Senin, 11 Maret 2013

Cuci otak atas nama Keagamaan

Seminggu terakhir, Malang diguncang “gempa” munculnya kelompok Negara Islam Indonesia (NII) yang sebenarnya bukanlah hal baru. “Gempa” itu muncul setalah sahabat-sahabat PMII cabang Malang mengungkap adanya upaya pencucian otak dengan modus agama pada beberapa mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Perkembangan isu ini terus berlanjut. Semua media yang terbit di Malang memburu setiap informasi yang berkaitan dengan NII itu. Bukan tanpa alasan media menelusuri kebenaran apakah orang-orang yang ada di balik dugaan pencucian otak itu orang NII atau bukan.

Tentu, media ingin membuktikan apa benar di Malang yang terkenal damai dan tentram ini jadi sarang NII laiknya beberapa kota di Jawa Barat. Apalagi sampai kini masih ada mahasiswa UMM yang belum diketahui keberadaannya dalam kasus yang melibatkan kekerasan agama ini.

Dalam konteks sosial, melabelkan agama sebagai salah satu varian potensial pemicu kekerasan, dalam banyak aspek tidaklah rasional. Karena tidak satupun agama secara normatif mengajarkan perilaku kekerasan itu, baik kekerasan terhadap sesama pemeluk agama maupun antarpemeluk agama. Pesan-pesan ideal masing-masing ajaran agama tersebut pada hakikatnya lebih menekankan sikap damai, kasih sayang, toleran, solider, egaliter, dan keadilan.

Namun demikian, fakta sosiologis selalu menunjukkan praktik yang sebaliknya, yaitu adanya  perilaku keagamaan maupun keberagamaan yang timpang. Ketimpangan tersebut, tidak menutup kemungkinan berakar dari faktor cara pemahaman agama yang sangat literalis dan skripturalis. Sebuah pemahaman keagamaan yang  memicu munculnya  kelompok-kelompok konservatisme, puritanisme, dan radikalisme, yang oleh kalangan islamist disejajarkan dengan gerakan fundamentalisme Kristen awal abad 20-an.

Fenomena kekerasan atas nama agama ini tidak saja terjadi dalam kawasan lokal di Indonesia, tetapi hampir menyeluruh kawasan dunia. Di Eropa misalnya, kita kenal dengan ethnic cleansing islam yang dilakukan oleh pemeluk Kristen Bosnia dan Kroasia. Di Irlandia, konflik terjadi antara pemeluk Kristen Katolik dan Kristen Anglikan. Di Benua Asia, konflik terjadi antara Agama Hindu dan Agama Islam dalam hal ini  di India. Sementara di benua Afrika, terjadi konflik internal di kalangan Kristen Rwanda. Konflik Islam dan Nasrani di Filipina, Yaman, Sudan dan Indonesia, dan lebih fatal lagi konflik terjadi antar tiga pemeluk agama yang berbeda, yaitu Islam, Kristen dan Yahudi tepatnya di Libanon.

Dalam konteks keindonesiaan, kekerasan antar pemeluk agama juga terjadi pada gejala-gejala kekerasan yang terdapat di Purwokerto awal November 1995, Akhir Nopember 1995 dan April 1997 di Pekalongan, Tasikmalaya, September 1996, Situbondo, Oktober 1996, Rengas Dengklok, Januari 1997, Sampang dan Bangkalan Mei 1997, Medan, April 1996, Tanah Abang, Agustus 1997, Mataram, September 1997, Flores dan Subang, Agustus 1997, Konflik antara FPI versus Ahmadiyah, FKBP versus FPI sekitar tahun 2010.

Demikian juga peristiwa terorisme, seperti pembajakan atas nama jihad Garuda Indonesia Penerbangan 206-1981, Bom Candi Borobudur 1985, Bom Kedubes Filipina 2000, Bom Bursa Efek Jakarta 2000, Bom malam Natal 2000, Bom Plaza Atrium 2001, Bom Gereja Santa Anna dan HKBP 2001, Bom Tahun Baru 2002, Bom Bali 2002, Bom McDonald’s Makassar 2002, Bom Kompleks Mabes Polri 2003, Bom Bandara Soekarno-Hatta 2003, Bom JW Marriott 2003, Bom Palopo 2004, Bom Kedubes Australia 2004, Bom Bali 2005, Bom Tentena 2005, Bom Palu 2005, Bom Jakarta 2009, dan Bom Cirebon 2011. Semua peristiwa di atas acapkali dianggap sebagai fenomena kekerasan atas nama agama oleh perkembangan sosial di sekitarnya.

Selain latar belakang cara pemahaman keagamaan di atas, banyak teori lain yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa kekerasan atas nama agama ini tumbuh subur di Indonesia, baik teori ekonomi (kemiskinan), psikologi (marginalisasi),  pendidikan (keterbelakangan), politik (pemerintah yang KKN), sosial (globalisasi), maupun budaya (sekuler).

Bukan Isu Tunggal

Atas dasar ini, kekerasan atas nama agama bukanlah isu tunggal melainkan sebagai isu plural dan global. Ia tidak saja berkembang di Indonesia, tetapi juga berkembang di dunia luas. kekerasan atas nama agama yang melahirkan gerakan sosial teroris ini, kini bukan dianggap sebagai hal baru khususnya di mata masyarakat Indonesia dan dunia pada umumnya.

Sebab efek gerakan terorisme ini  bagi masyarakat secara umum tidaklah sederhana. Dari hasil pembacaan secara psikologis gerakan terorisme agama telah menyebabkan rasa tidak aman dan sikap ketakutan secara masal bagi bangsa Indonesia. Sedangkan secara politis gerakan terorisme agama ini juga telah merugikan upaya-upaya diplomasi secara internasional, secara ekonomis terorisme dituding telah menggagalkan langkah-langkah perdagangan secara internasional, sementara itu, cost dan resistensi sosial yang  harus ditanggung  dari gerakan terorisme ini sangatlah tinggi, belum lagi ketika gerakan teorisme ini telah mengancam eksistensi empat (4) pilar suatu bangsa, yaitu Pancasila, UUD ’45, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.

Mengingat sedemikian resistennya kekerasan atas nama agama bagi masyarakat Indonesia secara luas, maka dipandang perlu untuk segera dicari berbagai langkah upaya deradikalisasi agama secara solutif dan implementatif, yaitu antara,

Pertama, di tingkat antar lembaga, sangat perlu kerja integratif antara lembaga pendidikan, ormas-ormas keagamaan, pemerintah dan semua yang terkait dalam upaya menanggulangi dan meminimalisir gerakan kekerasan atas nama agama.

Kedua, di tingkat regulator, sangat perlu mengkaji ulang UU tindak pidana teroris No. 15 pasal 45 2003 tentang kriminalisasi atau perluasan objek hukum dan perbaikan mekanisme hukum.

Ketiga, di tingkat lembaga pendidikan, Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama perlu didorong untuk memberikan materi pelajaran multikulturalisme, anti terorisme, anti militanisme, anti ekstrimisme, dan Islam rahmatan li al-‘alamin di semua jenjang pendidikan.

Keempat, para elit semua sektor wajib mengoptimalkan berbagai ruang budaya sebagai media terciptanya pola hidup egaliter, gotong royong, toleransi, rukun, saling menghormati dan menghargai masing-masing perbedaan, dan

Kelima, Mengatasi akar-akar permasalahan yang dapat menumbuhkan tindak kekerasan dan kekerasan atas nama agama, baik yang berupa persoalan ekonomi, budaya, politik, social maupun psikologis.

Malang, 20 April 2011

HA. Muhtadi RidwanPemerhati Perilaku Sosial Keagamaan

Mengabdi di rakyat kecil dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

0 komentar:

Posting Komentar