Salah satu cara orientalis dalam meragukan otentisitas
Hadis adalah dengan menuduh para ulama Hadis kurang memperhatikan aspek matan
dalam metodologi penelitiannya. Prof Dr Musthafa Azami dalam bukunya Dirasat
fil Hadis an-Nabawi wa Tarikh Tadwinih menyatakan bahwa Ignaz Goldziher
(seorang tokoh orientalis) menuduh penelitian Hadis yang dilakukan oleh ulama
klasik tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya.
Hal itu menurut Goldziher karena para ulama lebih banyak menggunakan metode
Kritik Sanad, dan kurang menggunakan metode Kritik Matan. Karenanya, Goldziher
kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu Kritik Matan saja.
Di antara para penulis modern atau intelektual Islam
yang mengikuti cara berfikir kaum orientalis ini adalah Profesor Ahmad Amin
asal Mesir. Dalam bukunya Fajr al-Islam, ia ikut melecehkan
kredibilitas ulama Hadis secara umum. Kemudian secara khusus, Imam Bukhari
dihujatnya. Katanya, “Kita melihat sendiri, meskipun tinggi reputasi
ilmiyahnya dan cermat penelitiannya, Imam Bukhari ternyata menetapkan Hadis-Hadis
yang tidak shahih ditinjau dari segi perkembangan zaman dan penemuan ilmiyah,
karena penelitian beliau hanya terbatas pada kritik sanad saja”. Menurut Ahmad
Amin, banyak Hadis-Hadis Bukhari yang tidak shahih, atau tepatnya palsu. Di
antaranya adalah sebuah Hadis di mana Nabi SAw bersabda, “Seratus tahun lagi
tidak ada orang yang masih hidup di atas bumi ini”.
Hadis
ini oleh Ahmad Amin dinilai palsu, karena ternyata setelah seratus tahun sejak
Nabi saw. mengatakan hal itu masih banyak orang yang hidup di atas bumi ini.
Kalau kita mau melihat secara objektif, sebenarnya
para ulama klasik sudah menggunakan metode Kritik Matan. Hanya saja apa yang
dimaksud Kritik Matan oleh Goldziher itu berbeda dengan metode Kritik Matan
yang digunakan oleh para ulama. Ahmad Amin yang ikut ramai-ramai melecehkan
Imam Bukhari ini ternyata juga keliru dalam memahami maksud Hadis tersebut,
sehingga apa yang disimpulkannya pun tidak bisa dibenarkan. Sebab, yang
dimaksud oleh Hadis itu bukanlah sesudah seratus tahun semenjak Nabi saw.
mengatakan hal itu tidak akan ada lagi yang masih hidup di atas bumi ini,
melainkan adalah bahwa orang-orang yang masih hidup ketika Nabi saw. mengatakan
hal itu, seratus tahun lagi mereka sudah wafat semua. Dan ternyata memang
demikian, sehingga Hadis itu oleh para ulama dinilai sebagai mukjizat Nabi saw.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang pemikiran Ahmad Amin berikut sanggahan para
ulama kepadanya, silakan merujuk kepada buku karangan Muhammad Ajjaj al-Khatib:
As-Sunnah Qabla Tadwin dan juga Mustafa as-Siba’i dalam bukunya As-Sunnah
wa Makanatuha fi Tasyri.
Dalam sejarahnya, kritik matan Hadis lahir lebih awal
daripada kritik sanad Hadis. Kritik matan sudah ada sejak zaman sejak zaman
Nabi Muhammad saw., sementara kritik sanad baru muncul sesudah terjadinya
fitnah di kalangan umat Islam, yaitu perpecahan di antara mereka menyusul
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan Ra pada tahun 35H. Sejak saat itulah
setiap orang yang menyampaikan Hadis selalu ditanya dari siapa ia memperoleh Hadis
itu. Apabila Hadis itu diterima dari orang yang tsiqqah, maka ia
diterima sebagai hujjah dalam Islam. Namun apabila Hadis itu diterima dari ahli
bid’ah, maka Hadis tersebut ditolak sebagai hujjah. Demikianlah seperti yang
dituturkan oleh Imam Muhammad bin Sirin (w 110H).
Karena jumlah rawi-rawi Hadis semakin hari semakin
banyak, sementara matan Hadis yang diriwayatkan tak bertambah, maka dalam
perkembangan selanjutnya, porsi untuk melakukan kritik sanad juga semakin
banyak jumlahnya. Sedangkan penelitian terhadap matan tidak mengalami
perkembangan seperti itu. Inilah yang membuat seolah-olah para kritikus Hadis
hanya mencurahkan perhatiannya pada kritik sanad saja, dan tidak melakukan
kritik matan. Faktor inilah juga yang membuat kaum orientalis dan
murid-muridnya menuduh bahwa para ulama ahli Hadis hanya melakukan kritik sanad
dan tidak melakukan kritik matan, sehingga Hadis yang semula dinyatakan shahih,
setelah dilakukan penelitian terhadap matannya dikemudian hari, ternyata tidak
shahih.
Dalam buku Manhaj an-Naqd al-Matan Inda Ulama al-Hadis
karangan Shalahuddin al-Adlabi juga dijelaskan tentang perhatian para
ulama Hadis yang tidak sembarangan terhadap kritik matan, yaitu sepeti apa yang
dikemukakan Al-Khatib Al-Baqdadi (w.463 H/1072 M) bahwa suatu matan Hadis dapat
dinyatakan maqbul (diterima) sebagai matan Hadis yang shahih apabila
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
Pertama, tidak bertentangan dengan akal sehat. Kedua,
tidak bertentangan dengan al-Qur'an yang telah muhkam. Ketiga, tidak
bertentangan dengan Hadis mutawatir. Keempat, tidak bertentangan
dengan amalan yang telah disepakati ulama masa lalu. Kelima, tidak bertentangan
dengan dalil yang telah pasti. Dan keenam, tidak bertentangan dengan Hadis Ahad
yang kualitas keshahihannya kuat.
Ada juga seperti Imam Syaf’i (w 204H) dengan kitabnya Ikhtilaf
al-Hadis, Imam Ibnu Qutaibah (w 279H) dengan kitabnya Takwil Mukhtalaf
al-Hadis, dan Imam al-Tahawi (w 321H) dengan kitabnya Musykil al-Atsar
yang ketiga-tiganya ini membahas tentang kontroversialitas Hadis dalam
aspek matan, juga telah membuktikan perhatian ulama klasik terhadap aspek matan
yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan tidak sembarangan.
Selain itu, kalau kita mempelajari "Ilmul
'Ilal", kita akan bisa mengakui sendiri bahwa asumsi Goldziher itu
adalah ahistoris. Dengan mempelajari ilmu yang merupakan ilmu paling
rumit dalam kajian Ilmu Hadis ini, kita akan bisa tahu dengan jelas bahwa analisa
terhadap Matan Hadis sejak dulu adalah merupakan sesuatu yang sangat
fundamental yang justru malah merupakan salah satu pilar berdirinya Ilmu
Jarh wa Ta'dil. Jadi justru Ilmu Ilal inilah yang merupakan
fundamen historis sekaligus laboratorium terakhir dari apa yang kita kenal
sebagai Kritik Riwayat.
Ada tiga laboratorium besar yang harus dilewati sebuah Hadis
sehingga bisa dinyatakan "valid". Yaitu Ilmul Marasil, Ilmu
Jarah wa Ta'dil, dan Ilmul Ilal. Yang pertama berbicara mengenai
kesinambungan rantai sanad. Yang kedua berbicara mengenai kualifikasi para
rawi. Dan yang ketiga berbicara mengenai titik- titik rawan dalam sanad maupun
matan yang bisa mempengaruhi otentisitas Hadis (meskipun sebelumnya sudah
dinyatakan valid dalam dua lab yang pertama). Posisi "Kritik Matan"
itu sendiri, berada di laboratorium yang ketiga, dan sekaligus menjadi pilar
penting untuk laboratorium yang kedua. Dan karena saking rumit dan cermatnya
kajian-kajian dalam segmen ini, tidak banyak yang mampu melakukannya kecuali
paka pakar jahabidzah yang berpengalaman semisal Imam Ahmad, Ibnu
Ma'in, Abu Hatim, Abu Zur'ah, al-Bukhari, ad-Daruquthny, dan at-Tirmidzi. Di
kalangan muta’akhirin adalah semisal Imam an-Nawawi, Ibnu Taimiyah,
Ibnu Rajab, dan Ibnu Hajar.
Oleh karena itu, sebuah kekeliruan besar apabila
Goldziher menuduh penelitian Hadis yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat
dipertanggung jawabkan. Adapun, kenapa di zaman modern ini (bukan Zaman
Klasik), Kritik Matan dan Ilmu Ilal berkurang kadar kajiannya?
Jawabannya jelas. Pertama, karena mayoritas Hadis-Hadis yang ada sudah
terseleksi semuanya secara sanad maupun matan dengan sangat cermat oleh para
pakar tersebut. Dan kedua, karena untuk menghasilkan kajian yang verified dalam
bidang ini, dibutuhkan pemenuhan kriteria dan parameter-parameter yang cukup
berat dan tidak sembarangan.
Wallahu a’lamu bis-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar