Senin, 11 Maret 2013

STUDI REFERENSI HADIS STANDART/SUNAN IBNU MAJAH (209 – 273 H.); Bagian Kesembilan

Biografi Ibnu Majah

Panggilan lengkap keulamaan beliau  adalah Imam al-Hafidz al-Mufassir Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah Al-Raba’i al-Qazwini. Nama panggilan kependekannya Ibnu Majjah. Majah dengan ha’ sukun merupakan nama ‘ajam (non Arab) adalah gelar ayahandanya, bahkan ada yang mensinyalir sebagai nama ibnuda beliau. Adapun Al-Raba’i disunting dari Rabi’ah, nama seorang pakar ulumul hadis. Ada dugaan bahwa nishah kepada rabi’ah berlatar belakang status maula yang disandang oleh Ibnu Majah bersandar kepada Rabi’ah tersebut. Seperti sebutan “maula” yang lazim dipakai oleh kalangan sejarawan adalah status yang diberikan kepada orang ‘ajam yang proses Islamisasinya di bawah  bimbingan intensif seorang muslim senior yang berkebangsaan Arab.

Ibnu Majah lahir pada tahun 209 hijriah disuatu wilayah Qazwin, sebuah kota di negara Iraq yang dahulu masuk bagian dari negeri Persia. Di kota tersebut banyak lahir ulama kenamaan.Ibnu Majah wafat pada tanggal 21 atau 22 Ramadlan tahun 273 hijriah.
Perjalanan studi Ibnu Majah yang mengantarkannya kejajaran al-Hafidz, ahli rijalul-hadis sekaligus sebagai kolektor hadis dan al-Mufasir (menurut al-Zahabi) abad ketiga melintasi beberapa pusat ilmu keislaman masa itu. Di Iraq beliau lama menetap di Basrah dan Baghdad,  Kaofah, Makkah, Siria, Mesir, dan Al-Ray. Beliau berada di Khurasan khusus untuk mencari dan menjumpai ulama pengajar hadis.
Guru pembimbing Ibnu Majah pada umumya adalah kolega Imam Malik, Sufyan al-Tsauri dan kolega Laits bin Sa’ad. Mereka antara lain Abu Bakar bin Abi Ayaidah, Yazid bin Abdillah al-Yamani, Muhammad bin Abdillah bin Numair, Jabbaral al-Mubgallas, Ibrahim bin al-Mundzir al-Hizami, Abdullah bin Mu’awiyah, Hisyam bin ‘Ammar, Muhammad bin Ruh dan Dawud bin Abi Syaibah.
Reputasi keulamaan Imam Ibnu Majah terbuktikan pada ketiga karya besarnya, yaitu :
Sunan Ibnu Majah (Sunan al-Musthafa) ;
Tafsir al-Qur’an al-Karim, dan ;
Kitab al-Tarikh yang menyajikan kronologis peristiwa sejarah sejak masa kehidupan para sahabat Nabi dan berakhir pada periode kehidupan umat Islam yang dialami sendiri oleh Ibnu Majah.
Sebagai  ulama terpandang beliau berhasil membimbing Muhammad bin ‘Isa al-Abhari, Abu al-Hasan, al-Qathan, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini  dan lain-lain. Ketiga ulama tersebut juga bertindak sebagai rawi resmi Sunan Ibnu Majah. Selain  mereka  adalah Abu Amar al-Madani al-Ash-bahani, Ahmad  bin  Ruh al-Baghdadi al-Sya’rani, Ibnu Sibawani dan Ahmad bin Ibrahim.

Sunan Ibnu Majah
Koleksi hadis karya Ibnu Majah lebih umum dikenal dengan titel kitab “Sunan Ibnu Majah” sekalipun al-Sindi seorang ulama hadis Madinah mempublikasikan dengan titel “Sunan al-Musthafa”. Edisi penerbitan cetak mesin kitab tersebut telah dilakukan penelitian tekstual oleh Dr. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi.
Sunan Ibnu Majah memuat 4.341 satuan hadis, terbagi menjadi 2 (dua) jilid, bagian pertama menampung 2.136 hadis dan bagian kedua 2.205 hadis. Dalam koleksi Sunan Ibnu Majah terdapat sejumlah hadis tsulaisiah. Koleksi hadis tersebut 3002 hadis diantaranya menyamai format matan serupa yang ditakhrij oleh al-Kutub al-Khamsah dan koleksi al-Muwatha’, hanya saja Ibnu Majah menyajikan hadis-hadis tersebut melalui jalaur sanad lain yang berbeda. Selebih jumlah tersebut yaitu sebanyak 1339 hadis merupakan hadis zawa’ia, yakni koleksi  tambahan yang terkesan melengkapi koleksi yang sudah ada pada kitab hadis pendahulunya. Rata-rata materi hadis zawa’id itu bermuatan informasi hukum fiqh.
Keberadaan hadis Zawa’ia dalam Sunan Ibnu Majah berlatar belakang mutu sanad yang amat varian, dalam pengertian  tak  seluruhnya sebanding dengan tingkat kemaqbulan, yaitu :
428 hadis yang didukung oleh perawi tsiqah (keper- cayaan) dan bersanad shahih ;
199 hadis bersanad dengan mutu hasan ;
613 hadis bersanad dha’if , dan ;
99 hadis yang kondisi sanadnya amat lemah, munkar atau di duga palsu.
Ibnu al-Khillikan setelah meneliti ulang kelompok hadis yang diduga dha’if dalam koleksi Ibnu Majah, ternyata hanya 30 hadis saja yang benar-benar pantas dikategorikan sebagai dha’if.
Kemampuan Imam Ibnu Majah dalam menyajikan kelompok besar hadis zawa’id, khususnya yang bermutu shahih dan hasan, merupakan prestasi yang patut dibanggakan, sebab telah ikut menyelamatkan perbendaharaan  hadis yang amat dibutuhkan umat dan sekaligus berfungsi melengkapi koleksi yang sudah  tertampung  dalam  kutub  al-Khamsah dan al-Muwatha’.
Sikap keterbukaan Imam Ibnu Majah tampak sekali disaat menyajikan kelompok hadis  zawa’id, yakni dengan menyertakan keterangan obyektif identitas rijalul-hadis dan mutu sanadnya. Sebagai contoh Ibnu Majah  menjelaskan martabat pendukung riwayat hadis terpasang apakah mereka memenuhi standard Imam al-Bukhari  dan Imam Muslim. Selain itu bila hadis zawa’id tersebut juga terpublikasikan pada kitab koleksi hadis lain, Ibnu Majah terbuka menunjuk kitab dimaksud dan beliau tuliskan juga mutu riwayat yang bersangkutan dari segi marfu’ atau mauqufnya.
Sunan Ibnu Majah pada proses koleksinya dikonsultasikan kepada Ibnu al-Razi (wafat 277 H) seorang ulama yang dikenal masa itu dengan spesialisasi fiqhul-hadis. Dari pemeriksaan al-Razi itu pula Imam Ibnu Majah mengetahui keberadaan 30 satuan hadis yang bersanad dha’if.

Materi Hadis dan Sistematika Sunan Ibnu Majah
Matan hadis koleksi Sunan Ibnu Majah sebagian besar memuat materi dasar-dasar fiqh (aspek hukum amaliah), bahkan pengaturan bab-babnya menyerupai urutan pada kitab fiqh. Bagian lain bermuatan ajaran perilaku zuhud, prediksi fitnah, ta’bir mimpi,  tuntunan do’a dengan teks dari Nabi, informasi pengobatan (thibb al-Nabawi), minuman dan aqiqah.
Koleksi hadis dalam Sunan Ibnu Majah terbagi menjadi 37 kitab dan muqaddimah. Setiap kitab terbagi bab-bab seluruhnya berjumlah 1.515 bab. Mungkin karena terdorong oleh keinginan  menyajikan sebanyak mungkin pokok bahasan melalui informasi hadis, maka dampaknya sedikit mengorbankan aspek mutu, terbukti dengan penyertaan hadis yang bermuitu gharib.
Tradisi pada Sunan Ibnu Majah antara lain menyuratkan judul yang berisi pokok bahasan yang berbentuk kalimat pendek namun tegas menujukkan maksud. Hal itu membuktikan tingkat ketajaman  analisis Imam Ibnu Majah  dan penguasaannya terhadap pokok (inti) kandungan hadis. Satu surpris yang lain terletak pada keberhasilan Imam Ibnu Majah mempertahankan tehnik penyajian hadis dibawah koordinasi  babnya senantiasa tuntas dan selesai dalam setiap halaman kitab sehingga amat memudahkan para pembacanya.
Sistematika penempatan hadis tepat dibawah judul bab diperuntukkan hadis yang memuat informasi pokok masalah dan selalu dipilihkan  dari jenis hadis marfu’ qauli. Urutan berikutnya dialokasikan bagi hadis tentang anak masalah (sub bab) betapa tidak sejenis marfu’ qauli. Pada penyajian setiap hadis terlihat perhatian besar Imam Ibnu Majah terhadap sektor sanad, terutama pada bahasa ungkapan pengantar riwayat (shighat tahdis).

Kitab Pensyarah Sunan Ibnu Majah
Koleksi hadis Imam Ibnu Majah memperoleh cukup perhatian ulama generasi demi generasi. Hal itu terbukti pada kemunculan kitab yang mengulas (mensyarah) isinya, antara lain :
Al-Dibajah, terdiri atas 5 (lima) mujallad dikerjakan oleh Muhammad bin Musa al-Dimyari, wafat 808 H ;
Misbah al-Zujajah ‘ala Sunani Ibni Majah, disusun oleh Jalaluddin al-Sayuthi, wafat 911 H. ;
Sunan al-Musthafa wa Kifayah al-hajah fi Syarhi Ibni Majah, disusun oleh seorang ulama Madinah bernama Syeikh Muhamad bin Abdul Hadi al-Sindi (wafat 1138 H). dari beliau kitab Sunan Ibnu Majah menjadi populer dengan Sunan Musthafa ; dan
Inhajul-Hajah, buah karya Waliyullah al-Dihlawi (wafat 1176 H).

Pandangan Ulama terhadap Sunan Ibnu Majah
Jajaran ulama mutaqaddimin (mereka yang hidup sampai dengan tahun 300 hijriah) pada umumnya membatasi jumlah kitab hadis standard  hanya 5 (lima) buah, karenanya lahir sebutan “ushul-al-Khamsah” atau “al-Kutub al-Khamsah”. Justru ulama mutaakhirin yang bersemangat mendudukkan Sunan Ibnu Majah melengkapi kitab hadis standard yang ada menjadi 6 (enam) kitab dan dari sikap itulah lahir sebutan ushul al-sittah atau kutub al-sittah. Pemrakarsa gagasan tersebut  pertama kali adalah Muhamad Abu al-Fadhal Ibnu Tahrir al-Maqdisi (wafat 507 H) melalui karangan beliau Athraf al-Kutub  al-Sittah. Dukungan terhadap gagasan tersebut dipelopori oleh al-Hafidz Abd. Ghani al-Qudsi (wafat 600 H) dalam karangan beliau berjudul al-Ikmalu fi asmai al-Rijali.
Pendukung faham yang mempromosikan  Sunan Ibnu Majah kedalam ushul al-Sittah  lebih didasarkan pada keberadaan sejumlah 1339 satuan hadis zawa’id, karena dengan tambahan  perbendaharaan tersebut amat menguntungkan  kalangan Fuqaha. Selain itu tiga perempat koleksi Sunan Ibnu Majah menyamai standard mutu hadis yang terseleksi dalam ushul al-Khamsah.
Di pihak lain muncul pendukung yang mengunggulkan kitab al-Muwatha’ melengkapi Sunan al-Sittah, misalnya Ahmad bin Razin al-Abdari al-Sarqasthi (wafat 535 H) dalam pernyataan dimuat pada al-Tajrid fi al-Jami’ Baina al-Shihah. Demikian pula Ibnu al-Atsir al-Jazari al-Syafi’i (wafat 606 H) dan al-’Allamah al-Zabidi al-Syafi’i (wafat 944 H) dalam Taisir al-Wuhul. Kesenioran dan kepeloporan Imam  Malik sebagai codivicator hadis ikut menyadari keunggulan al-Muwatha’.

Kritik Terhadap Koleksi Hadis Zawa’id
Kritik ulama terhadap Sunan Ibnu Majah pada umumnya terfokus pada keberadaan 1339 hadis zawa’id. Al-Sirri dan al-Hajaj al-Mazzi  menggeneralisir  dha’if  pada  hadis zawa’id tersebut. Menurut kajian cermat Dr. Aisyah binti Al-Syathi’ unsur kedha’ifan itu beragam sekali, antara lain :
hasan gharib ;
terdapat rijalul-hadis yang majhul ;
mata rantai sanad yang jelas dha’if seperti sanad melalui Abdullah bin Harasyi yang pribadinya disepakati sebagai rawi dha’if ;
hadis munkar, seperti yang diriwayatkan Dawud bin Atha’ al-Madini ;
hadis mudallas, seperti yang dikutip melalui Hajjaj bin Arthah dan Zainab al-Sahmiah ;
hadis-hadis yang tidak layak dijadikan hujjah.
Bahkan Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi menuduh 30 hadis maudhu’ dalam koleksi Sunan Ibnu Majah. Tuduhan serupa dikemukakan pula oleh al-Zahabi dalam Mizan al-I’tidal.
Kritik evaluasi tersebut tampak apriori dan amat subyektif, lebih-lebih bila dihubungkan dengan pernyataan Abu Zur’ah al-Razi. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani membenarkan ulasan tersebut. Abu hatim dalam al-’Illal terkesan pada pembatasan munkar dan gugur sanad yang dikemukakan oleh al-Razi saat Ibnu Hajah berkonsultasi dengan beliau. Dengan demikian tuduhan dha’if terhadap hadis versi zawa’id dalam koleksi Ibnu majah hanya dikaitkan pada predikat perawi pendukung sanad hadis bukan pada keseluruhan bangunan hadis.
Syihabuddin al-Bushiri al-Mashri (wafat 840 H) dalam kitab Misbah al-Zujajah fi zawaidi Ibni Majah mengakui bahwa di balik tafarrud acap kali diketahui bahwa rijal hadisnya terdiri atas orang yang pernah dituduh dusta  bahkan pernah diklaim pernah membuat pemalsuan hadis, namun harus diakui bahkan hadis-hadis zawaid tersebut sulit diperoleh sumber informasi lain melalui mata rantai sanad yang lain. Seperti hadis yang berujung sanad pada Habib bin Habib (notulis Imam Malik) Alla’ bin Yazid, Dawud bin al-Munjam, Abdul Wahab al-Dhahak, Ismail bin Ziyad al-Sukuti dan sebangsa mereka.
Penilaian moderat tersebut mengajak agar orang bertenggang rasa bila kondisi tafarrud pada koleksi hadis zawaid di dalam Sunan Ibnu Majah yang hanya terbentur sifat pribadi seorang perawi dalam rangkaian sanad, di kompensasikan pada aspek matannya yang disamping  amat diperlukan oleh kalangan fuqaha juga sekaligus menyelamatkan sejumlah besar perbendaharaan hadis.
Itulah sebabnya setelah melalui proses panjang ulama mutaakhirin berketetapan menempatkan Sunan Ibnu Majah melengkapi jajaran kutub al-Sittah sekalipun di nomor terakhir. Hal itu tidak lepas dari keberadaan 1339 hadis zawaid yang kemudian menjadi bahan bermanfaat bagi pengembangan hazanah ilmu fiqh.
Demi melindungi validitas sumber ajaran Islam tentunya layak bila dalam menyikapi keberadaan hadis koleksi Sunan Ibnu Majah terutama bagian zawaid agar mengacu pada pedoman :
Pertama     :     Hadis-hadis yang terdapat padanannya (keserasian isi matan) dalam kutub al-Khamsah seyogyanyalah langsung dijadikan landas hujjah ;
Kedua  : Hadis-hadis yang tergolong zawa’id dan bila terbukti terjadi sifat tafarrud perlu pemeriksaan rijal pendukung hadis yang bersangkutan. Sekira nama rijalul-hadis tersebut lazim menjadi pendukung hadis bermutu shahih, maka hadis tersebut layak dipertimbangkan untuk dipakai.

Sumber Pustaka :
Muhamad al-Shabagh, al-Hadis al-Nabawi, Riad : Al-Maktabah al-Islami, 1976, hal. 400-403.
Muhamad Abu Syahbah, al-Kutub al-Shihah al-Sittah, Mesir : Mathba’ah al-Azhar, 1969, hal. 136-142.
Dr. Musthafa al-Siba’i, al-Sunnah Wa Makanatuha, Kairo: Dar al-Qaumiyah, 1966, hal. 414.
Al-Hafidz al-Mubarakfuri, Muqaddimah Tuhfah al-Ahwadzi, Dar al-Fikr : 1979, hal. 134-137.
Muhamad Ahmad Qamar, al-Hadis al-Nabawi dalam Majalah Rabithah Alam al-Islami, Makkah, No. XX, Nopember 1981, hal. 126-127
Al-Hafidz Abu Abdillah al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Mesir : Isa al-Babi Halabi, 1954
Prof. Dr. TM. Hasbi Al- Shiddiq, Sejarah Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1974, hal. 326-327
Al-Shan’ani, Subul al-Salam, Mesir : Musthafa al-Babi al-Halabi, 1960, Jilid I, hal. 12
Al-Sindi, Sunan al-Musthafa, Beirut : dar al-Fikr, 1972
Dr. Shubhi Shalih, Ulum al-Hadis Wa Musthalahuhu,  Beirut : Dar al-Ilmi Li al-Mayalisi, 1977, hal. 118

0 komentar:

Posting Komentar