Bisakah Kekuatan Keuangan Syariah Menjadi Pilar Pertumbuhan Ekonomi
Nasional? (Memanfaatkan Daya Imun Islamic Finance dalam Krisis Global)
Disampaikan
pada Focus Group Discussion (FGD) Kementrian Keuangan Republik
Indonesia Badan Kebijakan Fiskal Pusat Kebijkan Pembiayaan Perubahan
Iklim dan Multilateral Kamis, 3 November 2011
Understanding: Krisis Keuangan Global vs Ketahanan Islamic Finance
Setahun
setelah badai ‘’subprime mortgage’’ menghantam Lembaga Keuangan Amerika
Serikat tahun 2007, yang menyebabkan terjadinya krisis keuangan global
(the global financial turmoil) Lembaga Pemeringkat Moody membuat
pernyataan mengejutkan, bahwa lembaga keuangan di kawasan negara-negara
Teluk – maksudnya di negara-negara Islam– menunjukkan kekuatan
ketahanannya selama krisis keuangan global (www.reuters.com, 2008).
Padahal,
pasca terjadinya ‘’subprime mortgage’’ tak ada satu pun di antara
negara-negara maju di dunia yang luput dari turbulansi krisis keuangan
global tersebut. Pasca badai ‘’subprime mortgage’’ itu, pertumbuhan
ekonomi AS jatuh ke level minus 2,51 persen. Negara-negara Eropa seperti
Inggris, Jerman dan Prancis pertumbuhan ekonominya juga turun
masing-masing menjadi minus 4,1 persen, minus 3,8 persen dan minus 3,2
persen.
Hal yang sama menimpa negara-negara maju Asia,
seperti Jepang pertumbuhan ekonominya pada tahun 2009 anjlok pada level
minus 9,7 persen. Korea Selatan meski agak membaik sedikit dibanding
Jepang, pada tahun yang sama pertumbuhan ekonominya positif 0,1 persen,
sebelumnya mengalami pertumbuhan negatif. India dan Cina, India tercatat
sebagai negara di Asia yang cepat memulihkan pertumbuhan ekonominya,
dari pertumbuhan 4,5 persen pada tahun 2008 meningkat menjadi 5,8 persen
pada tahun 2009. Sedang Cina, justru mengalami perlambatan, dari 6,8%
menjadi 6,1 persen (BAPPENAS, 2010).
Begitu juga ketika
terjadi krisis Keuangan yang melanda Yunani yang akhirnya harus
di-bail-out Uni Eropa, daya imun Islamic Finance tetap teruji. Dengan
kinerja keuangan Islam seperti itu di level global, maka sekarang ini di
beberapa negara maju banyak yang mengadopsi sistem keuangan Islam.
Jadi, tidak hanya di negara-negara Islam saja Islamic Finan bisa tumbuh
subur.
Crane et. all (1993) setelah meneliti kasus
pertanian yang hampir lumpuh di AS lantaran terkena dampak krisis tahun
1980-an merekomendasikan agar Lembaga Keuangan AS mengadopsi sistem
keuangan Islam secara struktural ke sistem keuangan AS yaitu
memanfaatkan instrumen Profit and Loss Sharing (PLS) dalam bentuk
equitas eksternal.
Crane tidak melihat Islamic Finance
sebagai ideologi Islam, namun lebih karena PLS punya keunggulan dan
manfaat ekonomi untuk membantu krisis keuangan yang diderita petani AS.
Dengan adanya krisis keuangan yang menyebabkan suku bunga perbankan
tidak stabil dan cenderung naik terus, rasanya tidak memungkinkan bagi
petani AS mengandalkan modal produksinya dari dana pinjaman bank
konvensional. Pertanian yang beresiko tinggi, membuat banyak perbankan
keberatan mengucurkan kreditnya ke sektor tersebut. Sedang instrumen PLS
mempunyai fleksibelitas dan bisa menstransfer resiko keuangan dari
petani ke investor.
Ekonomi Nasional Vs Krisis Global
Indonesia
juga pernah mengalami krisis multi dimensi yang diawali oleh krisis
moneter tahun 1997, terjadi rush (penarikan uang besar-besaran) di bank
konvensional dan terjadi money flight (pelarian modal ke luar negeri),
negara rugi triliunan rupiah bahkan untuk bantuan perbankan saja negara
harus mengucurkan dana sekitar Rp 700 triliun. Seperti kita tahu,
kejadian itu bermula karena perbankan kita (kebanyakan konvensional)
banyak melakukan praktek gharar (spekulasi) dan sebagian bankir nya
banyak yang melakukan pelanggaran alias tidak amanah, ada yang
memanfaatkan dana yang sudah terkumpul di banknya untuk membiayai proyek
atau perusahaannya sendiri, ada juga yang menyalurkan dananya untuk
kelompok (etnis) nya sendiri dan lain sebagainya.
Walaupun
bermula dari krisis moneter, akhirnya merembet ke berbagai sektor
kehidupan, kerusuhan sosial terjadi di mana-mana dan klimaksnya
runtuhnya Orde Baru yang sudah bertahan hingga 30 tahunan, Presiden
Soeharto harus lengser ke prabon. Orde Reformasi yang menggantikannya
harus pontang-panting merestorasi pembangunan yang nyaris runtuh itu.
Dalam kasus krisis moneter itu, kita juga menyaksikan ketahanan dari
Islamic Bank, hanya bank-bank yang berbasis syariah saja yang relatif
tidak terkena dapak krisis multi dimensi itu.
Orde
Reformasi yang dimulai Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melakukan
penegakkan hukum (Supremasi Hukum) dengan memangkas habis KKN dan
melakukan efisiensi serta perombakan kabinetnya agar supaya
pemerintahannya berjalan efektif memulihkan krisis dan mendorong kembali
semua kekuatan ekonomi. Karena situasi politik belum stabil, tarik
menarik kepentingan terus terjadi. Antara eksekutif dan legislatif
sering tidak sinkron, bahkan pernah suatu ketika Gus Dur melontarkan
pernyataan kontroversial yang menyebut DPR seperti TK. Akhirnya Gus Dur
lengser di tengah jalan yang diteruskan oleh Megawati Soekarno Putri.
Selanjutkan
Pemilu 2004 SBY terpilih sebagai presiden, dalam periode pertama
kepemimpinannya kondisi politik relatif stabil sehingga memungkinkan
pembangunan ekonomi mulai bergerak normal. Hanya gangguan yang paling
parah, sering terjadinya bencana alam, mulai dari tsunami di Aceh, gempa
di Yogya, tanah longsor di berbagai tempat serta kecelakaan pesawat dan
kereta api. Bencana dan musibah kecelakaan sedikit banyak mengganggu
perekonoian nasional.
Suatu hal yang juga ikut membantu
untuk pemulihan perekonomian adalah masih kentalnya modal sosial dalam
masyarakat, yaitu semangat gotong royong. Bantuan itu datang dari lintas
pulau, lintas etnis, lintas agama dan lintas negara. Sehingga Aceh
dalam waktu tidak terlalu lama kembali pulih, Yogya juga normal, begitu
juga Wasior di Papua.
Seiring dengan pulihnya keadaan
pembangunan ekonomi terus berjalan. Bahkan pertumbuhan ekonomi boleh
dikata mencatat prestasi yang spektakuler. Apalagi kalau kita lihat pada
saat-saat terjadinya krisis global tahun 2007. Krisis ekonomi yang
dipicu ‘’subprime mortgage’’ ( kredit perumahan dengan profil resiko
tinggi) dan gejolak finansial di Amerika Serikat itu, juga berdampak ke
perekonoian nasional. Amerika Serikat sendiri begitu terpuruk hingga
mengalami resesi ekonomi mendalam.
Jika kita melihat
posisi Indonesia di kawasan Asia Tenggara, maka terlihat bahwa Indonesia
yang relatif tangguh menghadapi krisis global itu. Yang paling parah
terkena krisis global adalah Singapura, negara yang dianggap termaju di
Asean itu pertumbuhan ekonominya anjlok minus 10,1 persen. Thailand di
bawah Singapura, minus 7,1 persen, Malaysia minus 6,2 persen. Philipina
tahun 2008 pertumbuhannya 4,5 persen, tahun 2009 0,4 persen. Indonesia
satu-satunya di antara lima anggota Asean yang pertumbuhannya cukup
tinggi mencapai 4,4 persen ( Nota Keuangan dan RAPBN RI, 2010).
Apa
rahasia di balik bertahannya pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kurun
waktu adanya tekanan krisis global itu. Karena pemerintah mampu meredam
imbas fluktuasi harga minyak mentah dunia dan tren naiknya harga
komoditas. Adanya hantaman pengaruh eksternal, kenaikan komoditas Crude
Palm Oil (CPO) dan komoditas lainnnya dengan subsidi terkendali, berupa
subsidi minyak goreng. Pemberian subsidi BBM dapat mendorong
perekonomian sesuai target.
Pengkondisian di dalam
negeri sangat penting agar pertumbuhan ekonomi berjalan stabil, tidak
sensitif perubahan eksternal. Pengkondisian meliputi, meningkatnya
konsumsi masyarakat, meningkatnya volume anggaran pemerintah,
bertumbuhnya investasi langsung, dan surplus neraca perdagangan. Faktor
dominannya adanya purchasing power yang berasal dari dana subsidi.
Meningkatnya alokasi anggaran pembangunan stimulus bagi perekonomian dan
perbaikan kebijakan bidang perpajakan, untuk mencapai kesinambungan
fiskal. Perbaikan kebijakan mengurangi hambatan berinvestasi agar
mendorong kenaikan investasi langsung, adanya perbaikan harga komoditas
di luar negeri yang mampu mendorong naiknya ekspor Indonesia.
Pertumbuhan
ekonomi yang mencapai target, inflasi yang terkendali, nilai tukar
rupiah yang stabil dan tren menurunnya SBI berpengaruh positif kepada
perekonomian secara agregat. Membaiknya fiskal dan ditunjang dengan
meningkatnya sumber-sumber pembiayaan dalam negeri dapat menciptakan
kemandirian ekonomi nasional. Beban utang luar negeri bisa dikurangi,
sehingga rasio utang terhadap PDB (Pendapatan Domestik Bruto) mengalami
penurunan yang signifikan. Posisi utang luar negeri kita pada tahun 2005
adalah 47,0 persen, tahun 2006 menurun menjadi 39 persen dan hingga
2007 turun menjadi 36 persen. Penurunan rasio utang luar ini akan
menyehatkan APBN, sehingga memungkinkan alokasi anggaran yang lebih
besar dan memperbaiki kualitas kesejahteraan rakyat.
Integrasi dan Strategi
Menurut
Bashir (2002) Islamic Finance terbukti bisa meningkatkan kesejahteraan,
sedangkan inflasi justru mengurangi kesejahteraan dan menghambat
pertumbuhan ekonomi. Bashir memang menguji teori neo-klasik tentang
pertumbuhan bahwa ternyata ada sejumlah pertanyaan yang tidak bisa
dijawab dengan memakai sistem keuangan konvensional, seperti misalnya
pengendalian inflasi, pembangunan berkelanjutan dan implikasi kebijakan
fiskal dan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi. Karena itu, dalam
temuan penelitiannya pihaknya menyarankan agar mengganti sistem suku
bunga tetap dengan variabel tingkat pengembalian yang berdasar sistem
Profit and Loss Sharing (PLS). Di bawah pengaturan PLS, deposit dalam
lembaga keuangan menerima bagian keuntungan dari bank, sementara
pinjaman bisa menjadi equitas.
Sebagaimana Bashir
berpendapat bahwa pada hakikatnya tujuan dan fungsi sistem keuangan
Islam pada hakikatnya sama dengan yang berlaku di sistem kapitalis.
Menurut Chapra (2000), perbedaan antara sistem kapitalis dengan Islamic
Finance adalah terletak pada penekanannya, karena Islamic Finance
berkomitmen kepada nilai-nilai spritual, keadilan sosio-ekonomi dan
persaudaraan kemanusian. Karena itu karakteristik utama dari sistem
keuangan dan perbankan Islam harus mencakup paling tidak sebagai
berikut:
(a) kesejahteraan ekonomi yang diperluas dengan kesempatan kerja penuh dan laju pertumbuhan ekonomi yang optimal;
(b) keadilan sosio ekonomi dan distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata;
(c)
stabilitas nilai mata uang untuk memungkinkan alat tukar sebagai satuan
unit yang dapat diandalkan, standar yang adil bagi pembayaran yang
ditangguhkan, dan alat penyimpanan yang stabil;
(d)
mobilisasi dan investasi tabungan untuk pembangunan perekonomian dalam
suatu cara yang adil sehingga pengembalian keuntungan dapat dijamin bagi
semua pihak yang bersangkutan;
(e) memberikan semua pelayanan yang efektif yang secara normal diharapkan dari sistem perbankan.
Bagaimana
agar supaya Islaimc Finance bisa bersinergi dan memberikan kontribusi
optimal dalam sistem ekonomi nasional. Maka, kita harus mendorong agar
supaya negara mengadopsi kekuatan Islamic Finance ini menjadi
terintegrasi dengan sistem keuangan nasional. Karena itu harus
dirumuskan pula strategi agar usulan ini mencapai sasarannya yaitu
terintegrasinya sistem keuangan Islam ke dalam keuangan nasional secara
formal struktural.
Islam tidak menganut paham dikotomis
yang memisahkan antara agama dan negara, jadi sistem keuangan Islam
bukan merupakan bagian terpisah dari suatu perekonomian dan sistem
politik suatu negara. Agar sistem keuangan Islam bisa berfungsi maksimal
dan memberikan kontribusi optimal terhadap pertumbuhan ekonomi
nasional, diperlukan reformasi dalam berbagai bidang, yaitu transformasi
moral, regenerasi sosioekonomi dan reformasi politik. Kesemua itu akan
berjalan dengan lancar, jika negara berperan aktif di dalamnya.
Kekuatan
Islamic Finance bukan hanya dalam perbankan dan lembaga keuangan saja,
tetapi Islam juga mempunyai kekuatan finansial dalam rangka
tanggungjawab sosial, antara lain lewat zakat, infak, sedekah, wakaf,
jizyah, kharaj, rikaz dan sebagainya. Menurut Khasanah (2010), zakat
bisa dapat berfungsi menstabilkan perekonomian dan meningkatkan
pertumbuhan perekonomian serta dapat menciptakan keadilan ekonomi lewat
distribusi pendapatan. Zakat bisa menjadi stimulus untuk meningkatkan
daya beli masyarakat, sebagaimana dalam kasus pertumbuhan ekonomi
nasional kita, tidak terkena imbas krisis global lantaran faktor kuatnya
daya beli masyarakat. Karena dengan berfungsinya zakat secara optimal
akan mendorong daya beli masyarakat, karena kekayaan tidak
terkonsentrasi di sekelompok kecil orang.
Di samping
itu, konsep pembagian dana zakat juga bisa diadopsi menjadi postur
alokasi anggaran dalam APBN kita. Dalam teori zakat ada delapan asnaf
yang harus mendapat bagian yang sama yatu masing-masing memperoleh
bagian seper delapan dari dana zakat, sehingga zakat dapat berfungsi
dengan baik meningkatkan kesejahteraan sosial. Zakat dapat
mentransformasi struktur ekonomi masyarakat, yaitu dari mereka yang
tidak punya (mustahiq) yang diberdayakan dengan dana zakat
tertransformasi menjadi orang yang punya atau sejahtera (muzakki).
Banyak pihak yang mengkritisi postur APBN kita sekarang ini kurang
mencerminkan keadilan, karena alokasi terbesar dari total dana APBN
sekitar Rp 1.400 triliun sebagian besar diperuntukkan untuk belanja
pegawai, kalau dilihat dalam kasus zakat hanya dihabiskan untuk belanja
amil saja. Kalau seumpamanya bisa mengadopsi zakat, misalnya anggaran
pendidikan termasuk beasiswa, pengentasan kemiskinan dan lain sebagainya
mendapat anggaran yang adil dan signifikan, maka insya Allah
pertumbuhan ekonomi kita akan meningkat tajam, inflasi terkendali dan
ada pemerataan pendapatan yang sehat di masyarakat. Dengan terciptanya
keadilan sosio ekonomi, akan terus mengeleminasi kesenjangan sosial dan
tidak akan terjadi lagi kerusuhan sosial yang kerap juga mengganggu roda
perekonomian dalam masyarakat dan perekonomian nasional.
Wallahu’ala Bishshawab
0 komentar:
Posting Komentar