AGAMA DAN KEMISKINAN
Usaha Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional
Oleh: H.A. Muhtadi Ridwan
A. Pendahuluan
Agama secara inheren memiliki nilai-nilai
emansipasi, karena itu dalam sejarah agama telah menempatkan dirinya sebagai
penggerak perubahan. Dalam konteks Indonesia, ketertinggalan yang
berarti kemiskinan merupakan tantangan yang harus diatasi dengan partisipasi
dan keberpihakan agama, karena dari komposisi masyarakat Indonesia dikenal
sebagai masyarakat yang religius. Namun potensinya belum tergali secara
signifikan guna membebaskan masyarakat dari berbagai masalah.
Sebagai bangsa
yang religius, kita perlu berpikir serius tentang tanggung jawab moral-sosial
terkait apa yang dihadapi bangsa ini. Agama dengan iman dan kepercayaannya
diharapkan ada pada garda terdepan perubahan sosial dan perbaikan derajat hidup
dan kehidupan umatnya. Mungkin tidak berlebihan menempatkan nilai-nilai iman
yang emansipatif menjadi obor penerang ritual sosial yang membangkitkan bangsa.
Pada batasnya, tugas mulia hadirnya agama adalah untuk membangkitkan umat dari
ketertinggalan. Ketertinggalan yang berarti kemiskinan dalam Islam dianggap sebagai persoalan serius
sekaligus berbahaya, karena kemiskinan terkadang menjadikan tingkat keimanan
menjadi terganggu dan justru dikhawatirkan hilang atau dengan kata lain menjadi
kafir.[1]
Kemiskinan
adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai di mana-mana. Tidak hanya di
desa-desa, namun juga di kota-kota. Di balik kemewahan gedung-gedung pencakar
langit di kota, misalnya, tidak terlalu sulit dijumpai rumah-rumah kumuh
berderet di bantaran sungai, atau para pengemis yang berkeliaran di
perempatan-perempatan jalan. Berbagai program sudah dilakukan untuk mengatasi
persoalan sosial tersebut, tetapi anehnya, secara statistik jumlah mereka bukan
berkurang, tetapi justru semakin bertambah. Terlebih lagi setelah krisis
ekonomi melanda Indonesia.[2]
Pada dekade terakhir ini, kemiskinan
menjadi topik yang dibahas dan diperdebatkan di berbagai forum nasional dan
internasional, walaupun kemiskinan itu sendiri telah muncul ratusan tahun yang
lalu. Fakta menunjukkan pembangunan yang
telah dilakukan belum mampu meredam meningkatnya jumlah penduduk miskin
di dunia, khususnya negara-negara berkembang.
Diperkirakan ada yang
kurang tepat dalam mamahami dan merumuskan serta implementasi kebijakan untuk
memberantas kemiskinan dan memberdayakan penduduk miskin. Selama ini kemiskinan
lebih sering dikaitkan dengan dimensi ekonomi karena dimensi inilah yang paling
mudah diamati, diukur, dan diperbandingkan. Padahal kemiskinan berkaitan juga
dengan berbagai dimensi lainnya, antara lain dimensi sosial, budaya, sosial
politik, lingkungan (alam dan geografis), kesehatan, pendidikan, agama, dan
budi pekerti. Menelaah kemiskinan secara multidimensional sangat diperlukan
untuk memahami secara komprehensip sebagai pertimbangan perumusan kebijakan
pengentasan kemiskinan.
Naskah ini mencoba menelaah kemiskinan dari segi
normatif tekstual, baik menurut konsep agama (Islam) maupun teori yang dikembangkan para pakar, dan
dari segi empiris kontektual, yaitu mencoba memahami hasil-hali
penelitian yang dilakukan oleh berbagai pihak.
B.
Kemiskinan dari Segi
Normatif Tekstual
Konsep tentang kemiskinan
sangat beragam, mulai dari sekadar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi
dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian
yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya, ada pendapat
yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan
lingkungan dalam suatu masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan
merupakan ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan
oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah
dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang
berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material.
Dengan pengertian ini, maka
seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar
minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut
dengan kemiskinan konsumsitif. Memang definisi ini sangat bermanfaat
untuk mempermudah membuat indikator orang miskin, tetapi defenisi ini sangat
kurang memadai karena; (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2)
dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan
cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat
bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor,
bahkan bisa kontraproduktif.
Kajian tentang pemahaman kemiskinan yang hakiki
dan komprehensip sangat diperlukan untuk memahami dan mencari penjelasan agar
tidak terjadi salah urus ketika berusaha menanggulanginya. Dalam bab ini
penulis mencoba mengkaji konsep tersebut, baik yang berkaitan dengan hakikat
pengertian kemiskinan, faktor dan indikatornya, dan bagaimana konsep
pemberdayaan dan pengentasannya dalam perspektif agama (Islam) maupun bagaimana
realitas yang terjadi di masyarakat. Untuk yang terakhir ini penulis mencoba
mengurai hasil-hasil penelitian yang pernah lakukan.
- Konsep Kemiskinan Perspektif Agama
a. Pengertian
Kemiskinan
Kemiskinan adalah akar kata dari miskin dengan
awalan ke dan akhiran an yang menurut kamus bahasa Indonesia
mempunyai persamaan arti dengan kefakiran yang berasal dari asal kata fakir dengan awalan ke
dan akhiran an. Dua kata tersebut seringkali juga disebutkan secara
bergandengan; fakir miskin dengan pengertian orang yang sangat
kekurangan.[3] Al-Qur’an memakai beberapa kata dalam
menggambarkan kemiskinan, yaitu faqir, miskin, al-sail, dan al-mahrum,
tetapi dua kata yang pertama paling banyak disebutkan dalam ayat al-Qur’an. Kata
fakir dijumpa dalam al-Qur’an sebanyak 12 kali dan kata miskin disebut sebanyak
25 kali,[4] yang masing-masing
digunakan untuk pengertian yang bermacam-macam.
Tentang dua golongan yang pertama; fakir
dan iskin para ahli berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa dua
golongan tersebut pada hakikatnya adalah sama. Demikian pendapat Abu Yusuf,
pengikut Imam Abu Hanifah dan Ibnu Qasim pengikut Imam Malik.[5] Berbeda dengan pendapat
sebagian besar ulama, sebenarnya keduanya adalah dua golongan tetapi satu
macam, yakni dalam hal kondisi kekurangan dan dalam kebutuhan. Para ahli tafsir
dan ahli fikih juga berbeda pendapat dalam memberi definisi kedua kata
tersebut. Yusuf Qardawi memberikan perumpamaan bahwa kedua kata tersebut
seperti Islam dan Iman, kalau dikumpulkan terpisah, yakni
masing-masing mempunyai arti tersendiri, dan jika dipisah terkumpul, yakni bila
salah satu disebutkan sendiri-sendiri, masing-masing mempunyai arti buat kata
lain yang sejajar.[6]
Raqib al-Isfahani (w. 502 H/1108 M)[7], ahli fikih dan ahli
tafsir, menyebutkan empat macam pengertian fakir. Pertama, fakir dalam
arti orang yang memerlukan kebutuhan hidup yang primer, yaitu makanan, minuman,
tempat tinggal, dan keamanan. Kedua, fakir dalam arti orang yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang primer, tetapi ia dapat menjaga dirinya
dari meminta-minta. Ketiga, fakir dalam arti fakir jiwanya. Ini termasuk
golongan fakir yang paling buruk karena dapat mendorong orang itu kepada
kekafiran. Keempat, fakir dalam arti orang yang selalu merasa butuh
kepada petunjuk dan bimbingan Tuhan, sehingga orang tersebut tidak merasa
sombong.
Pengertian fakir selanjutnya dibahas dalam
ilmu fikih. Sayid Sabiq[8], ahli fikih dari Mesir,
mengatakan bahwa yang tergolong orang fakir adalah orang yang tidak memiliki
harta sebanyak satu nisab (sejumlah minimal harta kekayaan yang harus
dikeluarkan zakatnya dalam waktu tertentu). Ketentuan ini dapat dipahami dari
hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Mu’az bin Jabal : ”Diambil dari
harta orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir.”[9] Dari hadis ini ulama fikih
memahami bahwa orang-orang yang memiliki harta sebanyak satu nisab zakat telah
dinamakan kaya, sedangkan yang memiliki harta kurang dari satu nisab zakat
dinamakan fakir.
Menurut Imam Abu Hanifah[10], fakir adalah orang yang
mempunyai harta kurang dari satu nisab atau mempunyai harta satu nisab atau
lebih tetapi habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun Imam
Malik[11] mengatakan bahwa fakir
adalah orang yang mempunyai harta yang jumlahnya tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dalam masa satu tahun. Imam asy-Syafi’i[12] mengatakan bahwa fakir
adalah orang yang tidak mempunyai harta dan usaha atau mempunyai harta dan
usaha tetapi kurang dari setengah kebutuhan hidupnya dan tidak ada orang yang
berkewajiban menanggung biaya hidupnya. Imam Ahmad bin Hanbal[13] mengatakan bahwa fakir
adalah orang yang tidak mempunyai harta atau mempunyai harta tetapi kurang dari
setengah keperluannya.
Sebagaimana kata fakir, kata
miskin pun mengalami pengertian yang bermacam-macam. Imam Abu Hanifah dan
Imam Malik mengatakan bahwa orang miskin adalah orang yang memiliki harta
setengah dari kebutuhan hidupnya atau lebih tetapi tidak mencukupi.
Dari segi kekurangan harta yang
dimilikinya dan kedudukannya sebagai salah satu penerima zakat tampak ada
perbedaan. Sayid Sabiq[14] mengatakan bahwa fakir
miskin disebut secara bersamaan dengan menggunakan huruf waw al’ataf
(kata sambung), sebagaimana dijumpai dalam surat at-Taubah (9) ayat 60,
menunjukkan bahwa miskin adalah bagian dari fakir, atau orang miskin itu pada
hakekatnya adalah orang fakir juga, tetapi ia memiliki ciri-ciri yang khusus.
Dalam hadis Nabi SAW dijelaskan bahwa di antara ciri-ciri orang miskin itu
adalah orang fakir yang enggan meminta-minta kepada orang lain: ”Orang
miskin itu bukanlah orang yang engkau berikan sebutir atau dua butir kurma,
sesuap atau dua suap makanan, melainkan orang miskin itu adalah orang yang
memilihara dirinya dari meminta-minta” (HR. Abu Dawud)[15].
Dalam kaitan ini terdapat pula istilah as-sa’il
dan al-mahrum, sebagaimana terdapat dalam surat az-Zariyat (51)
ayat 19 yang artinya : ”Dan dari pada harta mereka ada hak orang miskin yang
meminta-minta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” Kata as-sa’il pada
ayat tersebut, menurut Syekh Muhammad Mustafa al-Maragi (1881-1945), ahli
tafsir dari Mesir), adalah orang miskin yang meminta-minta, sedangkan kata
al-mahrum adalah orang miskin yang tidak memiliki harta, tetapi ia tidak
meminta-minta sehingga tidak diketahui di mana ia berada, dan karenanya ia
tidak pula mendapat bagian dari zakat.
Dari 12 kata ”fakir” yang terdapat dalam al-Qur’an,
terdapat 7 kategori yang terkait dengan hukum. 1) Fakir yang tergolong sebagai
orang yang berhak memperoleh bagian dari
daging kurban yang dilakukan oleh orang yang mengerjakan beribadah haji
(QS.22:28). 2) Fakir yang tergolong sebagai orang yang boleh memakan harta anak
yatim yang diurusnya, dengan cara yang baik dan tidak melampaui batas (QS,4:6).
3) Fakir yang termasuk orang yang boleh menerima sedekah secara terang-terangan
agar menjadi contoh bagi yang lain (QS,2:271). 4) Fakir yang tergolong sebagai
orang yang berhak memperoleh santunan atau bantuan (QS,2:273). 5) Fakir yang
termasuk salah seorang yang berhak menerima zakat (QS,9:60). 6) Fakir yang
berhak mendapat bagian dari harta rampasan perang atau ganimah (QS,59:6). 7)
Fakir yang berhak memperoleh pembelaan yang adil ketika ia melakukan
pelanggaran yang tidak disengaja (QS,4:135).
Adapun orang miskin memperoleh hak-hak sebagai berikut. Pertama,
orang miskin yang termasuk salah seorang yang berhak memperoleh harta dari
fidyah atau denda orang yang tidak dapat melaksanakan kewajiban agama karena
uzur (QS,2:184). Kedua, orang miskin yang berhak mendapatkan
perlindungan atas hak-haknya (QS,17:26). Ketiga, orang miskin yang
berhak mendapatkan dana yang diperoleh dari kafarat yang dibayar oleh orang yang
melakukan zihar (perkataan suami terhadap isterinya yang mengandung maksud
menyamakan isterinya dengan ibunya sendiri) (QS,58:3-4). Keempat, orang
miskin yang mendapatkan dana yang diperoleh dari kafarat yang dibayar oleh
orang yang melanggar sumpahnya secara sengaja (QS,5:58). Kelima orang
miskin yang mendapatkan dana dari orang yang melanggar larangan pada waktu
melakukan ihram (QS,5:95). Keenam, orang miskin yang termasuk salah
seorang yang boleh menerima harta dari rampasan perang (QS,8:41). Ketujuh,
orang miskin yang boleh menerima harta dari zakat (QS,9:60).
b. Faktor
dan Indikator Kemiskinan
Menurut KH. Ali Yafie[16] terdapat petunjuk dari salah satu hadis yang
mengungkapkan sebab-sebab kemiskinan, yang berbunyi:
” ... aku mohon
supaya Engkau (Tuhan) melindungi aku dari kelemahan (al-’ajz), kemalasan,
ketakutan, kepelitan, terlilit hutang dan diperas atau dikuasai sesama
manusia.”
