2. Teologi yang membebaskan tidak menginginkan status quo, yakni kemapanan yang menimbulkan ketidakadilan dan eksploitasi. Dengan demikian, teologi ini mengidekan kepedulian seorang muslim terhadap kondisi di sekitarnya.
  3. Teologi yang membebaskan berusaha untuk mengemansipasi mereka yang tertindas dengan memberikan kesadaran kritis atas realitas di sekitar mereka lewat formulasi teologis. Lebih lanjut teologi ini juga berkepentingan untuk menciptakan strukutur yang non-eksploitatif dan berkeadilan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan derajat manusia.
  4. Teologi yang membebaskan tidak hanya mengakui satu konsep metafisis tentang takdir dalam rentang sejarah umat Islam. Namun juga mengakui konsep bahwa manusia itu bebas menentukan nasib sendiri. Tidak boleh ada pemaksaan kehendak oleh pihak lain dalam penentuan tujuan hidup seseorang.
  5. Teologi yang membebaskan lebih banyak menekankan pada masalah praksis daripada pemikiran-pemikiran abstraktif-spekulatif. Ini berarti teologi yang membebaskan tidak hanya menekankan diskursus yang bersifat melangit, tapi lebih menekankan wacana yang bersifat membumi agar proyek emansipasi masyarakat dapat direalisasikan.
Kontekstualisasi teologi ini menjadi sangat penting untuk mengkonstruk karakter pribadi muslim yang marhamah. Tujuannya untuk membangun kesadaran akan kepedulian terhadap persoalan-persoalan masyarakat yang terjadi di sekitarnya melalui perangkat ajaran dasar teologi.
  1. Pengayaan Metodologi Pemahaman Doktrin Keagamaan
Memahami ajaran Islam, tentu saja, tidak bisa meninggalkan metodologi pemahaman ajaran tersebut, karena pemahaman ajaran adalah ilmu pengetahuan tentang ajaran. Pentingnya metodologi ilmu pengetahuan dapat dilihat dari relaitas sejarah orang-orang Barat. Mengapa Eropa menghabiskan waktu seribu tahun dalam keadaan stagnasi, tetapi setelah itu dengan waktu yang sangat singkat berubah bangkit dan maju pesat. Lalu mengapa Yunani, di masa kuno dengan para filosuf yang jenius itu tidak mampu melahirkan kemajuan peradaban dunia, sedangkan Eropa pasca renaisans dengan para ilmuwan yang biasa, tidak sejenius para filosuf Yunani, berhasil mewujudkan peradaban baru dunia. Singkatnya, karena mereka menguasai metodologi. Meskipun jenius, para filosuf Yunani tidak menemukan metode yang tepat. Sebaliknya, meskipun tidak jenius ilmuan Eropa sekitar abad 15-16, berhasil menemukan metode yang tepat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan (Moh. Nurhakim, 2004: 9-10).
Ilustrasi di atas memberikan pemahaman kepada kita, bahwa dengan metode studi Islam yang tepat akan membawa hasil perkembangan ilmu-ilmu agama sehingga lebih sesuai dengan apa yang semestinya, baik dalam ukuran agama maupun kebutuhan hidup manusia dewasa ini.
Studi Islam menyangkut banyak aspek, seperti: studi al-Quran, studi hadits, studi hukum Islam, studi pemikiran dan filsafat Islam, studi sosiologi Islam, studi sejarah Islam dan lain-lain. Masing-masing studi memiliki model metodologinya yang khas sesuai bidang kajian. Tentu saja dalam tulisan ini tidak hendak membahas metodologi semua aspek studi Islam, karena pembahasannya yang sangat luas. Di sini hanya akan dikemukakan salah satu contoh pentingnya alternatif metodologi studi tafsir al-Quran. Posisi al-Quran sebagai sumber utama dalam ajaran Islam menjadi sangat penting untuk dibahas dalam diskusi ini.
Salah satu ciri al-Quran adalah ia diturunkan secara kontekstual atau menurut kebutuhan masyarakat. Ia memberikan petunjuk menyelesaikan masalah, dan mengajak dialog dalam konteks budaya yang berkembang pada saat itu. Al-Quran juga memberikan alternatif budaya, atau justru mensahkan suatu budaya yang ada.
