Semua
mazhab dalam Islam sepakat akan pentingnya peranan hadis dalam berbagai
disiplin ajaran Islam – termasuk tafsir, fiqih (hukum), dan akhlak (etika), dan
seterusnya. Dewasa ini , sulit menemukan seorang individu yang mengklaim bahwa
Al-Quran sudah menjabarkan seluruh prinsip-umum ajaran Islam berikut rinciannya
tanpa bantuan Sunnah dan Hadis. Lagi pula, banyak pernyataan yang gamblang dari
Nabi, dan beberapa pernyataan Al-Quran sendiri yang menunjukkan pentingnya
petunjuk dan amalan Nabi. Karena pentingnya Sunnah dan Hadis ini, sudah jelas,
maka tak perlu bukti lagi.
Maksud
tulisan ini ialah hendak mengkaji bagaimana kumpulan hadis yang ada mulai
ditulis dan berapa lama diperlukan untuk menjadikannya sebagai suatu laporan
ucapan (qawl), perilaku (fi’l), dan persetujuan (taqrir)
Nabi dalam bentuk tertulisnya. Tak pelak lagi, masalah ini mempunyai pengaruh
penting dalam menentukan otentitas kumpulan hadis secara umum.
Dalam
kasus Al-Quran , kita tahu bahwa tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu
dengan penulisannya. Jadi, tidak ada keraguan akan keaslian Al-Quran, lantaran
Nabi sudah menunjuk para pencatatnyasejak turunnya wahyu pertama dan mereka
ditugasi untuk menghimpun dan menuliskannya. Tetapi praktek ini tidak diikuti
dalam kasus hadis, yang mendapat perlakuan berbeda.
Pentingnya hadis dan
peranannya dalam berbagai masalah politik dan sosial, menyebabkan berbagai
kelompok memperlihatkan kepekaan tertentu terhadapnya. Kepekaan ini berakibat
pada tertundanya penulisan hadis, meskipun ada perintah Nabi untuk melakukan
penulisan dan penyebarluasan hadis. Sayangnya, penundaan ini menciptakan
kerumitan kepada generasi berikutnya dalam hal penilaian hadis.
Sungguhpun
begitu, perlu ditunjukkan di sini bahwa keadaan hadis Syi’ah berbeda dengan
hadis Sunni. Perbedaan ini timbul karena orang Syi’ah terdahulu bersiteguh
untuk menuliskan hadis dengan suatu penekanan pada keyakinannya atas
kepemimpinan para Imam dan Ahl al-Bait yang kehadirannya berlanjut
hingga pertengahan abad ke-3 H/9M. Dengan demikian, hadis Syi’ah tidak
mengalami sejenis kelemahan yang berkaitan dengan penundaan penulisan hadis.3)
Disini
kita akan meninjau secara singkat keterangan berkenaan dengan masalah ini.
Tetapi bagian terbesar penelaahan ini akan membahas sejarah hadis tertulis
dikalangan Ahl al-Sunnah. Sejarah tersebut menunjukkan bahwa hadis
ternyata tidak tertulis selama masa tertentu. Bahkan tak cuma itu saja, untuk
beberapa masa hadis dilarang untuk disampaikan. Selama masa pealing kurang satu
abad, hadis–hadis disampaikan lewat tradisi lisan. Meskipun sebagian hadis
ditulis selama abad ke-2/8, namun bagian terbesarnya baru ditulis setelah masa
yang cukup lama.
Pertama-tama
kita akan menyebut pandangan para Imam Syi’ah yang menekankan pada penulisan
hadis. Lalu kita akan membahas sejarah hadis tertulis dikalangan Ahl al-Sunnah.
Penelaahan semacam ini dapat berfungsi sebagai petunjuk umum guna menilai
asas-asas mazhab-mazhab Islam yang resmi dan teradisional dan mengungkapkan
mazhab yang memiliki dukungan tradisi penulisan yang tak terputus. Yang
terpenting dalam penelaahan semacam ini adalah penilaian yang terinci tentang isnad
(garis periwayatan) dan matan (teks), yang merupakan suatu tugas
yang membutuhkan usaha penelitian mendalam, dan meskipun sejumlah karya telah
ditulis mengenai masalah tersebut, tetap masih terbuka kemungkinan bagi
penelitian lebih lanjut.
Para Imam Syi’ah dan Penulisan
serta Penyampaian Hadis
Dalam
bagian ini, kami bermaksud membicarakan secara singkat pandangan Syi’ah
mengenai hadis sejak permulaan. Nanti akan terlihat bahwa pandangan Syi’ah akan
berbeda, atau bahkan bertentangan, dengan pandangan lainnya. Para Imam Syi’ah
memerintahkan penulisan hadis pada saat tokoh ulama Sunni ternama, yaitu
menjelang abad 3/9, enggan menuliskan hadis. Dan kalaupun mereka menuliskannya,
maka hal itu hanya untuk membantu hapalan saja. Barulah setelah penulisan itu
menjadi merata, mereka pun mulai melakukan usaha penulisan hadis dengan
melanggar tradisi yang dirawikan oleh mereka sendiri yang melarang penulisan
hadis.
‘Alba
ibn Al-‘Ahmar meriwayatkan bahwa suatu ketika Ali ibn Abi Thalib dalam
khutbahnya yang disampaikan dari mimbar menyatakan: "Siapa yang membeli
pengetahuan dengan sedirham?" Al-Harits ibn Al-A’war membeli kertas seharga
satu dirham lalu datang ke pada Ali dan menulis sejumlah besar pengetahuan di
kertas tersebut. Tradisi ini menunjukan penekanan Imam tentang penulisan.
Al-Hasan
ibn Ali diriwayatkan pernah menasehati putranya sebagai berikut:
Sekarang
kamu putra ummat yang akan menjadi pemukanya di masa depan. Pelajarilah ilmu;
dan siapapun di antara kamu yang tak sanggup menghapal ilmu (yaitu hadis),
catalah dan peliharalah hadis itu di rumahmu.5)
Diriwayatkan
bahwa Hujr ibn Adi, salah seorang di antara sahabat Nabi saw. dan Ali
menuliskan hadis Ali dalam sebuah buku dan ia akan merujuk pada buku tersebut
kapan pun ia butuhkan sebagi petunjuk dalam hubungannya dengan masalah
tertentu. Contoh-contoh ini mengetengahkan betapa pentingnya penulisan hadis
dalam pandangan Ali, para putra dan sahabatnya. Berikut ini dua contoh yang
menunjukkan pentingnya apa yang dilakukan oleh Ali terhadap hadis dan
pemeliharaannya.
‘Umar
ibn ‘Ali meriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Ali bagaimana ia mampu
meriwayatkan lebih banyak hadis Nabi jika dibandingkan dengan para sahabat
lainnya. Ali menjawab:"Ini karena setiap aku bertanya, Nabi saw. selalu
menjawabnya. Dan jika aku diam, ia sendiri yang akan mulai berpidato."
‘Ali
ibn Hawshab meriwayatkan dari Makhul, seorang alim dari Syiria bahwa Nabi Suci
saw. membaca ayat: "Dan agar diterimanya melalui telinga yang suka
menerimanya." (QS 69 : 12). Lalu beliau berkata kepada Ali:"Aku
memohon kepada Allah agar telinga demikian itu merupakan telingamu." Dan
kemudian Ali berkata:"Aku tak akan pernah melupakan hadis atau apapun yang
kudengar dari Nabi saw.
‘Umar
ibn Al-Harits berkata:
Suatu saat Ali menengadahkan
wajahnya ke langit, lalu menundukkannya seraya berkata:’Allah dan Rasulnya
telah mengatakan kebenaran. ‘Apakah itu?’ tanya sekelompok orang yang ingin
mengetahuinya. Imam lalu berkata:’Aku adalah prajurit, dan perang mengandung
tipuan. Tapi seandainya aku jatuh dari langit, lalu dicengkeram oleh burung,
maka itu lebih aku senangi dari pada menisbahkan suatu kepalsuan atau kebohongan
kepada Rasul Allah. Karena itu, laksanakan apapun yang kamu dengar dariku.
Berbagai
pernyataan tentang penulisan hadis juga diriwayatkan dari para Imam yang
lain.Al-Imam ash-Shadiq berkata :"Tulis dan sebarkan ilmumu di antara
saudaramu. Jika kamu mati, maka anak –anakmu akan mewarisi kitab
–kitabmu.kelak,akan tibasuatu masa yang didalamnya terjadi kekaacuan dan
orang-oraang tk lagi memiliki sahabat yang melindungi dan tak ada penolong
kecuali buku-buku. Imam Al-shadiq juga telah menyatakan:peliharalah buku-bukumu,
karena suatu saat kalian akan membutuhkannya."juga beliau diriwayatkan
telah berkata bahwa kekuatan jiwa dan ingatan bergantung pada tulisan. Abu
Basir meriwayatkan bahwa Imam Al shadiq berkata kepadnya:"Sejumlah orang
yang datang dari basrah bertanya kepadaku tentang beberapa Hadis, lalu
menuliskannya.kenapa anda tidak menuliskannya juga? kemudian
menambahkan:kethuilah bahwa anda tidak akan menjaga hadis tanpa
menuliskannya."Sejumlah tradusi besar menunjukkan bahwa para Imam
mempunyai buku buku dan tulisan tulisan yang mereka warisi dari para
leluhurnya. Dalam tradisi lain, diriwayatkan bahwa Ali pernah membuat
pernyataan "ikatlah ilmu"(lewat penulisan), yang diulangnya sampai
dua kali. Telah diriwayatkandari jabir bahwaAbu Hanifah memanggil Imam Al-Shadiq
dengan kutubi (kutu buku), sehubungan dengan kepercayaannya kepada buku-
buku,dan Imam bangga dengan julukan itu.
Diriwayyatkanjuga
bahwa Imam Al-Muhammad ibn Ali Al-baqir mencatat suatu hadis Nabi yang
dirawikan oleh jabir ibn Abdullah Al-Anshari. Meskipun pernyataan ini agaknya
keliru, sebab jabir wafat ketika Imam berusaha lima tahun,tapi mungkin saja
bahwa tradisi tersebut telah menulis melalui perantara.
Syi’ah dan Penulisan Hadis
Karena
tradisi penulisan hadis sudah ada di kalangan Syi’ah sejak permulaan, maka
mereka pelopor tradisi tertulis dalam hadis dan fikih. Dr. Syawqi Dayf menulis:
Perhatian Syi’ah terhadap
penulisan fikih sangatlah kuat. Alasan dibaliknya adalah keyakinannya terhadap
Imam mereka, bahwa mereka adalah pembimbing (hadi) dan yang diberi petunjuk
oleh Tuhan (mahdi) dan seluruh fatwanya bersifat mengikat. Karena itu, mereka memberikan
perhatian kepada fatwa dan keputusan Ali. Dengan alasan inilah, kompilasi
pertama dilakukan di kalangan Syi’ah oleh Sulayman ibn Qays Al-Hilali, seorang
yang hidup sezaman dengan Al-Hajjaj.
Allamah Sayyid Syarif Al-Din
menulis: "Imam Ali dan para pengikutnya menaruh perhatian terhadap
masalah ini sejak awal. Hal pertama yang diperintahkan oleh Ali adalah menulis
Al-Quran secara utuh yang dilakukannya setelah wafatnya Nabi, sesuai urutan
kronologis turunnya wahyu. Dalam penulisan itu, dia pun menunjukkan ayat-ayat
yang amm atau khashsh, mutlaq atau muqayyad, muhkam atau mutasyabih.Setelah
proses kompilasi itu, dia mulai menghimpun sebuah buku untuk Fatimah. Setelah
itu, dia menulis buku yang kemudian dikenal sebagai Shahifah. Ibn Sa’ad telah
mengisahkan dalam sebuah musnad dari Ali di akhir karyanya yang terkenal
Al-Jami. Pengarang Syi’ah yang lain ialah Abu Rafi, yang menghimpun sebuah
karya yang disebut kitab Al-Sunan wa Al-Ahkam wa Al-Qatada."
Almarhum
Sayyid Hasan Al-Shadr menulis bahwa Abu Rafi, maula dari Nabi, adalah orang
pertama dari kaum Syi’ah yang menyusun buku. Al-Najasi dalam Fihrist –nya,
menyebutkan bahwa Abu Rafi adalah salah seorang generasi pertama diantara
pengarang Syi’ah. Sebagai Syi’ah Ali, Abu Rafi ikut serta dalam peperangan Ali
dan mengepalai Bait Al-Mal di Kufah. Karyanya, Al-Sunan, yang dimulai dengan
bab tentang shalat, diikuti oleh bab tentang puasa, haji, zakat dan penilaian
hukum yang diriwayatkan oleh Muhammad ibn Ubayd Allah ibn Abi Rafi, dari
bapaknya yang diriwayatkan dari ayahnya, Abu Rafi, dari Ali. Di kufah, buku ini
diceritakan pada zaman Al-Najashi oleh Zaid ibn Muhammad ibn Ja’far ibn
Al-Mubarak
Ali
ibn Abi Rafi, putranya Abu Rafi, seorang tabi’it dan Syi’ah yang terkenal, juga
telah menyusun sebuah buku yang berisikan bab-bab tentang berbagai tema hukum,
seperti wudhu’, shalat, dan sebagainya.
Sepert telahdisebutkan di atas
, abu Hanifah memanggil Imam Ash-Shadiq dengan julukan ‘kutubi" (ucapan
dari dia adalah "innahu kutubi"), dan ini merupakan suatu
karakter yang membedankannya dari yanglkaihn. Ketika mendengar hal itu, dia
tertawa dan berkata: "Yang benar adalah perkataannya bahwa aku adalah
seorang suhufi: karena saya telah membaca menunjukkan bahwa Imam
memiliki
Catatan kaki :
1). Meskipun dapat kita
lihat beberapa cendekiawan Muslim Mesir menyatakan bahwa pada masa ini,
seharusnya, slogan kita sekali lagi adalah "Cukup bagi kita Kitab
Allah".
2). Sebagai contoh, ayat berikut ini:Sesungguhnya
pada diri Rasulullah itu ada suri-tauladan yang baik bagimu…………………………….(QS
33:21)………………….apapun yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah; dan apapun yang
dilarangnya,tinggalkanlah………………..(QS 59:7)Dan tidaklah pantas bagi laki-laki
yang Mukmin dan bagi perempuan yang Mukmin, jika Allah danRasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, bagi mereka akan ada pilihan (yang lain) tentang
Urusan mereka…………………….(QS 33:36)
3)Lihat buku berjudul Ukdzubat Tahrif
Al-Qur’an bayna Al-Syi’ah wa Al-Sunnah oleh Rasul Ja’fariyan
4)Al-Tabaqat Al- Kubra, vol. 6, hal.
168; Taqyid Al-‘Ilm, hal. 89,90; Kanz Al-‘Ummal,vol. 10, hal.
156; Rabi’Al-Abrar, vol. 3, hal. 294.
5)Bihar Al-Anwar,vol. 2, hal.152;Al-Taratib
Al-Dariyyah,vol. 2, hal. 246; Sunan Al-Darimi, vol. 1, hal.130; ‘Illal
Al-Hadith,vol. 2, hal. 438; Taqyid Al-‘Ilm, hal. 91; Jami’ Bayan
Al-‘Ilm,vol. 1, hal. 99; Kanz Al-‘ummal, vol. 1, hal. 193; Rabi’Al-Abrar,
vol. 3, hal. 326; Tarjumat Al-‘Imam al-Hasan dlmTarikh Dimasyq,
6)Al-Tabaqat Al-Kubra, vol. 6, hal.
220
7)Ansab Al-Ashraf, vol. 2, hal. 98; dan
hadis no. 980 dari pembahasan biografi Imam Ali dalam Tarikh Dimasyq;Bihar
Al-Anwarvol. 2. Hal. 230; Al-Fadha’il oleh Ibn Hanbal, hadis No.
222.
8)Ansab Al-Asyraf, vol. 1 , hal. 121; Tarikh
Dimasyq, vol. 38, hal. 202; Hilyat Al-Awliya,vol.. 1, hal. 67; Syawahid
Al-Tanzil,hadis No. 1009.
9)Ansab Al-Asyraf, vol. 2, hal. 145.
10)Bihar Al-Anwar,vol 2,hal.50,dari Kasyf
Al-Mahajjah.
11)Bihar Al-Anwar,vol.2,hal 152.
12)Bihar Al-Anwar, vol. hal 153.
13)Untuk informasi tentang hadis dalam
hubungannya dengan masalah ini, lihat makatib AL-Rasul,vol. 1,hal71dan 89
olehAli Ahmad Miyanji.
14)Taqyid Al-Ilm,hal.89.
15)Radwat Aljannat,vol.8hal.169.
16)Taqyid Al-Ilm. hal.104.
17)Tarikh Al-Adab Al-Arabi,"Al-Asr
Al-Islami",hal. 453, sementara pernyataan yang sama juga dibuat oleh
Mustafa ‘Abd Al –Razaq; lihat Tahmid li-Tarikh al-Islamiyah, hal. 202,
203.
18)Al-Muraja’at, hal. 305,306,
diterbitkan oleh Al-A’lami, Beirut.
19)Ta’sis Al-Syi’ah li-‘Ulum Al-Islam,hal. 280, diterbitkan
oleh Al-A’lami, Beiru
0 komentar:
Posting Komentar