Di
dalamnya tercantum hal-hal pokok yang menimbulkan kemiskinan yang memelaratkan,
yaitu:
Pertama : Kelemahan. Apakah itu kelemahan hati dan semangat,
atau kelemahan akal dan ilmu, ataukah kelemahan fisik. Semua itu mengurangi
daya pilih dan daya upaya manusia sehingga tidak mampu menjalankan fungsinya
sebagai pencipta dan pembangun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kedua : Kemalasan. Tidak diragukan lagi bahwa sifat ini
merupakan pangkal utama dari kemiskinan.
Penataan hidup sehari-hari yang diajarkan oleh Islam sangat bertolak belakang
dengan sifat ini.
Ketiga : Ketakutan. Hal ini pun jelas merupakan penghambat utama
untuk mencapai suatu sukses dalam pekerjaan dan usaha. Keberhasilan seseorang
dalam merintis ataupun melanjutkan sesuatu atau tugas banyak tergantung dari
keberanian yang ada pada dirinya.
Keempat : Kepelitan. Hal ini banyak bersangkutan dengan pihak si
kaya, karena dengan sifat ini tanpa disadari kepelitannya itu membantu untuk
tidak mengurangi kemiskinan, dan menempatkan dirinya menjadi sasaran untuk
dibenci oleh si miskin.
Kelima
: Terlilit hutang. Terdapat banyak peringatan dari ajaran Islam untuk
berhati-hati jangan sampai terjerat hutang-utang, karena hutang itu adalah
sangat membelenggu kebebasan, baik di dunia maupun di akhirat. Apalagi orang
yang sudah terbiasa dengan membiayai hidupnya dari hutang-hutang sulit sekali
mengangkat dirinya dari lumpur kemiskinan.
Keenam:
Diperas atau dikuasai sesama manusia. Hal ini merupakan penyebab bagi timbulnya
banyak penderitaan dan kemelaratan, baik pada tingkat perorangan maupun pada
tingkat masyarakat, bangsa dan negara. Pemerasan manusia kuat menimbulkan
sistem perbudakan, dan pemerasan manusia kaya menimbulkan sistem riba. Dan
pemerasan pada tingkat masyarakat bangsa/negara menimbulkan sistem kapitalisme
yang berkembang menjadi imperialisme. Kenyataan yang ada di negeri-negeri
jajahan atau setengah jajahan membuktikan dengan jelas betapa besar kemiskinan
yang memelaratkan masyarakat, berabad-abad lamanya sebagai akibat langsung dari
sistem imperialisme itu.
Menurut Dr. Saad IH,[17] sebab-sebab terjadinya kemiskinan terkait dengan model
interaksi antara manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesamanya, dengan alam
dan dengan masyarakatnya. Sebab-sebab kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi
alam terjadi bila dilakukan pola destruktif antara manusia dan alam seperti
eksploitasi alam tanpa melakukan analisa dampak lingkungan, kecenderungan untuk
menghabiskan seluruh potensi alam, keengganan mengadakan peremajaan demi
kelanjutan alam, dan sebagainya. Akibat lebih lanjut dari pola interaksi
demikian ialah terjadinya kemiskinan, baik secara langsung maupun tidak, baik
generasi yang sedang eksis maupun generasi selanjutnya. Di sisi lain kondisi
alam yang gersang dan tidak memiliki potensi yang bisa dikembangkan juga
merupakan cobaan yang diberikan Tuhan kepada umat manusia sebagaimana yang
dilukiskan al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah ayat 155.
Sedang sebab-sebab kemiskinan yang berkaitan
dengan kondisi manusia itu sendiri adalah kurangnya percaya pada kemampuannya,
keengganan mengaktualisasikan potensi yang ada dalam bentuk kerja nyata yang
serius, serta keengganan memberikan respek optimal terhadap perputaran waktu.
Sedang
salah satu sebab kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi sosial, ialah
terkonsentrasinya modal di tangan orang-orang kaya (konglomerat).
Terkonsentrasinya modal di tangan mereka menyebabkan orang-orang fakir tidak
memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya demi meraih
prestasi di bidang ekonomi.
Loekman
Soetrisno[18] mengutip pendapat Robert Chambers seorang ahli
pembangunan pedesaan berkebangsaan Inggris, menyatakan bahwa kemiskinan yang
dialami oleh rakyat negara sedang berkembang, khususnya rakyat pedesaan,
disebabkan oleh beberapa faktor yang disebut sebagai ketidakberuntungan atau disadvantages
yang saling terkait satu sama lain.
Menurut
Robert Chambers ada lima “ketidakberuntungan” yang melingkari kehidupan orang
atau keluarga miskin, yaitu:
Pertama, kemiskinan (poverty), situasi orang miskin
mempunyai tanda-tanda sebagai berikut; Pertama, rumah mereka reot dan
dibuat dari bahan bangunan yang bermutu rendah, perlengkapan yang sangat minim,
tidak memiliki MCK sendiri. Ekonomi keluarga bercirikan gali lubang tutup
lubang. Kedua, pendapatan mereka tidak menentu dan sangat rendah.
Kedua, fisik yang lemah (physical weakness); kelemahan
fisik keluarga miskin disebabkan oleh beberapa hal seperti tidak adanya seorang
laki-laki sehat yang menjadi kepala keluarga, sehingga keluarga terpaksa
dikepalai seorang perempuan yang di samping bekerja mengurusi pekerjaan rumah
sehari-hari, juga harus bekerja untuk menghidupi keluarga. Akibatnya keluarga
miskin lemah secara fisik akibat rendahnya gizi, beban kerja terlalu berat dan
interaksi berbagai bibit macam penyakit akibat kemiskinan.
Ketiga, keterasingan (isolation). Kelompok miskin dapat
terasing karena tempat tinggalnya yang secara geografis terasing, atau karena
mereka tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber informasi.
Keempat, kerentanan (vulnerability). Dalam menghadapi
paceklik keluarga miskin mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka dengan menjual
barang-barang yang dimiliki dan laku dijual, utang pada tetangga yang lebih
mampu, atau mengurangi makan mereka baik dari segi jenis atau frekuensinya.
Keadaan darurat membuat tidak hanya keluarga miskin menjadi lebih miskin,
tetapi juga rawan dari berbagai macam penyakit, yang tidak jarang dapat membawa
kematian.
Kelima, ketidakberdayaan (powerlessness). Orang miskin
tidak berdaya menghadapi rentenir atau orang-orang lain yang sering
mengeksploitasi mereka. Mereka juga tidak berdaya menghadapi polisi atau aparat
negara lain yang sering tidak ramah terhadap mereka.
Oscar Lewis[19] menyebutkan dalam kumpulan makalahnya bahwa kebudayaan
kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks sejarah. Namun, lebih
cenderung untuk tumbuh dan berkembang di dalam
masyarakat-masyarakat yang mempunyai seperangkat kondisi-kondisi seperti
berikut: (1) sistem ekonomi uang, buruh upahan dan sistem produksi untuk
keuntungan; (2) tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran
bagi tenaga tak terampil; (3) rendahnya upah buruh; (4) tidak berhasilnya
golongan berpenghasilan rendah, meningkatkan organisasi sosial, ekonomi dan
politik secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah; (5) sistem keluarga bilateral
lebih menonjol daripada sistem unilateral; dan akhirnya (6) kuatnya
seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan
harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal, dan sikap hemat,
serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan
pribadi atau memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.
Menurut teori development of underdevelopment[20] atau teori ketergantungan-dominasi (dominance-dependency)
bahwa sebab-sebab kemiskinan dan keterbelakangan bukanlah sekedar faktor-faktor
yang terdapat pada masyarakat yang bersangkutan seperti kurangnya modal,
pendidikan yang rendah, kepadatan penduduk, kekurangan gizi dan lain
sebagainya. Lebih dari itu faktor-faktor tersebut hanyalah merupakan atribut
kemiskinan saja, tetapi kemiskinan itu sendiri berakar dari sejarah
eksploitasi, terutama yang dilakukan oleh kekuatan kapitalis asing atau
internasional yang melakukan penetrasi, dominasi dan pengerukan keuntungan dari
daerah pinggiran ke pusat-pusat metropolis.
c. Pemberdayaan
dan Pengentasan Kemiskinan
Allah
SWT sesungguhnya telah menciptakan manusia, sekaligus menyediakan sarana-sarana
untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan tidak hanya manusia; seluruh makhluk yang
telah, sedang, dan akan diciptakan, pasti Allah menyediakan rizki baginya.
Tidaklah mungkin, Allah menciptakan berbagai makhluk, lalu membiarkan begitu
saja tanpa menyediakan rizki bagi mereka (Qs. ar-Rûm [30]: 40) dan (Qs. Hûd
[11]: 6).
Jika
demikian halnya, mengapa terjadi kemiskinan? Seolah-olah kekayaan alam yang
ada, tidak mencukupi kebutuhan manusia yang populasinya terus bertambah.
Dalam
pandangan ekonomi kapitalis, problem ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan
barang dan jasa, sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah.
Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah
kemiskinan. Pandangan ini jelas keliru, bathil, dan bertentangan dengan fakta.
Secara
i’tiqadiy, jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah SWT untuk manusia
pasti mencukupi. Hanya saja, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan
benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor utama
penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah pentingnya
keberadaan sebuah sistem hidup yang shahih dan keberadaan negara yang
menjalankan sistem tersebut.
Islam
adalah sistem hidup yang shahih. Islam memiliki cara yang khas dalam
menyelesaikan masalah kemiskinan. Syariat Islam memiliki banyak hukum yang
berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan; baik kemiskinan alamiyah,
kultural, maupun sruktural. Hanya saja, hukum-hukum itu tidak berdiri sendiri,
melainkan memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya. Jadi, dalam
menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam menggunakan pendekatan
yang bersifat terpadu. Bagaimana Islam mengatasi kemiskinan, dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1) Jaminan
Pemenuhan Kebutuhan Primer
Islam
telah menetapkan kebutuhan primer manusia terdiri dari pangan, sandang, dan
papan. Terpenuhi-tidaknya ketiga kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi penentu
miskin-tidaknya seseorang. Sebagai kebutuhan primer, tentu pemenuhannya atas
setiap individu, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, Islam
memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan ini.
Adanya
jaminan pemenuhan kebutuhan primer bagi setiap individu, tidak berarti negara
akan membagi-bagikan makanan, pakaian, dan perumahan kepada siapa saja, setiap
saat. Sehingga terbayang, rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya
sudah dipenuhi. Ini anggapan yang keliru. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer
dalam Islam diwujudkan dalam bentuk pengaturan mekanisme-mekanisme yang dapat
menyelesaikan masalah kemiskinan. Mekanisme tersebut adalah:
a)
Mewajibkan Laki-laki Memberi
Nafkah Kepada Diri dan Keluarganya.
Islam mewajibkan laki-laki yang mampu dan
membutuhkan nafkah, untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya (Qs.
al-Mulk[67]: 15). Dan banyak hadis Nabi SAW yang menaruh perhatian dalam
anjuran bekerja untuk memenuhi kebutuha rumah tangganya.[21]
Ayat dan hadits di atas menunjukan adanya
kewajiban bagi laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Bagi para suami, syara’
juga mewajibkan mereka untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya (Qs.
al-Baqarah [2]: 233)
Dan (Qs. ath-Thalâq [65]: 6).
Jadi
jelas, kepada setiap laki-laki yang mampu bekerja, pertama kali Islam
mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan keluarganya.
Adapun terhadap wanita, Islam tidak mewajibkan mereka untuk bekerja, tetapi
Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada mereka.
b)
Mewajibkan Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya
Realitas
menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki punya kemampuan untuk bekerja mencari
nafkah. Mereka kadang ada
yang cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan
lain-lain. Semua ini termasuk ke dalam orang-orang yang tidak mampu bekerja.
Jika demikian keadaannya lalu siapa yang akan menanggung kebutuhan nafkahnya?
Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki
hubungan darah, untuk membantu mereka (Qs. al-Baqarah [2]: 233).
Maksudnya, seorang waris berkewajiban sama seperti
seorang ayah, dari segi nafkan dan pakaian. Yang dimaksud waris di sini, bukan
berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi. Melainkan, yang dimaksud
adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris.[22]
Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi tidak mampu
memenuhi kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban memenuhi
nafkah, beralih ke kerabat dekatnya. Jika kerabat dekat diberi kewajiban untuk
membantu saudaranya yang tidak mampu, bukankah hal ini akan menyebabkan
kemiskinan para keluarganya dan dapat berdampak pada menurunnya taraf kehidupan
mereka? Tidak dapat dikatakan demikian! Sebab, nafkah tidak diwajibkan oleh
syara’ kepada keluarga, kecuali apabila terdapat kelebihan harta. Orang yang
tidak memiliki kelebihan, tidak wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi
nafkah tidak wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya.
Orang yang mampu menurut syara’ adalah orang yang
memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhuan primer (al-hajat al-asasiyah),
dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standart masyarakat
sekitarnya. [23]
Yang dimaksud al-Ghina (selebihnya keperluan) di sini
adalah harta di mana manusia (dengan keadaan yang dimilkinya) sudah tidak butuh
lagi apa-apa buat mencukupi level pemenuhan kebutuhan primer (al-hajat
al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standart
masyarakat sekitarnya.[24]
c) Mewajibkan
Negara untuk Membantu Rakyat Miskin
Bagaimana jika seseorang yang tidak mampu tersebut tidak
memiliki kerabat? Atau dia memiliki kerabat, akan tetapi hidupnya pas-pasan?
Dalam kondisi semacam ini, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (kas
negara). Dengan kata lain, negara melalui Baitul Mal, berkewajiban untuk
memenuhi kebutuhannya. [25]
Yang dimaksud kalla adalah oang yang lemah, tidak mempunyai anak, dan tidak
mempunyai orang tua. Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu
yang tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas zakat (Qs. at-Taubah [9]:
60).
Apabila harta zakat tidak mencukupi, maka negara wajib
mencarinya dari kas lain, dari Baitul Mal.
d) Mewajibkan Kaum Muslim untuk Membantu Rakyat
Miskin
Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta sama sekali,
maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum Muslim secara kolektif
(Qs. adz-Dzariyat [51]: 19).
Rasulullah Saw juga bersabda: “Siapa saja yang menjadi penduduk suatu
daerah, di mana di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka
perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka.” [HR. Imam
Ahmad].
“Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan
tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya.” [HR. al-Bazzar].
Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara.
Pertama, kaum Muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Kedua,
negara mewajibkan dharibah (pajak) kepada orang-orang kaya, hingga mencukupi
kebutuhan untuk membantu orang miskin. Jika, dalam jangka waktu tertentu, pajak
tersebut tidak diperlukan lagi, maka pemungutannya oleh negara harus
dihentikan.
Demikianlah mekanisme bagaimana Islam mengatasi masalah
kemiskinan secara langsung. Pertama, orang yang bersangkutan diwajibkan untuk
mengusahakan nafkahnya sendiri. Apabila tidak mampu, maka kerabat dekat yang
memiliki kelebihan harta wajib membantu. Apabila kerabat dekatnya tidak mampu,
atau tidak mempunyai kerabat dekat, maka kewajiban beralih ke Baitul Mal dari
kas zakat. Apabila tidak ada, wajib diambil dari Baitul Mal, dari kas lainnya.
Apabila tidak ada juga, maka kewajiban beralih ke seluruh kaum Muslim. Secara
teknis, hal ini dapat dilakukan dengan cara kaum Muslim secara individu
membantu orang yang miskin; dan negara memungut dharibah (pajak) dari
orang-orang kaya, hingga mencukupi.
2) Pengaturan
Kepemilikan
Pengaturan kepemikikan memiliki hubungan yang sangat erat
dengan masalah kemiskinan dan upaya untuk mengatasinya. Syariat Islam telah
mengatur masalah kepemilikan ini, sedemikian rupa sehingga dapat mencegah
munculnya masalah kemiskinan. Bahkan, pengaturan kepemilikan dalam Islam,
memungkinkan masalah kemiskinan dapat diatasi dengan sangat mudah.
Pengaturan kepemilikan yang dimaksud mencakup tiga aspek,
yaitu jenis-jenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan pendistribusian
kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana pengaturan kepemilikan ini
dapat mengatasi masalah kemiskinan, dapat dijelaskan secara ringkas sebagai
merikut.
a) Jenis-jenis
Kepemilikan
Syariat Islam mendefinisikan kepemilikan sebagai izin
dari as-Syari’ (Pembuat Hukum) untuk memanfaatkan suatu zat atau benda.
Terdapat tiga macam kepemilikan dalam Islam, yaitu kepemilikan individu,
kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Kepemilikan individu adalah izin dari Allah SWT kepada
individu untuk memanfaatkan sesuatu.
Allah SWT telah memberi hak kepada individu untuk
memiliki harta baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Tentu sepanjang harta
tersebut diperoleh melalui sebab-sebab yang dibolehkan, misalnya: hasil kerja,
warisan, pemberian negara, hadiah, dan lain-lain.
Adanya kepemilikan individu ini, menjadikan seseorang
termotivasi untuk berusaha mencari harta, guna mencukupi kebutuhannya. Sebab,
secara naluriah, manusia memang memiliki keinginan untuk memiliki harta. Dengan
demikian, seseorang akan berusaha agar kebutuhannya tercukupi. Dengan kata
lain, dia akan berusaha untuk tidak hidup miskin.
Kepemilikan Umum adalah izin dari Allah SWT kepada jamaah
(masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu.
Aset yang tergolong kepemilikan umum ini, tidak boleh
sama sekali dimiliki secara individu, atau dimonopoli oleh sekelompok orang.
Aset yang termasuk jenis ini adalah: pertama, segala sesuatu yang menjadi
kebutuhan vital masyarakat, dan akan menyebabkan persengkataan jika ia lenyap,[26] misalnya: padang rumput, air, pembangkit listrik, dan
lain-lain; kedua, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan
hanya oleh individu,[27] misalnya: sungai, danau, laut, jalan umum, dan
lain-lain; ketiga, barang tambang yang depositnya sangat besar, misalnya: emas,
perak, minyak, batu bara, dan lain-lain.
Dalam prakteknya, kepemilikan umum ini dikelola oleh
negara, dan hasilnya (keuntungannya) dikembalikan kepada masyarakat. Bisa dalam
bentuk harga yang murah, atau bahkan gratis, dan lain-lain. Adanya pengaturan
kepemilikan umum semacam ini, jelas menjadikan aset-aset startegis masyakat
dapat dinikmati bersama-sama. Tidak dimonopoli oleh seseorang atau sekelompok
orang, sehingga yang lain tidak memperoleh apa-apa; sebagaimana yang tejadi
dalam sistem kapitalis. Dengan demikian masalah kemiskinan dapat dikurangi,
bahkan diatasi dengan adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini.
Kepemilikan Negara adalah setiap harta yang menjadi hak
kaum Muslim, tetapi hak pengelolaannya diwakilkan pada Khalifah (sesuai
ijtihadnya) sebagai kepala negara
Aset yang termasuk jenis kepemilikan ini di antaranya
adalah: fa’i, kharaj, jizyah, atau pabrik-pabrik yang dibuat negara, misalnya,
pabrik mobil, mesin-mesin, dan lain-lain. Adanya kepemilikan negara dalam
Islam, jelas menjadikan negara memiliki sumber-sumber pemasukan, dan aset-aset
yang cukup banyak. Dengan demikian negara akan mampu menjalankan tugas dan
fungsinya sebagai pengatur urusan rakyat. Termasuk di dalamnya adalah
memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat miskin.
b) Pengelolaan
Kepemilikan
Pengelolaan kepemilikan dalam Islam mencakup dua aspek,
yaitu pengembangan harta (tanmiyatul Mal) dan penginfaqkan harta (infaqul Mal).
Baik pengembangan harta maupun penginfaqkan harta, Islam telah mengatur dengan
berbagai hukum. Islam, misalnya, melarang seseorang untuk mengembangkan
hartanya dengan cara ribawi, atau melarang seseorang bersifat kikir, dan
sebagainya. Atau misalnya, Islam mewajibkan seseorang untuk menginfaqkan
(menafkahkan) hartanya untuk anak dan istrinya, untuk membayar zakat, dan lain-lain.
Jelaslah, bahwa dengan adanya pengaturan pengelolaan kepemilikan, akan
menjadikan harta itu beredar, perekonomian menjadi berkembang, dan kemiskinan
bisa diatasi.
c) Distribusi
Kekayaan di Tengah-tengah Masyarakat
Buruknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat
telah menjadi faktor terpenting penyebab terjadinya kemiskinan. Oleh karena
itu, masalah pengaturan distribusi kekayaan ini, menjadi kunci utama
penyelesaian masalah kemiskinan. Dengan mengamati hukum-hukum syara’ yang
berhubungan dengan masalah ekonomi, akan kita jumpai secara umum hukum-hukum
tersebut senatiasa mengarah pada terwujudnya distribusi kekayaan secara adil
dalam masyarakat. Apa yang telah diuraikan sebelumnya tentang jenis-jenis
kepemilikan dan pengelolaan kepemilikan, jelas sekali, secara langsung atau
tidak langsung mengarah kepada terciptanya distribusi kekayaan.
Kita juga dapat melihat, misalnya, dalam hukum waris.
Secara rinci syariat mengatur kepada siapa harta warisan harus dibagikan. Jadi
seseorang tidak bisa dengan bebas mewariskan hartanya kepada siapa saja yang
dikehendaki. Sebab, bisa berpotensi pada distribusi yang tidak adil.
Lebih dari itu, negara berkewajiban secara langsung
melakukan pendistribusian harta kepada individu rakyat yang membutuhkan.
Misalnya, negara memberikan sebidang tanah kepada soseorang yang mampu untuk
mengelolanya. Bahkan setiap individu berhak menghidupkan tanah mati, dengan
menggarapnya; yang dengan cara itu dia berhak memilikinya. Sebaliknya, negara
berhak mengambil tanah pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga
tahun berturut-turut. Semua itu menggambarkan, bagaimana syariat Islam
menciptakan distribusi kekayaan, sekaligus menciptakan produktivitas sumberdaya
alam dan sumberdaya manusia, yang dengan sendirinya dapat mengatasi masalah
kemiskinan.
3) Penyediaan Lapangan Kerja
Menyediakan lapangan pekerjaan merupakan kewajiban negara. Hal ini
menyandar pada keumuman hadits Rasululah Saw.[28]
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah Saw
pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian Beliau Saw bersabda:
“Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia untuk
bekerja.”
Demikianlah, ketika syariat Islam mewajibkan seseorang
untuk memberi nafkah kepada diri dan keluarganya, maka syariat Islam pun
mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Dengan cara ini, setiap orang akan produktif, sehingga
kemiskinan dapat teratasi.
4) Penyediaan Layanan Pendidikan
Masalah kemiskinan sering muncul akibat rendahnya
kualitas sumberdaya manusia, baik dari sisi kepribadian maupun ketrampilan.
Inilah yang disebut dengan kemiskinan kultural. Masalah ini dapat diatasi
melalui penyediaan layana pendidikan oleh negara. Hal ini dimungkinkan, karena
pendidikan dalam Islam mengarah pada dua kualifikasi penting, yaitu
terbentuknya berkepribadian Islam yang kuat, sekaligus memiliki ketrampilan
untuk berkarya.
Syariat Islam telah mewajibkan negara untuk menyediakan
layanan pendidikan secara cuma-cuma kepada rakyat. Sebab, pendidikan memang
merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu rakyat. Layanan pendidikan ini
akan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, dan selanjutnya akan mewujudkan
individu-individu yang kreatif, onovatif, dan produktif. Dengan demkian
kemiskinan kultural akan dapat teratasi.
Keberhasilan Islam Dalam Mengatasi Kemiskinan
Solusi yang ditawarkan Islam dalam mengatasi kemiskinan,
sebagimana yang telah diuraikan di atas, bukanlah sesuatu yang menarik sebatas
dalam tataran konsep semata. Perjalanan panjang sejarah kaum Muslim,
membuktikan bahwa solusi tersebut benar-benar dapat realisasikan. Yaitu ketika
kaum Muslim hidup di bawah naungan Negara Khilafah yang menerapkan Islam secara
kaffah.
Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan
bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas
membagikan shadaqah: “Jika kamu meberikan, maka cukupkanlah”, selanjutnya
berkata lagi: “Berilah mereka itu sedekah berulangkali sekalipun salah seorang
diantara mereka memiliki seratus onta.”[29] Beliau menerapkan politik
ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau
mengawinkan kaum Muslim yang tidak mampu; membayar hutang-hutang mereka, dan
memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya.
Kodisi politik seperti ini terus berlangsung hingga masa
Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu
rakyat sudah sampai pada taraf hidup dimana mereka tidak memerlukan bantuan
harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz menerima
kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu
mengirim surat kepada gubernur tersebut: “Telitilah, barang siapa berhutang,
tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah hutangnya.” Kemudian
gubernur itu mengirim jawaban kepada beliau: “Sesungguhnya aku telah melunasi
hutang orang-orang yang mempunyai tanggungan hutang, sehingga tidak ada seorang
pun di Irak yang masih mempunyai hutang, maka apa yang harus aku perbuat
terhadap sisa harta ini?” Umar bin Abdul Aziz mengirimkan jawaban: “Lihatlah
setiap jejaka yang belum menikah, sedangkan dia menginginkan menikah,
kawinkanlah dia dan bayar mas kawinnya” Gubernur itu mengirimkan berita lagi
bahwa dia sudah melaksanakan semua perinahnya, tetapi harta masih juga tersisa.
Selanjutnya Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat lagi kepadanya: “Lihatlah orang-orang
Ahlu adz-Dzimmah[30]
yang tidak mempunyai biaya untuk menanami tanahnya, berilah dia apa-apa yang
dapat mensejahterakannya.” Dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz
memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai,
untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah diantara
kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Kemanakah anak-anak
yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut.[31]
Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya
diberikan kepada kaum Muslim, tetapi juga kepada orang non-Muslim. Dalam hal
ini, orang-orang non-Muslim yang menjadi warga negara Daulah Khilafah,
mempunyai hak yang sama dengan orang Muslim, tanpa ada perbedaan. Sebagai
contoh, dalam aqad dzimmah yang ditulis oleh Khalid bin Walid untuk menduduk
Hirah di Irak yang beragama Nasrani, disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka,
orang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu
penyakit, atau tadinya kaya kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan
para penganut agamanya memberi sedekah; maka saya membebaskannya dari kewajiban
membayar jizyah. Dan untuk selajutnya dia beserta keluarga yang menjadi
tanggungannya, menjadi tanggungan Baitul Mal kaum Muslim .”[32] Peristiwa ini terjadi
pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra.
Umar bin Khatab ra. pernah menjumpai seorang Yahudi tua
yang sedang mengemis. Ketika ditanyakan kepadanya, ternyata usia tua dan
kebutuhan telah mendesaknya untuk berbuat demikian. Umar segera membawanya
kepada bendahara Baitul Mal dan memerintahkan agar detapkan bagi orang itu, dan
orang-orang seperti dia, sejumlah uang dari Baitul Mal yang cukup baginya dan
dapat memperbaiki keadaanya. Umar berkata: “Kita telah bertindak tidak adil
terhadapnya, menerima pembayaran jizyah darinya kala dia masih muda, kemudian
menelantarkannya kala dia sudah lajut usia.”[33]
Demikianlah beberapa gambaran sejarah kaum Muslim, yang
menunjukkan betapa Islam yang mereka terapkan ketika itu benar-benar membawa
keberkahan dan kesejahteraan hidup. Bukan hanya bagi umat Muslim tapi juga bagi
umat non-Muslim yang hidup di bawah naungan Islam.
Islam bukanlah agama ritual semata, melainkan sebuah
ideologi. Sebagai sebuah ideologi yang shahih, tentu Islam memiliki cara-cara
yang lengkap untuk mengatasi berbagai problematika manusia, termasuk problem
kemiskinan. Dari pebahasan ini, tampak bagaimana kehandalan Islam dalam
mengatasi problem kemiskinan. Apabila saat ini kita menyaksikan banyak
kemiskinan yang justru melanda umat Islam, hal itu disebabkan karena mereka
tidak hidup secara Islam. Sistem hidup selain Islam-lah (Kapitalis,
Sosialis/Komunis) yang mereka terapkan saat ini, sehingga meskipun kekayaan
alamnya melimpah, tetap saja hidup dalam kemiskinan (Qs. Thahâ [20]: 124).
Para mufasir menyatakan banyak sebab yang
membawa orang jadi miskin. Pertama, sikap mental yang malas dan tidak ada
gairah kerja. Cara mengatasinya dengan mendorong mereka agar bekerja keras
untuk mengubah nasibnya (QS,13:11). Kedua, kurangnya perhatian orang kaya terhadap
orang miskin. Cara mengatasinya dengan menyadarkan orang kaya agar membantu
orang miskin, misalnya dengan mengeluarkan zakat (QS,9:60). Selain itu, cara
mengatasinya dengan memberlakukan denda kepada setiap orang yang melakukan
pelanggaran syariat, seperti orang yang berayt menjalankan puasa di bulan
Ramadan, orang yang melanggar sumpah secara sengaja, orang yang membunuh
bunatang buruan pada waktu ihram, dan orang yang melakukan zihar. Hasilnya
digunakan untuk mengatasi kemiskinan. Ketiga, ketamakan orang kaya terhadap
harta tanpa memperhatikan nasib orang yang kurang mampu. Untuk mengatasinya
perlu dianjurkan agar mereka berlaku adil dan berbuat baik, sebagaimana
dianjurkan dalam surat al-Qasas (28) ayat 77.
Menurut Imam al-Gazali (tokoh fikih Mazhab
Syafi’i), yang dimaksud dengan berbuat adil dalam ayat tersebut adalah
perlakuan yang baik dari orang kaya terhadap orang miskin. Untuk ini al-Gazali
menawarkan tiga hal. Pertama, berkaitan dengan sikap baik dari tengkulak
ketika membeli barang orang miskin: tengkulak tidak terlalu mempersiulit orang
miskin itu dengan menuntut kualitas yang terlalu tinggi untuk merendahkan
komoditas dagangannya. Kedua, dalam berjualan dan bermuamalah dengan orang
miskin sebaiknya diniatkan untuk membantu mereka. Misalnya, apabila mereka
berutang dan belum dapat membayar, maka hendaknya diberikan kelonggaran sampai
ia dpat membayarnya. Ketiga, hendaknya didasarkan pada kerja sama yang
saling menguntungkan.
Cara lain yang dapat digunakan untuk
mengatasi kemiskinan, sebagaimana dikemukakan S. Waqar Husaini (ahli sosiologi
hukum Islam dari Mesir), adalah dengan memanfaatkan dana sosial yang diperoleh
dari pajak yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup kaum yang
lemah, kurang mampu, cacat fisik dan mental, para penganggur, para pelajar yang
kekurangan biaya, dan sebagainya. Selain itu dapat pula dilakukandengan
membatasi perputaran harta agar tidak hanya berputar di kalangan orang-orang
kaya saja. Dapat pula dengan cara pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan yang
menguntungkan semua pihak, misalnya para pemilik modal mempekerjakan masyarakat
untuk mengolah modalnya.
- Konsep Kemiskinan Perspektif Para Pakar
a. Pengertian
Kemiskinan
Dalam arti proper kemiskinan dipahami sebagai
keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam
arti luas, kemiskinan merupakan suatu fenomena multi face atau
multidimensional.[34]
Chambers (dalam Nasikun)[35] mengatakan bahwa
kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu:
1) kemiskinan ( proper), 2) ketidakberdayaan ( powerless), 3) kerentanan
menghadapi situasi darurat ( state of emergency), 4) ketergantungan (
dependence), dan 5) keterasingan ( isolation) baik secara geografis maupun
sosiologis. Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan
tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti: tingkat
kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan
terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan
ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri.[36] Kemiskinan dapat dibagi
dalam empat bentuk, yaitu:[37]
1) Kemiskinan absolut: bila pendapatannya di bawah garis
kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan,
perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
2) Kemiskinan relatif: kondisi miskin karena pengaruh
kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga
menyebabkan ketimpangan pada pendapatan.
3) Kemiskinan kultural: mengacu pada persoalan sikap
seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau
berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun
ada bantuan dari pihak luar.
4) Kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan
karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem
sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan,
tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.
Perkembangan terakhir, menurut Jarnasy[38] kemiskinan struktural lebih
banyak menjadi sorotan sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya ketiga
kemiskinan yang lain. Kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu
kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan ( artificial).[39]
a. Kemiskinan alamiah berkaitan dengan kelangkaan sumber
daya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus.
b. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem
modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai
sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi yang ada secara merata.
Ciri-ciri kelompok (penduduk) miskin yaitu: 1) rata-rata
tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja,
dan keterampilan, 2) mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, 3) kebanyakan
bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal),
setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja), 4) kebanyakan berada di pedesaan
atau daerah tertentu perkotaan ( slum area), dan 5) kurangnya kesempatan untuk
memperoleh (dalam jumlah yang cukup): bahan kebutuhan pokok, pakaian,
perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas
komunikasi, dan kesejahteraan sosial lainnya.[40]
Strategi untuk mengatasi kemiskinan tidak lepas dari
strategi pembangunan yang dianut suatu negara. Program-program yang telah
dilakukan untuk memerangi kemiskinan seringkali tidak memberikan hasil yang
menggembirakan karena adanya perangkap kemiskinan ( poverty trap) yang tidak
berujung pangkal, seperti tercantum pada skema 1 (modifikasi).[41]
Skema 1. Perangkap Kemiskinan (Poverty
Trap) [42]
Berikut penulis mencoba memahami
kemiskinan dari berbagai dimensi; dimensi ekonomi, dimensi kesehatan, dimensi
sosial budaya, dimensi pendidikan, agama dan budi pekerti, dan terakhir dimensi
perdamaian dunia.
1) Kemiskinan Dalam Dimensi Ekonomi
Dimensi ekonomi
dari kemiskinan diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan
untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang, baik secara finansial maupun
semua jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dikategorikan miskin bilamana seseorang atau keluarga tidak dapat memenuhi
kebutuhan pokok minimnya, seperti: sandang, pangan, papan, kesehatan, dan
pendidikan. Dimensi ekonomi dapat diukur dengan nilai rupiah meskipun harganya
selalu berubahubah setiap tahunnya tergantung pada tingkat inflasi rupiah.[43]
Kemelaratan dan batas ini ditentukan oleh kebutuhan hidup yang minimal perlu
dipenuhi bagi kehidupan yang sederhana.
Kemiskinan dalam
dimensi ekonomi paling mudah untuk diamati, diukur, dan diperbandingkan. Ada
beberapa metode pengukuran tingkat kemiskinan yang dikembangkan di Indonesia,
yaitu:
a) Biro Pusat Statistik (BPS)[44]
: tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi
berupa makanan yaitu kurang dari 2100 kalori per orang per hari (dari 52 jenis
komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada di lapisan
bawah), dan konsumsi nonmakanan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai
kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan
perkotaan). Patokan kecukupan 2100 kalori ini berlaku untuk susunan umur, jenis
kelamin, dan perkiraan tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta perkiraan
status fisiologis penduduk.
b) Sayogyo[45]:
tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang
disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan
dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan;
(1) Daerah pedesaan:
(a) Miskin: bila
pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 320 kg nilai tukar beras per orang
per tahun.
(b) Miskin sekali:
bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 240 kg nilai tukar beras per
orang per tahun.
(c) Paling miskin: bila pengeluaran keluarga lebih
kecil daripada 180 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
(2) Daerah perkotaan:
(a) Miskin: bila
pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 480 kg nilai tukar beras per orang
per tahun.
(b) Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih
kecil daripada 380 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
(c) Paling miskin: bila pengeluaran keluarga lebih
kecil daripada 270 kg nilai tukar beras per orang per tahun.
(d) Bank Dunia:[46]
Bank Dunia mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan seseorang
kurang dari US$1 per hari (setara Rp8.500,00 per hari)
(e) Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN):[47]
mengukur kemiskinan berdasarkan kriteria Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) dan
Keluarga Sejahterara I (KS 1). Kriteria Keluarga Pra KS yaitu keluarga yang
tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan perintah agama dengan baik, minimum
makan dua kali sehari, membeli lebih dari satu stel pakaian per orang per
tahun, lantai rumah bersemen lebih dari 80%, dan berobat ke Puskesmas bila
sakit. Kriteria Keluarga Sejahtera 1 (KS 1) yaitu keluarga yang tidak
berkemampuan untuk melaksanakan perintah agama dengan baik, minimal satu kali
per minggu makan daging/telor/ikan, membeli pakaian satu stel per tahun,
rata-rata luas lantai rumah 8 m2 per anggota keluarga, tidak ada anggota
keluarga umur 10 sampai 60 tahun yang buta huruf, semua anak berumur antara 5
sampai 15 tahun bersekolah, satu dari anggota keluarga mempunyai penghasilan
rutin atau tetap, dan tidak ada yang sakit selama tiga bulan.
Penetapan pengukuran dan kriteria kemiskinan secara
nasional sangat sulit. Masih diperlukan kajian yang dapat mengakomodasikan permasalahan
kemiskinan yang kompleks baik dari segi ekonomi, budaya, sosial, psikologik,
dan geografik yang sangat bervariasi di Indonesia. Hampir semua pendekatan
dalam mengkaji kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi (
modernisation paradigm) yang dimotori oleh Bank Dunia.
Paradigma ini bersandar pada teori-teori pertumbuhan
ekonomi neo klasik ( orthodox neoclassical economics) dan model yang berpusat
pada produksi ( productioncentred model). Sejak pendapatan nasional (GNP) mulai
dijadikan indikator pembangunan tahun 1950-an, para ilmuwan sosial selalu
merujuk pada pendekatan tersebut manakala berbicara masalah kemiskinan satu
negara. Pengukuran kemiskinan kemudian sangat dipengaruhi oleh perspektif
income poverty yang menggunakan pendapatan sebagai satusatunya indikator garis
kemiskinan.[48]
Di bawah kepemimpinan
ekonom asal Pakistan, Mahbub Ul Haq, pada tahun 1990- an UNDP memperkenalkan
pendekatan Human Development yang diformulasikan dalam bentuk Indeks
Pembangunan Manusia ( Human Development Index) dan Indeks Kemiskinan Manusia (
Human Poverty Index). Dibandingkan dengan pendekatan yang dipakai Bank Dunia,
pendekatan UNDP relative lebih komprehensif karena bukan hanya mencakup dimensi
ekonomi (pendapatan), melainkan juga pendidikan (angka melek huruf), dan kesehatan (angka harapan hidup).
Pendekatan kemiskinan versi UNDP berporos pada paradigma pembangunan populis
atau kerakyatan ( popular development paradigm) yang memadukan konsep pemenuhan
kebutuhan dasar dari Paul Streeten dan teori kapabilitas yang dikembangkan
peraih Nobel ekonomi 1998, Amartya Sen.[49]
(2) Kemiskinan Dalam
Dimensi Kesehatan
Banyak data dan hasil penelitian yang membuktikan bahwa
kemiskinan sangat berhubungan dengan tingginya angka kesakitan dan kematian.
Tingkat pendapatan di bawah garis kemiskinan dan rendahnya kesempatan
memperoleh berbagai fasilitas kesejahteraan sosial akan mempersulit
terpenuhinya berbagai keperluan pangan bergizi atau kemampuan untuk menangkis
penyakit, sehingga tidak mengherankan apabila di lingkungan mereka tingkat
kematian bayi tinggi.
Berbagai macam penyakit mengancam mereka, seperti:
malaria, tuberkulosis, penyakit mata, kwasioskor, dan lainnya sebagai akibat
lemahnya daya resistensi. Hal ini menyebabkan usia harapan hidup mereka pendek
dan tingkat kematian mereka tinggi.[50]
Dari Skema 2 dapat diketahui bahwa apabila pembangunan
kesehatan dan gizi berhasil, maka status kesehatan dan status gizi akan
meningkat yang kemudian berakibat pada peningkatan kondisi fisik, mental, dan
kecerdasan, sehingga output dan partisipasi lebih baik yang ditunjukkan dengan
rendahnya absensi kerja dan sekolah. Hal tersebut menyebabkan peningkatan
kemampuan, keterampilan, dan kecerdasan, sehingga pendapatan individu,
masyarakat, dan negara meningkat. Pendapatan ini menjadi salah satu sumber daya
pembangunan kesehatan dan gizi. Tentu saja sebaliknya, hal tersebut tidak akan terjadi
jika pembangunan kesehatan dan gizi tidak berhasil.[51]
Dalam hal kesehatan, ketika berhadapan dengan kemiskinan
seperti yang terjadi pada masa krisis ekonomi, reaksi masyarakat bermacammacam,
seperti: orang miskin cenderung menghindari fasilitas rawat jalan, menunda
pelayanan RS, menghindari penggunaan jasa spesialis yang mahal, cenderung
memperpendek rawat inap, membeli separo atau bahkan sepertiga obat yang
diresepkan sehingga tidak menjalani pengobatan total, mencari pengobatan lokal
yang kadang-kadang dapat menimbulkan efek berbahaya, para ibu cenderung
melahirkan di rumah dengan bantuan dukun yang memperbesar risiko persalinan,
penyakit menjadi kronis karena menghindari pengobatan yang mahal. Pasien gagal
ginjal cenderung menunda, membatalkan atau dibatalkan dari pengobatan, pasien
cenderung mengobati sendiri yang berakibat terjadi komplikasi, tingkat
pengguguran kandungan meningkat karena biaya dan implikasi sosial ekonomi,
pasien menolak atau menunda prosedur operasi karena ketiadaan biaya.[52]
Skema 2. Keterkaitan antara Pembangunan Kesehatan dan Ekonomi[1]
[1] Karjadi, D. Makalah pada Lokakarya Ekonomi Kesehatan, Perumusan
dan Aplikasi Ilmu Ekonomi Kesehatan di Indonesia. Cimacan 9– 11 Oktober
1989.