Jika al-Quran sebagai petunjuk hidup yang universal, maka tidaklah cukup hanya dipelajari dari sisi teksnya saja, atau dari segi teks dan konteks turunnya saja tanpa memperhatikan konteks al-Quran dipahami dan ditafsiri seperti sekarang (konteks kekinian). Bahkan diperlukan konteks sejarah sebagai bahan analisa perbandingan perkembangan al-Quran dan penafsirannya dari masa ke masa. Hal ini dilakukan untuk menangkap inti ajaran (maqashid) setelah mengetahui illat hukumnya (Moh. Nurhakim, 2004: 52). Mengapa Umar pernah tidak memberlakukan hukum potong tangan untuk kasus pencurian. Ternyata Umar mengajukan alasan yang mendasar, bahwa pencurian itu dalam posisi terpaksa dan kondisi saat itu memang sedang dalam keadaan paceklik. Menurut Umar, adalah tidak manusiawi bila dalam keadaan seperti itu si pencuri harus dipotong tangannya, bukankah dengan dipotong tangannya dia tidak akan lagi bisa mencari nafkah untuk keluarganya.
Untuk mendapatkan pemahaman al-Quran yang santun, penuh kasih sayang, menyejukkan dan meminimalisasi kekerasan, maka dibutuhkan metode tafsir yang tepat. Di samping berbagai metode tafsir yang selama ini dikemukakan oleh para ulama, misalnya ijmali, tahlili, muqarin dan maudhu’i, salah satu metode lain yang dapat ditawarkan di sini adalah menafsirkan teks al-Quran dalam perspektif historis dan sekaligus konteks sosialnya. Adapaun kerangka metodologinya terdiri dari tiga hal. Pertama, memahami teks (nash) serta konteks sosialnya. Kedua, menangkap pesan dasar teks (ruh nash). Ketiga, mengkaji konteks kekinian serta mendialogkannya dengan pesan dasar teks (Moh. Nurhakim, 2004: 53).
Contoh penafsiran dengan metode historis kontekstual ini adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Amina Wadud Muhsin, cendekiawan muslim perempuan dari Amerika, ketika menafsirkan surat al-Nisa ayat 34 tentang istri yang nusyuz. Penafsiran tersebut berdasarkan pada tahap-tahap perkembangan interpretasi teks. Adapun tahap-tahap perkembangan interpretasi teks adalah sebagai berikut :
Pertama, tahap perkembangan interpretasi teks yang berupa waktu dan konteks turunnya wahyu. Jawaban Nabi terhadap wahyu tersebut adalah “saya menginginkan satu hal, tetapi Allah menginginkan hal yang lain”. Beliau (Nabi Muhammad saw) tidak pernah melaksanakan teks ini selama hidupnya (memukul, al-Nisa: 34). Begitu juga beliau tidak pernah memukul perempuan ataupun budak.
Al-Quran juga menguraikan suatu peristiwa yang menimpa pada diri Nabi Muhammad saw, yaitu ketika Nabi menyatakan jika beliau mengasingkan dirinya selama satu bulan dari semua istrinya setelah mereka menentang beliau tentang sesuatu yang telah beliau lakukan yang tidak menyenangkan hati mereka. Kemudian turunlah wahyu secara khusus dengan tujuan menawari beliau agar mengganti semua istrinya (QS. 66: 5). Pengasingan diri Nabi selama satu bulan dapat dipandang sebagai usaha untuk memperlihatkan penyelesaiaan kedua yang dianjurkan pada al-Nisa: 34, yakni untuk tetap berpisah ranjang. Dalam hal ini, jika Nabi tetap dijadikan contoh terbaik makna al-Quran, maka beliau hendaknya bergeser dari menjauhi istri ke memukul istri-istrinya. Akan tetapi al-Qur’an mengatakan kemungkinan bercerai (QS. 66: 4) dan nabi memperlihatkan syarat tambahan interpretasi dan aplikasi, yakni refleksi diri.
Kedua, tahap perkembangan interpretatif diperlihatkan secara terus menerus dan dengan cara yang berbeda selama dua atau tiga abad setelah wahyu sebagai fiqh mengembangkan dan memberikan tanggapan interpretatif lain. Ia merupakan intervensi praktis antara aplikasi tekstual harfiah dan aplikasi bersyarat. Sementara itu yang terpenting dari intervensi ini bahwa Fiqh membatasi pemukulan seperti itu sampai pada ghayr mubarrih, tidak menimbulkan bahaya. Selanjutnya fiqh menginterpresikan pemukulan hanya bersifat ramziyyun, simbolis saja. Hal ini menegaskan pemahaman tekstual penggunaan untuk melakukan tindak kekerasan rumah tangga atau percekcokan pasutri yang tidak henti-hentinya. Para ahli hukum tampaknya ingin menyatakan dalam konteks sosiologis yang ada dan mengatakan pemahaman tujuan kontekstual yang mungkin juga didasarkan pada preseden contoh yang dialami Nabi.
Dalam buku Quran and Women, Amina menggarap potensi tahap ketiga perkembangan berdasarkan inspirasi dari bacaan yang dia gunakan dalam konteks wawasannya. Makna ganda dapat diambil dari berbagai penggunaan dan definisi untuk kata daraba sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an dan di buku-buku lain. Bidang luas nuansa linguistik dan daftar definisi yang luas diberikan oleh kamus bahasa Arab dan leksikon Lisan al-‘Arab ini menunjukkan bahwa dapat saja lebih banyak makna yang harus diperhatikan dan kemudian diterapkan dalam usaha untuk memahami ayat tersebut. Dari sini diketahui bahwa kata daraba memiliki arti tidak hanya memukul tetapi juga berarti melakukan perjalanan.
Tahap terakhir yang dia kemukakan di sini dalam konteks pengetahuan manusia sekarang dan data eksplisit kekerasan rumah tangga dengan mempertimbangkan informasi yang dikumpulkan dari penelitian tentang dan pengalaman perempuan yang diperlakukan kejam. Di sini dapat diajukan gagasan bahwa laki-laki tidak dapat diterima jika memukul istrinya. Dorongan atau tujuan apapun untuk menerapkan ayat ini dengan cara seperti melanggar prinsip-prinsip lain teks itu sendiri, terutama dorongan untuk menegakkan keadilan dan martabat manusia, sebagaimana yang diupayakan oleh Allah untuk dipahami umat manusia sekarang ini (Amina Wadud, 2006: 2001-2003).
Tahapan-tahapan ini dipandang sangat bagus, karena jika tahapan pertama tidak mencerminkan weltanschaung (pandangan dunia)  yang berupa keadilan, maka mufassir akan menggunakan tahapan-tahapan yang lain sehingga makna al-Qur’an dapat hidup dan memecahkan berbagai permasalahan. Dalam al-Nisa’: 34, jika seorang istri nusyuz, maka langkahnya harus diberi nasehat, pisah ranjang, dan yang terakhir dipukul (darb). Secara harfiyah, perbuatan “memukul” istri merupakan tindak pidana dan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw walaupun istri-istri beliau melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. Pada tahap selanjutnya, kata “memukul” diberi batasan “tidak melukai”, yang oleh sebagian orang diartikan dengan memukul dengan “tongkat Madura”. Selanjutnya, kata darb dicari padanannya dari kamus bahasa Arab dan leksikon Lisan al-‘Arab sehingga darb bermakna istri diajak pergi melihat keindahan alam (bermakna safar). Terakhir, Amina Wadud menerima pemaknaan darb dengan memukul, tetapi tidak dapat diterapkan karena bertentangan dengan ayat yang berisi tentang keadilan. Hal ini sama dengan ayat tentang perbudakan yang tidak dapat diterapkan. Artinya, ayatnya masih ada tetapi secara ijma’ sukuti ulama tidak menerapkannya.
Dari contoh di atas dapat dipahami bahwa ajaran al-Quran yang dipandang shalih fi kulli al-zaman wa al-makan harus didialogkan dengan konteks kekinian. Upaya menjadikan masyarakat yang lebih beradab, santun dan penuh kedamaian harus diimbangi dengan metode pemahaman teks nash yang penuh kedamaian pula. Tujuannya adalah agar gaya berpikir radikal dalam memahami teks nash tidak terjadi. Tidak saja terhadap ayat-ayat yang secara implisit “dianggap” memiliki potensi kekerasan, melainkan juga terhadap ayat-ayat yang secara eksplisit dianggap membenarkan tindakan kekerasan, sebagaimana kebolehan memukul dalam surat al-Nisa ayat 34.
