Imam Bukhari terlahir bernama Muhammad putera Isma’il bin al-Mughirah
bin Baraizbah, lahir sesudah shalat Jum’ah tanggal 13 syawal 194 H. di
Bukhara yang kini termasuk wilayah Turkistan (Uni Soviet). Ayah
al-Bukhari adalah salah seorang murid Imam Malik Ibnu Anas, sedang kakek
beliau yang semula sebagai penganut agama Majusi adalah pelopor masuk
Islam dalam lingkungan keluarganya.
Ismail ayahandanya Imam al-Bukhari dikenal sebagai pribadi muslim yang
wira’i, amat hati-hati dalam bekerja untuk menghidupi diri dan
keluarganya. Pantas kiranya bila menjelang ajal beliau menyampaikan
kesaksian diri bahwa sepengetahuannya sedirhampun harta yang dimiliki
berasal dari usaha haram atau syubhat. Sang ibu yang merawat bayi
al-Bukhari punya pengalaman lain, yakni saat sakit anaknya tak kunjung
sembuh betapa telah di upayakan obat dan konsultasi thabib,
bermunajatlah si ibu kepada Allah SWT demi kesembuhan anaknya. Saat itu
ibunda al-Bukhari mimpi bertemu Nabiyullah Ibrahim as. suatu pertanda
akan kebesaran dan kealiman anaknya kelak sesudah dewasa. Imam
al-Bukhari meninggal dunia tepat malam berkumandang takbir Idul Fitri
tahun 256 H di Khartanak Samarkhand pada usia 62 tahun lebih 13 hari.
Perlawatan ilmiah Imam al-Bukhari yang mengantarkannya menjadi seorang
amirul mu’minin fil hadits cukup mantap. Begitu cukup menimba ilmu agama
di daerah kelahirannya, beliau menemui ulama-ulama hadits di
berbagai wilayah pusat budaya ilmu keislaman, yakni Syam/Syiria, Mesir,
Jazirah, Bashrah, Mekkah (selama 6 tahun), Madinah, Kufah, Baghdad dan
Yaman. Imam al-Bukhari sempat berguru hadits kepada 1080 ulama dan yang
riwayat haditsnya diangkat dalam koleksi al-Jami’ mencapai 289 orang. Di
antara guru besar hadits yang amat berpengaruh pada proses spesialisasi
Imam al-Bukhari di bidang koleksi hadits tercatat nama Ali
Ibnul-Madini, Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Yahya Ibnu Ma’in (kritikus
hadits), Muhammad Ibnu Yusuf al-Faryabi dan Ibnu Rahawaih.
Imam al-Bukhari cukup berhasil dalam mentransformasikan keahlian
haditsnya kepada generasi sesudah beliau. Ulama hadits yang reputasinya
cukup tinggi hasil panduan al-Bukhari antara lain Imam al-Nasa’i,
al-Turmudzi, Ibnu Huzaimah, Ibnu Abi Dawud dan Imam Muslim pun tergolong
murid al-Bukhari di bidang hadits. Kehandalan Imam al-Bukhari dalam
keahlian hadits bisa dibuktikan pada saat beliau diuji coba tanpa
persiapan di Baghdad dengan jumlah item sebanyak 100 hadits sebagai
obyek eksperimen.
Bila menelusuri redaksi judul untuk sebagian besar koleksi hadits dalam
al-Jami’ al-Shahih ternyata banyak segi perpadanan faham fiqh dengan
pandangan ulama madzhab Syafi’i. Karenanya pantas bila Imam al-Subki
menggolongkan Imam al-Bukhari ke dalam kelompok generasi ulama (thabaqat)
Syafi’iyah. Tetapi secara obyek seperti diungkap oleh Dr. Ahmad Amin
dalam buku beliau Dhuha al-Islam Imam al-Bukhari adalah mujtahid yang
independen, sementara faham fiqh yang dicenderungi sejalan dengan
madzhab Abu Hanifah dan di bagian lain bersesuaian dengan pandangan
madzhan Syafi’i.
Motivasi Penyusunan al-Jami’
Ishaq Rahawaih adalah pendorong utama agar al-Bukhari selaku muridnya
mengedit sunnah/hadits bermutu shahih dan di susun membentuk kitab
(kodifikasi). Dorongan sang guru tersebut bila dijabarkan lebih rinci
meliputi upaya menciptakan lingkungan hadits bersih dari unsur-unsur
kedustaan, memilih methode penyusunan yang memudahkan para peminat yang
berkepentingan studi hadits untuk argumentasi hukum dan mengenalkan
fokus pembicaraan hadits pada titik konsentrasi hukum tertentu. Dengan
demikian motivasi penyusunan al-Jami’ al-Bukhari bukan
semata-mata menjaga kelestarian sunnah/hadits, tetapi sekaligus terbawa
ikhtiar memagarinya dengan sistem seleksi dan dipadukan dengan
pengenalan praktis terhadap operasionalisasi sunnah/hadits sebagai
sumber deduksi hukum (fiqh). Motivasi tersebut terbaca jelas pada
redaksi judul berupa statemen.
Kualitas shahih pada sunnah/hadits merupakan prioritas dalam sistem
seleksi al-Bukhari. Hal itu tampak pada pengakuan terbuka Imam
al-Bukhari bahwa seleksi al-Jami’ diangkat dari perbendaharaan haditsnya
sebanyak 600.000 hadits dan masa penapisan menyita waktu 16 tahun. Imam
al-Bukhari juga mengakui bahwa sepatut persyaratan kualifikasi hadits
terpenuhi segera beliau melakukan uji mutu terakhir melalui istikharah.
Sistem kodifikasi hadits dalam al-Jami’ diupayakan memperoleh bahan
inspirasi bagi urutan kerangka babnya dengan mengambil tempat di ruang
dalam Masjidil Haram (Makkah) dan untuk merumuskan redaksi judul bagi
setiap babnya beliau menyita memerlukan konsentrasi penuh dengan
Raudhah Masjid Nabawi di Madinah. Pantas kiranya bila ulama yang datang
sesudah generasi al-Bukhari mengakui kelebihan al-Jami’ terletak pada
ketajaman analisa Imam al-Bukhari mengenai istinbath hukum dari setiap
sunnah/hadits yang beliau koleksikan.
Memperhatikan koleksi al-Jami’ pada hadits bermateri tafsir nabawi yang
marfu’ dan materi sirah serta tarikh/manaqib, layak diasumsikan dan
materi bahwa motivasi lain dari penyusunan hadis/sunnah dalam al-Jami’
adalah menyajikan transkripsi dari momentum perjalanan penting Nabi
Muhammad SAW dan pola kepemimpinan Rasulullah SAW berikut interprestasi
authentik bagi sebagian kandungan al-Qur’an. Motif demi motif tersebut
di atas tertampung dalam titel kitab yang oleh Jalaluddin al-Sayuthi
pada kitab beliau Taujih al-Nadzar ditulis lengkap dengan bunyi “al-Jami’ al-Musnid, al-Shahih al-Mukhtashar min-umuri Rasulullah saw wa sunnanihi wa ayyamihi”.