Krisis ekonomi yang telah melanda Indonesia pada tahun
1997 sampai dengan tahun 2000 memberikan dampak yang tidak kecil pada status
gizi. Di beberapa daerah kejadian ini diperburuk dengan adanya bencana
kekeringan (El Nino) dan kebakaran hutan, sehingga berkurangnya persediaan
bahan pangan. Kesemuanya mengakibatkan
seluruh harga bahan makanan termasuk bahan makanan pokok naik. Hasil penelitian
di beberapa wilayah di Indonesia memperlihatkan penurunan daya beli dan
ketersediaan bahan makanan di tingkat keluarga, terutama mereka yang tinggal di
daerah perkotaan.[54]
Masalah gizi utama yang telah menurun dalam tahun-tahun
terakhir Repelita IV, mulai meningkat kembali. Survei nasional tahun 1995 telah
memperlihatkan prevalensi KEP total (<80% BB/U) yang turun dari 47,8% pada
tahun 1989 menjadi 35% pada tahun 1995.[55] Pada kasus yang sama di
salah satu provinsi yaitu Sulawesi Selatan, berdasarkan hasil pemantauan status
gizi anak balita di Posyandu, prevalensi KEP nyata (<70% BB/U) sebesar 5,3%
pada tahun 1997 menjadi 14,7% pada tahun 1998.[56] Hasil penelitian senada
juga ditemukan oleh Thaha, dkk.,[57] di provinsi yang sama,
persentase anak balita yang menderita malnutrisi akut (berdasarkan berat badan
per tinggi badan) sebesar 9,9% pada tahun 1997 menjadi 14,4% pada tahun 1999.
Hasil penelitian Helen Keller International (HKI), Depkes, dan Universitas
Diponegoro di Provinsi Jawa Tengah tahun 1998 untuk masalah micronutrien
seperti defisiensi zat besi dan vitamin A setelah krisis ekonomi terjadi
(Juni-Agustus 1998) menunjukkan kenaikan yang berarti di berbagai daerah
penelitian di Jawa Tengah dibandingkan sebelum krisis (Juni–Agustus 1996). [58]
Berikut ini beberapa hasil penelitian tentang keterkaitan
kesehatan dengan kemiskinan di negara maju. Hubungan antara beberapa outcome
kesehatan dengan pemerataan distribusi pendapatan di antara 50 negara bagian di
Amerika Serikat pada data tahun 1980 dan 1990 menunjukkan bahwa pendapatan di
negara bagian semakin tidak merata. Hal ini menyebabkan tingkat kematian per
kelompok umur, jumlah bayi Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), angka bunuh diri,
angka kriminalitas, ketidakmampuan bekerja, jumlah pengeluaran untuk pelayanan
medis dan perlindungan keamanan oleh polisi, serta angka merokok semakin besar.
Tingkat pengangguran, jumlah orang terhukum (narapidana), penerima bantuan
pendapatan dan pangan gratis, angka penduduk yang tidak terasuransi
kesehatannya, serta outcome pendidikan lebih tinggi seiring meningkatnya angka
ketimpangan distribusi pendapatan.[59]
Kemiskinan yang ditandai dengan pengangguran mempunyai
banyak dimensi yang akan berkaitan dengan masalah kesehatan. Review terhadap
beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh Bartley[60] menyimpulkan bahwa untuk
memahami keterkaitan sosial, psikologi, dan biologi antara pengangguran dengan
kesakitan dan kematian perlu ditelaah dengan empat mekanisme yaitu peran dari
kemiskinan relatif, isolasi sosial, hilangnya rasa percaya diri, serta perilaku
yang berhubungan dengan kesehatan.
Studi case control pada 293 keluarga dari kelompok miskin
yang tidak mempunyai rumah tinggal (kelompok pertama) dan 334 orang dengan
pendapatan rendah tetapi mempunyai rumah tinggal (kelompok kedua), keduanya
mempunyai anak usia 3 bulan sampai dengan 17 tahun dan ibunya di Worchester
negara bagian Massachussets Amerika Serikat menunjukkan bahwa kelompok pertama
mempunyai jumlah gejala penyakit akut yang lebih tinggi termasuk demam, infeksi
telinga, diare, dan asma, sehingga kelompok ini memakai pelayanan gawat darurat
dan pelayanan rawat jalan lebih tinggi dibandingkan kelompok kedua. Kelompok
pertama mempunyai status kesehatan lebih buruk 2,83 kali dibandingkan kelompok
kedua dan mempunyai 1,71 kali lebih banyak mempergunakan pelayanan rawat jalan,
serta mempunyai 1,21 kali lebih banyak dalam memanfaatkan pelayanan gawat
darurat. Stres emosi pada ibu berhubungan dengan gejala sakit yang akut, serta
frekuensi penggunaan pelayanan rawat jalan dan gawat darurat. Pentingnya
intervensi untuk meningkatkan akses ke pelayanan primer bagi anak-anak dari
keluarga miskin yang tidak bertempat tinggal.[61]
Keterkaitan kemiskinan dengan status gizi yang rendah
dibuktikan oleh Gelberg[62] yang meneliti 457 orang
dewasa dari kelompok miskin yang tidak bertempat tinggal dan menunjukkan hasil
sebanyak 33,3% mempunyai status gizi rendah (diukur dari berat, lingkar bahu
atas, dan triceps skinfold). Status gizi rendah berkaitan dengan penggunaan
obat yang lebih besar, tingginya subsidi pangan (gratis), pendapatan yang
rendah, dan berjenis kelamin pria.
Dari penelitian ini
direkomendasikan pentingnya peningkatan program bantuan pangan secara gratis,
program perawatan kecanduan obat, dan peningkatan pendapatan bagi kelompok ini.
(3) Kemiskinan Dalam
Dimensi Sosial Dan Budaya
Dimensi sosial dari kemiskinan diartikan sebagai
kekurangan jaringan sosial dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan
kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat. Kekurangan jaringan tersebut
disebabkan oleh dua faktor penghambat yaitu dari diri seseorang atau kelompok
(misalnya karena tingkat pendidikan atau hambatan budaya), dan hambatan dari
luar kemampuan seseorang (misalnya karena birokrasi atau peraturan resmi yang
dapat mencegah mereka memanfaatkan kesempatan yang ada).[63]
Pada masyarakat di negara maju, proses peralihan dari
masyarakat tradisional menuju masyarakat modern berhasil dilakukan. Tetapi pada
masyarakat di negara sedang berkembang (dunia ketiga), ketika menuju modernitas
mereka menghadapi hambatan sosial budaya berupa nilainilai tradisional yang
sangat kuat dalam segala aspek kehidupan. Hal tersebut menyebabkan mereka hidup
dalam keterbelakangan, tidak maju,dan miskin.[64] Kuatnya nilai-nilai budaya tradisional menyebabkan
kondisi kehidupan masyarakat menjadi statis, belum mengalami deferensiasi
struktural sehingga perkembangan politik, sosial, ekonomi, dan budaya tidak
mengalami kemajuan yang berarti.[65] Pada masyarakat tradisional ditandai dengan struktur keluarga
yang rumit dan tidak teratur, terdiri dari berbagai generasi, dan jumlah
anggota keluarga sangat banyak. Keluarga bertanggung jawab pada kelangsungan
keturunan, ekonomi rumah tangga, pendidikan, dan kesejahteraan.
Pada keluarga modern biasanya dicirikan dengan anggota
keluarga sedikit dan lebih produktif karena lembaga masyarakat yang ada telah
berperan pada penyelenggaraan fungsi-fungsi dalam keluarga, seperti pendidikan,
pelayanan kesehatan, ekonomi, dan keagamaan.
Mc. Cleland[66] dalam studinya menyimpulkan bahwa nilai-nilai budaya
tradisional turut membentuk sikap mental masyarakat di negara sedang
berkembang. Nilai budaya tradisonal tersebut adalah mentalitas masyarakat yang
belum siap membangun (tidak memiliki sikap mental need for achievement) dalam
segala aspek.
Kemiskinan muncul sebagai akibat nilai budaya yang dianut
kaum miskin itu sendiri, yang berakar dari kondisi lingkungan yang serba miskin
dan diturunkan dari generasi ke generasi ( cultural of poverty).[67] Kaum miskin telah memasyarakatkan nilai dan perilaku kemiskinan
secara turun-temurun. Akibatnya, perilaku tersebut melanggengkan kemiskinan
mereka, sehingga masyarakat yang hidup dalam kebudayaan kemiskinannya sulit
untuk membebaskan diri dari kemiskinan.
Telah dijelaskan
sebelumnya bahwa aspek budaya dan etnik juga berpengaruh memelihara
kemiskinan.4 Pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya,
adat istiadat yang konsumtif juga banyak mewarnai masyarakat pedesaan seperti
berbagai pesta rakyat atau upacara perkawinan, kelahiran, dan bahkan kematian
yang dibiayai di luar kemampuan karena prestise dan keharusan budaya. Hal ini
seringkali mengakibatkan suatu keluarga terlibat rentenir atau menjual harta
bendanya untuk mendapatkan dana penyelenggaraan pesta.
(4) Kemiskinan Dalam
Dimensi Sosial Politik
Dimensi sosial politik dari kemiskinan lebih menekankan
pada derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem sosial
politik yang dapat menentukan alokasi sumber daya untuk kepentingan sekelompok
orang atau tatanan sistem sosial yang menentukan alokasi penggunaan sumber
daya. Kemiskinan politik merupakan gejala yang secara tidak langsung
berpengaruh pada pengembangan kreativitas manusia dan masyarakat, yang pada
gilirannya berpengaruh pada kualitas manusia.[68]
Kebijakan pemerintah dalam kerangka sosial politik
disengaja atau tidak, sebagian di antaranya justru menyebabkan kemiskinan. Hal
ini sesuai dengan pendapat para teoritisi bahwa masyarakat atau negara miskin
itu bukan karena mereka miskin ( a country is a poor because it is poor),
tetapi karena kebijakan pemerintah yang salah ( a country is poor because of
poor policies). Beberapa kebijakan ekonomi yang memberi andil menciptakan
kemiskinan di Indonesia, antara lain: kebijakan penetapan harga dasar gabah
yang rendah, pemberian subsidi impor beras dan bahan makanan lain,
mengakibatkan gairah petani untuk menanam padi menjadi turun. Strategi
industrialisasi yang tidak terarah dengan mengabaikan sektor pertanian atau
kebijakan ekonomi yang tidak memperhatikan keterkaitan antara pertumbuhan
sektor pertanian dan industri, pembangunan lebih berkonsentrasi pada perkotaan,
subsidi modal untuk sektor modern dan pengusaha papan atas padahal sektor ini
bukan tempat usaha orang miskin, dan lain-lain.[69]
Di sisi lain, banyak
negara sedang berkembang menggunakan isu kemiskinan dan pengentasan kemiskinan
sebagai kartu kemenangan pemilihan umum (pemilu), walaupun pada kenyataannya
setelah menang, isu tersebut belum tentu diwujudkan dalam program kerjanya.
(5) Kemiskinan Dalam Dimensi Pendidikan, Agama, Dan Budi
Pekerti
Keterkaitan kemiskinan dengan pendidikan sangat besar
karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu
dan keterampilan. Pendidikan juga 128 Memahami Kemiskinan secara
Multidimensional menanamkan kesadaran akan pentingnya martabat manusia.
Mendidik dan memberikan pengetahuan berarti menggapai masa depan. Hal tersebut
seharusnya menjadi semangat untuk terus melakukan upaya mencerdaskan bangsa.
Tidak terkecuali, keadilan dalam memperoleh pendidikan harus diperjuangkan dan
seharusnya pemerintah berada di garda terdepan untuk mewujudkannya.
Penduduk miskin dalam konteks pendidikan sosial mempunyai
kaitan terhadap upaya pemberdayaan, partisipasi, demokratisasi, dan kepercayaan
diri, maupun kemandirian. Pendidikan nonformal perlu mendapatkan prioritas
utama dalam mengatasi kebodohan, keterbelakangan, dan ketertinggalan sosial
ekonominya. Pendidikan informal dalam rangka pendidikan sosial dengan sasaran
orang miskin selaku kepala keluarga (individu) dan anggota masyarakat tidak
lepas dari konsep learning society adult education experience learning yang
berupa pendidikan luar sekolah, kursus keterampilan, penyuluhan, pendidikan dan
latihan, penataran atau bimbingan, dan latihan.[70]
Pendidikan agama dan
budi pekerti sangat penting untuk penanaman nilai-nilai agamawi dan budi
pekerti terutama bagi anak-anak dan pemuda. Strategi pengentasan kemiskinan
seharusnya tidak terpaku pada aspek ekonomi dan fisik saja, tetapi aspek
nonfisik (rohaniah) juga perlu mendapatkan porsi yang cukup dalam kebijakan
ini.
(6) Kemiskinan Dalam
Dimensi Perdamaian Dunia
Millenium Development Goals on Development and Eradication
of Poverty in 2015 telah dideklarasikan oleh para pemimpin negara-negara di
dunia pada tahun 2000. Para pemimpin dunia berjanji bekerja sama untuk mencapai
target dalam pembangunan dan mengurangi kemiskinan di tahun 2015. Komitmen
global tersebut mengamanatkan semua negara anggota PBB agar berusaha lebih
keras untuk meningkatkan pendapatan yang selama ini tidak layak, kelaparan,
ketimpangan jender, kerusakan lingkungan, hambatan untuk mendapatkan
pendidikan, pelayanan kesehatan, dan air bersih. Termasuk di dalam kesepakatan
global tersebut adalah mengurangi beban hutang, meningkatkan bantuan,
perdagangan, dan transfer teknologi kepada negara-negara miskin.[71]
Delapan tujuan dan 18 target telah dicanangkan dalam
Kesepakatan Global Untuk Pembangunan dan Memerangi Kemiskinan. Delapan tujuan
tersebut yaitu: 1) memerangi kemiskinan dan kelaparan ( eradicate poverty and
hunger), 2) mencapai pendidikan dasar bagi seluruh dunia ( achieve universal
primary education), 3) meningkatkan kesetaraan gender dan memberdayakan
perempuan ( promote gender equality and empower women), 4) menurunkan angka
kematian anak ( reduce child mortality), 5) meningkatkan kesehatan ibu (
improve maternal health), 6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit-penyakit
lainnya ( combat HIV/AIDS, malaria and other diseases), 7) mewujudkan
lingkungan yang berkelanjutan ( ensure environmental sustainability), 8)
mengembangkan kemitraan dunia untuk pembangunan ( develop a global partnership
for development).[72]
Pada bulan Maret 2002 Deklarasi Johannesburg untuk
pembangunan berkelanjutan dan Deklarasi Johannesburg untuk rencana implementasi
berhasil menyusun kerangka kerja untuk meningkatkan kemitraaan antara
negaranegara kaya dan miskin. Memerangi kemiskinan seharusnya tidak
bertentangan dengan upaya untuk mewujudkan perdamaian dunia walaupun ancaman
perang dan konflik, serta terorisme sedang berlangsung di berbagai kawasan
dunia. Sebaliknya memerangi
kemiskinan akan menyumbang terwujudnya perdamaian dunia.[73]
Direktur Millennium
Project Jeffrey D. Sachs menyatakan dalam paparannya kepada peserta pertemuan
regional tingkat menteri se-Asia Pasifik di Jakarta tanggal 4 Agustus 2005 yang
membahas Millennium Development Goals (MDGs) bahwa perdamaian dunia tidak akan
tercapai tanpa dibarengi pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, harus ada
gerakan internasional untuk memerangi kemiskinan dalam rangka menciptakan perdamaian
dunia. “Tanpa global development, kita tidak mungkin mencapai global security,
karena tidak ada perang terhadap teroris tanpa memerangi kemiskinan”.[74]
b. Faktor
dan Indikator Kemiskinan
BAPPENAS (2004)[75]
mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok
orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar
masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan
lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan
hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan
maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini,
BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan
kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income
approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach)
dan pendekatan objective and subjective.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu
ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan
kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan
pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan
alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga
secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan
ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam
masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai
kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan
menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan
kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat
dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut
sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada
penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan
berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Joseph F. Stepanek,
(ed), 1985).
Dari pendekatan-pendekatan
tersebut, indikator utama kemiskinan dapat dilihat dari; (1) kurangnya pangan,
sandang dan perumahan yang tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan
alat-alat produktif; (3) kuranya kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya
jaminan dan kesejahteraan hidup; (5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang
sosial dan ekonomi; (6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses
terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas; (8) dan sebagainya.
Indikator-indikator tersebut dipertegas
dengan rumusan yang konkrit yang dibuat oleh BAPPENAS berikut ini;
Ø terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok
pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya
status gizi bayi, anak balita dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan
tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan
asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60
persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004);
Ø terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan
disebabkan oleh kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu
layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan
kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan
yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi
rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin
cenderung memanfaatkan pelayanan di PUSKESMAS. Demikian juga persalinan oleh
tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3
persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem
jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (2001) penduduk, dan hanya
sebagian kecil di antaranya penduduk miskin;
Ø terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan
yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang
terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang
terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun
tidak langsung;
Ø terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya
perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya
perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti
buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga;
Ø terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat
miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan
kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan
layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan
fasilitas sanitasi yang kurang memadai;
Ø terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk
mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber
air dan menurunnya mutu sumber air;
Ø lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah.
Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan
pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan
pertanian. Kehidupan rumah
tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan
mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di atas tanah pertanian;
Ø memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam,
serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin
yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan
daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber
penghasilan;
Ø lemahnya jaminan rasa aman. Data yang dihimpun UNSFIR
menggambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik
dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi.
Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001
diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik;
Ø lemahnya partisipasi. Berbagai kasus penggusuran
perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari
wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka
dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam
perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai
kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan
keterlibatan mereka;
Ø besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya
tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.
Menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih
besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan rata‑rata
mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di
perdesaan adalah 4,8 orang.
Dari berbagai definisi tersebut di atas,
maka indikator utama kemiiskinan adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu
pangan; (2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3)
terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) terbatasnya
kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha,
dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7)
terbatasnya akses terhadap air bersih; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan
tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta
terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan
rasa aman; (11) lemahnya partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang
disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan
yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan
publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.
Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan
tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana, karena tidak hanya
berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi juga sangat
berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat ditanggulangi apabila
dimensi-dimensi lain itu diperhitungkan. Menurut Bank Dunia (2003), penyebab
dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal;
(2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3)
kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan
kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5)
adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi
(ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan
tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan
dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8)
tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9)
pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan
lingkungan.
Indikator utama kemiskinan menurut Bank
Dunia adalah kepemilikan tanah dan modal yang terbatas, terbatasnya
sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang bias kota, perbedaan kesempatan
di antara anggota masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi,
rendahnya produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang buruk,
dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.
a. Policy
induces processes: proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi
melalui pelaksanaan suatu kebijakan (induced of policy) diantaranya adalah
kebijakan antikemiskinan, tetapi realitanya justru melestarikan.
b. Socio-economic dualism: negara ekskoloni
mengalami kemiskinan karena pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi
marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai petani skala besar dan
berorientasi ekspor.
c. Population
growth: perspektif yang didasari pada teori Malthus bahwa pertambahan
penduduk seperti deret ukur sedang pertambahan pangan seperti deret hitung.
d. Recources management and the environment:
adanya unsur mismanagement sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen
pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas.
e. Natural
cycles and processes: kemiskinan terjadi karena siklus alam. Misalnya
tinggal di lahan kritis, di mana lahan ini jika turun hujan akan terjadi banjir
tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas
yang maksimal dan terus-menerus.
f. The
marginalization of woman: peminggiran kaum perempuan karena perempuan masih
dianggap sebagai golongan kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan hasil
kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki.
g. Cultural and
ethnic factors: bekerjanya factor budaya dan etnik yang memelihara
kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen
raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan.
h. Explotative
intermediation: keberadaan penolong yang menjadi penodong, seperti rentenir
(lintah darat).
i. Internal
political fragmentation and civil stratfe: suatu kebijakan yang diterapkan
pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat, dapat menjadi penyebab
kemiskinan.
j. International
processes: bekerjanya sistemsistem internasional (kolonialisme dan
kapitalisme) membuat banyak negara menjadi semakin miskin.
Selain beberapa faktor di atas, penyebab kemiskinan di
masyarakat khususnya di pedesaan disebabkan oleh keterbatasan aset yang
dimiliki, yaitu:[77]
a. Natural assets:
seperti tanah dan air, karena sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai
lahan yang kurang memadai untuk mata pencahariannya.
b. Human assets:
menyangkut kualitas sumber daya manusia yang relatif masih rendah dibandingkan
masyarakat perkotaan (tingkat pendidikan, pengetahuan, keterampilan maupun
tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi).
c. Physical
assets: minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas umum seperti jaringan
jalan, listrik, dan komunikasi di pedesaan.
d. Financial
assets: berupa tabungan ( saving), serta akses untuk memperoleh modal usaha.
e. Social assets: berupa jaringan, kontak dan
pengaruh politik, dalam hal ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan
keputusan-keputusan politik.
c. Pemberdayaan
dan Pengentasan Kemiskinan
Menurut Gregorius Sahdan[78], selama ini kebijakan
penanggulangan kemiskinan, didesain secara sentralistik oleh pemerintah pusat
yang diwakili BAPPENAS. BAPPENAS merancang program penangulangan kemiskinan
dengan dukungan alokasi dan distribusi anggaran dari APBN (Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara) dan utang kepada Bank Dunia serta lembaga keuangan
mmultinasional lainnya. Berkat alokasi anggaran yang memadai, pemerintah pusat
menjalankan kebijakan sentralistik dengan program-program yang bersifat
karitatif. Sejak tahun 1970-an di bawah kebijakan economic growth sampai
dengan sekarang, pemerintah pusat menjadikan desa sebagai obyek dari seluruh
proyek yang dijalankan untuk menanggulangi kemiskinan.
Berdasarkan kebijakan tersebut, pemerintah
pusat menjalankan program-programnya dalam bentuk: (1) menurunkan jumlah
persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan melalui bantuan
kredit, jaminan usaha dan pengadaan sarana dan prasarana di desa seperti
PUSKESMAS, INPRES, KUD, dan sebagainya; (2) mengusahakan pemenuhan kebutuhan
pangan masyarakat miskin melalui distribusi sembako yang dibagikan secara
gratis kepada penduduk miskin; (3) mengusahakan pelayanan kesehatan yang
memadai dengan menyebarkan tenaga-tenaga kesehatan ke desa dan pengadaan
obat-obatan melalui PUSKESMAS; (4) mengusahakan penyediaan fasilitas pendidikan
dasar dengan memperbanyak pendirian sekolah-sekolah INPRES; (5)
menyediakan kesempatan bekerja dan berusaha melalui proyek-proyek perbaikan
sarana dan prasarana milik pemerintah, penyediaan kredit dan modal usaha yang
diberikan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat miskin; (6) memenuhi
kebutuhan perumahan dan sanitasi dengan memperbanyak penyediaan rumah-rumah
sederhana untuk orang miskin; (7) mengusahakan pemenuhan air bersih dengan
pengadaan PAM; (8) menyediakan sarana listrik masuk desa, sarana telekomunikasi
dan sejenisnya; dan sebagainya.
Berbagai program yang dijalankan oleh
pemerintah tersebut, lebih banyak menuai kegagalan dibandingkan dengan
keberhasilannya. Program Kredit Usaha Tani (KUT) misalnya, merupakan salah satu
di antara serangkaian program pemerintah yang terbaru, yang menuai kegagalan.
Program ini menempatkan Bank, Koprasi, LSM dan kelompok tani hanya sebagai
mesin penyalur kredit, sedangkan tanggungjawab kredit terletak di tangan
Departemen Koprasi. Pada tahun 1998, platfon KUT mencapai 8,4 triliun rupiah
naik 13 kali lipat dari sebelumnya. Para petani menyebut program ini sebagai
“kesalahan bertingkat enam” karena; (1) pelaksanaan KUT tidak benar-benar
memberdayakan petani; (2) mesin penyalur KUT (LSM, Bank, Koprasi), ditunjuk
tidak diseleksi secara ketat; (3) Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok
(RDKK) dibuat secara serampangan, banyak fiktifnya; (4) kredit diberikan kepada
siapa saja termasuk nonpetani, sehingga kurang tepat sasaran; (5) tidak ada
pengawasan dalam penyaluran, penerimaan dan penggunaan kredit; (6) dana
penyaluran banyak bocornya, mulai dari Departemen Koprasi, hingga ke KUD.
Akibatnya per September 2000, tunggakan KUT mencapai 6,169 triliun rupiah atau
73,69% dari realisasi kredit.
Sejak tahun 2000, program KUT yang
dianggap gagal total diganti pemerintah dengan program baru yakni Program
Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada
bank, pemerintah hanya bertindak sebagai pemberi subsidi pada tahap awal.
Berdasarkan target pemerintah, program ini menuai sukses tahun 2004, tetapi
lagi-lagi mengalami kegagalan karena kesulitan bank menyalurkan kredit kepada
petani dan kesulitan petani membayar bunga kredit. Dari platfon sebesar 2,3
triliun rupiah, sampai Maret 2001 baru terrealisasi 3,85 miliar rupiah atau
1,57%. Akibatnya, terjadi kelangkaan kredit usaha tani di desa. Di samping
program KUT dan KKP juga ada Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Program ini
bertujuan mengurangi kemiskinan di tingkat pedesaan, sekaligus memperbaiki
kinerja pemerintah daerah dengan cara memberi bantuan modal dan pengadaan
infrastruktur. Inti dari program ini adalah perencanaan yang melibatkan
masyarakat, laki-laki dan perempuan, termasuk masyarakat miskin. Program ini
dirancang melalui mekanisme musyawarah mulai dari tingkat dusun hingga ke
tingkat kecamatan. Pelaksanaan program didampingi oleh seorang fasilitator
kecamatan, dua orang fasilitator desa, satu laki-laki, satu perempuan di tiap
desa, juga dibantu lembaga pengelola yaitu Unit Pengelola Keuangan (UPK) di
kecamatan yang melibatkan LMD. Program ini di beberapa daerah mengalami
kegagalan, karena tidak adanya perencanaan yang matang dan juga kuranya
transparansi penggunaan dan alokasi anggaran kepada masyarakat
desa.
Kisah kegagalan program yang dirancang dan
didanai oleh pemerintah dan Bank Dunia, juga terjadi dalam Program Padat Karya
Desa-Pengembangan Wilayah Terpadu (PKD-PWT) di NTT , Sulawesi Selatan, NTB dan
Sulawesi Utara serta program PDMDEK di Jawa Barat. Program PKD-PWT membagikan
uang bantuan sebesar 50 juta rupiah kepada setiap desa dan langsung disalurkan
ke rekening Tim Pelaksana Desa (TPD). Jumlah desa yang dibantu dengan program
ini mencapai 1.957 desa. Program ini mengalami kegagalan, karena proses
perencanaan, pelaksanaan dan penyaluran bantuan kepada desa, sangat tergantung
kepada TPD. Sementara PDMDEK di Jawa Barat, mengalami kegagalan karena dana
bergulir yang diberikan kepada masing-masing desa sebanyak 14 juta rupiah per
desa, digunakan masyarakat untuk tujuan konsumtif.
Dilihat dari kegagalan program
penanggulangan kemiskinan selama ini, strategi dan kebijakan alternatif yang
berpihak kepada rakyat miskin, option for the poor menjadi kebutuhan
mutlak menanggulangi kemiskinan. Untuk membuat sebuah strategi dan kebijakan
alternatif, diperlukan pengetahuan yang memadai tentang penyebab utama
kemiskinan masyarakat desa. Dari serangkaian penyebab kemiskinan masyarakat
desa yang telah disebutkan di depan, maka strategi dan kebijakan alternatif
menanggulangi kemiskinan desa dapat dilakukan dengan cara;
(1) memberikan
kesempatan yang luas kepada masyarakat desa untuk memperoleh layanan pendidikan
yang memadai, secara gratis dan cuma-cuma. Pemerintah perlu mengembangkan
sistem pendidikan nasional yang berorentasi keberpihakan kepada orang miskin
(pendidikan untuk orang miskin).
(2) redistribusi
lahan dan modal pertanian yang seimbang. Ketimpangan kepemilikan lahan
pertanian, memperlebar jurang kemiskinan antara masyarakat yang tinggal di
pedesaan. Sebagian besar tanah-tanah pertanian yang subur dimiliki oleh
tengkulak lokal dan tuan tanah.
(3) mendorong
perkembangan investasi pertanian dan pertambangan ke daerah pedesaan. Pembukaan
investasi pertanian dan pertambangan dapat memberikan kesempatan kerja kepada
masyarakat desa. Dengan begitu, pendapatan mereka akan meningkat dan
berpengaruh pada perubahan kesejahteraan hidup;
(4) membuka
kesempatan yang luas kepada masyarakat desa untuk memperoleh kredit usaha yang
mudah.
(5) memenuhi
kebutuhan sandang, pangan, dan papan masyarakat desa. Kebutuhan sandang, papan
dan pangan perlu dilakukan melalui sebuah mekanisme lumbung desa yang
memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat desa, memperoleh
sumber-sumber kebutuhan yang disediakan secara terorganisir;
(6) memperkenalkan
sistem pertanian modern dengan teknologi baru yang memberikan kemudahan bagi
masyarakat untuk menggali sumber-sumber pendapatan yang memadai. Teknologi
pertanian diperbanyak dan diberikan secara cuma-cuma kepada petani untuk
meningkatkan produktivitas pertanian dan mempermudah pemenuhan kebutuhan hidup
mereka;
(7) memberikan
jaminan kesehatan kepada mayarakat dengan sistem layanan kesehatan gratis,
memperbanyak PUSKESMAS dan unit-unit layanan kesehatan kepada masyarakat desa
yang miskin dan terbelakang;
(8) memberikan
jaminan asuransi dan jaminan sosial terhadap masyarakat desa. Jaminan asuransi
dan jaminan sosial dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin dan
memberikan semangat hidup yang lebih berarti. Sistem asuransi dan jaminan
sosial yang ada saat ini, diberlakukan secara diskriminatif, hanya terbatas
kepada mereka yang memiliki uang saja. Untuk itu, pemerintah berkewajiban
memberikan jaminan asuransi yang memadai kepada masyarakat miskin;
(9) memperkuat
komitmen eksekutif dan legislatif untuk memperbaiki tatanan pemerintahan.
Tatanan pemerintahan yang ada saat ini, memberikan keleluasaan bagi terjadinya
praktik korupsi dalam seluruh level pemerintahan. Perbaikan tatanan
pemerintahan, menjadi kata kunci untuk membuat program penanggulangan
kemiskinan benar-benar diperuntukkan bagi masyarakat miskin;
(10) Mendorong agenda pembangunan daerah
memprioritaskan pemberantasan kemiskinan sebagai skala prioritas yang utama,
mendorong tekad semua pihak untuk mengakui kegagalan penanggulangan kemiskinan
selama ini, membangkitkan kesadaran kolektif agar memahami kemiskinan sebagai
musuh bersama, dan meningkatkan partisipasi semua pihak dalam memberantas
kemiskinan.
C. Kemiskinan
dari Aspek Empiris Konstektual
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang kemiskinan
kiranya tidaklah cukup hanya melalui pemahaman dari segi normative tekstual,
namun diperlukan pemahaman dari segi empiris kontekstual, karena acapkali
pengertian secara normative (teoritis) sulit ditemukan di lapangan. Untuk itu,
pada bab ini penulis mencoba mengurai kembali hasil-hasil penelitian terdahulu,
yaitu antara lain :
1. Penelitian
dengan judul “Tradisi Mengemis Masyarakat Desa Pragaan Daya Kecamatan Pragaan
Kabupaten Sumenep Madura”.[79]
Penelitian ini dilakukan oleh tim peneliti
dari IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo yang beranggotakan 5 orang; Drs. Noer
Abijono, M.Ed sebagai ketua tim, dengan anggota yang terdiri; Rahman Riyadi,
SE., MM, Dra. Rachma Hasibuan, MS, Drs. Munir Anshori, dan M. Faridy, SH.
Penelitian yang mengambil lokasi di desa
Pragaan Daya Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep Madura ini mencoba mengungkap
tiga persoalan, yaitu 1) bagaimana profil pengemis di desa Pragaan, 2) apa yang
mendasari timbulnya pekerjaan mengemis, dan 3) bagaimana persepsi masyarakat
Pragaan Daya terhadap tradisi mengemis yang telah berlangsung secara turun
menurun.
Penelitian ini menurut tim peneliti
dilatarbelakangi oleh sebuah pemikiran utama, bahwa tradisi mengemis yang
tumbuh dan berkembang di desa Pragaan Daya sudah menjadi cara hidup (way of
life) yang melembaga sejak puluhan tahun silam. Hal ini merupakan prilaku
yang menyimpang dari norma etika yang berlaku secara umum. Penyimpangan ini
berkembang secara sistematik menjadi
satu subkultur, yaitu suatu sistem prilaku yang menghasilkan organisasi
social, nilai-nilai, rasa kebanggaan, norma dan moral tertentu yang
bertentangan dengan situasi umum. Tradisi ini menunjukkan bahwa persoalan yang
dihadapi masyarakat bersifat multidimensional dan multidirektical. Dari segi
agama dan etika social, pekerjaan mengemis merupakan pekerjaan yang tidak etis.
Metode pengumpulan datanya adalah semi
wawancara dan tidak terstruktur serta observasi partisipatori untuk
kelompok-kelompok focus. Sedangkan analisis datanya menggunakan kerangka
berpikir induktif.
Hasil penelitiannya
ada empat, yaitu :
a.
Terdapat tiga
karakteristik pengemis di desa Pragaan Daya; personal, kolektif, dan kolektif-fiktif.
b.
Faktor yang menjadi
penyebab munculnya tradisi mengemis antara lain adalah lahan pertanian yang
tidak produktif karena kering dan tandus, rendahnya tingkat pendidikan
masyarakat, dan minimnya pengetahuan dan realisasi nilai-nilai agama.
c.
Terbatasnya potensi
SDA, SDM dan ekonomi.
d.
Ada dua persepsi
masyarakat tentang tradisi mengemis; pertama, pekerjaan mengemis
dipandang sebagai pekerjaan pada umumnya, dan kedua, pekerjaan ini
dipandang sebagai pekerjaan yang menyalahi norma agama dan sosial.
2.
Penelitian dengan judul ”Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di
Indonesia”[80]
Laporan penelitian yang dicetak pada 2006 ini adalah merupakan
hasil kerja dari staf Bank Dunia (The Word Bank) yang dilakukan sejak 2002
sampai akhir 2005 bekerjasama dengan Kementrian Perekonomian Indonesia,
Kementerian Kesejahteraan Rakyat, Bappenas, LPEM-UI Jakarta, Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran Bandung, dan Lembaga Penelitian SMERU Jakarta dibawah
naungan Program Analisa Kemiskinan di Indonesia (INDOPOV) di kantor Bank Dunia
Jakarta.
Fakos penelitian ini adalah tentang karakteristik
kemiskinan di Indonesia dengan mencoba; 1) mengidentifikasikan apa yang
bermanfaat dan tidak bermanfaat dalam upaya pengentasan kemiskinan, 2)
memperjelas pilihan-pilihan apa sajA yang tersedia untuk Pemerintah dan
lembaga-lembaga non pemerintah dalam upaya memberbaiki standar kualitas
kehidupan masyarakat miskin.
Penelitian ini dilakukan dengan latar belakang;
a.
Indonesia sedang
berada di ambang era yang baru, yaitu sesudah mengalami krisis multi dimensi
pada akhir tahun 1990-an, Indonesia dari sisi ekonomi sudah berhasil kembali
bangkit dari posisi salah satu negara berkembang berpenghasilan rendah menjadi
salah satu negara berkembang berpenghasilan menengah. Sementara dari sisi lain mengalami
transformasi besar di bidang sosial politik, berkembang dengan demokrasi yang
penuh semangat dengan adanya desentralisasi pemerintahan, serta keterbukaan
yang lebih luas dibandingkan dengan masa lalu.
b.
Pengentasan
kemiskinan tetap merupakan salah satu masalah yang paling mendesak di Indonesia.
c.
Indonesia memiliki
peluang emas untuk mengentaskan kemiskinan dengan cepat.
d.
Tantangannya adalah
bagaimana membuat Indonesia bau itu bermanfaat bagi penduduk miskin (work for
the poor).
e.
Indonesia sebenarnya
bisa belajar dari pertumbuhan ekonomi, kebijakan dan program kemasyarakatan
sendiri.
Hasil penelitiannya dapat diungkapkan sebagai berikut :
Pertama ; Ada tiga ciri yang menonjol kemiskinan di
Indonesia; 1) Banyak penduduk Indonesia rentan kemiskinan, 2) ukuran kemiskinan
didasarkan pada pendapatan, sehingga tidak menggambarkan batas kemiskinan yang
sebenarnya, 3) mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia,
perbedaan antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan Indonesia.
Kedua, Ada tiga cara Indonesia untuk mengentaskan kemiskinan; 1) membuat
pertumbuhan ekonomi bermanfaat bagi rakyat miskin, 2) membuat layanan sosial
bermanfaat bagi rakyat miskin, 3) membuat pengeluaran (anggaran) pemerintah
bermanfaat bagi rakyat miskin.
[1]
Dalam hadis Nabi SAW. riwayat Anas dinyatakan : " كاد الفقر أن يكون
كفرا ",Lihat Abu al-U’la Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim
al-Mubarakfuriy, Tuhafah al-Ahwadziy (Syarakh Jami’ al-Turmudzi, Juz
kesepuluh (Bairut Lebanon: Dar al-Fikri, 1424 H/2003 M), 50..
[2]
Data tentang kemiskinan di Indonesia dapat
disampaikan sebagai berikut : Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada
dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta
(17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang
berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat
sebesar 3,95 juta.
Persentase penduduk miskin antara daerah
perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2006, sebagian besar
(63,41 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan.
Terjadi pergeseran posisi penduduk miskin dan hampir miskin selama periode
Februari 2005-Maret 2006. Sekitar 56,51 persen penduduk miskin pada bulan
Februari 2005 tetap tergolong sebagai penduduk miskin pada Maret 2006, sisanya
berpindah posisi menjadi tidak miskin. Sebaliknya, 30,29 persen penduduk hampir
miskin di bulan Februari 2005 jatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006. Pada
saat yang sama, 11,82 persen penduduk hampir tidak miskin di bulan Februari
2005 juga jatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006. Bahkan 2,29 persen
penduduk tidak miskin juga terjatuh menjadi miskin di bulan Maret 2006.
Perpindahan posisi penduduk ini menunjukkan jumlah kemiskinan sementara (transient
poverty) cukup besar. Berita Resmi Statistik No. 47 / IX / 1 September 2006,
Tingkat Kemiskinan Di Indonesia Tahun 2005-2006, 1.
Adapun program pengentasan
kemiskinan, baik program Pemerintah maupun non Pemerintah dapat disampaikan
sebagai berikut : 1) Untuk program Pemerintah antara lain Program Inpres Desa
Tertinggal (IDT), Jaringan Pengaman Sosial (JPS), Program Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan
(P2KP), Program Kompensasi Kenaikan BBM berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT),
Bantuan Tidak Langsung (BTL) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program
Beras Miskin (Raskin), Kredit Usaha Tani
(KUT), Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Program Pengembangn Kecamatan (PPK),
Proyek Padat Karya, Program Kesehatan keluarga Miskin (Gakin) dan lain-lain. 2)
Untuk program non Pemerintah, antara lain ; Program Cepat Tanggap, Siaga Gizi
Nusantara, Layanan Kesehatan Masyarakat (Dompet Dlu’afa’), Program Tali Kasih,
Bedah Rumah, Uang Kaget, Lunas (Media Televisi), dan lain-lain.
[3] Dua kata : “fakir dan miskin” menurut kamus bahasa Indonesia sebenarnya
mempunyai arti yang berbeda, fakir mempunyai dua pengetian; yaitu 1) orang yang
sangat kekurangan; orang yang terlalu miskin. 2) orang yang sengaja membuat
dirinya menderita kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin. Sedangkan
miskin juga mempunyai pengertian; 1)
tidak berharta benda, serba kekurangan, berpenghasilan rendah. Lihat Lukman Ali
et.all., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Ketujuh
(Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 273 dan 660.
[4] Ayat-ayat tentang fakir terdapat pada Qs.
Faathir; 35: 15, al-Qashash; 28 : 24 , al-Baqarah ; 2 : 271, al-Baqarah ; 2 :
273, al-Baqarah ; 2 : 268, Ali ‘Imran; 3 : ,al-Nisa’; 4 : 6 , al-Nisa’; 4 :
135, al-Taubah; 9 :, al-Hajj; 22 :, al-Nur; 24 : 12. Muhammad; 47 : , al-Hasyr;
59 : . Sedangkan ayat-ayat miskin terdapat pada Qs. al-Baqarah ; 2 : 184, al-Kahfi; 18 :, al-Rum;
30 :, al-Haqqah; 69 :, al-Mudatstsir; 74 :, al-Fajr; 89 :, al-Balad; 90 :, al-Ma’un;
107 :, al-Baqarah; 2 :, Ali ’Imran; 3 :, al-Nisa’; 4 : 8, al-Nisa’; 4 : 36, al-Ma’idah;
5 : 89, al-Ma’idah; 5 : 95, al-Anfal; 8 :, al-Taubah; 9 :, al-Isra’; 17 :,
al-Nur; 24 :, al-Mujadalah; 58 :, al-Hasyr; 59 :, al-Qalam; 68 :, al-Insan; 76
:
[5] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Cetakan keenam
(Jakarta: Litera AntarNusa, 2002), 511.
[6] Orientalis Josef Schacht dalam Ensiklopedi Islam mengatakan
: “Perbedaan antara kata “fakir dan miskin” ialah perbedaan yang dipaksa-paksa
dalam segala seginya. Para ulama fikih biasanya suku menafsirkan suatu definisi
dan sering memasukkan diri mereka sendiri ke dalam salah satu kelompok
itu.” Selanjutnya Yusuf Qardawi
mengatakan sebagai umpan balik pernyataan Josef Schacht; kalau orang mempunyai
sedikit saja etika kesarjanaan tidak akan mengeluarkan pernyataan kosong
semacam itu. Orang-orang semacam Sarkhasi dari kalangan Hanafi, Ibnu al-Arabi
dari Maliki, Nawawi dari kalangan Syafi’i, Ibnu Qudamah dari Hambali atau Ibnu
Hazm dari kalangan Zahiri dan ulama-ulama fikih yang lain dari kalangan mazhab
–akan punya ambisi demikian supaya mereka memperoleh zakat atas nama kaum fakir
atau orang miskin, dengan jalan mengubah pengertian-pengertian dan definisi itu
dan supaya dengan demikian mereka memperoleh keuntungan materi. Ulama-ulama
fikih itu sendiri dari kalangan berada yang malah mau berkorban, atau golongan
miskin yang memang sudah tidak menginginkan harta (zakat). Jelas sekali ini
dapat diketahui oleh mereka yang sudah mengenal riwayat hidup para ulama itu.
Mengenai anggapannya tentang perbedaan yang dipaksa-paksakan, nampaknya dia
tidak menyadari adanya perbedaan-perbedaan yang begitu mendetail antara
istilah-istilah yang tergabung dalam satu ungkapan itu, Masalahnya adalah
masalah linguistik, sebelum ia menjadi masalah hukum (fikih). Oleh karena itu,
baik ahli bahasa dan ahli tafsir maupun ahli fikih sudah sama-sama mengadakan
studi yang cukup mendalam mengenai masalah ini. Mereka sudah sepakat bahwa
perbedaan pendapat dalam hal ini tak ada gunanya dalam arti zakat. Lihat Yusuf
Qardawi, Ibid. 512.
[7]Al-Raghib al-Ashfahaniy, Mu’jam Mufradat Alfazh
al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fkr, tanpa tahun), 397-398.
[8] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid I, Cetakan
keempat (Bairut Lebanon: Dar al-Fikr, 1983 M/1403 H), 324-325.
[9] Hadis tersebut merupakan tugas dari Rasulullah SAW yang
diberikan kepada sahabat Mu’az bin Jabbal ketika menjadi gubernur di Yaman. Adapun
naskah hadisnya berbunyi sebagai berikut : "أعلمهم أن
عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم وترد على فقرئهم"
[10]
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Cetakan keempat
(Bairut Lebanon: Dar al-Fikr, 1997 M/1418 H), 1953. dan Abd. Rahman bin
Muhammad ‘Awadl al-Jaziriy, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-‘Arba’ah (Mesir:
Dar Ibn al-Haitsam, tanpa tahun), 349.
[13] Wahbah al-Zuhayli, Ibid. dan Abd. Rahman bin
Muhammad ‘Awadl al-Jaziriy, Ibid.
[14]
Sayid Sabiq, Loc. Cit.
[15]
Hadis diriwayatkan oleh beberapa Imam Hadis sebagaimana terdapat pada beberapa
koleksi hadisnya, antara lain Shahih al-Bukhari; 1382, Shahih Muslim; 1722, 1723, Sunan Abu Dawud; 1390, Sunan al-Nasa’i; 2524,
2525, 2526, Musnad Ahmad; 7225, 7840, 8748, 8777, 9370, 9422, 9510, 9687,
10165, Al-Muwaththo’; 1217, Sunan al-Darimi; 1564. Lihat Masu’ah al-Hadis
al-Syarif, Cetakan kedua, 2000 (Jami’ al-Huquq Mahfudlah li Syirkah
al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah (Global IslamicSoftware Company),
1991-1997).
[16]Ali
Yafie, “Islam Dan Problema Kemiskinan ,“
Majalah Pesantren,
No.2/VolIII/1986, 3.
[17]
Dr. Saad IH (1997), Op.Cit., 75.
[19] Parsudi Suparlan, Op. Cit., 5
[20] M. Dawam Rahardjo, Esei-esei Ekonomi
Politik (Jakarta: LP3ES, 1985), 8.
[21]Hadis diriwayatkan oleh beberapa Imam
Hadis sebagaimana terdapat pada beberapa koleksi hadisnya, antara lain Shahih
al-Bukhari; 1377, Shahih Muslim; 1727, 1728, Sunan al-Turmudzi; 616, Sunan
al-Nasa’i; 2524, Musnad Ahmad; 7016, 7177, 7646, 8771, 9053, 9490, 9766, 10033,
1588. Lihat Masu’ah
al-Hadis al-Syarif, Cetakan kedua, 2000 (Jami’ al-Huquq Mahfudlah li
Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah (Global IslamicSoftware Company),
1991-1997).
[22]Taqiyuddin
an-Nabhani, Nidzamul Iqtishadi fil Islam,. (Beirut Lebanon: Daarul Ummah, 1990) Cetakan keempat , 210.
[23]Ada beberapa Hadis yang dapat dipakai sebagai dasar,
antara lain; hadis tentang “Sedekah yang baik adalah harta yang berasal dari
selebihnya keperluan” : Shahih al-Bukhari; 1338, Shahih
Muslim; 1716,
1717, Sunan
al-Turmudzi; 2389, Sunan
al-Nasa’i; 2484,
2487, 2496, 2497, 2554, 2555, 2556, Musnad Ahmad; 2858, 7044, 7120, 7414, 8348, 8388, 8759, 8855, 9240,
9784, 9833, 10107. Lihat Masu’ah
al-Hadis al-Syarif, Cetakan kedua, 2000 (Jami’ al-Huquq Mahfudlah li Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah
(Global IslamicSoftware Company), 1991-1997).
[25] Ada beberapa Hadis yang dapat dipakai sebagai dasar,
antara lain; Shahih al-Bukhari; 2133, 2223, 2224, 4408, 4952, 6234, 6248, 6266 Shahih
Muslim; 3040,
4041, 4042, 4043 Sunan al-Turmudzi; 990, 2016, Sunan al-Nasa’i; 1937, Sunan Abu Dawud; 2566, Sunan
Ibn Majah; 2406, Musnad Ahmad; 7523, 7558, 7888, 8066, 8319, 8593, 8819, 9438, 9471, 9497, 9604, 10396,
Sunan al-Darimi; 2481. Lihat Masu’ah
al-Hadis al-Syarif, Cetakan kedua, 2000 (Jami’ al-Huquq Mahfudlah li Syirkah al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah
(Global IslamicSoftware Company), 1991-1997).
[26]Rasulullah bersabda: “Manusia berserikat dalam tiga
perkara, yaitu air, padang rumput, dan api”.
[27] Hadis Rasulullah: لا حمى إلا الله ولرسوله (Tidak ada pagar
pembatas kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya) Artinya tidak ada hak bagi seorang
pun untuk membuat batas atau pagar atas segala sesuatu yang diperuntukkan bagi
masyarakat. Hadis tersebut dapat dilihat di Shahih al-Bukhari; 991, Shahih
Muslim; 3281, 3282, 3283 Sunan al-Turmudzi; 1495, Sunan Abu Dawud; 2298, 2679, 2680, Sunan Ibn
Majah; 2829, Musnad Ahmad; 15827, 16061, 16085. Lihat Masu’ah al-Hadis al-Syarif,
Cetakan kedua, 2000 (Jami’ al-Huquq Mahfudlah li Syirkah al-Baramij
al-Islamiyah al-Dauliyah (Global IslamicSoftware Company), 1991-1997).
[28]Hadis
tersebut dapat dilihat di Shahih
al-Bukhari; 844, Shahih Muslim; 3408 Sunan al-Turmudzi; 1627, Sunan
Abu Dawud; 2539, Sunan Ibn Majah; 2829, Musnad Ahmad; 4266, 4920,
5603, 5635, 5753. Lihat Masu’ah
al-Hadis al-Syarif, Cetakan kedua, 2000 (Jami’ al-Huquq Mahfudlah li Syirkah
al-Baramij al-Islamiyah al-Dauliyah (Global IslamicSoftware Company),
1991-1997).
[29]
Abdurrahman al-Bagdadi, Ulama dan
Penguasa di Masa Kejayaan dan Kemunduran, (Jakarta: Gema Insani Press, 1988),
38.
[34]
Nasikun. Diktat Mata Kuliah. Isu dan
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Magister Administrasi Publik.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001.
[35]
Ibid
[36]
Ibid
[38]
Jarnasy, Owin. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan, (Jakarta: Belantika,
2004),
[41]
Ibid
[42]
Ibid
[43]
Ellies, S. The Dimension of Poverty. Kumarian Press. 1994.
[45]
Ibid.
[47]
Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pelaksanaan
Program Jaring Perlindungan Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK). 1999.
[49]
Ibid
[51]
Karjadi, D. Makalah
pada Lokakarya Ekonomi Kesehatan, Perumusan dan Aplikasi Ilmu Ekonomi
Kesehatan di Indonesia. Cimacan 9– 11 Oktober 1989.
[52]
Soendoro, T. Jaring
Pengaman Sosial Bidang Kesehatan: Tindakan Strategis untuk Mengurangi Dampak
Krisis di Sektor Kesehatan. Medika. Edisi Khusus September 1999.
[53] Karjadi, D. Makalah pada Lokakarya Ekonomi Kesehatan, Perumusan
dan Aplikasi Ilmu Ekonomi Kesehatan di Indonesia. Cimacan 9– 11 Oktober
1989.
[54]Hadju, V., Razak Thaha,A., Djunaidi, M., Dahlan, dan
Ramli. Status Gizi Anak
Balita pada Keluarga Miskin di Provinsi Sulawesi Selatan, Majalah Medika. Edisi Khusus September 1999.
[55]
Ibid
[56]
Ibid
[57]
Ibid
[58]
Hellen Keller International (HKI), Reemerging
of the Threat of Vitamin A Deficiency. Crisis Bulletin. 1998;1(2/October). dan Hellen Keller International (HKI). Alarming
Rise of Iron Deficiency Anemia may Herald “Lost Generation”. Crisis Bulletin. 1998;1 (3/October).
[59]
Kaplan, G.A., Pamuk, E.R., Lynch, J.W., Coden, R.D., Balfour, J.L., Inequity
in Income and Mortality in the United States: Analysis of Mortality and
Potential Pathways. British Medical Journal. 1996;312(7041):1253.
[60]Bartley. M, Unemployment and Ill Health: Understanding the
Relationship. Journal of Epidemiology and Community Health.1994; 48 (4):333–37.
[61]
Weinreb, L., Goldberg, R., Bassuk, E., Perloff,L, Determinants of Health and
Services Use Patterns in Homeless and Low Income Housed Children. Journal
of Pediatrics.1998;102(3): 554–62.
[62]
Gelberg, L., Stein, J.A., Neumann, C.G. Determinants of Undernutrition Among
Homeless Adults. Public Health Report. 1995;110(4):448–54.
[64]
Smelser, Neil. Toward Theory of Modernization
dalam Amitai Etzioni dan Eva Etzioni (Ed), Social Change. Basic Books. New York.1964:268–84.
[65]
Ibid
[66] Mc. Clelland, The Achieving Society. Van Nostrandt Reinhald
Co. New York. 1961.
[67]
Lewis, Oscar. Kebudayaan Kemiskinan
dalam Parsudi Suparlan. Kemiskinan di Perkotaan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
1996:7-11.
[69]
Nasikun. Diktat Mata
Kuliah. Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Magister Administrasi
Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001. dan Jarnasy, Owin. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan
Kemiskinan. Belantika. Jakarta.
2004.
[70]
Supriatna, Tjahya. Birokrasi
Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Humaniora
Utama Press. Bandung.1997.
[71]
United Nations Declaration. Millenium
Development Goals: a Compact among Nations to End Human Poverty in 2015. 2000.
[72]
United Nations Declaration. Millenium
Development Goals: a Compact among Nations to End Human Poverty in 2015. 2000.
[74]
Tempo. Jeffrey Sachs: Perangi Kemiskinan untuk Perdamaian Dunia. 4
Agustus 2005.
[75] Gregorius Sahdan, Menanggulangi
Kemiskinan Desa, www.ekonomirakyat.org,
Jurnal Ekonomi Rakyat.
[76] Nasikun. Diktat Mata Kuliah. Isu dan
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Magister Administrasi Publik.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001.
[77] ibid
[78]Gregorius Sahdan, Menanggulangi
Kemiskinan Desa, www.ekonomirakyat.org,
Jurnal Ekonomi Rakyat.
[79] Marzuki Wahid, et.all (Ed), Sinopsis
dan Indeksasi Hasil Penelitian Kompetitif Dosen PTAI Tahun 1999-2003, (Jakarta:
Ditpertais. Ditjen Bagais. Depag. RI, 2004), 117-122
[80]
www.wordbank.or.id
0 komentar:
Posting Komentar