Senin, 11 Maret 2013

STUDI REFERENSI HADIS STANDART (MUSNAD AHMAD IBNU HANBAL/164-241 H); Bagian kedua

Biografi Imam Ahmad Ibnu Hanbal

Ahmad putera Muhammad Ibnu Hanbal al-Syaibani al-Baghdadi, beliau lahir pada tahun 164 H. di Baghdad dan meninggal di kota yang sama pada tahun 240/241 H. Imam Ahmad Ibnu Hanbal sempat dipenjarakan selama 28 bulan gara-gara sikapnya gigih menolak faham kemahluqan al-Qur’an. Keteguhan Imam Ahmad dalam memegangi prinsip keimanan tersebut disetarakan dengan khalifah Abu Bakar al-Shiddiq saat dihadapkan pada para pengingkar kefardhuan zakat di awal kekhalifahannya. Ahmad Ibnu Hanbal di lepas dari penjara sehubungan sikap al-Mutawakkil tidak lagi berfaham mu’tazilah seperti khalifah pendahulunya.

Sebagian besar kekayaan ilmu Imam Ahmad Ibnu Hanbal diperoleh melalui ulama di kota kelahirannya Baghdad dan sempat mengantarkan dirinya sebagai anggota tetap group diskusi atau halaqah Qadhi Abu Yusuf sejawat Imam Abu Hanifah. Ketika Imam Syafi’i tinggal di Baghdad Ahmad Ibnu Hanbal terus menerus mengikuti kegiatan program halaqahnya sehingga tingkat kedalaman ilmu fiqh dan hadits telah menjadikan pribadi Ahmad sebagai seorang istimewa dalam majelis belajar Imam al-Syafi’i. Kehebatan Ahmad Ibnul Hanbal dalam ilmiah fiqh beroleh pengakuan dari Imam Syafi’i dan Yahya Ibnu Ma’in, terbukti pula popularitasnya madzhabnya mampu menembus wialayah Syam/Syiria, Iraq Nejed dan daerah sekitarnya.
Guna memperluas wawasan hadits Imam Ahmad Ibnu Hanbal melakukan perjalanan ke beberapa negara dan hal itu ditempuh setelah cukup lama menimba hadis dari Imam Syafi’i selama tinggal di Baghdad. Studi hadits di manca negara meliputi Yaman, Koufah, Bashrah, Jazirah, Mekkah, Madinah dan Syam. Ketika berada di Yaman sempat berguru kepada Basyar al-Mafadhal al-Raqasyi, Sufyan Ibnu Uainah, Yahya Ibnu Sa’id al-Qaththan, Sulaiman bin Dawud al-Thayalisi, Ismail Ibnu ‘Ulayyah dan lain-lain. Perlawatan antar negara pusat ilmu keislaman menghasilkan sekitar satu juta perbendaharaan hadits yang dikuasai oleh Imam Ahmad Ibnul Hanbal. Berkenaan dengan prestasi tersebut Abu Zar’ah optimis menempatkan Imam Ahmad Ibnu Hanbal dalam deretan amirul-mu’minin fil-hadits.
Keahlian Imam Ahmad Ibnu Hanbal dalam mengajarkan hadits/sunnah berhasil memandu beberapa murid asuhan beliau menjadi ulama hadits, misalnya Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, Waqi’ Ibnul-Jarrah, Ali al-Madini dan lain sebagainya.
Disiplin ilmu yang menjadi bidang keahlian Imam Ahmad Ibnu Hanbal bila melihat pada karangan tersiar mencakup hadis dan ilmu hadits, fiqh dan ushul-fiqh serta tafsir. Kitab al-Ilal memperlihatkan betapa beliau cukup serius dalam mengamati illat/cecad hadis, disamping kitab ber­judul “fadhail al-shahabat” menjadi bukti bahwa Imam Ahmad bersemangat mengenali lebih dekat perilaku tokoh-tokoh sahabat Nabi berikut prestasi perseorangannya. Sebuah karya tulis berjudul “kitab al-asyribah” dan “al-nasikh wal mansukh” menempatkan Imam Ahmad sebagai analisis fiqh di kelasnya disamping pola pemikiran fiqhnya yang sedikit banyak dipengaruhi oleh metoda istidlalnya Imam Syafi’i bekas guru besarnya. Selain sebuah karya tulis tentang tafsir diketahui pula tulisan beliau berjudul “kitab al-zuhdi” setara dengan watak penampilan diri dan perikehidupannya yang serba zuhud.