  1. Kesadaran akan Pluralitas
Pluralitas adalah keragaman yang didasari oleh keutamaan, keunikan dan kekhasan. Karena itu, pluralitas tidak dapat terwujud, diadakan atau terbayangkan keberadaannya kecuali sebagai obyek komparatif dari keseragaman dan kesatuan yang merangkum seluruh dimensinya. Pluralitas tidak dapat dilabelkan pada situasi cerai-berai dan permusuhan yang tidak mempunyai tali persatuan yang mengikat semua pihak. Tidak juga pada kondisi cerai-berai yang sama sekali tidak memiliki hubungan antar masing-masing pihak. Pluralitas juga tidak dapat disematkan pada kesatuan yang tidak memiliki parsial-parsial, atau yang bagian-bagiannya dipaksa untuk tidak menciptakan keutamaan, keunikan dan kekhasan tersendiri (Muhammad Imarah, 1997: 9).
Anggota suatu keluarga adalah bentuk pluralitas dalam kerangka kesatuan keluarga. Pria dan wanita adalah bentuk pluralitas dari kerangka kesatuan jiwa manusia. Bangsa-bangsa dan suku-suku adalah bentuk pluralitas jenis manusia. Ide pluralitas ini bersumber dari al-Quran, banyak sekali ayat-ayat yang menunjukkan adanya pluralitas ini.
Dalam menafsirkan ayat dalam surat Hud di atas, para mufassir mengatakan bahwa perbedaan, kemajemukan, serta pluralitas dalam syariat-syariat dan manhaj-manhaj itu sebagai keadaan atau syarat yang sangat diperlukan (conditio sine qua non) dalam menciptakan makhluk. Menurut mereka, makna “Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka” seakan-akan pluralitas itu sebagai illat atau sebab keberadaan wujud ini (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran,  juz 9: 114-115).
Menyangkut perbedaan, kemajemukan dan pluralitas ini, Quraish Sihab menjelaskan ketika menafsirkan surat al-Fatir ayat 28, bahwa ayat ini memberikan penekanan pada keanekaragaman serta perbedaan-perbedaan yang terhampar di bumi. Ini mengandung arti bahwa keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Allah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk-bentuk pengamalannya (M. Quraish Shihab,2007: 467).
Menurut Rashid Ridha, realitas yang menunjukkan bahwa Allah swt. menginginkan adanya perbedaan (pluralitas) di tengah manusia adalah dengan menciptakan mereka dalam kondisi siap berbeda dalam ilmu pengetahuan, pendapat dan perasaan mereka, juga konsekuensi dari hal itu; seperti keinginan mereka dan pilihan mereka akan pekerjaan yang ingin dijalani. Termasuk di sana adalah agama, iman, taat atau maksiat. Perbedaan adalah suatu yang normal dan alami dalam diri manusia, di dalamnya mengandung faedah dan manfaat ilmiah sekaligus alamiah yang tidak tampak keutamaannya tanpa keberadaannya (Rashid Ridha, Tafsir al-Manar , juz 12, h. 19).
Islam hanya mengakui “ketunggalan” (yang tidak memiliki sisi parsial dan bentuk plural) semata bagi Dzat Allah swt. dan tidak bagi makhluk, seluruh alam dan semua yang ada di segala bidang makhluk. Dengan demikian, pemikiran Islam menjadikan pluralitas sebagai suatu “sunnah” dari sunnah-sunnah Allah dalam penciptaan dan makhluk seluruhnya, dan suatu tanda kekuasaan (ayat) dari ayat-ayat Allah swt.
Dengan kesadaran akan pluralitas, seseorang akan lebih arif dalam melihat realitas, lebih bijak dalam menyikapi persoalan, lebih adil dalam memberi pertimbangan, dan tentu saja lebih toleran dalam menyikapi perbedaan. Dari sinilah urgensi kesadaran akan pluralitas dalam membentuk karakter pribadi muslim yang marhamah.

F.  Berpikir dan Bertindak Model Muslim Marhamah
1.    Mengembangkan Sikap Toleransi
Rahmat sebagai doktrin utama Islam dalam aplikasinya menemui banyak kendala. Salah satunya adalah adanya konflik. Manusia mempunyai potensi besar melakukan konflik. Kompetisi untuk merebutkan status sosial sering berujung pertikaian, ketegangan, dan kerawanan. Menurut Achmad Gunaryo, penerimaan terhadap konflik sebagai bagian dari hidup tampaknya bukanlah pilihan melainkan keharusan. Dipahami demikian, maka akan sia-sia menolak konflik. Menolak konflik adalah menolak sunnatullah. Manusia harus mau hidup dalam atau berdampingan dengan konflik.
Salah satu cara menyikapi konflik adalah mengembangkan budaya toleransi. Dalam toleransi, yang harus dilakukan adalah menghindari hal-hal yang memicu munculnya konflik, memunculkan persamaan-persamaan yang sifatnya universal yang bisa diterima semua kalangan, dan memberikan keteladanan dalam pembumiannya. Toleransi atau tenggang rasa akan sukses jika masing-masing individu menghargai kesepakatan-kesepakatan yang sudah ditetapkan dalam konteks kepentingan universal. Mereka bisa menahan diri dan mencari jalan terbaik dalam memecahkan persoalan, tidak terbawa konflik kepentingan dan perebutan kekuasaan personal yang merugikan kepentingan sosial universal.
Keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan adalah hal-hal yang sifatnya universal lintas sektoral. Semua orang membutuhkan dan menginginkannya. Semua orang menginginkan agama, kekuasaan dan differensiasi status sosial yang dapat menjamin dan berkontribusi nyata dalam perbaikan derajat kehidupan sosial. Bukan sebaliknya, agama, kekuasaan, dan status sosial menjadi penyebab lahirnya ketidakadilan, kekerasan, dan pertikaian. Kalau itu terjadi maka akan menjadi titik tolak berkembangnya delegitimasi agama, kekuasaan, dan status sosial.
Kemampuan untuk hidup berdampingan (koeksistensi) dengan kelompok dan agama lain harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya secara individual, tapi juga secara sosial dan institusional. Tidak ada demarkasi dan diskriminasi dalam pergaulan sosial. Semua manusia menginginkan persamaan, kesetaraan, kerukunan, dan keselarasan dalam kehidupan sosial.
Pemahaman agama yang intoleran terhadap sebagian ayat dalam al-Qur’an dan hadis Nabi harus ditafsirkan dalam kerangka ayat-ayat dan hadis-hadis universal yang mendorong manusia untuk menghargai kemanusiaan, perbedaan, hak-hak asasi manusia, kerjasama, tolong menolong, dan berkompetisi dalam kebaikan (fastabiq al-khairat). Dalam kerangka pemikiran inilah kita memahami ajaran dakwah yang bersifat ekspansionis (dakwah, mengembangkan diri). Masing-masing agama memang mempunyai ajaran ekspansionis, namun hal itu tidak harus dimaknai sebagai pemaksaan terhadap seseorang untuk memeluk suatu agama. Ajaran tersebut seyogyanya dimaknai sebagai motivasi kepada pemeluk agama untuk mendemonstrasikan keagungan moral dan keindahan perilaku kepada orang lain, sehingga orang lain menjadi apresiatif, respek, dan akhirnya tertarik terhadap agama yang diikuti. Keteladanan menjadi kunci utama dalam keberhasilan dakwah.
Jika umat Islam dalam dakwahnya kepada kelompok lain mengedepankan keteladanan dalam bertutur sapa, berinteraksi, bekerjasama, dan memberdayakan kaum miskin-papa, maka akan terjadi eskalasi dan massifikasi kebaikan yang menjadi esensi ajaran agama, bukan adu fisik, klaim, emosi, perang, agitasi, konflik, intrik, dan hal-hal negatif lainnya yang merusak persaudaraan dan kerukunan. Kalau dengan bukti nyata, seseorang tertarik dan masuk sebuah agama itu adalah hasil refleksi dan kontemplasinya. Hal ini karena kesadaran dan pilihan hidupnya, bukan karena paksaan, kompensasi materi, jabatan, popularitas, dan motif pragmatis duniawi lainnya. Inilah yang dipilih Nabi Muhammad dalam dakwahnya. Moralitas agung yang didemonstrasikannya membuat orang-orang kagum dan terkesima, sehingga masuk dalam agamanya.
Toleransi yang dipraktekkan umat Islam akan menjadi rahmat bagi diri mereka sendiri dan bagi sesama. Tidak ada rasa saling curiga, negative thinking, dan rekayasa yang menjurus kepada timbulnya fitnah, agitasi, iri hati, dan lain sebagainya yang mencabik-cabik harmoni dan kohesi sosial. Keimanan seseorang adalah hak prerogatif Allah, bukan wilayah manusia, sehingga interaksi harmonis dengan agama lain bukan menjadi penyebab goyahnya keimanan seseorang, tetapi justru akan mengokohkan keimanan seseorang, karena bisa membuktikan kebenaran imannya kepada agama lain. Tragedi perang dengan alasan agama seharusnya tidak sampai terulang di era modern sekarang ini.
Umat Islam sudah waktunya tampil dalam percaturan dunia dengan aksi-aksi sosial simpatik yang mendatangkan kesejahteraan ekonomi, kemajuan pendidikan, keagungan moral dan solidaritas sosial. Intinya, cita-cita mewujudkan muslim yang marhamah yang cinta perdamaian tidak akan mungkin terwujud apabila tidak dilandasi basis pemikiran keagamaan yang bervisi rahmatan lil’alamin. Dengan basis pemikiran inilah, Islam akan tampil cantik mempesona, indah menawan, dan sejuk mendamaikan. Dengan itulah Islam benar-benar akan terwujud sebagai rahmat bagi seluruh alam.
2.    Mengedepankan Ukhuwah
Ukhuwah pada awalnya berarti persamaan dan keserasian dalam banyak hal. Karenanya, persamaan dalam keturunan mengakibatkan persaudaraan, persamaan dalam sifat-sifat juga mengakibatkan persaudaraan.
Seringkali kita mendengar istilah ukhuwah islamiyah yang diartikan sebagai persaudaraan antar sesama muslim. Mungkin banyak pertanyaan yang muncul dalam menyikapi istilah ukhuwah islamiyah tersebut, misalnya, apakah yang dimaksud dengan istilah tersebut? Apa kedudukan kata islamiyah sebagai pelaku ukhuwah atau kata sifat darinya?
M. Quraish Shihab menyatakan bahwa islamiyah di sini adalah kata sifat (adjektif) dari ukhuwah, sehingga maknanya adalah persaudaraan yang bersifat Islam atau persaudaraan secara Islam (islami). Meskipun demikian ia memberi catatan bahwa harus diakui bahwa persaudaraan antar sesama muslim, yang kemudian diartikan sebagai kerukunan intern umat Islam, merupakan salah satu pokok ajaran Islam, yang juga termasuk dalam bagian ukhuwah islamiyah itu sendiri (M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, 1994, h. 358).
Bila ukhuwah diartikan sebagai “persamaan” sebagaimana makna asalnya, maka paling tidak kita dapat menemukan ukhuwah tersebut tercermin dalam empat hal sebagai berikut:
  1. Ukhuwah fi al-Ubudiyah, yaitu bahwa seluruh makhluk adalah bersaudara, dalam arti memiliki persamaan. Sebagaimana dalam surat al-An’am ayat 38: “Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi,dan tidak pula burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, kecuali umat seperti kamu juga”. Persamaan ini, antara lain, dalam ciptaan dan ketundukan kepada Allah.
  2. Ukhuwah fi al-Insaniyah, dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka bersumber dari ayah dan ibu yang satu. Surat al-Hujurat ayat 12 menjelaskan tentang hal ini.
  3. Ukhuwah fi al-Wathaniyah wa al-Nasab. Persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan seperti yang disyaratkan oleh surat al-A’raf ayat 65.
  4. Ukhuwah fi Din al-Islam. Persaudaraan antar sesama muslim, seperti yang terdapat dalam surat al-Ahzab ayat 5 (M.Quraish Shihab,358-359).
