Bila
kita berpikir bahwa kreativitas hanya salah satu feature dalam kegiatan
berpikir, kita perlu membuka mata lebih lebar. Mekanik mobil harus
menemukan cara mendeteksi kerusakan mesin, yang tidak dipelajari dengan
sistem problem solving di sekolah. CEO yang terkenal kekuatannya dalam
mengotak-atik angka keuangan, pada saatnya perlu menggunakan
kreativitasnya untuk memahami problem yang komplek. Seorang dosen senior
yang dikenal kekuatan intelektiualnya, pada saatnya perlu menggunakan
kreativitasnya untuk memahami potensi dan problem mahasiswanya.
Mahasiswa yang dikenal tinggi motivasi belajarnya, pada waktunya perlu
menggunakan kreativitasnya untuk memahami kebutuhannya di tengah
pengaruh internal/eksternal yang sangat kuat.
Jelas
bahwa kreativitas ada di dalam setiap situasi. Kita perlu meyakini
betapa suatu lembaga, organisasi, dan atau perguruan tinggi tidak bisa
berjalan tanpa berkreativitas. Kita bisa menyaksikan ada perusahaan,
bisa tiba-tiba menjadi “gajah bengkak” karena tidak membudayakan
kreativitas. Pola pikir tidak mementingkan budaya kreativitas sungguh
akan melahirkan mental “tidak bisa” yang membunuh. Perusahaan seperti GE
yang demikian sukses di abad ke-20 lalu, sekarangpun berkiprah ke
“kepedulian lingkungan dan inovasi ecomagination”, serta masih harus
membuktikan apakah usahanya akan mencetak laba dan membuat perusahaannya
bisa se-sexy Apple. Fenomena ini membuktikan bahwa kreativitas dan
inovasi tidak bisa berbentuk lip service, basa-basi, atau
setengah-setengah.
Sebagai
contoh tentang kreativitas tidak mempunyai nilai tambah adalah kisah
Peter Thiel, dengan kesungguhan hati meninggalkan profesinya sebagai
advokat untuk kepentingan menciptakan PayPal dengan pemikiran matang
yang dielaborasi secara tuntas. Hasilnya, Thiel sekarang menjadi
pemegang saham terbesar dari perusahaan perusahaan bergengsi lain
seperti Facebook, dan sebagai dosen mata kuliah creative economy di
Stanford. Contoh lain tentang kreativitas sebagai kunci sukses juga
sudah dibuktikan oleh Cirque du Soleil yang mengubah sirkus binatang
yang hampir mati, menjadi ajang show musikal dan tari manusia berbakat.
Pertanyaannya
sekarang adalah; apakah di lembaga kita (lembaga dimana kita berada)
sudahkah ada upaya serius yang dilakukan untuk memotivasi dan atau
memberi peluang warganya agar selalu melakukan terobosan baru,
berinovasi, dan berkreasi. Kalau belum, maka kita harus sadar secepatnya
untuk antara lain ; pertama, segera menciptakan pembiasaan diri untuk
menciptakan budaya kreatif, yaitu dengan cara menyebar “spirit can do”,
yaitu tidak ada kata “tidak bisa”. Kedua, menumbuhkan keyakinan bahwa
kesalahan adalah cara untuk merangsang kreativitas atau inovasi. Ketiga,
menggalakkan tradisi brainstorming sebelum mengambil keputusan. Kempat,
menggalakkan “whole brain thinking” dengan menukar problem solver yang
tidak sesuai bidangnya.
Riset
menunjukkan betapa kreativitas dan inovasi adalah keterampilan yang
diasah dan dikembangkan, bukan dimiliki sejak lahir. Semakin sering kita
melakukan benchmark, brainstorming, berdiskusi, dialog, maka semakin
tajam kita saat membedah permasalahan kerja kita dengan sudut baru, dan
sudah diduga keputusan yang kita ambil akan melegakan dan atau memuaskan
banyak pihak. Bukankah prinsip “musyawarah” adalah tradisi baik
sekaligus konsep ajaran agama kita (Islam) dalam setiap proses
pengambilan keputusan.
Wallahu A’lam bi al-Shawab,
Malang, 21 Januari 2013
HA. Muhtadi Ridwan
0 komentar:
Posting Komentar