Kitab Al-Musnad
Koleksi hadits dalam al-Musnad semula diangkat dari hasil seleksi terhadap ± 750.000 hadits yang oleh Imam Ahmad Ibnu Hanbal ditekankan norma seleksinya pada segi nilai kelayakan hadits yang bersangkutan untuk dijadikan hujjah. Hasil seleksi tersebut dibukukan dengan tulisan tangan menjadi 24 jilid dan ketika diterbitkan dalam edisi cetakan mesin jadi 6 jilid format sedang. Betapa hanya dalam 6 (enam) buku berformat sedang, namun melihat muatan hadits yang tertampung di dalamnya sekitar 40.000 hadits pantas dipandang sebagai kitab koleksi hadits terbesar. Jumlah hadits sebesar itu bila dihitung ulang mengecil menjadi 30.000 karena sisanya berupa ulangan hadits serupa yang mungkin tersebab jalur sanad berbeda walaupun nama sahabat sumber utamanya sama, atau sedikit terdapat tata redaksi matan yang berbeda.
Daya tampung al-Musnad terhadap hadits sebanyak itu disamping Imam Ahmad Ibnu Hanbal adalah guru besar ulama muhadditsin generasi berikutnya serba mungkin bila hadits/sunnah yang memadati sunan al-sittah/kutub al-sittah termuat juga dalam al-Musnad. Oleh karenanya al-Hafidz Ibnu Katsir menilai kitab al-Musnad Imam Ahmad Ibnu Hanbal dari segi kuantitas hadits dan ketinggian susunan tata kalimat matannya tidak tertandingi oleh kitab bentuk musnad manapun.
Penyajian hadits dalam al-Musnad dikelompokkan berdasar nama sahabat Nabi yang bertindak sebagai perawi utamanya dan disusun berdasar sistematika sebagai berikut:
1. Hadits-hadits yang transmisi periwayatannya melalui 10 sahabat Nabi yang telah diberitakan prospek pribadinya Rasulullah SAW sebagai penghuni surga, yaitu Abu Bakar al-Shiddiq, Umar Ibnul-Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair Ibnul ‘Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Jubair, Abd. Rahman bin ‘Auf dan Abu ‘Ubaidah Ibnul-Juhrah ;
2. Hadits-hadits yang bersumber periwayatannya melalui para sahabat Nabi peserta perang Badar. Prioritas penempatan hadits dari mereka berkait erat dengan informasi dari Rasulullah SAW bahwa telah ada jaminan pengampunan massal dari Allah SWT atas segala dosa para sahabat yang ambil bagian dalam perang Badar, berikut jaminan tidak bakal masuk neraka untuk mereka (eks hadits marfu’ melalui Jabir bin Abdillah dalam Shahih Muslim dan melalui Abu Hurairah dalam Musnad Ahmad/Sunan Abu Dawud/Ibnu Abi Syaibah). Hadits-hadits yang dimaksud melibatkan 313 sahabat dengan perincian 80 orang eks sahabat muhajirin dan sisanya sahabat sahabat dari kalangan anshar;
3. Hadits-hadits yang perawi utamanya adalah para sahabat yang mengikuti peristiwa bai’atur-ridhwan dan shulhul-hudaibiyah ;
4. Hadits-hadits yang sumber periwayatannya melalui para sahabat Nabi yang proses keislaman pribadinya bertepatan dengan peristiwa fathu Makkah ;
5. Hadits-hadits yang periwayatannya bersumber melalui para Ummahatul-mu’minin (janda-janda mendiang Nabi Muhammad SAW) dan diakhiri dengan ;
6. Hadits-hadits yang periwayatannya melalui para wanita sahabiah.
Berdasarkan sistematika al-Musnad semacam itu maka pengelompokan hadits tidak terikat unsur materi pokok yang dikandung matan hadits yang bersangkutan dan bagi pencari hadits koleksi Imam Ahmad Ibnu Hanbal harus tahu persis nama sahabat Nabi yang meriwayatkannya.
Al-Musnad Imam Ahmad Ibnu Hanbal pernah dipublikasi­kan dengan modifikasi baru yakni dengan sistematika huruf hijaiyah oleh inisiatif al-Hafidz Abu Bakar al-Maqaddisi (seorang pemuka ulama madzhab Hanbali). Format terakhir justru memodifikasi yang mengelompokkan masing-masing hadits berdasar atas kesatuan materi ajaran dan disusun mengikuti sistematika bab-bab seperti pada kitab fiqh. Modifika­si terakhir di kerjakan oleh Ahmad Ibnu Abd. Rahman al-Banna (lebih dikenal dengan panggilan al-Sya’ati) dan sekaligus mensyarahi dengan titel kitab “Bulughul-amani”. Beliau tergolong ulama abad 14 hijriah dan meninggal pada tahun 1351 H.