Faktor penunjang lahirnya persaudaraan adalah persamaan. Semakin banyak persamaan semakin kokoh pula persaudaran. Persamaan dalam rasa dan cita merupakan faktor yang sangat dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan hakiki. Pada akhirnya, dengan persaudaraan hakiki ini akan menjadikan seorang saudara akan merasakan derita saudaranya. Sebagai contoh adalah mengulurkan bantuan kepada saudaranya sebelum diminta serta memperlakukannya bukan atas dasar take and give, tetapi berdasar pada kasih sayang dalam bentuk “mengutamakan orang lain meskipun dirinya sendiri kekurangan” (QS. Al-Hasyr: 9).
Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan nyaman yang dirasakannya pada saat berada bersama jenisnya, dan dorongan kebutuhan ekonomi, juga merupakan faktor-faktor penunjang lahirnya rasa persaudaraan itu. Islam datang menekankan hal-hal tersebut dan menganjurkan untuk mencari titik singgung dan titik temu. Tidak hanya kepada sesama muslim, kepada non-muslim pun demikian juga seharusnya, hal ini diisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 64 dan Saba’ ayat 24-25.
Mengedepankan ukhuwah adalah ciri khas karakter muslim yang marhamah. Ukhuwah islamiyah yang dipahami dalam konteks ini adalah ukhuwah yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Maka, membangun persaudaraan tidak hanya sebatas pada orang-orang yang muslim saja melainkan juga kepada orang-orang non-muslim, karena kita semua adalah memiliki persamaan dan oleh karena itu kita semua adalah bersaudara.

3.      Menjadikan Musyawarah sebagai Mekanisme Problem Solving
Kata musyawarah terambil dari akar kata syawara, yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat. Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya (M. Quraish Shihab, 2007: 469).
Madu bukan saja manis, melainkan juga obat untuk banyak penyakit, sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu dicari di mana pun dan oleh siapa pun. Madu dihasilkan oleh lebah. Dengan demikian, yang bermusyawarah mesti bagaikan lebah yakni makhluk yang sangat disiplin, kerja samanya sangat mengagumkan, makanannya terjaga dan hasilnya adalah madu. Di mana pun hinggap, lebah tidak pernah merusak. Ia tidak akan mengganggu kecuali diganggu. Seperti itulah makna permusyawarahan, seperti itu pulalah sifat yang melakukannya. Maka tidak heran bila Nabi Muhammad saw. menyamakan seorang mukmin dengan lebah.
Seruan yang jelas untuk melakukan musyawarah apabila ada suatu urusan terdapat dalam al-Quran surat ‘Ali Imran ayat 159.
Ayat ini dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.
Pada ayat tersebut disebutkan tiga sikap yang secara berurutan diperintahkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk dilakukan sebelum datangnya perintah bermusyawarah. Ketiga sikap tersebut sengaja dikemukakan dalam ayat itu agar ketiganya menghiasi diri Nabi dan setiap orang yang melakukan musyawarah. Ketiga sikap tersebut adalah (M. Quraish Shihab, 2007: 474-476):
1)      Sikap Lemah lembut ; Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra musyawarah akan meninggalkan majelis musyawarah.
2)      Memberi maaf dan membuka lembaran baru. Maaf berarti menghapus. Memaafkan adalah menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Di sisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain.
3)      Permohonan ampunan kepada Allah swt. Untuk mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah, maka hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis. Keharmonisan ini akan membawa efek positif bahwa keputusan yang diambil dalam musyawarah akan membawa manfaat kepada semua pihak.
Setelah itu disebutkan satu lagi sikap yang harus dilakukan setelah musyawarah, yakni kebulatan tekad untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan dalam musyawarah.
Agaknya dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa musyawarah diperintahkan al-Quran, serta dinilai sebagai salah satu prinsip dalam berkehidupan dan bermasyarakat. Musyawarah ini menjadi karakter pribadi muslim yang marhamah karena musyawarah adalah jalan terbaik dalam menyelesaikan permasalahan. Dalam musyawarah dituntut untuk selalu santun dan penuh kedamaian, bukan amarah dan penuh kebencian. Apalagi terdapat tiga prasyarat yang harus dilakukan (sikap lemah lembut, penuh maaf, dan memohonkan ampun), yang kesemuanya meniadakan unsur kekerasan. Hal ini karena pendekatan kekerasan tidak mungkin dilakukan oleh seorang muslim yang marhamah.

DAFTAR BACAAN
Abu Daud, Sunan Abu Dawud, 1969: 491.
Amina Wadud Muchsin, 2006, Qur’an and Women, Kualalumpur: Fajaar Bakti, 2001-2003.
Amin Abdullah, 2006, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 403.
Asghar Ali Engineer, 1993, Devolusi Negara Islam, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 84.
Clifford Greets (dalam Nasikun, 1984)
Cyril Glasse, 1996: 288).
Farid Essack, 1997, Quran, Liberation and Pluralism, Oxford: Oneworld Publication, 1997, 85.
Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation, 1996, New York: Orbis Books, 5-12.
Hasyim Asy’ari, K. H., 1416 H., At-Tibyaan Fi al-Nahyii ‘An Muqaathiaat al-Arhaam wa al-Aqaarib wa al-Ikhwaan, Muhammad Ishom Hadzik (ed.), Jombang : Maktabah al-Turaats al-Islaami Tebuireng, 31-39.
Josef van Ess, dalam Issa J. Boullata (ed), An Antology of Islamic Studies, 1992:  24), (Wahono Nitiprawiro, 2000: 10).
M. Nurhakim, 2004, Islam Doktrin, Pemikiran dan Realitas Historis, Malang: UMM Press, 9-10.
M. Nurhakim, 2004, Islam Doktrin, Pemikiran dan Realitas Historis, Malang: UMM Press, 52.
Muhammad Imarah, Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam, 1997: 9).
al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran,  juz 9: 114-115).
M. Quraish Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Mizan, Bandung, 1997: 378.
M. Quraish Shihab, 2007, Tafsir al-Mishbah, Vol. VII, Jilid. 14, Jakarta: Lentera Hati, 52.
M. Quraish Shihab, 2007, Tafsir al-Mishbah, Vol. VII, Jilid. 16, Jakarta: Lentera Hati, 384.
M. Quraish Shihab, 2007, Tafsir al-Mishbah, Vol. VII, Jilid. 16, Jakarta: Lentera Hati, 467.
M. Quraish Shihab, 1994, Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: ..... 358.
M. Quraish Shihab, 1994, Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: ..... 358-359).                                  
M. Quraish Shihab, 2007, Tafsir al-Mishbah, Vol. VII, Jilid. 16, Jakarta: Lentera Hati, 469.
M. Quraish Shihab, 2007, Tafsir al-Mishbah, Vol. VII, Jilid. 16, Jakarta: Lentera Hati, 474-476.
Rashid Ridha, Tafsir al-Manar , juz 12, h. 19).
Rosyidi, 2004: 74).
Sayyid Muhammad ‘Alawi (1424: 45) menegaskan bahwa faktor penyebab radikalisme pemahaman ajaran Islam adalah “sathahiyyatu al-tsaqafah wa al-fiqhi fi al-dini” 
M. Dawam Rahardjo, 1996, Ensiklopedi Al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 212.
Yusuf Al-Qaradhawi, 1991, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, Kairo: Dar al-Syuruq, 28.


[1] Diadaptasi dari M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), 212.
[2] Ujaran al-Mawaa’idz bisa dilihat dalam kitab K. H. Hasyim Asy’ari, At-Tibyaan Fi al-Nahyii ‘An Muqaathiaat al-Arhaam wa al-Aqaarib wa al-Ikhwaan, Muhammad Ishom Hadzik (ed.), (Jombang : Maktabah al-Turaats al-Islaami Tebuireng, 1416 H), hal. 31-39

[3] Konsep tentang praksis ini merupakan basis fundamental dan menjadi karakteristik utama konsep teologi pembebasan. Konsep ini juga banyak dipakai kalangan ilmuwan untuk dijadikan paradigma intelektual dalam melihat sebuah realitas. Lihat misalnya, Farid Essack, Quran, Liberation and Pluralism (Oxford: Oneworld Publication, 1997), hal. 85. Lihat juga Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation (New York: Orbis Books, 1996), hal. 5-12.

0 komentar:

Posting Komentar