Senin, 11 Maret 2013

Ketahanan Keuangan Syariah Dalam Menghadapi Krisis Global Dan Kontribusinya Atas Ekonomi Nasional Dan Ekonomi Global

Bisakah Kekuatan Keuangan Syariah Menjadi Pilar Pertumbuhan Ekonomi Nasional? (Memanfaatkan Daya Imun Islamic Finance dalam Krisis Global)

Disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) Kementrian Keuangan Republik Indonesia Badan Kebijakan Fiskal Pusat Kebijkan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Kamis, 3 November 2011

Understanding: Krisis Keuangan Global vs Ketahanan Islamic Finance

Setahun setelah badai ‘’subprime mortgage’’ menghantam Lembaga Keuangan Amerika Serikat tahun 2007, yang menyebabkan terjadinya krisis keuangan global (the global financial turmoil) Lembaga Pemeringkat Moody membuat pernyataan mengejutkan, bahwa lembaga keuangan di kawasan negara-negara Teluk – maksudnya di negara-negara Islam– menunjukkan kekuatan ketahanannya selama krisis keuangan global (www.reuters.com, 2008).

Padahal, pasca terjadinya ‘’subprime mortgage’’ tak ada satu pun di antara negara-negara maju di dunia yang luput dari turbulansi krisis keuangan global tersebut. Pasca badai ‘’subprime mortgage’’ itu, pertumbuhan ekonomi AS jatuh ke level minus 2,51 persen. Negara-negara Eropa seperti Inggris, Jerman dan Prancis pertumbuhan ekonominya juga turun masing-masing menjadi minus 4,1 persen, minus 3,8 persen dan minus 3,2 persen.

Hal yang sama menimpa negara-negara maju Asia, seperti Jepang pertumbuhan ekonominya pada tahun 2009 anjlok pada level minus 9,7 persen. Korea Selatan meski agak membaik sedikit dibanding Jepang, pada tahun yang sama pertumbuhan ekonominya positif 0,1 persen, sebelumnya mengalami pertumbuhan negatif. India dan Cina, India tercatat sebagai negara di Asia yang cepat memulihkan pertumbuhan ekonominya, dari pertumbuhan 4,5 persen pada tahun 2008 meningkat menjadi 5,8 persen pada tahun 2009. Sedang Cina, justru mengalami perlambatan, dari 6,8% menjadi 6,1 persen (BAPPENAS, 2010).

Begitu juga ketika terjadi krisis Keuangan yang melanda Yunani yang akhirnya harus di-bail-out Uni Eropa, daya imun Islamic Finance tetap teruji. Dengan kinerja keuangan Islam seperti itu di level global, maka sekarang ini di beberapa negara maju banyak yang mengadopsi sistem keuangan Islam. Jadi, tidak hanya di negara-negara Islam saja Islamic Finan bisa tumbuh subur.

Crane et. all (1993) setelah meneliti kasus pertanian yang hampir lumpuh di AS lantaran terkena dampak krisis tahun 1980-an merekomendasikan agar Lembaga Keuangan AS mengadopsi sistem keuangan Islam secara struktural ke sistem keuangan AS yaitu memanfaatkan instrumen Profit and Loss Sharing (PLS) dalam bentuk equitas eksternal.

Crane tidak melihat Islamic Finance sebagai ideologi Islam, namun lebih karena PLS punya keunggulan dan manfaat ekonomi untuk membantu krisis keuangan yang diderita petani AS. Dengan adanya krisis keuangan yang menyebabkan suku bunga perbankan tidak stabil dan cenderung naik terus, rasanya tidak memungkinkan bagi petani AS mengandalkan modal produksinya dari dana pinjaman bank konvensional. Pertanian yang beresiko tinggi, membuat banyak perbankan keberatan mengucurkan kreditnya ke sektor tersebut. Sedang instrumen PLS mempunyai fleksibelitas dan bisa menstransfer resiko keuangan dari petani ke investor.

Ekonomi Nasional Vs Krisis Global

Indonesia juga pernah mengalami krisis multi dimensi yang diawali oleh krisis moneter tahun 1997, terjadi rush (penarikan uang besar-besaran) di bank konvensional dan terjadi money flight (pelarian modal ke luar negeri), negara rugi triliunan rupiah bahkan untuk bantuan perbankan saja negara harus mengucurkan dana sekitar Rp 700 triliun. Seperti kita tahu, kejadian itu bermula karena perbankan kita (kebanyakan konvensional) banyak melakukan praktek gharar (spekulasi) dan sebagian bankir nya banyak yang melakukan pelanggaran alias tidak amanah, ada yang memanfaatkan dana yang sudah terkumpul di banknya untuk membiayai proyek atau perusahaannya sendiri, ada juga yang menyalurkan dananya untuk kelompok (etnis) nya sendiri dan lain sebagainya.

Walaupun bermula dari krisis moneter, akhirnya merembet ke berbagai sektor kehidupan, kerusuhan sosial terjadi di mana-mana dan klimaksnya runtuhnya Orde Baru yang sudah bertahan hingga 30 tahunan, Presiden Soeharto harus lengser ke prabon. Orde Reformasi yang menggantikannya harus pontang-panting merestorasi pembangunan yang nyaris runtuh itu. Dalam kasus krisis moneter itu, kita juga menyaksikan ketahanan dari Islamic Bank, hanya bank-bank yang berbasis syariah saja yang relatif tidak terkena dapak krisis multi dimensi itu.

Orde Reformasi yang dimulai Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melakukan penegakkan hukum (Supremasi Hukum) dengan memangkas habis KKN dan melakukan efisiensi serta perombakan kabinetnya agar supaya pemerintahannya berjalan efektif memulihkan krisis dan mendorong kembali semua kekuatan ekonomi. Karena situasi politik belum stabil, tarik menarik kepentingan terus terjadi. Antara eksekutif dan legislatif sering tidak sinkron, bahkan pernah suatu ketika Gus Dur melontarkan pernyataan kontroversial yang menyebut DPR seperti TK. Akhirnya Gus Dur lengser di tengah jalan yang diteruskan oleh Megawati Soekarno Putri.

Selanjutkan Pemilu 2004 SBY terpilih sebagai presiden, dalam periode pertama kepemimpinannya kondisi politik relatif stabil sehingga memungkinkan pembangunan ekonomi mulai bergerak normal. Hanya gangguan yang paling parah, sering terjadinya bencana alam, mulai dari tsunami di Aceh, gempa di Yogya, tanah longsor di berbagai tempat serta kecelakaan pesawat dan kereta api. Bencana dan musibah kecelakaan sedikit banyak mengganggu perekonoian nasional.

Suatu hal yang juga ikut membantu untuk pemulihan perekonomian adalah masih kentalnya modal sosial dalam masyarakat, yaitu semangat gotong royong. Bantuan itu datang dari lintas pulau, lintas etnis, lintas agama dan lintas negara. Sehingga Aceh dalam waktu tidak terlalu lama kembali pulih, Yogya juga normal, begitu juga Wasior di Papua.

Seiring dengan pulihnya keadaan pembangunan ekonomi terus berjalan. Bahkan pertumbuhan ekonomi boleh dikata mencatat prestasi yang spektakuler. Apalagi kalau kita lihat pada saat-saat terjadinya krisis global tahun 2007. Krisis ekonomi yang dipicu ‘’subprime mortgage’’ ( kredit perumahan dengan profil resiko tinggi) dan gejolak finansial di Amerika Serikat itu, juga berdampak ke perekonoian nasional. Amerika Serikat sendiri begitu terpuruk hingga mengalami resesi ekonomi mendalam.

Jika kita melihat posisi Indonesia di kawasan Asia Tenggara, maka terlihat bahwa Indonesia yang relatif tangguh menghadapi krisis global itu. Yang paling parah terkena krisis global adalah Singapura, negara yang dianggap termaju di Asean itu pertumbuhan ekonominya anjlok minus 10,1 persen. Thailand di bawah Singapura, minus 7,1 persen, Malaysia minus 6,2 persen. Philipina tahun 2008 pertumbuhannya 4,5 persen, tahun 2009 0,4 persen. Indonesia satu-satunya di antara lima anggota Asean yang pertumbuhannya cukup tinggi mencapai 4,4 persen ( Nota Keuangan dan RAPBN RI, 2010).