Derajat Al-Musnad Dalam Deretan Kutubul-Hadits
Tekad Imam Ahmad Ibnu Hanbal adalah mengupayakan koleksi hadits yang berpotensi sebagai hujjah. Berbekal tekad itu pula telah dilakukan penelitian seksama agar setiap hadits yang dimuat dalam al-Musnad bermutu shahih. Atas dasar penegasan Imam Ahmad itulah Abu Musa al-Madini optimis memandang setiap hadits dalam al-Musnad berkelaya­kan dijadikan hujjah. Penilaian serupa pernah dinyatakan oleh Jalaluddin al-Sayuthi. Sedikit moderat adalah sikap al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani yang hasil penelitiannya berakhir dengan kesimpulan bahwa dari sejumlah 40.000 hadits al-Musnad hanya 3 atau 4 (empat hadits yang belum diketahui secara pasti sumber pengoperan riwayatnya. Dengan ungkapan lain bahwa dalam al-Musnad terdapat sejum­lah hadits bermutu shahih dan hadits dha’if dalam strata mendekati hasan lighairihi.
Berbeda dengan sikap penilaian ulama di atas al-Baqa’i menunjuk sejumlah hadits (tanpa menyebut dengan pasti berapa banyaknya) dalam al-Musnad yang dianggap maudhu’. Demikian pula al-Hafidz al-’Iraqi menuduh 9 (sembilan) hadits maudhu’ sedangkan Ibnul-Jauzi mengklaim 29 hadits maudhu’ dalam kitab al-Musnad Ahmad Ibnu Hanbal.
Bila ditelusuri ulang koleksi hadits dalam al-Musnad yang bermateri fadha’il al-a’mal terasa adanya pola pe­longgaran (tasahul) dalam sistem seleksi pemuatannya, padahal Imam Ahmad bin Hanbal dikenal dikenal moderat dalam tradisi menilai jarah atau ta’dil pada personalia para pendukung riwayat hadits. Fenomena yang mengisyaratkan kontras ini seyogyanya menjadikan proses histories menuju kodifikasi al-Musnad sebagai bahan pertimbangan. Secara jujur perasaan salut perlu diberikan kepada al-Hafidz al-Iraqi dan Ibnul-Jauzi, sebab kedua ulama hadits tersebut mengetrapkan normauji mutu terhadap validitas (keshahihan) hadits bukan semata-mata dipusatkan pada aspek tran­misi riwayat (sanad) tetapi mengikut-sertakan pula sektor kandungan matan hadits yang bersangkutan. Dengan mengen­yampingkan fanatik/sentimen keagamaan tepat kiranya bila penilaian Imam Syarafuddin al-Nawawi dijadikan pegangan. Beliau memandang hadits-hadits koleksi al-Musnad setara dengan hadits koleksi Abu Dawud al-Thayalisi dalam derajat kehujjahan haditsnya. Akreditas semacam itu berakibat menempatkan koleksi hadits-hadits koleksi al-ushul al-khamsah, yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Jami’ al Turmudzi dan Sunan al-Nasa’i.

