PROSPEK ILMU EKONOMI ISLAM
(Telaah Pemikiran M Umer Chapra Pada"The Future Of Economics: An Islamic
Perspective")
Oleh A. MUHTADI RIDWAN
A. Pendahuluan
Persoalan ekonomi manusia sebenarnya
telah tumbuh berkembang bersamaan dengan umur manusia di planet bumi ini,
demikian juga upaya untuk memecahkannya, tidak hanya untuk mempertemukan kedua
tujuan itu, tetapi membuat kehidupan lebih nyaman dan mendorong kekuatan mereka
terwujud berdasarkan visi mereka. Apa yang dikonsumsi, bagaimana memproduksi,
dan bagaimana mendistribusikan ?.
Persoalan-persoalan ini tetap menjadi isu utama selama perjuangan
manusia di sepanjang kehidupannya, baik yang terekam oleh sejarah maupun tidak.
Apabila persoalan ekonomi dikaitkan
dengan persoalan mendasar yang dihadapi umat manusia sekarang maka terdapat
suatu asumsi, yaitu munculnya suatu pandangan yang menempatkan aspek material
yang bebas dari dimensi nilai pada posisi yang dominan. Pandangan hidup yang
berpihak pada ideologi materialisme inilah yang kemudian mendorong perilaku
manusia menjadi pelaku ekonomi yang hedonistik, sekularistik dan materialistik.
Dampak yang ditimbulkan dari cara pandang inilah yang kemudian membawa
malapetaka dan bencana dalam kehidupan sosial masyarakat seperti eksploitasi
dan perusakan lingkungan hidup, disparatis pendapatan dan kekayaan
antargolongan dalam masyarakat dan antarnegara di dunia, lunturnya sikap
kebersamaan dan persaudaraan, timbulnya penyakit-penyakit sosial (social
disease), timbulnya revolusi sosial yang anarkis dan sebagainya.
Fenomena ini muncul disebabkan adanya
beberapa kemungkinan, yaitu antara lain adalah :[1]
Pertama, karena ilmu ekonomi cenderung berbicara dalam
dataran positif (positive economics) dengan maksud untuk tetap menjaga
obyektifitas ilmu.
Kedua, model masyarakat yang dikembangkan dalam ilmu
ekonomi modern beranjak dari tradisi masyarakat barat yang sekuler sehingga
contoh, model dan rumusan teori ekonominya diilhami dari latar belakang
masyarakat Eropa.
Ketiga, tradisi pemikiran Neo-Klasik menempatkan aspek
individualisme, naturalisme dan utilitarianisme dalam posisi yang startegis
dalam membangun paradigma ilmu ekonomi, sehingga teori dan model yang
dikembangkan adalah merupakan rumusan yang diorientasikan pada aspek-aspek
meterial seperti maksimasi keuntungan dan kepuasan, bekerjanya melalui
mekanisme harga melalui invisible hand.
Tidak ada keraguan bahwa ilmu ekonomi
konvensional telah mencapai tingkat sofistikasi intelektual yang sangat besar.
Namun bukanlah sofistikasi suatu disiplin yang diinginkan oleh manusia, karena
belum sepenuhnya dapat memecahkan problem kemanusian. Mereka sebenarnya
menginginkan bagaimana ilmu itu dapat membantu umat manusia merealisasikan
sasaran-sasaran humanitarian-nya, yang ada di setiap kepala manusia adalah
keadilan dan kesejahteraan umum. Di sinilah menurut Dr. M. Umer Chapra (1420
H/2000 M)[2],
ilmu ekonomi konvensional telah gagal. Selanjutnya ia (1420 H/2000 M)[3] berpendapat bahwa untuk menjawab pesoalan di
atas perlu dikembangkan ilmu ekonomi Islam, karena ia mempunyai potensi besar
karena lingkupnya yang jauh lebih luas. Melalui triloginya, Towards a Just
Monetary System (1985), Islam and the Economic Challenge (1992), dan
The Future of Economics: An Islamic Islamic
Perspective (2000), Chapra seperti mengingatkan mendesaknya agenda dekonstruksi
ilmu ekonomi konvensional.[4]
Penjelasan tentang sistem dan
argumentasi kegagalan ilmu ekonomi konvensional, perbandingan dan potensi ilmu
ekonomi Islam sebagai alternatif pemecahan problem sosioekonomic dalam
mayarakat akan penulis paparkan pada karya ini. Karya ini adalah merupakan
telaah buku yang bertajuk The Future of Economics : An Islamic Perspective
karya M. Umer Chapra.
Telaah sederhana ini akan mencoba
menangkap inti dari pembacaan penulis buku di atas tentang fenomena ekonomi
dunia dan usaha sebagai pencerahan dengan mencari alternatifnya yang menurut
Chapra sebenarnya sudah pernah berkembang kemudian hilang tertindih oleh sistem
sekuler.[5] Alternatif tersebut adalah sistem ekonomi
Islam.
B. Problem Akademik yang Melatarbelakangi Penulisan The Future of Economics : An Islamic
Perspective
Zafar Ishaq Anshori menjelaskan dalam
kata pengantarnya pada buku Chapra yang berjudul Islam and Economic
Development,[6]
bahwa sampai pada dekade 40-an, dukungan terhadap sebuah sistem ekonomi Islam
tidak terlalu umum di kalangan para sarjana muslim. Namun, pelan-pelan, pada
masa periode berikutnya, keinginan untuk menegakkan sebuah sistem kehidupan
yang islami, yang secara ilmiah merasuk ke dalam sektor kehidupan ekonomi,
menjadi lebih kuat. Keinginan untuk membangun lembaga ekonomi yang sejalan
dengan prinsip Islam (seperti lembaga finasial yang bebas bunga, pengumpulan
zakat lewat pemerintah, dan lain-lain) secara pelan-pelan mengarah kepada
kebangkitan sebuah gerakan intelektual. Sebagai konsekuensinya,
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan persoalan-persoalan ekonomi mulai
dibahas pada tingkat akademik dari perspektif Islam. Selama dua dekade sejumlah
ekonom yang pada umumnya dilatih dalan tradisi intelektual Barat telah
menekankan perlunya sebuah pendekatan Islam terhadap persoalan-persoalan
ekonomi. Hal ini telah melahirkan keprihatinan untuk mengembangkan sebuah
pendekatan baru bagi ekonomi, dan di kalangan terbatas, keprihatinan untuk
mengembangkan suatu disiplin akademis yang secara umum disebut ekonomi Islam.
Chapra adalah pelopor bagi gerakan ini dan termasuk di antara sarjana yang
banyak menyumbang usaha-usaha akademis ini.
Di masa awal-awal kehidupannya, Chapra
mengahadapi pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi kaum muslimin di sepanjang
kurun ini, haruskah mereka melihat Barat yang kapitalis dan Timur yang komunis
untuk mendapatkan aspirasi dan petunjuk dalam upaya membangun lembaga-lembaga
yang dibutuhkan bagi negara-negara yang baru saja merdeka ? Ataukah mereka
harus bergantung pada sumber daya-sumber daya intelektual mereka sendiri ?
Muhammad Umer Chapra adalah seorang
pakar ekonomi yang berasal dari Pakistan
yang menimba ilmu di Universitas Karachi dan Minnesota. Semasa
menjadi mahasiswa, ia telah berusaha untuk mempelajari ajaran-ajaran Islam yang
berkaitan dengan kehidupan ekonomi. Tidak lama setelah kembalinya ke Pakistan
dari AS pada tahun 1961, ia bekerja sebagai ekonom senior dan Associate Editor
Pakistan Development Review pada Pakistan Institute of development Economic,
dan sebagai reader pada Central Institute of Islamic Research, Pakistan selama
2 (dua) tahun. Ketika itu, secara sistematis ia menkaji gagasan-gagasan dan
prinsip-prinsip yang tertuang dalam tradisi Islam, yang menurut pandangannya
dapat memenuhi premis intelektual bagi sebuah sistem ekonomi yang sehat. Upaya
ini, yang kemudian ditingkatkan dan dimatangkan oleh kajian dan refleksinya
yang mendalam, telah mengantarkan kepada bukunya yang pertama, The
EconomicSystem of Islam: A Discussion of Its Goals and Nature (London, 1970).
Ia juga bekerja selama dua puluh tahun sebagai
penasehat ekonomi senior pada Monetary agency, Kerajaan Saudi sejak tahun 1965.
Sebelumnya, pada tahun 1964 ia mengajar mata kuliah ekonomi di beberapa
Universitas di Amerika Serikat, antara lain University
of Wisconsin, Platteville dan University of Kentucky, Lexinton.[7]
Ia juga. Ia telah mempublikasikan
beberapa buku tentang ekonomi. Dengan demikian ia adalah pakar yang kompeten
yang dapat berbicara secara lebih fundamental mengenai persoalan-persoalan
sistem perekonomian saat ini, demikian seperti diungkap oleh Khurshid Ahmad
dalam kata pengantar pada bukunya.[8]
Dalam kapasitasnya sebagai pakar ekonomi
ditambah dengan berbagai pengalaman praktis sebagai penasehat di bidangnya,
beliau menangkap dua persoalan mendasar,[9] yaitu pertama sebuah phenomena sosioekonomi,
bahwa menurut perkembangannya system ekonomi konvensional –walaupun telah
mencapai tingkat sofitikasi intelektual yang sangat besar- telah gagal dalam
mewujudkan kesejahteraan ekonomi umat manusia. Kegagalan tersebut, menurut
Chapra [10]
kemungkinan disebabkan karena; pertama, terletak pada anatemanya
terhadap penilaian (value judgement) dan penekanan yang berlebihan pada
maksimalisasi kekayaan dan pemuasan keinginan serta pengumbaran kepentingan
individual. Sejauh yang dikaitkan dengan kepentingan social, para ekonom
konvensional pada umumnya menganggap bahwa persaingan akan membantu
menggerakkan kepentingan diri sendiri dan pada gilirannya memenuhi kepentingan
sosial.
Di sinilah timbul persoalan apakah
maksimalisasi kekayaan dan pemuasan keinginan adalah hal yang benar-benar
diperlukan untuk mengoptimalkan kesejahteraan umat manusia atau masih juga
diperlukan adanya kedamaian mental dan kebahagiaan, solidaritas social dan
keluarga, pengasuhan yang mencukupi bagi anak-anak, pemenuhan kebutuhan pokok
bagi semua individu dalam masyarakat, dan distribusi kekayaan yang adil. Jika
semua masalah ini penting, persoalannya adalah apakah pelampiasan
kepentingan diri oleh tiap-tiap individu
secara optomatis akan membantu realisasinya.
Kedua, Adanya anathema ilmu ekonomi konvensional terhadap
penilaian dan penekanannya yang berlebihan pada maksimalisasi kekayaan dan
pemuasan kepentingan serta pengumbaran kepentingan diri sendiri (self-interest)
merupakan suatu pelarian yang jelas dari filosofi dasar mayoritas agama.
Agama-agama pada umumnya berpendapat bahwa kemakmuran meteriil, sekalipun
sangat penting tetapi tidak cukup dapat menggerakkan kepentingan diri sendiri
dan menjamin kepentingan social atau mencegah timbulnya bentuk-bentuk tindakan
yang salah dan ketidakadilan. Terdapat banyak cara yang halus untuk menghindari
persaingan yang tidak sehat, demikian juga cara menghindari penangkapan dan
hukuman akibat tindakan tersebut, tanpa selalu mengandalkan kekuatan paksa
negara. Usaha apapun yang mengandalkan lebih banyak pada Negara dalam mencegah
tindakan-tindakan yang salah tidak saja akan meningkatkan ongkos pemerintah,
melainkan juga akan menciptakan suatu pemerintahan totalitarian. Oleh karena
itu, nilai-nilai moral memiliki nilai penting dalam masyarakat manusia untuk
mencegah tindakan-tindakan yang salah dan ketidakadilan serta
menunbuhkembangkan kesejahteraan.
Oleh karena itu, perkembangan ilmu
konvensional yang semata-mata mengambil variabel-variabel ekonomi dalam
menjelaskan jatuh bangunnya suatu masyarakat sangatlah tidak sehat, selanjutnya
menurut Chapra disamping variabel-variabel ekonomi, perlu juga memasukkan
factor-faktor moral psikologis, social, dan sejarah yang berpengaruh terhadap
kehidupan manusia. Inilah inti pembahasan dalam buku yang ditulis oleh Chapra,
ia mencoba mengkontruksi ilmu ekonomi Islam dengan memasukkan berbagai
variable, walaupun ia sendiri merasa sulit karena menuntut suatu pendekatan
lintas disiplin.[11]
C. Menuju Landscape Baru Perekonomian Masa Depan
Selama dunia masih terbelah dalam
dikotomi negara kaya dan negara miskin, negara maju (developed) dan negara
terbelakang (underdeveloped), di situlah ilmu ekonomi seharusnya berkembang.
Karena persoalan ekonomi akan terus muncul, dan pada saat yang sama juga
menuntut penyelesaian mendasar yang membawa terciptanya kesejahteraan dalam
arti yang sesungguhnya bagi umat manusia.
Karena itulah, banyak kalangan sempat
menaruh harapan banyak ketika untuk pertama kalinya jargon ekonomi
kesejahteraan (welfare Economics) ditiupkan tahun 30-an.[12]
Kelelahan panjang dalam perangkap diskusi dan impelementasi ekonomi
kapitalis-sosialis ternyata menyisakan limbah yang menyesakkan bagi pertumbuhan
ekonomi yang bersendikan kepada keadilan dan pemerataan. Hal ini memicu mereka
melihat welfare economics datang dengan segenggam harapan yang sudah lama
mereka inginkan.
Apa lacur, seperti sistem yang dikenal
sebelumnya, Welfare Economics hanya menjanjikan impian kosong. Menurut Chapra, 'kesejahteraan'
yang dijanjikan oleh aliran baru itu masih tunduk pada hegemoni ekonomi
konvensional. Kesejahteran didifinisikan sebagai bentuk keinginan
individu yang menginginkan kepentingan pribadi yang tak memberikan ruang pada
sikap altruisme (sikap mementingkan orang lain) atau kepentingan langsung demi
kesejahteraan manusia. Pendekatan ekonomi kesejahteraan pantas menerima
kritikan. Blaug (1980)[13]
menyatakan, ekonomi kesejahteraan sekedar bersuka ria dengan menggunakan
bahasa yang paradoks.
Welfare Economics, seperti konstruksi ilmu ekonomi
kapitalis sebelumnya, selalu mendasarkan analisis kesejehteraan yang bebas
nilai. Di mana hukum pareto efficiency atau juga sering disebut pareto
optimally menjadi salah satu pisau analisa dalam membuka tabir kegiatan ekonomi.
Dalam pandangan pareto, tanpa campur tangan siapapun akan terjadi proses
produksi seluruh konfigurasi barang dan jasa dalam keharmonisan maksimum
terhadap keinginan konsumen.[14]
Disebut paling efisen, karena tidak
mungkin lagi meraih lebih dari itu tanpa menjadikan pihak lainnya merugi. Di
sinilah Werfare Economics kandas karena pada akhirnya tidak bisa memberikan
jaminan konsisten tentang tujuan-tujuan yang berdimensi kemanusiaan. Juga,
berapa banyak kesejahteraan yang bisa diujudkan dalam batasan sumber daya yang
terbatas, tanpa merusak keseimbangan makroekonomi dan ekologi.
Beban yang tak juga bisa diselesaikan
oleh Welfare Economics inilah yang kini menjadi konsen banyak ahli ekonomi
untuk selalu dicari jalan keluarnya. Sejumlah ekonomi telah menekankan perlunya
sebuah paradigma baru ilmu ekonomi.[15]
Terjadilah pegumulan ide dan debat intelektual yang pada akhirnya memberikan
ruang bagi munculnya kesadaran bahwa kepentingan pribadi dan kompetisi bukanlah
penentu utama di balik tindakan manusia.
Mereka mulai memberikan tempat pada altruisme,
nilai moral, perbuatan-perbuatan sosial, yang membimbing motivasi manusia dalam
bertindak. Sekurangnya ada empat aliran yang mainstreamnya berasal dari
kesadaran ini. Empat aliran tersebut adalah :[16]
Pertama, Grant Economics yang berpendapat
tingkah laku altruisme bukanlah penyelewengan dari rasionalitas. Rasionalitas
diartikan sebagai usaha untuk melayani diri sendiri. Dengan berpijak pada
prinsip itu, maka kerangka berpikirnya selalu diliputi oleh pemenuhan nafsu pribadi.
Sampai-sampai ekonom Milton Friedman mengatakan,"Satu-satunya tanggung
jawab sosial adalah meningkatkan keuntungan." (Friedman, 1972). Tesis
Friedman ini yang ditentang oleh aliran Grant Economics.
Menurut mazhab ekonomi ini,
mempersamakan tingkah laku rasional dengan hanya tingkah laku mementingkan diri
sendiri adalah tidak realistis. " Ilmu ekonomi mungkin sudah melakukan
kesalahan ketika ia mengadopsi tatanama rasional pada sat seluruh pengertiannya
diartikan sebagai kalkulasi yang tepat dan sebuah kepribadian yang
teratur,"ujar Hahn (1979).
Arus pemikiran kedua, muncul Humanistic
Economics (ekonomi humanistik). Tesis dasar mereka, bagaimana
mempromosikan kesejahteran manusia lewat cara pengakuan dan penyatuan seluruh
susunan nilai-nilai dasar manusia. Humanistic Economics lebih menekankan adanya
kebutuhan kepuasan dan pekembangan manusia yang oleh Maslow dipopulerkan dengan
aktualisasi pribadi. Pendekatan ini mulai menyingkikan asas psikologi klasik
yang mementingkan kepada nafsu dan kekayaan.
Aliran ketiga, adalah Social
Economics (ekonomi sosial) yang mencakup usaha dalam mereformulasi
teori ekonomi dalam membentuk pertimbangan-pertimbangan etika. Dasar dari
pandangan ini menyatakan, penelitian ilmiah ternyata tidak mampu menepis
pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut tujuan publik dan prioritas sosial dalam
alokasi sumber daya. Menurut peraih nobel, Amarta Sen (1987), menjauhkan ilmu
ekonomi dari sendi etika, telah memelaratkan Welfare Economics. Di samping,
tandasnya, juga melemahkan landasan keterkaitan yang erat antara deskriptif dan
prediktif ilmu ekonomi.
Aliran keempat, Institutional
Economics (ekonomi institusional). Aliran ini berargumentasi bahwa
tingkah laku manusia dipengaruhi oleh sejumlah hubungan institusi soosial,
institusi ekonomi, institusi politik dan institusi relijius yang menentukan
perkiraan sikap individu.
Awalnya, aliran ini menjanjikan
perubahan yang cukup mendasar karena dapat membantu menjelaskan tentang
bagaimana perubahan pada institusi-institusi di setiap masa mempengaruhi masa
sekarang dan masa depan, dan mengapa kinerja ekonomi yang satu mempengaruhi
ekonomi yang lain. Ini dapat membantu koordinasi dan sejumlah kerja sama.
Namun toh kehadiran aliran-aliran
ekonomi tersebut masih menyisakan ruang gelap: bagaimana memperoleh nilai yang
dapat diterima secara luas dan sesuai dengan kewajiban moral, sehingga setiap
orang yang melanggar nilai tersebut akan dikecam. Inilah yang tidak bisa
dijawab oleh ekonomi konvensional. Dari sinilah Chapra membawa kepada loncatan
paradigma baru yang mestinya bisa memenuhi harapan-harapan yang gagal sebelumnya:
perspektif ekonomi Islam.
Bukan hal mudah memang membuka ke pada
jantung diskusi untuk membahas masalah ini bisa diterima oleh banyak ekonom.
Blaug bahkan mengingatkan, semua rumusan metodologi yang bermaksud menyapu
bersih seluruh catatan ilmu ekonomi yang diterima dan berusaha memulai sejak
dari awal kembali, mungkin tidak akan menghasilkan apa-apa seperti merusak diri
sendiri. Blaug boleh saja mengatakan demikian, tapi, ilmu ekonomi Islam yang
tujuan pokoknya menghadirkan keadilan dan efisiensi yang tidak lagi mendalilkan
kemutlakan pada keinginan memuaskan diri sendiri, tapi kesejahteraan bersama,
terus berjalan.
Paradigma ilmu ekonomi yang ditawarkan
Islam sangat berbeda dengan ilmu ekonomi konvensional. Paradigma Islam
bukanlah sekuler, bebas nilai, materialis, dan mengedepankan Darwinisme-sosial
yang menutup mata terhadap kemiskinan dan pengangguran hanya karena memuaskan
kepentingan sendiri. Paradigma ilmu ekonomi Islam mendasarkan pada kenyataan
pokok, alam semesta diciptakan oleh Yang Maha Tunggal. Manusia menjadi
wakil-Nya di muka bumi. Mereka bersaudara, dan tidak ada yang membedakan satu
dengan yang lain lantaran ras, kekayaan, jenis kelamin, kebangsaan maupun
kekuatan.
Dunia dimaklumi sekedar sebagai tempat
persinggahan sementara. Sementara yang lebih kekal adalah alam akherat.
Kesejahteraan di akherat sangat ditentukan oleh cara-cara manusia semasa mereka
hidup. Kesejahteraan hakiki dalam kerangka syariah tidak melulu direalisasikan
dengan mengkonsentrasikan diri pada upaya maksimasi kekayaan dan konsumsi, ia
juga memerlukan pemenuhan kebutuhan material dan spiritual yang seimbang.
a. Positivisme
Paradigma Islam, seperti ilmu ekonomi
konvensional, juga menekankan seseorang untuk bersikap rasional. Bahkan, itu
menjadi salah satu tujuan terpenting dari syariah. Doktrin yang sangat terkenal
adalah mengurangi kesulitan dan berusaha untuk menjadikan hidup manusia lebih
nyaman (Quran 2:185). Karena dorongan ini, Islam menyilakan siapapun untuk
menjadi kaya dengan rasionalitasnya.
Hanya, satu yang harus dicatat mereka,
kekayaan itu diperoleh dengan cara yang benar, tidak menzhalimi siapapun, dan
dipergunakan atau diinvestasikan secara produktif untuk memenuhi kebutuhan
seseorang atau kebutuhan orang lain dengan cara yang adil.
Inilah yang tidak bisa dipenuhi oleh
mekanisme pasar. Almawardi sebagaimana ilmuwan Islam lain seperti Ibnu Khaldun
menganggap, perlunya tekad untuk mengekang keinginan pribadi melalui
nilai-nilai moral. Melalui nilai moral, akan menghilangkan asa saling
permusuhan dan iri hati, memperkuat solidaritas kelompok dan mendorong
kebajikan.
Karena itu, hampir tidak ditemukan jejak
dalam perkembangan ilmu ekonomi Islam yang melandaskan pijakan pada sikap positivisme--satu
dari sendi penting ekonomi konvensional. Positivisme atau bebas nilai dari
etika atau pertimbangan-pertimbangan normatif, bertentangan dengan kondisi
bahwa apa yang dikuasai manusia hanyalah sekedar titipan-Nya. Seluruh sumber
daya adalah amanah dari Tuhan dan karenanya, manusia akan dimintai pertanggungjawabannya
kelak.[17]
b. Prinsip keadilan
Karena sumber daya hanyalah titipan,
maka penggunaaan sumber daya yang salah akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh
sebab itu, tidak ada pilihan lain bagi pelaku ekonomi dalam melakukan aktivitas
bisnisnya untuk selalu mendasarkan pada keadilan.[18]
Nilai keadilan dalam Al-Quran maupun hadis Nabi bahkan menjadi salah satu
tujuan pokok syariah.
Prinsip keadilan inilah yang menggilas,
penilaian Efisiensi Pareto yang mendasarkan untuk mendapat keuntungan, tidak
bisa tidak harus merugikan orang lain. Keadilan dalam berekonomi, oleh para
ulama telah ditetapkan dalam kaidah figh yang dapat membantu merealisasikan
kesejahteraan. salah satu kaidah yang mereka rumuskan itu antara lain ada yang
menyatakan: pengorbanan atau kerugian pribadi mungkin diharuskan untuk
mengamankan pengorbanan atau kerugian publik dan manfaat yang lebih kecil
mungkin harus dikorbankan untuk merealisasikan manfaat yang lebih besar. (Ibnu
Khaldun).
Demikian pula halnya dengan term
efisiensi. Islam tidak mengenal istilah efisiensi Pareto. Namun bukan berarti
tidak mengakui konsep efisiensi. Rosul yang mulai mengajarkan pada upaya untuk
berusaha meraih hasil yang terbaik dengan menekankan pada konsep ikhsan
(kemurahan hati) dan itqan (kesempurnaan). "Allah Subhanahu wataala
mencintai seseorang yang jika mengerjakan sesatu ia melakukannnya dengan
sempurna (itqan)." dan sabdanya yang lain,"Allah Subhanahu wa taala
telah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu."
Praktis dalam Islam, efisiensi salah
satunya berkembang sebagai bentuk tidak boleh menghambur-hamburkan sumber daya
secara keliru karena akan dimintai pertanggung jawaban oleh Tuhan. Tentu ini
berbeda dengan pengetahuan efisiensi dalam pengertian Pareto. Sebagai contoh,
konsep Pareto dalam ilmu ekonomi konvensional membolehkan adanya penghancuran
kelebihan out put apabila itu memberikan bagi pebisnis dalam mencegah penurunan
keuntungan tanpa merugikan konsumen akibat kenaikan harga. Tapi ini tidak dikenal
dalam pandangan Islam.
Sebabnya, tingkah laku demikian hanya
akan menimbulkan perusakan pada sumber daya yang diamanatkan Tuhan di samping
bisa melahirkan kezaliman terhadap konsumen. Kelebihan out put itu mestinya
bisa dinikmati oleh kaum miskin, ketimbang dihancurkan yang berarti
kemubaziran.
D. Bagaimana
Maqashid Syariah Menundukkan Distorsi Ekonomi?
Pertanyaan penting dalam setiap
pembahasan ekonomi adalah bagaimana suatu pasar bisa mencapai keseimbangannya
tanpa diganggu oleh distorsi? Ilmu ekonomi konvensional mengajarkan,
satu-satunya distorsi yang ditakuti adalah ketidaksempurnaan dan kegagalan
pasar. Membaca kegagalan ini, mereka, para ekonom konvensional, telah
mengajukan resep mujarab. Dalam terminologi mereka, persoalan kegagalan pasar
adalah ancaman laten, namun bisa diatasi dengan mendasarkan pada pada Pareto
Optimum atau Efisiensi Pareto.
Setiap perekonomian bisa dikatakan
mencapai efisiensi ekonomi yang optimal bila bila telah menggunakan potensi
sumber daya manusia dan materi yang terbatas sehingga kuantitas barang dan jasa
yang diproduksi bisa memaksimumkan kepuasan kebutuhan dengan tingkat stabilitas
ekonomi yang baik dan tingkat pertumbuhan yang berkesinambungan. Demikian
mereka mendifinisikan.
Namun batasan ini toh tetap tanpa cela.
Sebab, dengan kaca mata itu, seolah-olah hanya efisiensi saja yang tersentuh,
tapi bagaimana dengan dimensi keadilan?
Setiap perekonomian baru bisa dikatakan
memberikan rasa keadilan optimal jika barang dan jasa yang dihasilkan
sedemikian rupa sehingga kebutuhan semua individu (tak peduli mereka miskin
atau kaya, laki atau perempuan, muslim atau non muslim) memuaskan secara
memadai. Di samping terdapat distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil tanpa
menimbulkan pengaruh buruk terhadap motivasi bekerja, menabung, berinvestasi,
dan melakukan usaha.
Di sinilah jantung yang menentukan
perbedaan mendasar antara ilmu ekonomi konvensional dengan Ilmu ekonomi yang
disusun dengan berdasar sendi religius. Ilmu Ekonomi Islam pada dasarnya,
seperti hanya ekonomi konvensional, tetap bermain pada konsentrasi alokasi dan
distribusi sumber daya.
Hanya saja, tujuan utama dari
pengelolaan alokasi dan distribusi itu tidak boleh melenceng dari maqashid al-syar'i
(tujuan syariah)[19].
Kalau ilmu ekonomi konvensional meletakkan sendi keseimbangan pada Optimalitas
Pareto, Chapra menyebut dalam Islam ada Optimum Islami. Optimum Islami
digambarkan sebagai keseimbangan pasar yang mencerminkan realisasi secara terus
menerus tingkat efisiensi maupun keadilan yang optimal sesuai dengan maqashid
syar'i.
Dalam literatur Islam, maqashid syar'i
itu mencakup peningkatan kesejahteraan seluruh manusia. Itu hanya bisa tercapai
bila ada perlindungan kepada lima
hal dasar: perlindungan terhadap keimanan (dien), jiwa manusia
(nafs), akal mereka (aql) keturuanan mereka (nasl), dan kekayaan
mereka (maal).
Keimanan ditempatkan di awal, karena
keimanan akan melahirkan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi
kepribadian, perilaku, selera dan preferensi. Keyakinan ini mencoba
meningkatkan keseimbangan antara dorongan material dan spiritual, meningkatkan
solidaritas keluarga dan sosial.
Ini cerminan instrumen moral dalam
berekonomi. Bukan berarti mengganti sistem mekanisme pasar dengan istrumen
moral. Sebaliknya, moralitas melengkapi mekanisme pasar dengan menjadikan
alokasi dan distribusi sumber daya sesuai dengan pandangan normatif. Demikian
juga dengan tujuan-tujuan syar'i yang lain. Ketika seorang bicara dimensi
manusia (tujuan kedua), tentu bukan dalam konteks biologis semata. Lebih penting
lagi adalah, bagaimana manusia mempengaruhi alokasi dan distribusi sumber daya
dalam tata cara pandang yang membantu perkembangan potensi manusia.
Bahwa, bumi yang sekarang mereka pijak
dan terus diesploitasi, bukanlah hak mereka saja, tapi juga warisan absah bagi
generasi mendatang. Konsekuensinya, alokasi sumberdaya harus selalu memikirkan
kesinambungan buat kehidupan jangka panjang, dan bukan seblaiknya menghancurkan
ekologi.
Ketika berbicara mengenai akal (dimensi
ketiga), orang akan menganilis jenis dan kondisi mental dan materi yang akan
memberikan konstribusi kepada kemajuan intelektual. Ketika berbicara tentang,
keturuanan (dimensi keempat), sekali lagi bukan sekedar cakupan biologis saja,
tapi juga, yang lebih penting, adalah aspek pelestarian dan pengayaan ummat
manusia.
Ketika berbicara mengenai kekayaan,
orang akan selalu diingatkan bahwa kekayaan adalah titipan dari Tuhan. Ada haknya yang melekat,
tapi juga ada fungsi sosial untuk orang lain. Jadi, dengan memperhatikan
maqashid tersebut, akan lebih memberikan kerangka kerja yang lebih berarti bagi
analisis ekonomi. Satu yang pasti, dengan cara pandang ini, ekonomi terhindar
dari melihat manusia sebagai individu yang terpisah atau terkotak
sendiri-sendiri, tapi diperlakukan sebagai kehidupan yang terpadu dengan
komunitasnya.
Berangkat dari sini, Ilmu ekonomi Islam
dapat didifinisikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang membantu mewujudkan
kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumberdaya yang langka
yang sesuai dengan maqashid, tanpa mengekang kebebasan individu secara
berlebihan, menimbulkan ketidakseimbangan makro ekonomi dan ekologi, atau
melemahkan keluarga dan solidaritas sosial.
Maqashid syar'i menyandingkan antara
keadilan yang optimal dan seklaigus efisiensi optimal. Pertanyaan yang muncul:
apakah mungkin menyandingkan suatu kondisi keadilan yang optimal tanpa
mengorbankan efisiensi? Pada tahun 50-an dan 60-an para ahli ilmu ekonomi
pembangunan bukan saja mengabaikan keadilan tapi juga lebih mementingkan
pertumbuhan.
Mereka berpendapat bahwa redistribusi
pendapatan yang menguntungkan orang miskin kemungkinan tidak akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dalam arti out put perkapita yang lebih besar. Pandangan
mereka, distribusi untuk orang miskin hanya akan tercapai bila pertumbuhan
dapat diakselerasi. Pada kondisi seperti itulah terjadi apa yang sangat populer
dikenal di sini sebagai tricle down effect (efek perembesan ke bawah). Mereka
yakin tricle downlah yang akan menyelesaikan problem kemiskinan dan distribusi
pendapatan.
Kenyataan membuktikan sebaliknya. Tricle
down menjadi senjata ampuh untuk menggagalkan upaya untuk mempecepat
pertumbuhan di negara-negara dimana kurang adanya perhatian untuk menghilangkan
keadilan. Indonesia
salah satu yang mengecap ini. Mantan Presiden Soeharto semasa berkuasa yakin
betul konsep penetasan ke bawah akan menjadi alat pemerataan keadilan.
Karena itu, dia berdalih tidak ada yang
salah bila orientasi negara dalam ekonomi lebih menumpukan pada upaya
mempercepat dan mempertinggi pertumbuhan ekonomi. Dia tidak ragu, meskipun hela
ekonomi yang dipegang oleh segelintir pengusaha yang terus difasilitasi dan
dimanjakan pemerintah. Muncullah konglomerasi karena hanya konglomerat yang
mendapatkan perhatian yang besar dan menjadi mesin ekonomi bangsa.
Sedang usaha kecil menengah (UKM), dan
koperasi yang menjadi soko guru ekonomi dipinggirkan. Alhasil jargon adil dan
makmur yang selalu didengungkan Orde baru menyempit pada "keadilan"
bagi yang sudah "makmur", bukan bagi orang kebanyakan.
Indonesia mestinya mengambil pelajaran dari Jepang, Taiwan
dan Korea Selatan. Negara-negara itulah yang membalik logika tricle down.
Bahwa pertumbuhan hanya bisa tercipta
dengan baik bila keadilan juga ditekankan secara bersamaan. Sehingga terjadi
arus balik dalam pemahaman terhadap eonomi pembangunan. Ilmu ekonomi
pembangunan selanjutnya menelurkan kepedulian tehadap keadilan dengan himbauan
akan pertumbuhan dengan distribusi, pengurangan dan penghapusan kemiskinan, dan
memenuhi kebutuhan dasar.
E. Sumbangan dalam pengembangan
keilmuan/ilmu-ilmu keislaman.
Dalam pandangan saya, kajian terobosan
yang dilakukan oleh Chapra dalam buku The Future of Economics: An Islamic
Perspective ini mengandung sumbangan yang sangat besar bagi pengembangan ilmu
keislaman, yaitu :
Pertama, kajian ini merupakan kritik ilmiah yang simpatik
terhadap ilmu ekonomi arus utama, ditinjau dari sudut ekonomi dan moral.
Sebagai seorang ekonom professional, ia menyadari kegunaan dan juga
keterbatasan ilmu ekonomi karena ia berkembang dalam konteks kapitalis Barat.
Ia menyadari akan nilai-nilai intrinsic dalam analisis ekonomi dan konstribusi
yang dapat diberikan kepada perbaikan situasi umat manusia di atas dunia, ia
mengidentifikasikan kelemahan yang telah menghambat disiplin ini untuk
memainkan peran yang benar.
Pendekatannya tidaklah negative, tetapi
positif dan kreatif. Ia melihat ada kesalahan selama ini dan berusaha
meluruskannya dan ia bukanlah orang yang anti kemapanan. Ia adalah seorang
innovator dan reformer yang hendak membangun di atas apa yang ada, dan meralat
yang salah.
Keprihatinannya tidak terbatas kepada
dimensi moral dan social, yang dalam analisisnya sangat penting, tetapi ia juga
memperkuat fondasi mikro dari ilmu ekonomi yang diperlukan untuk memungkinkan
mereka memperkuat fondasi kerangka makro dan mencapai tujuan-tujuan social.
Kedua, Kajian ini membuat suatu usaha sistematis untuk
membawa kembali focus ilmu ekonomi kepada persoalan-persoalan pemerataan dan
keadilan, tanpa memperlemah keprihatinan terhadap efisiensi. Tujuan kembar,
yaitu pemerataan dan efisiensi, harus berjalan bersama jika ilmu ekonomi harus
menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang mengantarkan kebahagiaan kepada umat
manusia dan tidak semata-mata "menjadi ilmu pengetahuan untuk mengumpulkan
kekayaan". Ia telah melakukan tugas yang menakjubkan dengan memperkenalkan
konsep filter moral dan merehabilitasi dimensi keadilan dalam matrik ilmu
ekonomi arus utama.
Ketiga, Kajian ini sangat baik sekali meletakkan ilmu
ekonomi Islam dalam tataran ilmu ekonomi. Ia tidak melihat ilmu ekonomi Islam
sebagai spesies terpisah. Ia melihat problem ekonomi dari kacamata Islam dank
arena itu membuat usaha-usaha inovatif untuk membawa ilmu ekonomi sesuai dengan
visi Islam dan tatanan social. Islam dan ilmu ekonomi sangat erat berhubungan
sehingga ilmu ekonomi mengembangkan suatu arah baru dan menemukan suatu dunia
baru untuk dilalui.
Keempat, kajian ini telah menjelaskan secara singkat,
tetapi padat dan tingkat tinggi tentang ilmu ekonomi Islam. Penjelasan tersebut
bukan merupakan suatu survey dalam arti kata teknik, ia menghadirkan suatu
pandangan mengenai konstribusi utama terhadap ilmu ekonomi yang dibuat dari
perspektif Islam oleh para ekonom Islam pada abad-abad yang lalu. Sekalipun
focus utama lebih banyak pada aspek fiscal dan moneter, namun ia telah berhasil
menebarkan aroma pemikiran ekonomi Islam dan telah mengidentifikasi sebagian
titik-titik penting yang dicoba untuk dieksplorasi. Ia sepenuhnya menyadari
adanya kesenjangan dan tantangan, namun dengan sangat obyektif ia menyinari
menara utama dalam bidang ini.
Kelima, akhirnya ia merupakan ekonom Islam yang pertama
kali melihat secara kritis sejarah ekonomi masyarakat muslim dengan suatu
pandangan untuk melihat apa yang salah dalam perjalanan sejarah kita dan
bagaimana kebangkiatan riil dan pembangunan sosioekonomi yang berkesinambungan
dapat dicapai di masa depan.
F. Penutup
Dengan
keterbatasan kemampuan membaca dan memahami sebuah karya ilmiah, penulis mencoba mendeskripsikan hasil
bacaan dan pemahaman sederhana karya ekonom Islam terkenal, yaitu Dr. M. Umer
Chapra yang ditulis dengan tema The Future of Economics: An Islamic Perspekive.
Membaca
dan memahami sebuah karya selevel Umer sebenarnya memerlukan modal dan waktu
yang cukup, sehingga hasilnya benar-benar sempurna dan sesuai harapan.
Untuk
itu, deskripsi singkat dan sederhana ini agar sempurna dan sesuai harapan,
mohon semua pihak kiranya mengkritisi sekaligus mengkoreksi selengkapnya demi
kesempurnaan tulisan ini.
Akhirnya,
terima kasih atas segala partisipasi semua pihak, mudah-mudahan bermanfaat
untuk semuanya.
DAFTAR BACAAN
Ahmad al-Raisuni, Nazhariyat
al-Maqashid 'inda al-Syatibi, (Rabath, Dar al-Aman, 1991),
Blaug (1980) dalam M. Umer Chapra,
The Future Of Economics An Islamic Perspective.
Feldman (1987) dalam M. Umer
Chapra, The Future Of Economics An Islamic Perspective.
Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam
Sebuah Pengantar (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2001).
M.
Umer Chapra, Islam and Economic
Development, terjemah Ikhwan Abidin basri : Islam dan Pembangunan Ekonomi
(Jakarta, Gema Insani Press dan Tazkia Institute, 2000).
M.
Umer Chapra, The Future Of Economics An Islamic Perspective, terjemah,
Ikhwan Abidin Basri : Masa Depan Ilmu Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam (Bandung,
Gema Insani, 2001).
M.
Umer Chapra, Islam and The Economic Challenge, terjemah Ikhwan Abidin
basri : Islam dan Tantangan Ekonomi (Jakarta, Gema Insani Press dan Tazkia
Institute, 2000).
Mohammad
Nejatullah Shiddiq, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, suatu survai dalam
Adiwarman Karim : Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta,
IIIT (Indonesia),
2002),
Muhammad
Abu Zahro, Al-Imam Zaid (Cairo,
Darul Fikri al-Araby).
Muhammad
Abu Zahro, Abu Hanifah (Cairo,
Darul Fikri).
Muhammad
Abu Yusuf Musa, Abu Hanifah wal Qiyam al-Insaniyah fi madhhabi (Cairo
Mesir, Maktabah Nahdah, 1957).
Republika Online, Perekonomian
Masa Depan, Kategori Ekonomi Islam, Senin, 22 oktober 2001.
al-Syatibi, al-Muwafaqat fi
Ushul al-Ahkam, jilid III (Beirut, Dar al-Fikr).
[1] Imamudin Yuliadi, Ekonomi
Islam Sebuah Pengantar (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2001), hal. 2
[2] M. Umer Chapra, The
Future Of Economics An Islamic Perspective, terjemah, Ikhwan Abidin Basri :
Masa Depan Ilmu Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam (Bandung, Gema Insani, 2001),
hal. ix.
[4] Republika Online, Perekonomian Masa Depan, Kategori Ekonomi
Islam, Senin, 22 oktober 2001.
[5] Pemikiran ekonomi Islam
sebenarnya berusia setua Islam itu sendiri. Sepanjang 14 abad sejarah Islam
kita menemukan studi yang berkelanjutan tentang isu ekonomi dalam pandangan
syari'ah. Lihat Mohammad Nejatullah Shiddiq, Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam, suatu survai dalam Adiwarman Karim : Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
(Jakarta, IIIT (Indonesia), 2002), hal. 3. Dalam
catatan sejarah ada beberapa pemikir ekonomi Islam, diantaranya adalah Zaid
Bin Ali (80-120/699-738) cucu Imam Husain yang ahli fiqh terkenal di madinah,
dengan pandangannya ia berpendapat tentang dibolehkannya penjualan suatu
komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai.
Lihat Muhammad Abu Zahro, Al-Imam Zaid (Cairo, Darul Fikri al-Araby), hal. 539. Abu
Hanifah (80-150/699-767) seorang ahli hukum terkenal yang juga seorang
pedagang di Kufa. Pemikirannya adalah tentang perlunya persyaratan secara jelas
dan rinci pada suatu transaksi yang sangat populer pada waktu itu, yaitu salam
agar tidak terjadi perselisihan. Ia juga menentukan aturan-aturan yang adil
pada jenis transaksi yang lain. Lihat Muhammad Abu Zahro, Abu Hanifah (Cairo, Darul
Fikri), hal. 539 dan 404-410. Muhammad Yusuf Musa menggarisbawahi bahwa beliau
sangat perhatian pada orang-orang lemah dan selalu menekankan nilai-nilai
kemanusiaan dalam metode hukumnya. Lihat Muhammad Abu Yusuf Musa, Abu
Hanifah wal Qiyam al-Insaniyah fi madhhabi (Cairo Mesir, Maktabah Nahdah,
1957), hal. 182. Yang lainnya seperti al-Awza'i (88-157/707-774), Malik
(93-179/712-796), Abu Yusuf (113-182/731-798), Muhammad bin Hasan
al-Shaibani (132-189/750-804), Yahya bin Adam al-Qarashi (w
203/818), Syafi'i (150-204/767-820), Abu 'Ubaid al-Qasim bin Salam
(w 224/838), Ahmad bin Hambal (164-241/780-855), Qudamah bin Ja'far
(w 337/948), dan Abu Ja'far al-Dawudi (w 402/1012)
[6] M. Umer Chapra, Islam
and Economic Development, terjemah
Ikhwan Abidin basri : Islam dan Pembangunan Ekonomi (Jakarta, Gema Insani Press
dan Tazkia Institute, 2000), hal. xv.
,
[7] Ibid, hal. xvi-xvii, dan lihat M. Umer Chapra, The Future
Of Economics An Islamic Perspective, terjemah, Ikhwan Abidin Basri : Masa
Depan Ilmu Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam (Bandung, Gema Insani, 2001), hal. xxi. Dan M.
Umer Chapra, Islam and The Economic Challenge, terjemah Ikhwan Abidin
basri : Islam dan Tantangan Ekonomi (Jakarta,
Gema Insani Press dan Tazkia Institute, 2000), hal. x-xi.
[8] M. Umer Chapra, The
Future Of Economics An Islamic Perspective, terjemah, Ikhwan Abidin Basri :
Masa Depan Ilmu Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam (Bandung, Gema Insani, 2001),
hal. xxi. Dan M. Umer Chapra, Islam and The Economic Challenge, terjemah
Ikhwan Abidin basri : Islam dan Tantangan Ekonomi (Jakarta, Gema Insani Press dan Tazkia
Institute, 2000), hal. x-xi.
[9] Chapra menjelaskan panjang lebar pada bab I dalam bukunya, mulai
halaman 15-44 tentang prestasi yang menjulang ilmu ekonomi konvensional di
dataran dunia, analisis tentang kegagalannya dan menawarkan reformasi yang
diinginkan dengan mengaitkan relevansinya pada ilmu ekonomi Islam.
[10] M. Umer Chapra, The Future of Economics An islamic Perspective,
hal x-xi
[11] Paparan tentang konstruksi ilmu ekonomi Islam ia uraiakan secara
rinci pada bab 2-bab 8 dimulai dari uraian tentang paradigma Islam di sepanjang
sejarah, bangunan sains di atas landasan paradigma agama, hakekat ilmu ekonomi
Islam, Dinamika sosioekonomi pada ilmu ekonomi Islam Klasik, penyebab
kemerosotan kaum muslimin; analisis ibnu Khaldun terhadap sejarah kaum
muslimin, Kebangkitan Islam Masa kini, dan analisis tentang perjalanan aksi
masa depan yang dilakukan pemikir Islam khususnya terkait dengan persoalan
ekonomi. Selanjutnya akan penulis coba menganalisis konsep Chapra tentang ilmu
ekonomi Islam dengan dua tema bahasan, yaitu menuju landscape baru
perekonomian masa depan dan bagaimana maqashid syari'ah menundukkan
distorsi ekonomi.
[12] Feldman (1987) dalam M. Umer Chapra, The Future Of Economics An
Islamic Perspective, hal. 38
[13] Blaug (1980) dalam M. Umer Chapra, The Future Of Economics An
Islamic Perspective, hal. 39.
[14] M. Umer Chapra, The Future Of Economics An Islamic Perspective,
ibid.
[15] M. Umer Chapra dalam catatan kaki menyebutkan para ekonomo tersebut
seperti Dopfer (1976), Bolgh (1982), Bell
dan Kristol (1981).
[16] M. Umer Chapra, ibid, hal 40-42.
[17] Secara konseptual, etika ekonomi Islam dapat dijabarkan atas
beberapa butir, (1) semua aktivitas kehidupan diorientasikan untuk ibadah, (2)
kerja merupakan aktivitas yang mulia dan wajib hukumnya, (3) membina
nilai-nilai persaudaraan di antara manusia, (4) menarik mashlahat dan
menghindarkan madharat, dan (5) hak kepemilikan pada hakekatnya adalah amanah
Allah swt. Selanjutnya lihat Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam Sebuah
Pengantar, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2001), hal. 16.
[18] Keadilan (justice) suatu kosa kata yang paling banyak disebut dalam
al-Qur'an yang menyiratkan tentang betapa pentingnya nilai-nilai keadilan bagi
eksistensi kehidupan manusia. Nilai dasar keadilan sangat diutamakan dalam
Islam, baik yang bersentuhan dengan aspek sosial, ekonomi maupun politik.
Keadilan dalam terminologi Islam mengandung makna : a) kebebasan bersyarat dan
dilandasi oleh akhlak Islam. Keadilan yang menyiratkan kebebasan tanpa batas
akan menimbulkan kekacauan dalam sendi-sendi kehidupan manusia, b) keadilan
harus dioperasionalisasikan pada semua fase ekonomi. Keadilan dalam aktivitas
produksi mengandung makna pentingnya efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan
sumber-sumber ekonomi. Keadilan dalam aktivitas konsumsi mengandung makna
pentingnya sikap moderation, tidak boros dan hemat. Keadilan dalam aktivitas
distribusi mengandung makna pentingnya alokasi sumber-sumber ekonomi bagi
kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan perbedaan potensi yang dimiliki
tiap-tiap individu. Selanjutnya lihat Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam Sebuah
Pengantar, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2001), hal. 20-21.
[19] Dari segi bahasa maqashid al-syar'I berarti maksud atau
tujuan disyari'atkan hukum Islam. Karena itu, yang menjadi bahasan utama di
dalamnya adalah mengenai masalah hikmah dan ilat ditetapkannya
suatu hukum. Tujuan Allah mensyari'atkan hukum adalah untuk memelihara
kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia dan
di akhirat. Ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan
diwujudkan, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Lihat Ahmad
al-Raisuni, Nazhariyat al-Maqashid 'inda al-Syatibi, (Rabath, Dar
al-Aman, 1991), hal 67 dan al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,
jilid III (Beirut, Dar al-Fikr), hal. 62-64.
0 komentar:
Posting Komentar