Apa rahasia di balik bertahannya pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kurun waktu adanya tekanan krisis global itu. Karena pemerintah mampu meredam imbas fluktuasi harga minyak mentah dunia dan tren naiknya harga komoditas. Adanya hantaman pengaruh eksternal, kenaikan komoditas Crude Palm Oil (CPO) dan komoditas lainnnya dengan subsidi terkendali, berupa subsidi minyak goreng. Pemberian subsidi BBM dapat mendorong perekonomian sesuai target.

Pengkondisian di dalam negeri sangat penting agar pertumbuhan ekonomi berjalan stabil, tidak sensitif perubahan eksternal. Pengkondisian meliputi, meningkatnya konsumsi masyarakat, meningkatnya volume anggaran pemerintah, bertumbuhnya investasi langsung, dan surplus neraca perdagangan. Faktor dominannya adanya purchasing power yang berasal dari dana subsidi. Meningkatnya alokasi anggaran pembangunan stimulus bagi perekonomian dan perbaikan kebijakan bidang perpajakan, untuk mencapai kesinambungan fiskal. Perbaikan kebijakan mengurangi hambatan berinvestasi agar mendorong kenaikan investasi langsung, adanya perbaikan harga komoditas di luar negeri yang mampu mendorong naiknya ekspor Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi yang mencapai target, inflasi yang terkendali, nilai tukar rupiah yang stabil dan tren menurunnya SBI berpengaruh positif kepada perekonomian secara agregat. Membaiknya fiskal dan ditunjang dengan meningkatnya sumber-sumber pembiayaan dalam negeri dapat menciptakan kemandirian ekonomi nasional. Beban utang luar negeri bisa dikurangi, sehingga rasio utang terhadap PDB (Pendapatan Domestik Bruto) mengalami penurunan yang signifikan. Posisi utang luar negeri kita pada tahun 2005 adalah 47,0 persen, tahun 2006 menurun menjadi 39 persen dan hingga 2007 turun menjadi 36 persen. Penurunan rasio utang luar ini akan menyehatkan APBN, sehingga memungkinkan alokasi anggaran yang lebih besar dan memperbaiki kualitas kesejahteraan rakyat.

Integrasi dan Strategi

Menurut Bashir (2002) Islamic Finance terbukti bisa meningkatkan kesejahteraan, sedangkan inflasi justru mengurangi kesejahteraan dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Bashir memang menguji teori neo-klasik tentang pertumbuhan bahwa ternyata ada sejumlah pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan memakai sistem keuangan konvensional, seperti misalnya pengendalian inflasi, pembangunan berkelanjutan dan implikasi kebijakan fiskal dan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi. Karena itu, dalam temuan penelitiannya pihaknya menyarankan agar mengganti sistem suku bunga tetap dengan variabel tingkat pengembalian yang berdasar sistem Profit and Loss Sharing (PLS). Di bawah pengaturan PLS, deposit dalam lembaga keuangan menerima bagian keuntungan dari bank, sementara pinjaman bisa menjadi equitas.

Sebagaimana Bashir berpendapat bahwa pada hakikatnya tujuan dan fungsi sistem keuangan Islam pada hakikatnya sama dengan yang berlaku di sistem kapitalis. Menurut Chapra (2000), perbedaan antara sistem kapitalis dengan Islamic Finance adalah terletak pada penekanannya, karena Islamic Finance berkomitmen kepada nilai-nilai spritual, keadilan sosio-ekonomi dan persaudaraan kemanusian. Karena itu karakteristik utama dari sistem keuangan dan perbankan Islam harus mencakup paling tidak sebagai berikut:

(a) kesejahteraan ekonomi yang diperluas dengan kesempatan kerja penuh dan laju pertumbuhan ekonomi yang optimal;

(b) keadilan sosio ekonomi dan distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata;

(c) stabilitas nilai mata uang untuk memungkinkan alat tukar sebagai satuan unit yang dapat diandalkan, standar yang adil bagi pembayaran yang ditangguhkan, dan alat penyimpanan yang stabil;

(d) mobilisasi dan investasi tabungan untuk pembangunan perekonomian dalam suatu cara yang adil sehingga pengembalian keuntungan dapat dijamin bagi semua pihak yang bersangkutan;

(e) memberikan semua pelayanan yang efektif yang secara normal diharapkan dari sistem perbankan.

Bagaimana agar supaya Islaimc Finance bisa bersinergi dan memberikan kontribusi optimal dalam sistem ekonomi nasional. Maka, kita harus mendorong agar supaya negara mengadopsi kekuatan Islamic Finance ini menjadi terintegrasi dengan sistem keuangan nasional. Karena itu harus dirumuskan pula strategi agar usulan ini mencapai sasarannya yaitu terintegrasinya sistem keuangan Islam ke dalam keuangan nasional secara formal struktural.

Islam tidak menganut paham dikotomis yang memisahkan antara agama dan negara, jadi sistem keuangan Islam bukan merupakan bagian terpisah dari suatu perekonomian dan sistem politik suatu negara. Agar sistem keuangan Islam bisa berfungsi maksimal dan memberikan kontribusi optimal terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, diperlukan reformasi dalam berbagai bidang, yaitu transformasi moral, regenerasi sosioekonomi dan reformasi politik. Kesemua itu akan berjalan dengan lancar, jika negara berperan aktif di dalamnya.

Kekuatan Islamic Finance bukan hanya dalam perbankan dan lembaga keuangan saja, tetapi Islam juga mempunyai kekuatan finansial dalam rangka tanggungjawab sosial, antara lain lewat zakat, infak, sedekah, wakaf, jizyah, kharaj, rikaz dan sebagainya. Menurut Khasanah (2010), zakat bisa dapat berfungsi menstabilkan perekonomian dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian serta dapat menciptakan keadilan ekonomi lewat distribusi pendapatan. Zakat bisa menjadi stimulus untuk meningkatkan daya beli masyarakat, sebagaimana dalam kasus pertumbuhan ekonomi nasional kita, tidak terkena imbas krisis global lantaran faktor kuatnya daya beli masyarakat. Karena dengan berfungsinya zakat secara optimal akan mendorong daya beli masyarakat, karena kekayaan tidak terkonsentrasi di sekelompok kecil orang.

Di samping itu, konsep pembagian dana zakat juga bisa diadopsi menjadi postur alokasi anggaran dalam APBN kita. Dalam teori zakat ada delapan asnaf yang harus mendapat bagian yang sama yatu masing-masing memperoleh bagian seper delapan dari dana zakat, sehingga zakat dapat berfungsi dengan baik meningkatkan kesejahteraan sosial. Zakat dapat mentransformasi struktur ekonomi masyarakat, yaitu dari mereka yang tidak punya (mustahiq) yang diberdayakan dengan dana zakat tertransformasi menjadi orang yang punya atau sejahtera (muzakki). Banyak pihak yang mengkritisi postur APBN kita sekarang ini kurang mencerminkan keadilan, karena alokasi terbesar dari total dana APBN sekitar Rp 1.400 triliun sebagian besar diperuntukkan untuk belanja pegawai, kalau dilihat dalam kasus zakat hanya dihabiskan untuk belanja amil saja. Kalau seumpamanya bisa mengadopsi zakat, misalnya anggaran pendidikan termasuk beasiswa, pengentasan kemiskinan dan lain sebagainya mendapat anggaran yang adil dan signifikan, maka insya Allah pertumbuhan ekonomi kita akan meningkat tajam, inflasi terkendali dan ada pemerataan pendapatan yang sehat di masyarakat. Dengan terciptanya keadilan sosio ekonomi, akan terus mengeleminasi kesenjangan sosial dan tidak akan terjadi lagi kerusuhan sosial yang kerap juga mengganggu roda perekonomian dalam masyarakat dan perekonomian nasional.

Wallahu’ala Bishshawab

0 komentar:

Posting Komentar