Biografi Imam Ahmad Ibnu Hanbal
Ahmad
putera Muhammad Ibnu Hanbal al-Syaibani al-Baghdadi, beliau lahir pada tahun
164 H. di Baghdad dan meninggal di kota yang sama pada tahun 240/241 H. Imam
Ahmad Ibnu Hanbal sempat dipenjarakan selama 28 bulan gara-gara sikapnya gigih
menolak faham kemahluqan al-Qur’an. Keteguhan Imam Ahmad dalam memegangi prinsip
keimanan tersebut disetarakan dengan khalifah Abu Bakar al-Shiddiq saat
dihadapkan pada para pengingkar kefardhuan zakat di awal kekhalifahannya. Ahmad
Ibnu Hanbal di lepas dari penjara sehubungan sikap al-Mutawakkil tidak lagi
berfaham mu’tazilah seperti khalifah pendahulunya.
Sebagian
besar kekayaan ilmu Imam Ahmad Ibnu Hanbal diperoleh melalui ulama di kota
kelahirannya Baghdad dan sempat mengantarkan dirinya sebagai anggota tetap
group diskusi atau halaqah Qadhi Abu Yusuf sejawat Imam Abu Hanifah. Ketika
Imam Syafi’i tinggal di Baghdad Ahmad Ibnu Hanbal terus menerus mengikuti
kegiatan program halaqahnya sehingga tingkat kedalaman ilmu fiqh dan hadits
telah menjadikan pribadi Ahmad sebagai seorang istimewa dalam majelis belajar
Imam al-Syafi’i. Kehebatan Ahmad Ibnul Hanbal dalam ilmiah fiqh beroleh
pengakuan dari Imam Syafi’i dan Yahya Ibnu Ma’in, terbukti pula popularitasnya
madzhabnya mampu menembus wialayah Syam/Syiria, Iraq Nejed dan daerah
sekitarnya.
Guna
memperluas wawasan hadits Imam Ahmad Ibnu Hanbal melakukan perjalanan ke
beberapa negara dan hal itu ditempuh setelah cukup lama menimba hadis dari Imam
Syafi’i selama tinggal di Baghdad. Studi hadits di manca negara meliputi Yaman,
Koufah, Bashrah, Jazirah, Mekkah, Madinah dan Syam. Ketika berada di Yaman
sempat berguru kepada Basyar al-Mafadhal al-Raqasyi, Sufyan Ibnu Uainah, Yahya
Ibnu Sa’id al-Qaththan, Sulaiman bin Dawud al-Thayalisi, Ismail Ibnu ‘Ulayyah
dan lain-lain. Perlawatan antar negara pusat ilmu keislaman menghasilkan
sekitar satu juta perbendaharaan hadits yang dikuasai oleh Imam Ahmad Ibnul
Hanbal. Berkenaan dengan prestasi tersebut Abu Zar’ah optimis menempatkan Imam
Ahmad Ibnu Hanbal dalam deretan amirul-mu’minin fil-hadits.
Keahlian
Imam Ahmad Ibnu Hanbal dalam mengajarkan hadits/sunnah berhasil memandu
beberapa murid asuhan beliau menjadi ulama hadits, misalnya Imam al-Bukhari,
Imam Muslim, Abu Dawud, Waqi’ Ibnul-Jarrah, Ali al-Madini dan lain sebagainya.
Disiplin
ilmu yang menjadi bidang keahlian Imam Ahmad Ibnu Hanbal bila melihat pada
karangan tersiar mencakup hadis dan ilmu hadits, fiqh dan ushul-fiqh serta
tafsir. Kitab al-Ilal memperlihatkan betapa beliau cukup serius dalam mengamati
illat/cecad hadis, disamping kitab berjudul “fadhail al-shahabat” menjadi
bukti bahwa Imam Ahmad bersemangat mengenali lebih dekat perilaku tokoh-tokoh
sahabat Nabi berikut prestasi perseorangannya. Sebuah karya tulis berjudul
“kitab al-asyribah” dan “al-nasikh wal mansukh” menempatkan Imam Ahmad sebagai
analisis fiqh di kelasnya disamping pola pemikiran fiqhnya yang sedikit banyak
dipengaruhi oleh metoda istidlalnya Imam Syafi’i bekas guru besarnya. Selain
sebuah karya tulis tentang tafsir diketahui pula tulisan beliau berjudul “kitab
al-zuhdi” setara dengan watak penampilan diri dan perikehidupannya yang
serba zuhud.
