Senin, 22 April 2013

MEMBANGUN KOMUNIKASI DI LEMBAGA PENDIDIKAN

MEMBANGUN KOMUNIKASI DI LEMBAGA PENDIDIKAN

Ada kebiasaan yang saya lakukan ketika berangkat dan atau pulang kantor, yaitu menyetel gelombang Radio untuk mendengarkan siaran dialog interaktif, salah satu program yang dikemas dengan nama Program Pro Tiga Radio Republik Indonesia (RII). Program yang sangat menarik tersebut tentu saja terkait dengan berbagai problem dan issue aktual yang terjadi di negeri kita tercinta, soal sosial, soal politik, soal budaya, soal pendidikan, soal ekonomi, dan saembrek persoalan lainnya.
Program, yang menurut RRI termasuk program unggulan pada pagi hari ini (Jum’at, 28 Desember 2012) mengusung tema “Membangun Pendidikan Perspektif non Politis; Refleksi Pendidikan Nasional 2012”, dengan narasumber salah satu pejabat tinggi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Suatu tema yang sangat menarik, karena rasanya hampir dipastikan banyak persoalan yang muncul di negeri kita tercinta ini, yang kemudian cara pengelolaan dan penyelesaiannya dengan pendekatan politik, dan atau selalu dipolitisasi. Agama dipolitisasi, korupsi dipolitisasi, sosial dipolitisasi, demikian juga pendidikan juga dipolitisasi. Jadi, “uangisasi” dan “politisasi” cara yang dianggap ideal, karena disamping “uang”, “politik” nampaknya sudah menjadi panglima dalam kehidupan kita. Tanpa keduanya hidup ini tidak akan survive, begitu kira-kira.
Pemilihan tema di atas, menurut narasumber didasari atas fenomena yang sering terjadi banyak kebijakan dan keputusan yang terkait dengan soal pendidikan diselesaikan dengan pendekatan politik, tidak nyambung. Karena pendekatan politik itu berarti pendekatan “kalah” atau “menang”. Seharusnya dengan pendekatan akademik, dengan dialog akademik, berarti rasionalitas, obyektifitas yang dipakai dasar utama untuk bertindak. Beliau sangat prihatin dengan proses pengelolaan pendidikan dengan cara seperti di atas, maka selanjutnya beliau mengajak kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya untuk membangun pendidikan di Indonesia dengan pendekatan non politis, sebagaimana tema di atas.
Lembaga pendidikan adalah insitusi, atau suatu tempat dimana terdapat kegiatan pendidikan. Garapan pokoknya adalah peserta didik. Untuk mengelola kegiatan pendidikan tentu saja ada tujuan pendidikan. Kalau mau ringkas, tujuan pendidikan adalah “memanusiakan manusia”. Dengan kata lain, pendidikan adalah suatu kegiatan untuk mengaktualisasikan potensi manusia sehingga benar-benar menjadi manusia sejati, yakni mengaktualkan berbagai potensinya untuk dapat benar-benar menjadi manusia yang memiliki kehidupan yang penuh makna, bagi orang lain dan bagi dirinya sendiri. Mengutip ungkapan E.F.Schumacher dalam buku klasiknya yang luar biasa, Small is Beautiful, pendidikan hendaknya tidak hanya menekankan know how, tapi justru harus mengembangkan aspek know-why-nya, yakni makna (meaning) dari kemampuan dan keterampilan yang dimiliki dalam mencapai kebahagiaan hidup.
Memanusiakan Manusia atau Nguwongne Wong sebagai kata kunci tujuan pendidikan mempunyai makna fungsional dan tidak sekedar ceremonial. Kyai Hasan Sahal (salah satu pimpinan Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo) pernah memberikan jawaban singkat ketika ditanya tentang tujuan pondok yang dipimpinnya, yaitu “ben dadi wong” (santrinya biar jadi orang). Pertanyaannya tersebut muncul dari pembicaraan ketika beberapa wali santri sowan kepadanya dan dan bergabung dengan mereka. Rata-rata wali santri merasakan ada perbedaan cara pengelolaan antara Pondok Gontor dengan beberapa Pondok Pesantren pada umumnya. Perbedaan tersebut antara lain, tentang partisipasi santri pada pengelolaan Pondok, tentang pengaturan disiplin santri, tentang kreatifitas dan keaktifan santri, tentang respon masyarakat yang tidak hanya dari dalam negeri tetapi sudah sangat dikenal di manca negara, dan tidak kalah penting adalah tentang konsistensi sistem pendidikan yang diatur secara mandiri oleh Pondok Pesantren.
Perbedaan sistem pengelolaan Pesantren diatas yang juga diakui oleh Ustadz Hasan (demikian kebiasaan santri memanggilnya) mempunyai fungsi memanusiakan manusia, karena mengandung ajaran kemandirian, ajaran kebebasan berkreasi, ajaran mengatur waktu, ajaran partisipatif, dan ajaran tidak selalu bergantung pada orang lain. Tidak ada sedikitpun yang bernuansa politis.
Sistem yang yang sudah tertata dan teralisasi secara konsisten selama bertahun-tahun tersebut sangat dipahami oleh semua pihak; santri, wali santri, pengasuh, dan pimpinan Pesantren, karena dikomunikasikan secara baik melalui proses penyusunan sistem yang dilakukan dengan pendekapatan partisipatif.
Contoh model pengelolaan lembaga pendidikan seperti yang dilakukan Pondok Pesantren pada umumnya dan Pondok Modern Gontor memang tidak serta merta bisa diterapkan di lembaga pendidikan lainnya, termasuk lembaga pendidikan tinggi, tetapi lembaga pendidikan tinggi justru harus dapat melakukan melebihi yang sudah dilakukan oleh Pondok Pesantren.
Pendidikan Tinggi adalah institusi yang melakukan kerja proses transformasi produkstif yang intinya untuk menghasilkan lulusan yang kompeten, berkualitas dan mampu memenuhi kepuasan –tidak hanya bagi user- tetapi juga bagi dirinya sendiri sebagai sumber insani yang produktif. Proses transformasi ini tentu memerlukan prasyarat agar mampu menghasilkan lulusan akhir (finished goods output) yang berkualitas dan mampu menjamin tercapainya standar kinerja yang ditetapkan. Inti dari prasyarat tersebut adalah perlunya penciptaan iklim akademik atau sering juga disebut sebagai academic atmosphere, yang berimplikasi pada bangunan komunikasi. Sebagai lembaga pendidikan tinggi tidak seharusnya ada simbol-simbol dan/atau prilaku politis, tetapi yang selalu muncul adalah penciptaan iklim akademik, sehingga tercipta suasana dialogis. Pendekatan kekuasaan dalam banyak hal ketika menyelesaikan persoalan dan pengambilan keputusan adalah salah satu dari bentuk simbol dan prilaku politis.  Kebiasaan menggunakan term domokrasi yang kental dipakai kalangan politisi juga bagian dari simbol politis. Jelas ini menyalahi sistem bangunan komunikasi di kalangan akademisi.
Ketika ada persoalan kelembagaan yang segera diselesaikan, harus segera pula dikomunikasikan kepada semua pemangku kepentingan, karena persoalan kelembagaan pada hakekatnya adalah persoalan bersama dan menjadi tanggung jawab bersama. Dengan cara-cara seperti ini kita semua yakin akan terjalin komunikasi dengan baik dan insyaallah juga bisa akan tercipta suasana dialogis, dan tidak perlu lagi ada yang dikhawatirkan dan dicurigai. Tentang bagaimana kita harus menciptakan iklim akademik atau academic atmorphere ikuti tulisan berikutnya.
Wallahu a’lam wi al-Shawab.

Malang, 28 Desember 2012  
HA. MUHTADI RIDWAN


0 komentar:

Posting Komentar