Proses Pembukuan al-Musnad
Dalam sebuah artikel majalah terbit di Pakistan Syeikh Abdul Quddus al-Hasyimi al-Nadawi menganggap tidak benar bila kumpulan besar hadits yang kemudian dikenal dengan al-Musnad dinisbahkan kepada Imam Ahmad Ibnu Han­bal. Sepanjang yang diketahui Imam Ahmad Ibnu Hanbal hanya pernah menulis bahan hadits yang akan diajarkan dalam al-Mudzakarat, bukan berbentuk kodifikasi al-Musnad. Upaya koleksi sejumlah besar hadits sepenuhnya dikerjakan oleh putera beliau Abdullah sepeninggal ayahandanya dan koleksi hadits tersebut berpindah tangan pada seorang yang belakangan di ketahui beritikad jelek bernama al-Qathi’i. Setelah ditambahkan dalam jumlah relatif banyak hadits-hadits maudhu’ (palsu) dan format ketebalan koleksi itu membengkak dua kali lebih besar dari format aslinya al-Qathi’i mempublikasikan koleksi tersebut dengan titel al-Musnad dalam 6 (enam) jilid.
Sinyalemen yang termuat pada artikel tersebut di atas berbeda sekali dengan realita yang pernah dituturkan kembali oleh al-Hafidz Syamsuddin Ibnul-Jazari. Imam Ahmad Ibnu Hanbal sendiri memprakarsai pembukuan al-Musnad yang diawali dengan teks tulisan tangan pada lem­baran-lembaran dan peneglompokan tertentu sebesar format mendekati akuran al-Musnad itu. Merasa bahwa dirinya semakin lanjut usia beliau mengajarkan teks al-Musnad selengkapnya kepada keluarganya dan ajalpun datang sebe­lum beliau sempat merapikan susunannya. Abdullah putera Imam Ahmad Ibnu Hanbal mengambil oper prakarsa tersebut dan sepanjang hadits-hadits yang diperdengarkan kepada Abdullah tertulis dalam al-Musnad dengan pengantar riwayat “haddatsana ‘Abdullah, haddatsani abi” dan seterusnya. Itulah sebabnya al-Musnad edisi manapun tidak diawali dengan muqaddimah kitab sebagai layaknya kitab ilmu keis­laman pada umumnya. Abdullah Ibnu Ahmad bertindak sebagai penyalin naskah semata-mata tanpa revisi atau pembetulan redaksi.
Bila diperhatikan pengantar riwayat (shighat al-tahdis) diketahui bahwa Abdullah Ibnu Ahmad telah mengam­bil inisiatif menambahkan hadits-hadits yang berasal dari tulisan tangan Imam Ahmad yang pribadi Abdullah belum pernah diajarinya. Selain itu Abdullan tambahkan pula hadits-hadits hasil berguru kepada ulama hadits seangkatan Imam Ahmad dan telah dikonsultasikan kepadanya. Dalam tata penyajian hadits tersebut dipakai pengantar “haddatsana Abdullah, haddatsana …..” sebagai pertanda bahwa hadits tersebut bukan dikutip dari pelajaran yang diberikan oleh ayahandanya. Unsur-unsur tambahan tersebut relatif kecil (kurang dari seperempat volume al-Musnad) dan proses pemuatannya secara tidak langsung tidak terlepas dari ikatan dengan Imam Ahmad Ibnu Hanbal. Nisbah kitan al-Musnad kepada Imam Ahmad Ibnu Hanbal bukan mengada-ada, terbukti setiap penulis biografi Imam Ahmad senantiasa mencantumkan kitab al-Musnad sebagai salah satu karya monumental hadits yang dikerjakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Adapun al-Hafidz Abu Bakar Ahmad Ibnu Ja’far al-Qathi’i lahir tahun 274 H. di Baghdad dan meninggal tahun 368 H. adalah seorang ulama hadits kenamaan yang kepadanya telah berguru Imam al-Hakim, al-Daruquthi, Ibnu Syahin, Qadhi Abu Bakar al-Baqillani, Abu Bakar al-Barqani dan ulama hadis lain-lain. Al-Hafidz al-Qathi’i belajar hadis-hadis al-Musnad langsung dari Abdullah putera Imam Ahmad Ibnu Hanbal dan kelak kemudian dari ulama-ulama hadis kenamaan menerima serta mengajarkan al-Musnad kepada generasi berikutnya. Bila disinyalir bahwa al-Qathi’i ada menambahkan hadits-hadits lain di luar yang beliau peroleh dari Abdullah putera Imam Ahmad Ibnu Hanbal, apabila bisa dibuktikan tentu jumlahnya amat sedikit dan inisiatif itu lebih berkesan sebagai upaya menyelamatkan amanah ilmu bagi generasi umat yang akan datang.
Dengan memperhatikan proses sejarah pembukuan kitab al-Musnad tersebut, maka pembaca seyogyanya jeli mengamati pengantar riwayat setiap hadits yang termuat di dalamnya, sekira tampak jelas Imam Ahmad Ibnu Hanbal sebagai pangkal riwayat maka potensi kehujjahannya bisa dipertanggung-jawabkan. Sejalan dengan klasifikasi hadits-hadits dalam al-Musnad yang di tulis oleh Ahmad al-Banna dalam muqaddimah al-Fathu al-Rabbaniy halaman 19 pembaca perlu waspada terhadap kelompok hadis zawa’id. tetapi bila mengingat evaluasi al-Taimiyah maka mutu keshahihan hadits-hadits kelompok zawa’id dalam al-Musnad tidak perlu diragukan, lebih-lebih yang berasal dari Abdullah Ibnu Ahmad. Dengan demikian tuduhan maudhu yang lebih sering dikaitkan dengan hadits zawa’id tersebut bukan berarti riwayat hadits yang bersangkutan bersanad seseorang yang dikenal sebagai pendusta, melainkan sekedar kekeliruan kecil yang terjadi oleh kekhilafan perawinya mungkin karena unsur kekurangan dalam sifat kedhabitan. 

Bahan Pustaka
1. Dr. Mushthafa al-Siba’i, al-Sunnah wa Makanatuha, Dar al-Qaumiyah Lit-thiba’ah wal-nasyr, Kairo, 1949, hal. 402.
2. Al-Hafidz al-Mabarkafuri, Muqaddimah Tuhfatul-Ahwadzi, Dar Al-Fikr, Beirut, 1979, hal. 184-185.
3. Muhamad al-Shabagh, al-Hadits al-Nabawi, al-Maktab al-Islami Riadh, 1976, hal. 407-410.
4. Dr. Shubhi Shalih, ‘Ulumul-Hadits wa Mushthalahuhu, Darul Ilmi Lil-Malayin, Beirut, 1977, hal. 123-124 dan 394-396.
5. Sa’di Abu Jaib, Haulai Musnad Imam Ahmad, Majalah Rabithah Alamil-Islami, tahun ke XVII, Sya’ban 1399/Juli 1979, hal. 43-45.

0 komentar:

Posting Komentar