Kitab Al-Musnad
Koleksi
hadits dalam al-Musnad semula diangkat dari hasil seleksi terhadap ± 750.000
hadits yang oleh Imam Ahmad Ibnu Hanbal ditekankan norma seleksinya pada segi
nilai kelayakan hadits yang bersangkutan untuk dijadikan hujjah. Hasil seleksi
tersebut dibukukan dengan tulisan tangan menjadi 24 jilid dan ketika
diterbitkan dalam edisi cetakan mesin jadi 6 jilid format sedang. Betapa hanya
dalam 6 (enam) buku berformat sedang, namun melihat muatan hadits yang
tertampung di dalamnya sekitar 40.000 hadits pantas dipandang sebagai kitab
koleksi hadits terbesar. Jumlah hadits sebesar itu bila dihitung ulang mengecil
menjadi 30.000 karena sisanya berupa ulangan hadits serupa yang mungkin
tersebab jalur sanad berbeda walaupun nama sahabat sumber utamanya sama, atau
sedikit terdapat tata redaksi matan yang berbeda.
Daya
tampung al-Musnad terhadap hadits sebanyak itu disamping Imam Ahmad Ibnu Hanbal
adalah guru besar ulama muhadditsin generasi berikutnya serba mungkin bila
hadits/sunnah yang memadati sunan al-sittah/kutub al-sittah termuat juga dalam
al-Musnad. Oleh karenanya al-Hafidz Ibnu Katsir menilai kitab al-Musnad Imam
Ahmad Ibnu Hanbal dari segi kuantitas hadits dan ketinggian susunan tata
kalimat matannya tidak tertandingi oleh kitab bentuk musnad manapun.
Penyajian
hadits dalam al-Musnad dikelompokkan berdasar nama sahabat Nabi yang bertindak
sebagai perawi utamanya dan disusun berdasar sistematika sebagai berikut:
1. Hadits-hadits yang transmisi periwayatannya melalui 10 sahabat
Nabi yang telah diberitakan prospek pribadinya Rasulullah SAW sebagai penghuni
surga, yaitu Abu Bakar al-Shiddiq, Umar Ibnul-Khaththab, Utsman bin Affan, Ali
bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair Ibnul ‘Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin
Jubair, Abd. Rahman bin ‘Auf dan Abu ‘Ubaidah Ibnul-Juhrah ;
2. Hadits-hadits yang bersumber periwayatannya melalui para
sahabat Nabi peserta perang Badar. Prioritas penempatan hadits dari mereka
berkait erat dengan informasi dari Rasulullah SAW bahwa telah ada jaminan
pengampunan massal dari Allah SWT atas segala dosa para sahabat yang ambil
bagian dalam perang Badar, berikut jaminan tidak bakal masuk neraka untuk
mereka (eks hadits marfu’ melalui Jabir bin Abdillah dalam Shahih Muslim dan
melalui Abu Hurairah dalam Musnad Ahmad/Sunan Abu Dawud/Ibnu Abi Syaibah).
Hadits-hadits yang dimaksud melibatkan 313 sahabat dengan perincian 80 orang
eks sahabat muhajirin dan sisanya sahabat sahabat dari kalangan anshar;
3. Hadits-hadits yang perawi utamanya adalah para sahabat yang
mengikuti peristiwa bai’atur-ridhwan dan shulhul-hudaibiyah ;
4. Hadits-hadits yang sumber periwayatannya melalui para
sahabat Nabi yang proses keislaman pribadinya bertepatan dengan peristiwa fathu
Makkah ;
5. Hadits-hadits yang periwayatannya bersumber melalui para Ummahatul-mu’minin
(janda-janda mendiang Nabi Muhammad SAW) dan diakhiri dengan ;
6. Hadits-hadits yang periwayatannya melalui para wanita
sahabiah.
Berdasarkan
sistematika al-Musnad semacam itu maka pengelompokan hadits tidak terikat unsur
materi pokok yang dikandung matan hadits yang bersangkutan dan bagi pencari
hadits koleksi Imam Ahmad Ibnu Hanbal harus tahu persis nama sahabat Nabi yang
meriwayatkannya.
Al-Musnad Imam Ahmad Ibnu Hanbal
pernah dipublikasikan dengan modifikasi baru yakni dengan sistematika huruf
hijaiyah oleh inisiatif al-Hafidz Abu Bakar al-Maqaddisi (seorang pemuka ulama
madzhab Hanbali). Format terakhir justru memodifikasi yang mengelompokkan
masing-masing hadits berdasar atas kesatuan materi ajaran dan disusun mengikuti
sistematika bab-bab seperti pada kitab fiqh. Modifikasi terakhir di kerjakan
oleh Ahmad Ibnu Abd. Rahman al-Banna (lebih dikenal dengan panggilan
al-Sya’ati) dan sekaligus mensyarahi dengan titel kitab “Bulughul-amani”.
Beliau tergolong ulama abad 14 hijriah dan meninggal pada tahun 1351 H.
Derajat Al-Musnad Dalam Deretan
Kutubul-Hadits
Tekad Imam Ahmad Ibnu Hanbal adalah mengupayakan koleksi
hadits yang berpotensi sebagai hujjah. Berbekal tekad itu pula telah dilakukan
penelitian seksama agar setiap hadits yang dimuat dalam al-Musnad bermutu
shahih. Atas dasar penegasan Imam Ahmad itulah Abu Musa al-Madini optimis
memandang setiap hadits dalam al-Musnad berkelayakan dijadikan hujjah.
Penilaian serupa pernah dinyatakan oleh Jalaluddin al-Sayuthi. Sedikit moderat
adalah sikap al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani yang hasil penelitiannya berakhir
dengan kesimpulan bahwa dari sejumlah 40.000 hadits al-Musnad hanya 3 atau 4
(empat hadits yang belum diketahui secara pasti sumber pengoperan riwayatnya.
Dengan ungkapan lain bahwa dalam al-Musnad terdapat sejumlah hadits bermutu
shahih dan hadits dha’if dalam strata mendekati hasan lighairihi.
Berbeda dengan sikap penilaian ulama di atas al-Baqa’i
menunjuk sejumlah hadits (tanpa menyebut dengan pasti berapa banyaknya) dalam
al-Musnad yang dianggap maudhu’. Demikian pula al-Hafidz al-’Iraqi menuduh 9
(sembilan) hadits maudhu’ sedangkan Ibnul-Jauzi mengklaim 29 hadits maudhu’
dalam kitab al-Musnad Ahmad Ibnu Hanbal.
Bila ditelusuri ulang koleksi hadits dalam al-Musnad yang
bermateri fadha’il al-a’mal terasa adanya pola pelonggaran (tasahul)
dalam sistem seleksi pemuatannya, padahal Imam Ahmad bin Hanbal dikenal dikenal
moderat dalam tradisi menilai jarah atau ta’dil pada personalia para pendukung
riwayat hadits. Fenomena yang mengisyaratkan kontras ini seyogyanya menjadikan
proses histories menuju kodifikasi al-Musnad sebagai bahan pertimbangan. Secara
jujur perasaan salut perlu diberikan kepada al-Hafidz al-Iraqi dan Ibnul-Jauzi,
sebab kedua ulama hadits tersebut mengetrapkan normauji mutu terhadap validitas
(keshahihan) hadits bukan semata-mata dipusatkan pada aspek tranmisi riwayat
(sanad) tetapi mengikut-sertakan pula sektor kandungan matan hadits yang
bersangkutan. Dengan mengenyampingkan fanatik/sentimen keagamaan tepat kiranya
bila penilaian Imam Syarafuddin al-Nawawi dijadikan pegangan. Beliau memandang
hadits-hadits koleksi al-Musnad setara dengan hadits koleksi Abu Dawud
al-Thayalisi dalam derajat kehujjahan haditsnya. Akreditas semacam itu
berakibat menempatkan koleksi hadits-hadits koleksi al-ushul al-khamsah, yaitu
Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Jami’ al Turmudzi
dan Sunan al-Nasa’i.
Proses Pembukuan al-Musnad
Dalam sebuah artikel majalah terbit di Pakistan Syeikh
Abdul Quddus al-Hasyimi al-Nadawi menganggap tidak benar bila kumpulan besar
hadits yang kemudian dikenal dengan al-Musnad dinisbahkan kepada Imam Ahmad
Ibnu Hanbal. Sepanjang yang diketahui Imam Ahmad Ibnu Hanbal hanya pernah
menulis bahan hadits yang akan diajarkan dalam al-Mudzakarat, bukan
berbentuk kodifikasi al-Musnad. Upaya koleksi sejumlah besar hadits sepenuhnya
dikerjakan oleh putera beliau Abdullah sepeninggal ayahandanya dan koleksi
hadits tersebut berpindah tangan pada seorang yang belakangan di ketahui
beritikad jelek bernama al-Qathi’i. Setelah ditambahkan dalam jumlah relatif
banyak hadits-hadits maudhu’ (palsu) dan format ketebalan koleksi itu
membengkak dua kali lebih besar dari format aslinya al-Qathi’i mempublikasikan
koleksi tersebut dengan titel al-Musnad dalam 6 (enam) jilid.
Sinyalemen yang termuat pada artikel tersebut di atas
berbeda sekali dengan realita yang pernah dituturkan kembali oleh al-Hafidz
Syamsuddin Ibnul-Jazari. Imam Ahmad Ibnu Hanbal sendiri memprakarsai pembukuan
al-Musnad yang diawali dengan teks tulisan tangan pada lembaran-lembaran dan
peneglompokan tertentu sebesar format mendekati akuran al-Musnad itu. Merasa
bahwa dirinya semakin lanjut usia beliau mengajarkan teks al-Musnad
selengkapnya kepada keluarganya dan ajalpun datang sebelum beliau sempat
merapikan susunannya. Abdullah putera Imam Ahmad Ibnu Hanbal mengambil oper
prakarsa tersebut dan sepanjang hadits-hadits yang diperdengarkan kepada
Abdullah tertulis dalam al-Musnad dengan pengantar riwayat “haddatsana
‘Abdullah, haddatsani abi” dan seterusnya. Itulah sebabnya al-Musnad
edisi manapun tidak diawali dengan muqaddimah kitab sebagai layaknya kitab ilmu
keislaman pada umumnya. Abdullah Ibnu Ahmad bertindak sebagai penyalin naskah
semata-mata tanpa revisi atau pembetulan redaksi.
Bila diperhatikan pengantar riwayat (shighat al-tahdis)
diketahui bahwa Abdullah Ibnu Ahmad telah mengambil inisiatif menambahkan
hadits-hadits yang berasal dari tulisan tangan Imam Ahmad yang pribadi Abdullah
belum pernah diajarinya. Selain itu Abdullan tambahkan pula hadits-hadits hasil
berguru kepada ulama hadits seangkatan Imam Ahmad dan telah dikonsultasikan
kepadanya. Dalam tata penyajian hadits tersebut dipakai pengantar “haddatsana
Abdullah, haddatsana …..” sebagai pertanda bahwa hadits tersebut bukan
dikutip dari pelajaran yang diberikan oleh ayahandanya. Unsur-unsur tambahan
tersebut relatif kecil (kurang dari seperempat volume al-Musnad) dan proses
pemuatannya secara tidak langsung tidak terlepas dari ikatan dengan Imam Ahmad
Ibnu Hanbal. Nisbah kitan al-Musnad kepada Imam Ahmad Ibnu Hanbal bukan
mengada-ada, terbukti setiap penulis biografi Imam Ahmad senantiasa
mencantumkan kitab al-Musnad sebagai salah satu karya monumental hadits yang
dikerjakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Adapun al-Hafidz Abu Bakar Ahmad Ibnu Ja’far al-Qathi’i
lahir tahun 274 H. di Baghdad dan meninggal tahun 368 H. adalah seorang ulama
hadits kenamaan yang kepadanya telah berguru Imam al-Hakim, al-Daruquthi, Ibnu
Syahin, Qadhi Abu Bakar al-Baqillani, Abu Bakar al-Barqani dan ulama hadis
lain-lain. Al-Hafidz al-Qathi’i belajar hadis-hadis al-Musnad langsung dari
Abdullah putera Imam Ahmad Ibnu Hanbal dan kelak kemudian dari ulama-ulama
hadis kenamaan menerima serta mengajarkan al-Musnad kepada generasi berikutnya.
Bila disinyalir bahwa al-Qathi’i ada menambahkan hadits-hadits lain di luar
yang beliau peroleh dari Abdullah putera Imam Ahmad Ibnu Hanbal, apabila bisa
dibuktikan tentu jumlahnya amat sedikit dan inisiatif itu lebih berkesan
sebagai upaya menyelamatkan amanah ilmu bagi generasi umat yang akan datang.
Dengan memperhatikan proses sejarah pembukuan kitab
al-Musnad tersebut, maka pembaca seyogyanya jeli mengamati pengantar riwayat
setiap hadits yang termuat di dalamnya, sekira tampak jelas Imam Ahmad Ibnu Hanbal
sebagai pangkal riwayat maka potensi kehujjahannya bisa dipertanggung-jawabkan.
Sejalan dengan klasifikasi hadits-hadits dalam al-Musnad yang di tulis oleh
Ahmad al-Banna dalam muqaddimah al-Fathu al-Rabbaniy halaman 19 pembaca perlu
waspada terhadap kelompok hadis zawa’id. tetapi bila mengingat evaluasi
al-Taimiyah maka mutu keshahihan hadits-hadits kelompok zawa’id dalam al-Musnad
tidak perlu diragukan, lebih-lebih yang berasal dari Abdullah Ibnu Ahmad.
Dengan demikian tuduhan maudhu yang lebih sering dikaitkan dengan hadits
zawa’id tersebut bukan berarti riwayat hadits yang bersangkutan bersanad
seseorang yang dikenal sebagai pendusta, melainkan sekedar kekeliruan kecil
yang terjadi oleh kekhilafan perawinya mungkin karena unsur kekurangan dalam sifat
kedhabitan.
Bahan Pustaka
1. Dr. Mushthafa al-Siba’i, al-Sunnah wa Makanatuha,
Dar al-Qaumiyah Lit-thiba’ah wal-nasyr, Kairo, 1949, hal. 402.
2. Al-Hafidz al-Mabarkafuri, Muqaddimah Tuhfatul-Ahwadzi,
Dar Al-Fikr, Beirut, 1979, hal. 184-185.
3. Muhamad al-Shabagh, al-Hadits al-Nabawi, al-Maktab
al-Islami Riadh, 1976, hal. 407-410.
4. Dr. Shubhi Shalih, ‘Ulumul-Hadits wa Mushthalahuhu,
Darul Ilmi Lil-Malayin, Beirut, 1977, hal. 123-124 dan 394-396.
5. Sa’di Abu Jaib, Haulai Musnad Imam Ahmad, Majalah
Rabithah Alamil-Islami, tahun ke XVII, Sya’ban 1399/Juli 1979, hal. 43-45.
0 komentar:
Posting Komentar