Senin, 11 Maret 2013

STUDI REFERENSI HADIS STANDART (SHAHIH AL-BUKHARI (194 – 256 H); Bagian Ketiga

Imam Bukhari terlahir bernama Muhammad putera Isma’il bin al-Mughirah bin Baraizbah, lahir sesudah shalat Jum’ah tanggal 13 syawal 194 H. di Bukhara yang kini termasuk wilayah Turkistan (Uni Soviet). Ayah al-Bukhari adalah salah seorang murid Imam Malik Ibnu Anas, sedang kakek beliau yang semula sebagai penganut agama Majusi adalah pelopor masuk Islam dalam lingkungan keluarganya.

Ismail ayahandanya Imam al-Bukhari dikenal sebagai pribadi muslim yang wira’i, amat hati-hati dalam bekerja untuk menghidupi diri dan keluarganya. Pantas kiranya bila menjelang ajal beliau menyampaikan kesaksian diri bahwa sepengetahuannya sedirhampun harta yang dimiliki berasal dari usaha haram atau syubhat. Sang ibu yang merawat bayi al-Bukhari punya pengalaman lain, yakni saat sakit anaknya tak kunjung sembuh betapa telah di upayakan obat dan konsultasi thabib, bermunajatlah si ibu kepada Allah SWT demi kesembuhan anaknya. Saat itu ibunda al-Bukhari mimpi bertemu Nabiyullah Ibrahim as. suatu pertanda akan kebesaran dan kealiman anaknya kelak sesudah dewasa. Imam al-Bukhari meninggal dunia tepat malam berkumandang takbir Idul Fitri tahun 256 H di Khartanak Samarkhand pada usia 62 tahun lebih 13 hari.
Perlawatan ilmiah Imam al-Bukhari yang mengantarkannya menjadi seorang amirul mu’minin fil hadits cukup mantap. Begitu cukup menimba ilmu agama di daerah kelahirannya, beliau menemui ulama-ulama hadits di berbagai wilayah pusat budaya ilmu keislaman, yakni Syam/Syiria, Mesir, Jazirah, Bashrah, Mekkah (selama 6 tahun), Madinah, Kufah, Baghdad dan Yaman. Imam al-Bukhari sempat berguru hadits kepada 1080 ulama dan yang riwayat haditsnya diangkat dalam koleksi al-Jami’ mencapai 289 orang. Di antara guru besar hadits yang amat berpengaruh pada proses spesialisasi Imam al-Bukhari di bidang koleksi hadits tercatat nama Ali Ibnul-Madini, Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Yahya Ibnu Ma’in (kritikus hadits), Muhammad Ibnu Yusuf al-Faryabi dan Ibnu Rahawaih.
Imam al-Bukhari cukup berhasil dalam mentransformasikan keahlian haditsnya kepada generasi sesudah beliau. Ulama hadits yang reputasinya cukup tinggi hasil panduan al-Bukhari antara lain Imam al-Nasa’i, al-Turmudzi, Ibnu Huzaimah, Ibnu Abi Dawud dan Imam Muslim pun tergolong murid al-Bukhari di bidang hadits. Kehandalan Imam al-Bukhari dalam keahlian hadits bisa dibuktikan pada saat beliau diuji coba tanpa persiapan di Baghdad dengan jumlah item sebanyak 100 hadits sebagai obyek eksperimen.
Bila menelusuri redaksi judul untuk sebagian besar koleksi hadits dalam al-Jami’ al-Shahih ternyata banyak segi perpadanan faham fiqh dengan pandangan ulama madzhab Syafi’i. Karenanya pantas bila Imam al-Subki menggolongkan Imam al-Bukhari ke dalam kelompok generasi ulama (thabaqat) Syafi’iyah. Tetapi secara obyek seperti diungkap oleh Dr. Ahmad Amin dalam buku beliau Dhuha al-Islam Imam al-Bukhari adalah mujtahid yang independen, sementara faham fiqh yang dicenderungi sejalan dengan madzhab Abu Hanifah dan di bagian lain bersesuaian dengan pandangan madzhan Syafi’i.

Motivasi Penyusunan al-Jami’
Ishaq Rahawaih adalah pendorong utama agar al-Bukhari selaku muridnya mengedit sunnah/hadits bermutu shahih dan di susun membentuk kitab (kodifikasi). Dorongan sang guru tersebut bila dijabarkan lebih rinci meliputi upaya menciptakan lingkungan hadits bersih dari unsur-unsur kedustaan, memilih methode penyusunan yang memudahkan para peminat yang berkepentingan studi hadits untuk argumentasi hukum dan mengenalkan fokus pembicaraan hadits pada titik konsentrasi hukum tertentu. Dengan demikian motivasi penyusunan al-Jami’ al-Bukhari bukan semata-mata menjaga kelestarian sunnah/hadits, tetapi sekaligus terbawa ikhtiar memagarinya dengan sistem seleksi dan dipadukan dengan pengenalan praktis terhadap operasionalisasi sunnah/hadits sebagai sumber deduksi hukum (fiqh). Motivasi tersebut terbaca jelas pada redaksi judul berupa statemen.
Kualitas shahih pada sunnah/hadits merupakan prioritas dalam sistem seleksi al-Bukhari. Hal itu tampak pada pengakuan terbuka Imam al-Bukhari bahwa seleksi al-Jami’ diangkat dari perbendaharaan haditsnya sebanyak 600.000 hadits dan masa penapisan menyita waktu 16 tahun. Imam al-Bukhari juga mengakui bahwa sepatut persyaratan kualifikasi hadits terpenuhi segera beliau melakukan uji mutu terakhir melalui istikharah.
Sistem kodifikasi hadits dalam al-Jami’ diupayakan memperoleh bahan inspirasi bagi urutan kerangka babnya dengan mengambil tempat di ruang dalam Masjidil Haram (Makkah) dan untuk merumuskan redaksi judul bagi setiap babnya beliau menyita memerlukan konsentrasi penuh dengan Raudhah Masjid Nabawi di Madinah. Pantas kiranya bila ulama yang datang sesudah generasi al-Bukhari mengakui kelebihan al-Jami’ terletak pada ketajaman analisa Imam al-Bukhari mengenai istinbath hukum dari setiap sunnah/hadits yang beliau koleksikan.
Memperhatikan koleksi al-Jami’ pada hadits bermateri tafsir nabawi yang marfu’ dan materi sirah serta tarikh/manaqib, layak diasumsikan dan materi bahwa motivasi lain dari penyusunan hadis/sunnah dalam al-Jami’ adalah menyajikan transkripsi dari momentum perjalanan penting Nabi Muhammad SAW dan pola kepemimpinan Rasulullah SAW berikut interprestasi authentik bagi sebagian kandungan al-Qur’an. Motif demi motif tersebut di atas tertampung dalam titel kitab yang oleh Jalaluddin al-Sayuthi pada kitab beliau Taujih al-Nadzar ditulis lengkap dengan bunyi “al-Jami’ al-Musnid, al-Shahih al-Mukhtashar min-umuri Rasulullah saw wa sunnanihi wa ayyamihi”.

Methode Penyusunan a l-Jami’
Bertolak dari titel lengkap kitab koleksi hadits Imam al-Bukhari diketahui bahwa metode penyusunan hadits di upayakan memenuhi standard format al-Jami’, yaitu memuat selengkap 8 (delapan) sub disiplin materi hadits yang terdiri atas hadits-hadits aqaid, al-Ahkam, al-Riqaq, adab/etika perseorangan, tafsir dan qira’ah,al-Syama’il, tentang fitnah dan sirah serta manaqib. Penyajian setiap hadits/sunnah selalu musnad, setiap riwayat didukung oleh bukti persambungan mata rantai sanad. Seleksi hadits hanya memberi tempat pada yang bermutu shahih, maksudnya tidak satupun hadits hasan apalagi dha’if termuat dalam shahih al-Bukhari. Dalam hal syarat keshahihan yang diterapkan oleh Imam al-Bukhari amat ekstrim, utamanya pada integritas perawi diyakini keislamannya, berpikiran maju (kritis), terkenal jujur, tidak pernah melakukan tadlis, tidak pula membuat kekeliruan lantaran memaksakan diri betapa telah termakan usia tua (mukhtalith), senantiasa berlaku adil, kuat hafalannya, sejahtera perasaan hatinya, amat minim sangka buruk orang kepadanya dan sikap aqidah selama hayatnya ternilai baik (tidak pernah terlibat mendukung faham bid’ah). Prasyarat kepribadian tersebut harus pula didukung oleh perpaduan nyata antara tingkat hafalan dengan ketelitian dan waktu perjumpaan antara pribadi perawi dengan guru haditsnya yang relatif lama. Dengan ungkapan lain Imam al-Bukhari hanya punya kesediaan menampung hadits yang berasal dari perawi kalangan thabaqah (rangking) utama.
Al-Jami’ al-Bukhari tidak mentargetkan kualitas hadits melainkan lebih mengutamakan sifat ikhtiar, hal itu menunjukkan betapa Imam al-Bukhari jauh dari ambisi pamer sekalipun jumlah perbendaharaan hadits shahihnya lebih dari 100.000, tetapi lebih terikat oleh estimet hujjah di hadapan Allah SWT.

Jumlah Koleksi al-Jami’
Kitab al-Jami’ al-Shahih al-Bukhari memuat 9082 hadits termasuk yang berulang, hadits ta’liqat (dengan penyederhanaan sanad) dan hadits muttaba’. Penjumlahan tersebut tidak mengikut-sertakan hadits shahabi dan qaul tabi’in. Bila diupayakan penyajian secara utuh hadits-hadits al-Jami’, yakni di satukan bagian-bagian matan yang berserakan letaknya, maka akan bertemu jumlah 2761 hadits yang bersifat maushul. Demikian menurut penelitian Ibnu Hajar al-Asqalani yang dikemukakan pada muqaddimah Fathul Bari. Hadis marfu’ mu’allaq dalam al-Jami’ berjumlah 159 hadits, sehingga apabila kelompok mu’allaq dan muttaba’ di sisihkan maka tersisa jumlah sebanyak 7397 hadits.
Pengulangan suatu hadits dalam al-Jami’ al-Bukhari selalu dikaitkan dengan kepentingan mengenalkan jalur sanad yang berbeda, atau berhubungan dengan perbedaaan pada redaksi matan dan kepentingan menyajikan proses riwayat ‘an’anah yang dipandang perlu pendukung riwayat sima’ah (mendengar langsung). Keberadaan hadits dengan tehnik penyajian mu’allaq, yaitu sengaja tidak mencantumkan selengkap mata rantai sanad tetapi cukup dengan menyebut nama perawi terakhir, lazim diperlakukan untuk kepentingan istisyhad (saksi penganut riwayat) atau setidak-tidaknya untuk keperluan data tarjih (upaya mengunggulkan suatu riwayat hadits).
Terbawa oleh tradisi Imam Ahmad selaku guru haditsnya yang dalam al-Musnad beliau menempatkan 300 hadits tsulatsiyatul-isnad, maka Imam al-Bukhari melengkapi koleksi hadits dalam al-Jami’ dengan 22 hadits tsulatsiyah. Istilah tsulatsiyah dikalangan kolektor hadits adalah setiap hadits yang antara Mukharrij (kolektor/periwayat terakhir) dengan Nabi/Rasulullah SAW dihubungkan hanya melalui 3 (tiga) nama pembawa riwayat. Hal itu menunjukkan betapa Imam al-Bukhari amat gigih dalam mereceptir keunggulan sanad.
Koleksi hadits dalam al-Jami’ disusun berdasar muatan materi yang menonjol pada matannya dan acap kali karena cukup panjang redaksi matan hadits dengan muatan materi yang sarat maka ditempuh penyajian bagian demi bagian dari matan tersebut ditempat terpisah dan masing-masing di perlengkapi dengan judul bab yang serasi dengan muatan materinya. Pola penyajian semacam itulah yang melahirkan riwayat mu’allaq. Selengkap kitab al-Jami’ dirangkum dalam 97 kitab dan tersusun menjadi 3450 bab dan garis besar sistematikanya sebagai berikut : Peristiwa awal wahyu, tentang iman, ilmu, bersuci, shalat, zakat, haji, jual beli, sejarah penciptaan makhluk (bumi, langit, malaikat, jin, manusia dan lain-lain), biografi para Nabi, sorga dan neraka, manaqib tokoh-tokoh Quraisy, keutamaan para sahabat, perjalanan hidup Nabi, peperangan dan hadits tentang tafsir nabawi.
Bila di baca dengan cermat seringkali suatu judul bab dalam al-Jami’ tidak memuat lebih dari 1-2 hadits, bahkan ada pula yang kosong sama sekali dari hadits. Hal itu mengisyaratkan bahwa untuk judul tersebut menurut kriteria Imam al-Bukhari tidak tersedia hadits dengan kualitas shahih. Mungkin pula pengosongan itu dipersiapkan sebagai cadangan bila sewaktu-waktu diperoleh hadits bermutu shahih akan menempati lokasi kosong di bawah judul tersebut, namun sampai akhir hayat Imam al-Bukhari harapan tersebut tak kunjung terpenuhi.

Kritik terhadap al-Jami’
Al-Hafidz al-Daruquthi menunjuk 110 hadits yang termuat dalam al-Jami’ al-Bukhari bermutu dha’if, 32 hadits di antaranya dikoleksikan pula oleh Imam Muslim dalam shahihnya. Kritik al-Daruquthi tersebut mengundang sikap pro dan kontra tersebab kaidah (alat ukur) untuk menuduh dha’if berlainan dengan kaidah yang lazim di pedomani oleh Jumhur Muhaddisin, Fuqaha dan Ulama ushul-fiqh. Lagi pula tuduhan kedha’ifan itu ternyata tidak sampai kebukti maudhu’ atau munkar. Tuduhan al-Daruquthi amat tergesa-gesa, sebab hadits berunsur dha’if menurut dugaan sementara telah di upayakan penjernihan masalahnya oleh banayk ulama, termasuk al-Hafidz Ibnu Hajar al-’Asqalani.
Kritik terhadap matan hadits yang hingga kini tetap merupakan ganjalan menimpa hadits koleksi al-Bukhari dalam al-Jami’ tentang isra’ Nabi Muhammad SAW yang periwayatannya melalui Syarik bin Abdillah bin Abi Namirin dan sumber informasinya bersandar pada Anas Ibnu Malik. Pada riwayat itu dinyatakan bahwa malam peristiwa isra’ dialami oleh Nabi sebelum beliau menerima wahyu. Terhadap hadits tersebut kiranya tidak perlu dijadikan dasar melemahkan al-Jami’ al-Bukhari secara keseluruhan, sebab Imam al-Bukhari menyajikan sejumlah riwayat lain yang bermutu shahih tentang peristiwa isra’ dan mi’raj selain riwayat bersanad pada Syarik tersebut. Hal itu bisa di telusuri pada nomor urut hadits 4.710, 4716 serta pada nomor urut 6.613. Perihal Syarik selaku rijalul-hadits tidak dikenal sebagai rawi pendusta, juga tidak di curigai kedustaannya. Mungkin hal itu merupakan kesalahan kecil yang diperbuat oleh asumsi Syarik atau faktor momentum isra’ bagi pribadi Syarik masih serupa waktu kejadiannya.
Oleh sebab itu Ibnu Shalah dalam Ulumul-hadits ketika menyudahi uraian tentang kritik orang terhadap al-Jami al-Bukhari mengingatkan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan kedua kolektor hadits al-Bukhari dan Muslim menyatakan kepastian akan keshahihan seluruh haditsnya dan beliau menunjuk sikap umat yang serta merta menerima dengan baik penyajian hadits yang termuat dalam kedua kitab koleksi tersebut.

Syarah al-Jami’
Beberapa pengamat menghitung sejumlah 82 kitab yang menyajikan ulasan makna (syarah) dalam berbagai versi terhadap hadits-hadits koleksi al-Jami’ al-Bukhari, yang terkenal di antaranya :
a. Al-Kawakib al-Darari yang di susun oleh al-Kirmani (wafat 786 H) ulasannya bertekanan pada aspek bahasa dan upaya mempertemukan hadits-hadits yang diduga saling ta’arudh (bertentangan maksud) ;
b. Fathul Bari yang di susun oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat 842 H) diakui sebagai syarah terbaik dan terlengkap. Komentar setiap hadits memanfaatkan sub disiplin ilmu hadits riwayah, ulasan atas judul (tarjamah), deduksi hukum menyertakan opini ulama pendahulu dan analisa al-Asqalani sendiri terhadap kandungan hadits yang bersangkutan ;
c. ‘Umdatul-Qari oleh Badrud-din al-Aini al-Hanafi (wafat 855 H) diakui sebagai syarah al-Jami’ dalam format sederhana, tekanan ulasannya pada aspek etika moralitas yang bisa dikembangkan dari hadits dan deduksi hukum fiqh ;
d. Irsyadussari yang di susun oleh al-Qasthallani (wafat 922 H) dipandang sebagai ringkasan dari kitab syarah al-Jami’ Fathul-Bari. Kitab tersebut diterbitkan berhasyiyah syarah Shahih Muslim karya Imam an-Nawawi.
Selain didukung oleh kitab pengulas (syarah) al-Jami’ al-Bukhari juga diringkas (ikhtisar) dengan tehnik penyederhanaan sanad riwayat cukup diwakili oleh nama sahabat Nabi dan tehnik penyajian matan hadits hanya dengan sebuah redaksi saja. Penyajian ikhtisar dilakukan oleh Abu Jamrah (wafat 695 H) dalam sebuah kitab berititel Jawahir al-Bukhari, diikuti kemudian oleh al-Zabidi (wafat 893 H) dalam Tajrid al-Sharih yang di syarahi kemudian oleh al-Syarqawi.

Bahan Pustaka:
1. Dr. Muhammad Abu Syahbah, Fil-Imam al-Bukhari, Majalah Rabithah al-Alami al-Islami, tahun XX, Nomor 1, bulan Nopember 1981, Mekkah, hal. 54-67.
2. ________, al-Kutubu al-Shihahi al-Sittati, Majma’ul-buhus al-Islamiyah, al-Azhar, Mesir, 1969, hal. 57-72.
3. Dr. Subhi Shalih, Ulumul-hadis wa Musthalahuhu, Darul Ilmi Lil-Malayin, Beirut, 1977, hal. 396-398.
4. Al-Hafidz al-Mabarkafuri, Muqaddimah Tuhfatul-Ahwadzi, Darul-Fikri, Beirut, 1979, hal. 110, 251-257.
5. Dr. Musthafa al-Siba’i, al-Sunnah wa Wakanatuha, Darul Qaumiyah lit-thibaah, Kairo, 1949, hal. 405-407.
6. Muhammad al-Sabagh, al-Hadis al-Nabawi, Maktab Islami, Riad, 1976, hal. 362-380.
7. Anwar al-Sayid Muhammad Syarif, Shahih al-Bukhari, Majalah Rabithah al-alami al-Islami, tahun XXVII, No. 291 Syawal 1409/Juni 1989, hal. 11-12.
8. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul-Bari, Bulaq, Mesir, 1348 H, hal. 3-6.

0 komentar:

Posting Komentar