Biografi Ibnu Majah
Panggilan lengkap keulamaan beliau adalah Imam al-Hafidz al-Mufassir
Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah Al-Raba’i al-Qazwini. Nama
panggilan kependekannya Ibnu Majjah. Majah dengan ha’ sukun merupakan
nama ‘ajam (non Arab) adalah gelar ayahandanya, bahkan ada yang
mensinyalir sebagai nama ibnuda beliau. Adapun Al-Raba’i disunting dari
Rabi’ah, nama seorang pakar ulumul hadis. Ada dugaan bahwa nishah kepada
rabi’ah berlatar belakang status maula yang disandang oleh Ibnu Majah
bersandar kepada Rabi’ah tersebut. Seperti sebutan “maula” yang lazim
dipakai oleh kalangan sejarawan adalah status yang diberikan kepada
orang ‘ajam yang proses Islamisasinya di bawah bimbingan intensif
seorang muslim senior yang berkebangsaan Arab.
Ibnu Majah lahir pada tahun 209 hijriah disuatu wilayah Qazwin, sebuah
kota di negara Iraq yang dahulu masuk bagian dari negeri Persia. Di kota
tersebut banyak lahir ulama kenamaan.Ibnu Majah wafat pada tanggal 21
atau 22 Ramadlan tahun 273 hijriah.
Perjalanan studi Ibnu Majah yang mengantarkannya kejajaran al-Hafidz,
ahli rijalul-hadis sekaligus sebagai kolektor hadis dan al-Mufasir
(menurut al-Zahabi) abad ketiga melintasi beberapa pusat ilmu keislaman
masa itu. Di Iraq beliau lama menetap di Basrah dan Baghdad, Kaofah,
Makkah, Siria, Mesir, dan Al-Ray. Beliau berada di Khurasan khusus untuk
mencari dan menjumpai ulama pengajar hadis.
Guru pembimbing Ibnu Majah pada umumya adalah kolega Imam Malik, Sufyan
al-Tsauri dan kolega Laits bin Sa’ad. Mereka antara lain Abu Bakar bin
Abi Ayaidah, Yazid bin Abdillah al-Yamani, Muhammad bin Abdillah bin
Numair, Jabbaral al-Mubgallas, Ibrahim bin al-Mundzir al-Hizami,
Abdullah bin Mu’awiyah, Hisyam bin ‘Ammar, Muhammad bin Ruh dan Dawud
bin Abi Syaibah.
Reputasi keulamaan Imam Ibnu Majah terbuktikan pada ketiga karya besarnya, yaitu :
Sunan Ibnu Majah (Sunan al-Musthafa) ;
Tafsir al-Qur’an al-Karim, dan ;
Kitab al-Tarikh yang menyajikan kronologis peristiwa sejarah sejak masa
kehidupan para sahabat Nabi dan berakhir pada periode kehidupan umat
Islam yang dialami sendiri oleh Ibnu Majah.
Sebagai ulama terpandang beliau berhasil membimbing Muhammad bin
‘Isa al-Abhari, Abu al-Hasan, al-Qathan, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini
dan lain-lain. Ketiga ulama tersebut juga bertindak sebagai rawi resmi
Sunan Ibnu Majah. Selain mereka adalah Abu Amar al-Madani
al-Ash-bahani, Ahmad bin Ruh al-Baghdadi al-Sya’rani, Ibnu Sibawani
dan Ahmad bin Ibrahim.
Sunan Ibnu Majah
Koleksi hadis karya Ibnu Majah lebih umum dikenal dengan titel kitab
“Sunan Ibnu Majah” sekalipun al-Sindi seorang ulama hadis Madinah
mempublikasikan dengan titel “Sunan al-Musthafa”. Edisi penerbitan cetak
mesin kitab tersebut telah dilakukan penelitian tekstual oleh Dr.
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi.
Sunan Ibnu Majah memuat 4.341 satuan hadis, terbagi menjadi 2 (dua)
jilid, bagian pertama menampung 2.136 hadis dan bagian kedua 2.205
hadis. Dalam koleksi Sunan Ibnu Majah terdapat sejumlah hadis
tsulaisiah. Koleksi hadis tersebut 3002 hadis diantaranya menyamai
format matan serupa yang ditakhrij oleh al-Kutub al-Khamsah dan koleksi
al-Muwatha’, hanya saja Ibnu Majah menyajikan hadis-hadis tersebut
melalui jalaur sanad lain yang berbeda. Selebih jumlah tersebut yaitu
sebanyak 1339 hadis merupakan hadis zawa’ia, yakni koleksi tambahan
yang terkesan melengkapi koleksi yang sudah ada pada kitab hadis
pendahulunya. Rata-rata materi hadis zawa’id itu bermuatan informasi
hukum fiqh.
Keberadaan hadis Zawa’ia dalam Sunan Ibnu Majah berlatar belakang mutu
sanad yang amat varian, dalam pengertian tak seluruhnya sebanding
dengan tingkat kemaqbulan, yaitu :
428 hadis yang didukung oleh perawi tsiqah (keper- cayaan) dan bersanad shahih ;
199 hadis bersanad dengan mutu hasan ;
613 hadis bersanad dha’if , dan ;
99 hadis yang kondisi sanadnya amat lemah, munkar atau di duga palsu.
Ibnu al-Khillikan setelah meneliti ulang kelompok hadis yang diduga
dha’if dalam koleksi Ibnu Majah, ternyata hanya 30 hadis saja yang
benar-benar pantas dikategorikan sebagai dha’if.
Kemampuan Imam Ibnu Majah dalam menyajikan kelompok besar hadis zawa’id,
khususnya yang bermutu shahih dan hasan, merupakan prestasi yang patut
dibanggakan, sebab telah ikut menyelamatkan perbendaharaan hadis yang
amat dibutuhkan umat dan sekaligus berfungsi melengkapi koleksi yang
sudah tertampung dalam kutub al-Khamsah dan al-Muwatha’.
Sikap keterbukaan Imam Ibnu Majah tampak sekali disaat menyajikan
kelompok hadis zawa’id, yakni dengan menyertakan keterangan obyektif
identitas rijalul-hadis dan mutu sanadnya. Sebagai contoh Ibnu Majah
menjelaskan martabat pendukung riwayat hadis terpasang apakah mereka
memenuhi standard Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Selain itu bila
hadis zawa’id tersebut juga terpublikasikan pada kitab koleksi hadis
lain, Ibnu Majah terbuka menunjuk kitab dimaksud dan beliau tuliskan
juga mutu riwayat yang bersangkutan dari segi marfu’ atau mauqufnya.
Sunan Ibnu Majah pada proses koleksinya dikonsultasikan kepada Ibnu
al-Razi (wafat 277 H) seorang ulama yang dikenal masa itu dengan
spesialisasi fiqhul-hadis. Dari pemeriksaan al-Razi itu pula Imam Ibnu
Majah mengetahui keberadaan 30 satuan hadis yang bersanad dha’if.
Materi Hadis dan Sistematika Sunan Ibnu Majah
Matan hadis koleksi Sunan Ibnu Majah sebagian besar memuat materi
dasar-dasar fiqh (aspek hukum amaliah), bahkan pengaturan bab-babnya
menyerupai urutan pada kitab fiqh. Bagian lain bermuatan ajaran perilaku
zuhud, prediksi fitnah, ta’bir mimpi, tuntunan do’a dengan teks dari
Nabi, informasi pengobatan (thibb al-Nabawi), minuman dan aqiqah.
Koleksi hadis dalam Sunan Ibnu Majah terbagi menjadi 37 kitab dan
muqaddimah. Setiap kitab terbagi bab-bab seluruhnya berjumlah 1.515 bab.
Mungkin karena terdorong oleh keinginan menyajikan sebanyak mungkin
pokok bahasan melalui informasi hadis, maka dampaknya sedikit
mengorbankan aspek mutu, terbukti dengan penyertaan hadis yang bermuitu
gharib.
Tradisi pada Sunan Ibnu Majah antara lain menyuratkan judul yang berisi
pokok bahasan yang berbentuk kalimat pendek namun tegas menujukkan
maksud. Hal itu membuktikan tingkat ketajaman analisis Imam Ibnu Majah
dan penguasaannya terhadap pokok (inti) kandungan hadis. Satu surpris
yang lain terletak pada keberhasilan Imam Ibnu Majah mempertahankan
tehnik penyajian hadis dibawah koordinasi babnya senantiasa tuntas dan
selesai dalam setiap halaman kitab sehingga amat memudahkan para
pembacanya.
Sistematika penempatan hadis tepat dibawah judul bab diperuntukkan hadis
yang memuat informasi pokok masalah dan selalu dipilihkan dari jenis
hadis marfu’ qauli. Urutan berikutnya dialokasikan bagi hadis tentang
anak masalah (sub bab) betapa tidak sejenis marfu’ qauli. Pada penyajian
setiap hadis terlihat perhatian besar Imam Ibnu Majah terhadap sektor
sanad, terutama pada bahasa ungkapan pengantar riwayat (shighat tahdis).
Kitab Pensyarah Sunan Ibnu Majah
Koleksi hadis Imam Ibnu Majah memperoleh cukup perhatian ulama generasi
demi generasi. Hal itu terbukti pada kemunculan kitab yang mengulas
(mensyarah) isinya, antara lain :
Al-Dibajah, terdiri atas 5 (lima) mujallad dikerjakan oleh Muhammad bin Musa al-Dimyari, wafat 808 H ;
Misbah al-Zujajah ‘ala Sunani Ibni Majah, disusun oleh Jalaluddin al-Sayuthi, wafat 911 H. ;
Sunan al-Musthafa wa Kifayah al-hajah fi Syarhi Ibni Majah, disusun oleh
seorang ulama Madinah bernama Syeikh Muhamad bin Abdul Hadi al-Sindi
(wafat 1138 H). dari beliau kitab Sunan Ibnu Majah menjadi populer
dengan Sunan Musthafa ; dan
Inhajul-Hajah, buah karya Waliyullah al-Dihlawi (wafat 1176 H).
Pandangan Ulama terhadap Sunan Ibnu Majah
Jajaran ulama mutaqaddimin (mereka yang hidup sampai dengan tahun 300
hijriah) pada umumnya membatasi jumlah kitab hadis standard hanya 5
(lima) buah, karenanya lahir sebutan “ushul-al-Khamsah” atau “al-Kutub
al-Khamsah”. Justru ulama mutaakhirin yang bersemangat mendudukkan Sunan
Ibnu Majah melengkapi kitab hadis standard yang ada menjadi 6 (enam)
kitab dan dari sikap itulah lahir sebutan ushul al-sittah atau kutub
al-sittah. Pemrakarsa gagasan tersebut pertama kali adalah Muhamad Abu
al-Fadhal Ibnu Tahrir al-Maqdisi (wafat 507 H) melalui karangan beliau
Athraf al-Kutub al-Sittah. Dukungan terhadap gagasan tersebut
dipelopori oleh al-Hafidz Abd. Ghani al-Qudsi (wafat 600 H) dalam
karangan beliau berjudul al-Ikmalu fi asmai al-Rijali.
Pendukung faham yang mempromosikan Sunan Ibnu Majah kedalam ushul
al-Sittah lebih didasarkan pada keberadaan sejumlah 1339 satuan hadis
zawa’id, karena dengan tambahan perbendaharaan tersebut amat
menguntungkan kalangan Fuqaha. Selain itu tiga perempat koleksi Sunan
Ibnu Majah menyamai standard mutu hadis yang terseleksi dalam ushul
al-Khamsah.
Di pihak lain muncul pendukung yang mengunggulkan kitab al-Muwatha’
melengkapi Sunan al-Sittah, misalnya Ahmad bin Razin al-Abdari
al-Sarqasthi (wafat 535 H) dalam pernyataan dimuat pada al-Tajrid fi
al-Jami’ Baina al-Shihah. Demikian pula Ibnu al-Atsir al-Jazari
al-Syafi’i (wafat 606 H) dan al-’Allamah al-Zabidi al-Syafi’i (wafat 944
H) dalam Taisir al-Wuhul. Kesenioran dan kepeloporan Imam Malik
sebagai codivicator hadis ikut menyadari keunggulan al-Muwatha’.
Kritik Terhadap Koleksi Hadis Zawa’id
Kritik ulama terhadap Sunan Ibnu Majah pada umumnya terfokus pada
keberadaan 1339 hadis zawa’id. Al-Sirri dan al-Hajaj al-Mazzi
menggeneralisir dha’if pada hadis zawa’id tersebut. Menurut kajian
cermat Dr. Aisyah binti Al-Syathi’ unsur kedha’ifan itu beragam sekali,
antara lain :
hasan gharib ;
terdapat rijalul-hadis yang majhul ;
mata rantai sanad yang jelas dha’if seperti sanad melalui Abdullah bin Harasyi yang pribadinya disepakati sebagai rawi dha’if ;
hadis munkar, seperti yang diriwayatkan Dawud bin Atha’ al-Madini ;
hadis mudallas, seperti yang dikutip melalui Hajjaj bin Arthah dan Zainab al-Sahmiah ;
hadis-hadis yang tidak layak dijadikan hujjah.
Bahkan Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi menuduh 30 hadis maudhu’ dalam
koleksi Sunan Ibnu Majah. Tuduhan serupa dikemukakan pula oleh al-Zahabi
dalam Mizan al-I’tidal.
Kritik evaluasi tersebut tampak apriori dan amat subyektif, lebih-lebih
bila dihubungkan dengan pernyataan Abu Zur’ah al-Razi. Al-Hafidz Ibnu
Hajar al-Asqalani membenarkan ulasan tersebut. Abu hatim dalam al-’Illal
terkesan pada pembatasan munkar dan gugur sanad yang dikemukakan oleh
al-Razi saat Ibnu Hajah berkonsultasi dengan beliau. Dengan demikian
tuduhan dha’if terhadap hadis versi zawa’id dalam koleksi Ibnu majah
hanya dikaitkan pada predikat perawi pendukung sanad hadis bukan pada
keseluruhan bangunan hadis.
Syihabuddin al-Bushiri al-Mashri (wafat 840 H) dalam kitab Misbah
al-Zujajah fi zawaidi Ibni Majah mengakui bahwa di balik tafarrud acap
kali diketahui bahwa rijal hadisnya terdiri atas orang yang pernah
dituduh dusta bahkan pernah diklaim pernah membuat pemalsuan hadis,
namun harus diakui bahkan hadis-hadis zawaid tersebut sulit diperoleh
sumber informasi lain melalui mata rantai sanad yang lain. Seperti hadis
yang berujung sanad pada Habib bin Habib (notulis Imam Malik) Alla’ bin
Yazid, Dawud bin al-Munjam, Abdul Wahab al-Dhahak, Ismail bin Ziyad
al-Sukuti dan sebangsa mereka.
Penilaian moderat tersebut mengajak agar orang bertenggang rasa bila
kondisi tafarrud pada koleksi hadis zawaid di dalam Sunan Ibnu Majah
yang hanya terbentur sifat pribadi seorang perawi dalam rangkaian sanad,
di kompensasikan pada aspek matannya yang disamping amat diperlukan
oleh kalangan fuqaha juga sekaligus menyelamatkan sejumlah besar
perbendaharaan hadis.
Itulah sebabnya setelah melalui proses panjang ulama mutaakhirin
berketetapan menempatkan Sunan Ibnu Majah melengkapi jajaran kutub
al-Sittah sekalipun di nomor terakhir. Hal itu tidak lepas dari
keberadaan 1339 hadis zawaid yang kemudian menjadi bahan bermanfaat bagi
pengembangan hazanah ilmu fiqh.
Demi melindungi validitas sumber ajaran Islam tentunya layak bila dalam
menyikapi keberadaan hadis koleksi Sunan Ibnu Majah terutama bagian
zawaid agar mengacu pada pedoman :
Pertama : Hadis-hadis yang terdapat padanannya (keserasian isi
matan) dalam kutub al-Khamsah seyogyanyalah langsung dijadikan landas
hujjah ;
Kedua : Hadis-hadis yang tergolong zawa’id dan bila terbukti terjadi
sifat tafarrud perlu pemeriksaan rijal pendukung hadis yang
bersangkutan. Sekira nama rijalul-hadis tersebut lazim menjadi pendukung
hadis bermutu shahih, maka hadis tersebut layak dipertimbangkan untuk
dipakai.
Sumber Pustaka :
Muhamad al-Shabagh, al-Hadis al-Nabawi, Riad : Al-Maktabah al-Islami, 1976, hal. 400-403.
Muhamad Abu Syahbah, al-Kutub al-Shihah al-Sittah, Mesir : Mathba’ah al-Azhar, 1969, hal. 136-142.
Dr. Musthafa al-Siba’i, al-Sunnah Wa Makanatuha, Kairo: Dar al-Qaumiyah, 1966, hal. 414.
Al-Hafidz al-Mubarakfuri, Muqaddimah Tuhfah al-Ahwadzi, Dar al-Fikr : 1979, hal. 134-137.
Muhamad Ahmad Qamar, al-Hadis al-Nabawi dalam Majalah Rabithah Alam al-Islami, Makkah, No. XX, Nopember 1981, hal. 126-127
Al-Hafidz Abu Abdillah al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Mesir : Isa al-Babi Halabi, 1954
Prof. Dr. TM. Hasbi Al- Shiddiq, Sejarah Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1974, hal. 326-327
Al-Shan’ani, Subul al-Salam, Mesir : Musthafa al-Babi al-Halabi, 1960, Jilid I, hal. 12
Al-Sindi, Sunan al-Musthafa, Beirut : dar al-Fikr, 1972
Dr. Shubhi Shalih, Ulum al-Hadis Wa Musthalahuhu, Beirut : Dar al-Ilmi Li al-Mayalisi, 1977, hal. 118
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar