Senin, 11 Maret 2013

STUDI REFERENSI HADIS STANDART (Bagian Pertama)

PENGANTAR
Selama ini perhatian ulama dari berbagai disiplin ilmu keislaman dalam kegiatan berhujjah dengan sunnah atau hadis senantiasa tertuju pada sejumlah 10 kitab koleksi hadis. Ke sepuluh kitab hadis itu mengingat tingkat popu­laritas (syuhrah) dan pengakuan umum atas kualitas (i’tibar al-shihhah) atas hadis-hadis yang tertampung di dalamnya patut dipandang sebagai kitab standart untuk hadis/sunnah. Standarisasi itu meliptui tehnik kodifikasi hadis maupun segi transmisi hadis
.

Kitab-kitab koleksi hadis yang dianggap standard berdasar periode kehidupan ulama kolektornya tersusun sebagai berikut :
1. Muwaththa’ Imam Malik
2. Musnad Imam Ahmad Ibnu Hanbal ;
3. Al-Jami’/Shahih al-Bukhari ;
4. Shahih Muslim ;
5. Sunan Abu Dawud
6. Al-Jami’/Sunan al-Turmudzi ;
7. Sunan al-Nasai ;
8. Sunan Ibnu Majah ;
9. Sunan/Musnad al-Darimi, dan ;
10. Sunan al-Baihaqi.
Dalam tulisan ini disampaikan pengantar studi pengenalan terhadap kitab-kitab hadis standard di atas dengan garis besar pembahasan meliputi biografi singkat ulama kolek­tornya, kondisi kitab dan mutu hadis-hadis yang dimuat serta nilai ilmiah hadis-hadis tersebut menurut pandangan ulama ahlinya. Sebagai pendukung disertakan pula sedikit uraian tentang situasi yang mendorong penyusunan kitab hadis, metode dan sistematika hadis, materi hadis, faktor kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing kitab hadis dan hal-hal rawan yang perlu diwaspadai oleh setiap penelaah kitab hadis.

BAGIAN PERTAMA
AL-MUWATHTHA’ IMAM MALIK
(93 – 179 H)
Biografi Imam Malik
Sejak lahir diberi nama “Malik” putra Anas Ibnu Malik (panggilan sehari-harinya Abu ‘Amir) al-Ashbahi (nama dinasti raja-raja yang pernah bertahta di Yaman) al-Himyari. Datuk Imam Malik tergolong sahabat besar, reputasi kemiliterannya mencakup seluruh ghazwah yang dipimpin langsung oleh Nabi/Rasulullah SAW selain perang Badar. Anas ayah kandungnya tergolong tabi’in sendor. Beliau adalah seorang di antara keempat pemikul keranda jenazah Khalifah Utsman bin Affan pada malam pemakamannya.
Malik dilahirkan pada tahun 93 hijrah dari rahim Ibu yang mengandungnya selama 3 (tiga) tahun. Imam Malik kelak akan dikenal dengan sebutan “Imamu Daril-hijrah”, lantaran lahir dan meninggal serta aktif mengabdikan seluruh karier keulamaannya di Madinah tempat hijrah Rasulullah SAW. Beliau wafat pada tanggal 11 Rabi’ul-awal 179 H. dalam usia 87 tahun yang sebagian besar masa hidupnya (60 tahun) difungsikan pada maqam ifta’ dan ijtihad di Madinah. Rasa mahabbah kepada Rasulullah SAW sudah sedemikian melekat sehingga seperti dinyatakan oleh Imam Malik tidak sekali aku tidur pada malam hari kecuali aku bermimpi melihat Rasulullah SAW.
Khazanah ilmu Imam Malik seluruhnya diperoleh melalui ulama-ulama Madinah, termasuk di dalamnya Zaid Ibnu Aslam, Nafi’ Maula Abdullah Ibnu Umar, Syuraik Ibnu Ubdillah, Ibnu Syhihab al-Zuhri, Sa’id al-Maqburi dan Na’im al-Mujmir. Ada juga Ibnu Malik menimba ilmu pengetahuan keislaman dari ulama yang berasal dari luar Madinah, semisal Abu al-Zubar dari Makkah, Humaid al-Thawil dan Ayub al-Syakhtiyani dari Basrah, Atha’ Ibnu Abi Rabah dari Khurasan, Abdul Karim dari Jazirah dan Ibrahim Ibnu Ablah dari Syam/Syiria. Proses pemantapan ilmu Imam Malik dicapai antara lain melalui aktivitas tukar menukar informasi keilmuan dengan ulama seperiode beliau, seperti Yahya Ibnu Said al-Qathan, al-Auza’i, Sufyan al-Tsauri, Sufyan Ibnu ‘Uyainah, Laits Ibnu Sa’ad dan Ibnu Juraij.
Murid asuhan Imam Malik sebagian menjadi ulama terkenal seperti Abdullah Ibnu al-Mubarak, Abd. Rahman al-Mahdi, Imam Muhammad Ibnu Idris al-Syafi’i, Abu Ishaq al-Fazari dan lain-lain. Sebagian murid lainnya kelak menjadi pejabat teras, seperti Abu Ja’far al-Manshur, Harus al-Rasyid dan kedua putera beliau al-Ma’mun dan al-Amin. Sementara sejarawan memasukkan al-Mahdi dan al-Hadi sebagai murid Imam Malik juga. Seorang bekas murid asuhan beliau kelak menjadi sufi kenamaan, yaitu Dzun-Nun al-Mishri.

Kitab al-Muwaththa’
Bermodal perbendaharaan hadis sekitar 100.000 di tempuh proses penapisan yang menyita waktu 40 tahun dan setelah dikonsultasikan kepada 70 orang ulama hadis/fiqh yang berdomisili di Madinah, berkesedahan dengan kemantapan Imam Malik untuk membukukan 1.700 buah hadis dalam al-Muwaththa’. Jumlah tersebut menurut perhitungan Abu Bakar al-Abhari terdiri atas perpaduan hadis marfu’ dengan perincian sebagai berikut :
a. 600 hadis musnad, termasuk di dalamnya 132 hadis bersanad silsilatul-zahab/asshhul-asanid ;
b. 222 hadis mursal ;
c. 613 hadis mauquf dan
d. 285 qaul tabi’in.
Keberagaman latar belakang mutu sanad hadis-hadis yang dimuat dalam koleksi al-Muwaththa’ agaknya selaras dengan sikap ulama hadis saat itu amat memberi kelonggaran terhadap sanad yang inqita’ (menunjuk keterputusan) sehingga berakibat adanya hadis mursal, mu’dhal dan munqathi. Penghargaan tinggi terhadap atsar shahabi, tutur nasehat yang puitis (baaghiah) dari kalangan tokoh tabi’in ikut mempengaruhi proses pemuatan informasi non hadis itu di dalam al-Muwaththa’.
Teramat mudah agaknya bila seorang mencurigai keter­putusan sanad dalam al-Muwaththa’, sebab dibanyak tempat ada penegasan Imam Malik “balaghani” tanpa menyebut terus terang nara sumbernya, demikian pula suatu hadis di infor­masikan dari seorang tsiqah tanpa dilengkapi dengan nama orang tersebut.
Edisi al-Muwaththa bermacam-macam dengan sistematika beragam dan yang paling populer adalah format Sulaiman Ibnu Khalaf al-Baji (wafat 474 H). Format dan sistematika al-Muwaththa’ bisa demikian tersebab oleh faktor personalia perawi yang mendapat perkenan dalam memasyarakat­kan al-Muwaththa’ mencapai 993 orang. Salah seorang yang terpandang sebagai perawi paling akurat adalah Abdullah Ibnu Maslamah al-Qa’nabi yang belakangan dikenal sebagai guru hadis Imam Muslim. Sistematika al-Muwaththa’ yang kini beredar di tengah-tengah masyarakat mempertahankan tata urutan sebagai berikut :
1) Hadis-hadis musnad/mursal dengan memperioritaskan hadis eks riwayat Ulama Hijaz ;
2) Keputusa/penetapan hukum (qadhaya) Umar Ibnu Khattab ;
3) Tradisi amal perbuatan Abdullah Ibnu Umar ;
4) Seleksi qaul atau fatwa tokoh-tokoh tabi’in dan
5) Perilaku keagamaan penduduk Madinah.
Pola penyajian hadis nabawi diiringi kemudian dengan qaul sahabat dan fatwa tabi’in dikandung maksud bahwa fatwa dan qaul tersebut difungsikan sebagai penjelas langsung terhadap hadis nabawi setempat. Oleh karenanya betapa tampaknya sebuah riwayat sekilas mursal, namun tidak sulit menemukan hadis yang mendukungnya.
Perhatian khusus diberikan kepada qadhaya (keputusan/penetapan hukum) Umar Ibnu Khathab dimotifisir oleh gagasan atas ra’yu Umar banyak sejalan dengan wahyu khususnya wahyu al-Qur’an, lagi pula dalam setiap proses menjatuhkan keputusan hukum/penetepan hukum beliau senantiasa melibatkan Ahlu Syura yang terdiri atas sahabat senior, seperti Utsman Ibnu Affan, Ali Ibnu Abi Thalib, Thalhah, Zubair Ibnu ‘Awwam, Saad Abd. Rahman Ibnu ‘Auf dan lain-lain. Perihal ‘amaliah Abdullah Ibnu Umar dalam al-Muwaththa’ dirangsang oleh pengakuan terbuka para sahabat senior betapa Ibnu Umar itu dikenal amat disiplin (istiqamah), figur teladan serta kokoh semangat upayanya dalam melestarikan nilai-nilai keaslian atsar.
Seleksi qaul/fatwa tabi’in berikut perilaku (amal) penduduk Madinah mewarnai koleksi al-Muwaththa’ atas dasar kota Madinah beserta penduduknya merupakan proto type masyarakat muslim yang menjadi pilot proyek pencontohan sejak dikelola langsung oleh kepemimpinan Rasulullah SAW, Khulafaur-rasyidin dan sesudah periode mereka para tabi’inlah yang menggantikan fungsi umat dalam mencari rujukan fatwa.
Koleksi hadis dalam al-Muwaththa’ lebih ditekankan pada hadis bermateri hukum yang bervariasi hampir seluruh bab-bab dalam sub disiplin ilmu fiqh, bahkan sebagian ulama (seperti Ibnu Hamz) kitab tersebut dianggap sebagai kodifikasi fiqh terpadu dengan hadis. Anggapan tersebut cukup punya latar belakang alasan, antara lain :
Al-Muwaththa’ memuat dalam jumlah besar qaul shahabi, fatwa mereka dan fatwa ulama generasi tabi’in. Fatwa lebih dekat pada sifat penghayatan religious, sedangkan hadis butuh fakta historis yang terdiri atas informasi doktrin yang bersifat absolut ;
Ulama dan penganut madzhab Maliki telah menjadi­kan al-Muwaththa’ sebagai referensi utama faham fiqh mereka. Lebih-lebih dalam al-Muwaththa’ tersajikan banyak informasi tentang perilaku (konvensi) penduduk Madinah, hal itu lebih menonjolkan unsur fiqh amali;
Khalifah Abu Ja’far al-Manshur dan harun al-Rasyid pernah mendesak agar al-Muwaththa’ diperlakukan sebagai konstitusi negara, betapa kemudian Imam Malik menyatakan keberatan terhadap gagasan tersebut ;
Di sela-sela penyajian hadis bisa didapati fatwa hukum yang sengaja diketengahkan oleh Imam Malik atau fatwa ulama mujahid dari generasi tabi’in.
Perihal nama “al-Muwaththa’” yang terpasang pada koleksi hadis-hadis Imam Malik berasal dari sikap kecoco­kan/persetujuan 70 ulama Madinah yang menjadi konsultan beliau terhadap mutu koleksi tersebut dan nyatanya mudah diterima masyarakat.

Pandangan Ulama Terhadap al-Muwaththa’
Popularitas kitab al-Muwaththa’ bersaing ketat dengan Sunan al-Darimi dalam jajaran usulul-hadis (buku induk rujukan hadis). Reputasi al-Muwaththa’ tetap diunggulkan karena ditunjang oleh kepioneran/kepeloporan Imam Malik dalam merintis kodifikasi hadis, terbawa pula oleh publikasi madzhab fiqhnya yang mendominir faham umat Islam di Madinah, Irak, Mesir, Afrika Utara, Spanyol/ Andalus dan Sakliah. Selain itu faktor perawi langsung al-Muwaththa’ pada generasi pertama mencapai jumlah 68 orang dan pada generasi berikutnya berkembang menjadi 993 perawi.
Guru hadis yang merupakan sumber pengutipan utama koleksi Imam Malik dalam al-Muwaththa’ terdiri atas 95 orang, sedangkan personalia tetap sahabat Nabi yang menjadi nara sumber hadisnya mencapai 85 orang, di tambah dengan 23 shahabiyah (sahabat wanita) termasuk didalamnya para Ummahatul-Mu’minin dan tokoh ulama hadis dari generasi tabi’in yang hadis mereka memadati al-Muwaththa’ berjumlah 48 orang.
Kepercayaan yang serta merta diberikan kepada Imam Malik selaku ulama ahli hadis, antara lain dapat di telusuri lewat sikap Imam al-Bukhari yang segera menerima keabsahan hadis tanpa syarat selagi hadis tersebut di riwayatkan melalui Imam Malik. Lebih dari itu muncul pula pengakuan terbuka yang datangnya dari Imam Syafi’i dan belakangan ini Ibnu Shalah dan Ibnu ‘Asakir yang intinya menyatakan bahwa al-Muwaththa’ merupakan kitab yang paling shahih (valid) dari deretan kitab susunan siapapun setingkat lebih rendah dalam mutu keshahihan sesudah Kita­bullah (al-Qur’an). Evaluasi sedini yang disampaikan oleh Imam Syafi’i tersebut amat sesuai dengan konteks zamannya semisal bila diperbandingkan kualitas keshahihannya dengan koleksi hadis ulama segenerasi al-Muwaththa’. Al-Jami’ koleksi Sufyan dan Mushannaf hasil koleksi Hammad Ibnu Salamah dan mudawan lainnya tentu jauh dari mutu keshahi­han hadis-hadis yang memadati kitab al-Muwaththa’ Imam Malik tersebut. Bukanlah reputasi Imam Malik dalam hadis di mata ulama ahlut-ta’dil wat-tajrih sudah menumbuhkan kesepakatan mereka untuk menempatkan Imam Malik dalam deretan utama “amirul-mu’minin fil hadis”, semacam gelar ilmiah hadis tertinggi. Pengakuan terhadap strata tersebut dikemukakan antara lain oleh Yahya Ibnu Ma’in dan terakhir oleh Abd. Rahman al-Mahdi.
Kritik terhadap hadis-hadis koleksi al-Muwaththa’ pada umumnya tertuju pada 61 hadis yang pengantar riwayatnya terbaca “balkaghani” tanpa menyebut secara tegas dari siapakah informasi tersebut atau pengantar lain dengan lambang inisial dari seorang tsiqqah (tanpa nama terang yang bersangkutan). Kritik lain diarahkan kepada 92 hadis yang dicurigai munqathi’ atau mursal. Bahkan Ibnu Hazem mengklaim 300 hadis mursal dan sejumlah lainnya termasuk kategori dhaif seiring dengan 70 hadis yang dinilai Imam Malik tidak konsekwen mengamalkannya.
Terhadap kritik yang sempat mengundang kesangsian umat tersebut telah diupayakan bukti kemusnadan masing-masing hadis secara tuntas oleh al-Hafidz Ibnu Abdil-Barr dan Ibnu Shalah. Dugaan mursal atau munqathi’ ternyata diperoleh dukungan kemarfu’an melalui redaksi hadis lain di dalam al-Muwaththa’ juga atau minimal ditunjang oleh keserasian maksud hadis lain yang bermutu marfu’. Walhasil polemik kalangan ulama berakhir dengan pengakuan seperti yang dinyatakan oleh Imam Syafi’i bahwa sepenuh hadis yang termuat dalam al-Muwaththa’ bermutu shahih tanpa penge­cualian.
Dukungan umat terhadap kitab al-Muwaththa’ terbukti­kan dengan munculnya 70 karya ulama pensyarah kitab ter-sebut, antara lain al-Istidzkar karya Yusuf Ibnu Abdil-Barr (wafat 463 H), al-Muntaha karya Sulaiman bin Khalaf al-Baji (wafat 474 H), al-Masalik karya Ibnul-’Arabi (wafat 546 H), Tanwirul-Hawalik karya Jalalud-din al-Sayuthi (wafat 911 H) dan generasi syarah terakhir di kerjakan oleh Muhamad Abd. Baqi al-Zarqani (wafat 1122 H).

Bahan Pustaka :
Dr. Ali Hasan Abd. Qadir, Nadratun ‘Ammatun fi Tarikh al-Fiqhi al-Islami, Kairo, hal. 244-252
Muhamad bin Alawi bin Abbas al-Maliki, Haula Muwaththa’ Imam Malik, Majalah Rabithah al-Alami a-Islami, Nomor 8, Bulan Sya’ban 1400 H/Juli 1980 M, Makkah, hal. 17
Dr. Musthafa al-Siba’i, al-sunnah wa Makanatuha, Dar, al-Qaumiyah Lit-thiba’ah, kairo, 1949, hal. 392-399.
Muhamad al-Shabagh, al-Hadis al-Nabawi, Maktab Islami, Riadh, 1976, hal. 404-406.
Al-Mabarkafuri, Muqaddimah Tuhfatul-Ahwadzi, Darul-Fikr, Beirut, 1979, hal. 171-179.
Dr. Subhi Shalih, ‘Ulumul-Hadis wa Mushthalahuhu, Dar Ilmi Lil-Malayin, Beirut, 1977, hal. 386-388
Muhamad Syadzali al-Naifar, Tarikhu Tadwinis-sunnah, majalah Rabhithah al-Alami al-Islami, tahun XX, Nomor 1 Muharram 1402 H/Nopember 1981 M, Mekkah, hal. 105-108.
Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah, Shihhatu Ushuli Madzhabi Ahlil-Madinah, Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, Mesir, 1988, hal. 36-42 dan hal. 47-49

0 komentar:

Posting Komentar