Methode Penyusunan a l-Jami’
Bertolak dari titel lengkap kitab koleksi hadits Imam al-Bukhari
diketahui bahwa metode penyusunan hadits di upayakan memenuhi standard
format al-Jami’, yaitu memuat selengkap 8 (delapan) sub disiplin materi
hadits yang terdiri atas hadits-hadits aqaid, al-Ahkam, al-Riqaq, adab/etika perseorangan, tafsir dan qira’ah,al-Syama’il,
tentang fitnah dan sirah serta manaqib. Penyajian setiap hadits/sunnah
selalu musnad, setiap riwayat didukung oleh bukti persambungan mata
rantai sanad. Seleksi hadits hanya memberi tempat pada yang bermutu
shahih, maksudnya tidak satupun hadits hasan apalagi dha’if termuat
dalam shahih al-Bukhari. Dalam hal syarat keshahihan yang diterapkan
oleh Imam al-Bukhari amat ekstrim, utamanya pada integritas perawi
diyakini keislamannya, berpikiran maju (kritis), terkenal jujur, tidak
pernah melakukan tadlis, tidak pula membuat kekeliruan lantaran memaksakan diri betapa telah termakan usia tua (mukhtalith),
senantiasa berlaku adil, kuat hafalannya, sejahtera perasaan hatinya,
amat minim sangka buruk orang kepadanya dan sikap aqidah selama hayatnya
ternilai baik (tidak pernah terlibat mendukung faham bid’ah). Prasyarat
kepribadian tersebut harus pula didukung oleh perpaduan nyata antara
tingkat hafalan dengan ketelitian dan waktu perjumpaan antara pribadi
perawi dengan guru haditsnya yang relatif lama. Dengan ungkapan lain
Imam al-Bukhari hanya punya kesediaan menampung hadits yang berasal dari
perawi kalangan thabaqah (rangking) utama.
Al-Jami’ al-Bukhari tidak mentargetkan kualitas hadits
melainkan lebih mengutamakan sifat ikhtiar, hal itu menunjukkan betapa
Imam al-Bukhari jauh dari ambisi pamer sekalipun jumlah perbendaharaan
hadits shahihnya lebih dari 100.000, tetapi lebih terikat oleh estimet
hujjah di hadapan Allah SWT.
Jumlah Koleksi al-Jami’
Kitab al-Jami’ al-Shahih al-Bukhari memuat 9082 hadits termasuk yang berulang, hadits ta’liqat (dengan penyederhanaan sanad) dan hadits muttaba’. Penjumlahan tersebut tidak mengikut-sertakan hadits shahabi dan qaul tabi’in.
Bila diupayakan penyajian secara utuh hadits-hadits al-Jami’, yakni
di satukan bagian-bagian matan yang berserakan letaknya, maka akan
bertemu jumlah 2761 hadits yang bersifat maushul. Demikian menurut
penelitian Ibnu Hajar al-Asqalani yang dikemukakan pada muqaddimah
Fathul Bari. Hadis marfu’ mu’allaq dalam al-Jami’ berjumlah 159 hadits,
sehingga apabila kelompok mu’allaq dan muttaba’ di sisihkan maka tersisa
jumlah sebanyak 7397 hadits.
Pengulangan suatu hadits dalam al-Jami’ al-Bukhari selalu
dikaitkan dengan kepentingan mengenalkan jalur sanad yang berbeda, atau
berhubungan dengan perbedaaan pada redaksi matan dan kepentingan
menyajikan proses riwayat ‘an’anah yang dipandang perlu pendukung riwayat sima’ah
(mendengar langsung). Keberadaan hadits dengan tehnik penyajian
mu’allaq, yaitu sengaja tidak mencantumkan selengkap mata rantai sanad
tetapi cukup dengan menyebut nama perawi terakhir, lazim diperlakukan
untuk kepentingan istisyhad (saksi penganut riwayat) atau setidak-tidaknya untuk keperluan data tarjih (upaya mengunggulkan suatu riwayat hadits).
Terbawa oleh tradisi Imam Ahmad selaku guru haditsnya yang dalam
al-Musnad beliau menempatkan 300 hadits tsulatsiyatul-isnad, maka Imam
al-Bukhari melengkapi koleksi hadits dalam al-Jami’ dengan 22 hadits
tsulatsiyah. Istilah tsulatsiyah dikalangan kolektor hadits adalah
setiap hadits yang antara Mukharrij (kolektor/periwayat
terakhir) dengan Nabi/Rasulullah SAW dihubungkan hanya melalui 3
(tiga) nama pembawa riwayat. Hal itu menunjukkan betapa Imam al-Bukhari
amat gigih dalam mereceptir keunggulan sanad.
Koleksi hadits dalam al-Jami’ disusun berdasar muatan materi yang
menonjol pada matannya dan acap kali karena cukup panjang redaksi matan
hadits dengan muatan materi yang sarat maka ditempuh penyajian bagian
demi bagian dari matan tersebut ditempat terpisah dan masing-masing di
perlengkapi dengan judul bab yang serasi dengan muatan materinya.
Pola penyajian semacam itulah yang melahirkan riwayat mu’allaq.
Selengkap kitab al-Jami’ dirangkum dalam 97 kitab dan tersusun menjadi
3450 bab dan garis besar sistematikanya sebagai berikut : Peristiwa
awal wahyu, tentang iman, ilmu, bersuci, shalat, zakat, haji, jual beli,
sejarah penciptaan makhluk (bumi, langit, malaikat, jin, manusia dan
lain-lain), biografi para Nabi, sorga dan neraka, manaqib tokoh-tokoh
Quraisy, keutamaan para sahabat, perjalanan hidup Nabi, peperangan dan
hadits tentang tafsir nabawi.
Bila di baca dengan cermat seringkali suatu judul bab dalam al-Jami’
tidak memuat lebih dari 1-2 hadits, bahkan ada pula yang kosong sama
sekali dari hadits. Hal itu mengisyaratkan bahwa untuk judul tersebut
menurut kriteria Imam al-Bukhari tidak tersedia hadits dengan kualitas
shahih. Mungkin pula pengosongan itu dipersiapkan sebagai cadangan bila
sewaktu-waktu diperoleh hadits bermutu shahih akan menempati lokasi
kosong di bawah judul tersebut, namun sampai akhir hayat Imam al-Bukhari
harapan tersebut tak kunjung terpenuhi.
Kritik terhadap al-Jami’
Al-Hafidz al-Daruquthi menunjuk 110 hadits yang termuat dalam
al-Jami’ al-Bukhari bermutu dha’if, 32 hadits di antaranya dikoleksikan
pula oleh Imam Muslim dalam shahihnya. Kritik al-Daruquthi tersebut
mengundang sikap pro dan kontra tersebab kaidah (alat ukur) untuk
menuduh dha’if berlainan dengan kaidah yang lazim di pedomani oleh
Jumhur Muhaddisin, Fuqaha dan Ulama ushul-fiqh. Lagi pula tuduhan
kedha’ifan itu ternyata tidak sampai kebukti maudhu’ atau munkar.
Tuduhan al-Daruquthi amat tergesa-gesa, sebab hadits berunsur dha’if
menurut dugaan sementara telah di upayakan penjernihan masalahnya oleh
banayk ulama, termasuk al-Hafidz Ibnu Hajar al-’Asqalani.
Kritik terhadap matan hadits yang hingga kini tetap merupakan ganjalan
menimpa hadits koleksi al-Bukhari dalam al-Jami’ tentang isra’ Nabi
Muhammad SAW yang periwayatannya melalui Syarik bin Abdillah bin Abi
Namirin dan sumber informasinya bersandar pada Anas Ibnu Malik. Pada
riwayat itu dinyatakan bahwa malam peristiwa isra’ dialami oleh Nabi
sebelum beliau menerima wahyu. Terhadap hadits tersebut kiranya tidak
perlu dijadikan dasar melemahkan al-Jami’ al-Bukhari secara
keseluruhan, sebab Imam al-Bukhari menyajikan sejumlah riwayat lain yang
bermutu shahih tentang peristiwa isra’ dan mi’raj selain riwayat
bersanad pada Syarik tersebut. Hal itu bisa di telusuri pada nomor urut
hadits 4.710, 4716 serta pada nomor urut 6.613. Perihal Syarik selaku
rijalul-hadits tidak dikenal sebagai rawi pendusta, juga tidak di
curigai kedustaannya. Mungkin hal itu merupakan kesalahan kecil yang
diperbuat oleh asumsi Syarik atau faktor momentum isra’ bagi pribadi
Syarik masih serupa waktu kejadiannya.
Oleh sebab itu Ibnu Shalah dalam Ulumul-hadits ketika menyudahi uraian
tentang kritik orang terhadap al-Jami al-Bukhari mengingatkan bahwa
hadits-hadits yang diriwayatkan kedua kolektor hadits al-Bukhari dan
Muslim menyatakan kepastian akan keshahihan seluruh haditsnya dan
beliau menunjuk sikap umat yang serta merta menerima dengan baik
penyajian hadits yang termuat dalam kedua kitab koleksi tersebut.
Syarah al-Jami’
Beberapa pengamat menghitung sejumlah 82 kitab yang menyajikan ulasan
makna (syarah) dalam berbagai versi terhadap hadits-hadits koleksi
al-Jami’ al-Bukhari, yang terkenal di antaranya :
a. Al-Kawakib al-Darari yang di susun oleh al-Kirmani (wafat 786 H)
ulasannya bertekanan pada aspek bahasa dan upaya mempertemukan
hadits-hadits yang diduga saling ta’arudh (bertentangan maksud) ;
b. Fathul Bari yang di susun oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani
(wafat 842 H) diakui sebagai syarah terbaik dan terlengkap. Komentar
setiap hadits memanfaatkan sub disiplin ilmu hadits riwayah, ulasan atas
judul (tarjamah), deduksi hukum menyertakan opini ulama pendahulu dan
analisa al-Asqalani sendiri terhadap kandungan hadits yang bersangkutan ;
c. ‘Umdatul-Qari oleh Badrud-din al-Aini al-Hanafi (wafat 855 H)
diakui sebagai syarah al-Jami’ dalam format sederhana, tekanan ulasannya
pada aspek etika moralitas yang bisa dikembangkan dari hadits dan
deduksi hukum fiqh ;
d. Irsyadussari yang di susun oleh al-Qasthallani (wafat 922 H)
dipandang sebagai ringkasan dari kitab syarah al-Jami’ Fathul-Bari.
Kitab tersebut diterbitkan berhasyiyah syarah Shahih Muslim karya Imam
an-Nawawi.
Selain didukung oleh kitab pengulas (syarah) al-Jami’ al-Bukhari
juga diringkas (ikhtisar) dengan tehnik penyederhanaan sanad riwayat
cukup diwakili oleh nama sahabat Nabi dan tehnik penyajian matan hadits
hanya dengan sebuah redaksi saja. Penyajian ikhtisar dilakukan oleh Abu
Jamrah (wafat 695 H) dalam sebuah kitab berititel Jawahir al-Bukhari,
diikuti kemudian oleh al-Zabidi (wafat 893 H) dalam Tajrid al-Sharih
yang di syarahi kemudian oleh al-Syarqawi.
Bahan Pustaka:
1. Dr. Muhammad Abu Syahbah, Fil-Imam al-Bukhari, Majalah Rabithah
al-Alami al-Islami, tahun XX, Nomor 1, bulan Nopember 1981, Mekkah, hal.
54-67.
2. ________, al-Kutubu al-Shihahi al-Sittati, Majma’ul-buhus al-Islamiyah, al-Azhar, Mesir, 1969, hal. 57-72.
3. Dr. Subhi Shalih, Ulumul-hadis wa Musthalahuhu, Darul Ilmi Lil-Malayin, Beirut, 1977, hal. 396-398.
4. Al-Hafidz al-Mabarkafuri, Muqaddimah Tuhfatul-Ahwadzi, Darul-Fikri, Beirut, 1979, hal. 110, 251-257.
5. Dr. Musthafa al-Siba’i, al-Sunnah wa Wakanatuha, Darul Qaumiyah lit-thibaah, Kairo, 1949, hal. 405-407.
6. Muhammad al-Sabagh, al-Hadis al-Nabawi, Maktab Islami, Riad, 1976, hal. 362-380.
7. Anwar al-Sayid Muhammad Syarif, Shahih al-Bukhari, Majalah Rabithah
al-alami al-Islami, tahun XXVII, No. 291 Syawal 1409/Juni 1989, hal.
11-12.
8. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul-Bari, Bulaq, Mesir, 1348 H, hal. 3-6.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar