Senin, 11 Maret 2013

STUDI REFERENSI HADIS STANDART {Al-JAMI’ SUNAN AL-TURMUDZI (209 – 279)}; Bagian keenam

Biografi Imam Al-Turmudzi

Nama lengkap beliau Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa Ibnu Sawwah al-Sulami al-Turmudzi. Tempat kelahiran beliau pada wilayah utara sungai Jihua (Amudariya) di sebuah kota kecil terletak di sebelah utara  Iran dan dikenal dengan kota Turmudz atau Tirmidz, dengan dialek setempat terbaca Turmidzi. Lahir pada tahun 209 H (sebagian ulama menduga tahun 200 H) dan meninggal dunia pada malam Senin tanggal 13 Rajab 279 H dalam usia 70 tahun di kota yang sama. Kesamaan tempat lahir dan meninggal memberi pertanda bahwa sebagaian besar dedikasi keilmuan Imam al-Turmudzi di persembahkan untuk masyarakat Islam di kampung halamannya.

Pada segi kealiman (reputasi ilmiah), peringkat hapalan terhadap hadis nabawi dan perilaku kezuhudan Imam al-Turmudzi adalah orang kedua di negeri Khurasan sesudah kebesaran Imam al-Bukhari. Type kejiwaan Imam al-Turmudzi sugestible, mudah hanyut (trenyuh) perasaan pribadinya setiap menyaksikan/mendengar derita orang lain. Karenanya beliau sering mencucurkan air mata (menangis) dan di akhir hayatnya menderita buta total.
Perjalanan Studi al-Turmudzi
Negara tempat persinggahan studi Imam al-Turmudzi meliputi Khurasan, Iraq dan Hijaz. Di ketiga wilayah itulah al-Turmudzi berguru hadis kepada Qutaibah bin Sa’ad al-Saqafi, Abu Mus’ab, Ishaq bin Musa, Sufyan bin Waki’, Muhamad Ibnul-Musanna, Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, al-Darimi dan lain-lain. Pada usia 40 tahun al-                                                 Turmudzi berguru kepada Imam al-Bukhari di bidang hadis, illat hadis dan fiqh, sehingga beliau dikenal sebagai korp diskusi (munadharah) sub disiplin ilmu fiqh yang dikoordinir oleh Imam al-Bukhari. Dalam bidang teori ‘illat hadis tampak membekas sekali pengaruh binaan Imam al-Bukhari. Berkat spesialisasi illat hadis itulah Imam al-Turmudzi dalam jajaran muhaddisin dikenal sebagai al-Hafidz al-Naqid (kritikus ahdis).
Betapa besar rasa percaya Imam al-Bukhari terhadap kadar dan kealiman hadis al-Turmudzi terbukti oleh kesediaan beliau mentransfer sebuah hadis yang diriwayatkan al-Turmudzi dalam al-Jami’ al-Salih. Sekalipun cukup memadai proses berguru hadis kepada Imam Muslim, namun hanya sebuah hadis saja yang berasal dari sang guru tersebut dalam koleksi Imam al-Turmudzi.
Faktor kesezaman periode hidup Imam al-Turmudzi dengan Imam al-Bukhari (bahkan sedaerah asal) dan Imam Muslim, maka banyak diperoleh informasi bahwa guru-guru mereka bertiga itu sama (menyatu). Bahkan al-’allamah Muhamad bin jafar al-Kuttabi menghitung 120 pakar hadis yang hidup semasa (abad ke III hijriah) dengan penulis kutubus-sittah, termasuk di dalamnya guru-guru mereka.
Imam al-Turmudzi berhasil membina kader ulama hadis yang terkenal kemudian, semisal Ahmad bin Abdullah al-Marwazi, Muhamad bin Mahbub (perawi utama al-Jami’ al-Turmudzi), Ahmad bin Yusuf al-Nasafi, Imam al-Harawi dan lain-lain.
Sementara orang menyangka Imam al-Turmudzi dalam sikap fiqh bermadzhab Syafi’i, dugaan lain membangsakan beliau sebagai penganut faham Hanbali. Asumsi itu mungkin dihubungkan  dengan berbagai ulasan fiqhul-hadis yang melengkapi komentar hadis-hadis bermateri hukum dalam al-Jami’ al-Turmudzi. Menurut analisis Waliyullah al-Dihlawi sikap pandang ulama muhaddisin bisa saja sejalan dengan faham hukum madzhab tertentu, tanpa berpretensi memihak, selagi faham tersebut konsisten dengan pengamalan as-sunnah dalam  skala  luas. Imam  al-Turmudzi  menurut pengamatan  al-Dihlawi tergolong mujtahid yang  independen (mandiri). Pemihakan secara terbuka justeru  kepada korp ahlul-hadis, seperti tersurat pada ulasan berpengantar “qala ashabuna” artinya kawan seprofesi hadis.
Karya Ilmiah Imam al-Turmudzi
Para penulis biografi Imam al-Turmudzi rata-rata menyebut 10 (sepuluh) judul kitab yang diselesaikan semasa hidup beliau. Yang paling tekenal adalah al-Jami’ al-Turmudzi (Sunan al-Turmudzi). Di bagian akhir al-Jami’ disertakan suplemen  berupa sebuah naskah  yang menyajikan himpunan teori  tentang ‘illat hadis dan diberi judul al-’illal al-Kabir. Naskah tersebut dalam edisi terpisah  dikenal dengan judul al-illal al-Mufrad. Teori ‘illat itu diperoleh  dari hasil berguru  kepada Imam al-Bukhari. naskah al-’Illal al-Kabir itu kelak dikembangkan dalam bentuk kitab syarah oleh Ibnu al-A’rabi (wafat 546 H), Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat 795 H) dan Jalaluddin al Sayuthi (wafat 911 H).
Karya ilmiah Imam al-Turmudzi lainnya adalah al-Syama’il al-Nabawiyah (cukup populer), Kitabu al-Tafsir, Kitab al-Tarikh, Kitab al-Zuhd, Kitabu Asma-i al-Sahabati, Kitabu Asma-i Wa al-Kunna dan Kitab Fi al-Jarhi Wa al-Ta’dili.

Al-Jami’ Al-Turmudzi
Sebutan al-Jami’ adalah pada tempatnya karena koleksi hadis Imam al-Turmudzi melengkapi ke delapan  pokok kandungan hadis, termasuk di dalamnya hadis tentang sirah, manaqib, kitab al-Fadha-il, tafsir, al-mawa’idl wal-adab disamping materi hadis-hadis hukum. Imam al-Hakim memberi titel al-Jami’ al-Kabir dan hanya al-Khatib al-Baghdadi menyebut dengan sahih al-Turmudzi. Kalangan muhaddisin  memberi nama Sunan al-Turmudzi dan yang lebih memasyarakat justru al-Jami’ al-Turmudzi.
Imam al-Turmudzi seperti memadukan sistem  koleksi yang telah dikembangkan oleh kedua guru beliau, yakni Imam al-Bukhari dalam hal melengkapi kedelapan pokok kandungan hadis  dan prioritas pilihan  hadis pada jenis sahih yang muttasil serta pengembangan fiqhul-hadis seperti terbaca pada rumusan judul sub bab pengelompokan  hadisnya. Sistem koleksi Imam Muslim dipedomani dalam hal penyajian setiap hadis dengan menyederhanakan sanad dengan hanya satu sanad yang lengkap.
Pola dasar yang dipegangi Imam al-Turmudzi dalam meyajikan setiap hadis  dalam al-Jami’ adalah menjadikan hadis sebagai bahan kajian (referensi) yang siap pakai. Pola tersebut dijabarkan dalam bentuk :
Rumusan judul/thema pokok pembicaraan atau kandungan hadis ;
Keterangan rinci tentang derajat nilai hadis dikaitkan dengan nilai kehujjahan dalam disiplin syari’ah islamiah. Imam al-Turmudzi layak dipandang sebagai orang pertama mencantumkan penilaian terhadap derjat mutu  setiap hadis, termasuk didalamnya menyingkap aspek ‘illat pada hadis setempat. Bahkan Imam al-Turmudzi  mempelopori penyebutan hadis hasan secara tegas. hanya saja seperti disinyalir  oleh al-Zhabi dalam mizan al-I’tidal agaknya Imam al-Turmudzi agak toleran dalam menggolongkan hadis sebagai sahih atau hasan ;
Menyajikan data individu perawi/rijalul-hadis lengkap dengan nama diri, panggilan kehormatan (kuniyah) dan sedikit tentang indikasi  jarah ta’dil perawi yang bersangkutan;
Melengkapi setiap hadis dengan ulasan yang mengarah pada fiqhul-hadis (upaya memahami kandungan materi hadis) terdiri atas pandangan Fuqaha generasi sahabat, tabi’in dan ulama yang hidup sezaman dengan Imam al-Turmudzi sampai pada tingkat relevansi  kandungan hadis yang bersangkutan  dengan praktek amaliah  ulama sezaman atau sebelum periode  Imam al-Turmudzi. Selain itu ditegaskan pula apakah kapasitas hadis tersebut sebagai hujjah dianggap ma’mul bihi (efektif dipakai pedoman) atau ghairu ma’mul bihi (dikesampingkan pemakaiannya).
Fasilitas yang melengkapi identitas, ulasan dan kapasitas setiap hadis di dalam al-Jami’ al-Turmudzi telah mampu menempatkan koleksi al-Jami’ sebagai bahan kajian bagi masyarakat umum (khususnya peminat ajaran Islam tingkat pemula), berbeda dengan al-Jami’ al-Bukhari dan Shahih Muslim yang lebih cocok sebagai referensi bagi kalangan ulama profesional yang cukup menguasai teori-teori ulumul-hadis.

Derajat Kedudukan al-Jami’ al-Turmduzi
Imam (Syarafuddin) al-Nawawi dalam al-Taqrib dan Jalalud-din al-Sayuthi dalam al-Jami’ al-Saghir telah menempatkan kedudukan al-Jami’ al-Turmudzi rangking kedua  sesudah Sunan Abu Dawud dan sebelum Sunan al-Nasa’i. Derajat kedudukan tersebut ditopang oleh sistem seleksi hadis yang dikoleksikan  Imam al-Turmudzi memprioritaskan kwalitas hadis yang ma’mul bihi, khusunya ditandai oleh sikap kesediaan praktisi hukum (fuqaha’) dalam mengamalkannya.
Sistematika penempatan hadis dalam al-Jami’ al-Turmudzi mempertahankan tata urutan sebagai berikut :
Pertama     :     Hadis-hadis populer dari sahabat Nabi SAW yang dinilai kesahihan riwayatnya amat prima, yakni hadis tersebut termuat juga dalam koleksi Muhaddisin yang mengkhususkan pada sahihul-hadis, utamanya hadis yang tergolong muttafaq ‘alaih. Ada semacam kecenderungan Imam al-Turmudzi dalam menjadikan standard sanad (transmisi) Imam al-Bukhari dan Imam Muslim sebagai tolok ukur seleksi mutu sanad ;
Kedua       :     Hadis-hadis yang memenuhi standard persyaratan al-Bukhari dan Muslim, yakni syarat kepribadian dan proses tahamul (mentransfer) riwayat dan jaminan sejahtera dari indikasi ‘illat hadis sebagaimana ditradisikan dalam seleksi Imam al-Bukhari dan Imam Muslim ;
Ketiga          :     Kelompok hadis gharib dan mu’allal yang dijelaskan unsur ‘illatnya dan;
Keempat     :    Hadis-hadis yang diketahui telah dimanfaatkan oleh kalangan Fuqaha’ sebagai rujukan faham fiqh mereka.
Memperhatikan asas penempatan urutan hadis koleksi al-Jami’ urutan terakhir layak diduga keras bahwa kriteria ma’mul bihi sebagai acuan nilai pakai menjadi kriteria umum koleksi al-jami’ betapa sedikit mengorbankan aspek mutunya.

Mutu Hadis Koleksi al-Jami’ al-Turmudzi
Ibnu Shalas dan Dr. Subhi Sholeh memandang koleksi hadis dalam al-Jami’ al-Turmudzi sebagai memadai untuk pedoman mengenai hadis hasan. Pandangan itu berpangkal pada kenyataan hadis al-Jami’ al-Turmudzi banyak didukung oleh perawi thabaqat ketiga dan keempat. Kondis hadis sejenis itu amat mendominir koleksi al-Jami’. Realita ini tidak mampu menghapus keinginan pihak-pihak yang mencoba membela keunggulan al-Jami’, seperti ditempuh oleh al-Hajimi yang telah membuktikan hadis-hadis eks riwayat perawi thabaqah ketiga dan keempat. Hanya pada posisi sawahib (pendukung matan yang sama) dan posisi muttaba’ (penopang sanad serupa).
Betapa semnagat Imam al-Turmusi dalam memprioritaskan kolkesi hadis Shahih muttasil tampak menonjol, namun dibagia “al-Fadho’il” banyak memuat hadis gharib dari jenis munkar. Sikap semacam itu secara tidak langsung menyingkap toleransi Imam al-Turmudzi dalam hal pemanfaatan hadis bermutu dha’if untuk pentingan targhib (merangsang massa agar menggemari amalan sunnah) dan tharghib (menghalau massa agar menjauhi munkarat dan hal-hal makruh).
Fakta lain yang mempengaruhi derajat al-Jami’ al-Turmudzi sebagai koleksi hadis adalah pemuatan hadis yang diriwayatkan oleh al-Mashlub dan al-Kilbi, padahal kedua perawi itu dicurigai sebagai pemalsu hadis (membuat hadis palsu). Pertimbangan yang mampu mempertahankan kedudukan al-Jami’ dalam jajaran sunnah/sittah antara lain :
Seleksi mutu hadis yang dimuat dalam al-Jami’ oleh Imam al-Turmudzi telah dikonsultasikan pada ulama hadis diwilayah Hijaz, Iraq dan Khusaran;
Memuat jenis hadis bersanad sulasiyah, walau dalam jumlah yang minim, seperti riwayat dari Ismail bin Musa diperoleh dari Umar bin Shakir dari sahabat Anas Ibnu Malik tentang sabda rasulullah SAW mengenai prediksi beliau bagaimana sikap ketahanan seseorang dalam memegangi ajaran agamanya;
Kelompok hadis yang diragukan dalam koleksi al-Jami’ al-Turmudzi seperti diduga oleh Ibnu al-Jausi, Ibnu taimiyah dan al-Jahabi jumlah 23-30 satuan hadis dianggap maudhu’ (palsu) terutama yang bermateri al-Fadha’il, ternyata padanan matanya dapat dijumpai dalam koleksi Shahih Imam Muslim. Klaim maudhu’ yang dilontarkan oleh Ibnu al-Jauzi ditentang keras oleh Jalaluddin al-Sayuthi, karena Ibnu al-Jauzi dianggap sangat gegabah dan ekstrim dalam menilai suatu hadis, lagi pula qaidah yang digunakan olehnya tidak demikian populer dikalangan ulama muhadditsin maupun kritikus hadis;
Koleksi hadis al-Jami’ al-Turmudzi yang berintikan sejumlah 4.050/4.051 unit hadis seperti dibukukan dalam edisi syarah oleh al-Hafidz al-Mubarakfuri (wafat 1353 H) dan telah ditahqiq oleh Abdul Rohmad bin Usman, sekalipun dalam sistem koleksinya memberi tempat kepada kelompok hadis hasan sebagai sawahib dan muttaba’,  cukup dijamin oleh kewibawaan  dan integritas kolektornya Imam al-Turmudzi. Dengan pengakuan terbuka Imam al-Hakim dan Ibnu Hibban mengkategorikan Imam al-Turmudzi sebagai ulama hadis yang Siqqah (kepercayaan). Bagi masyarakat pemakai al-Jami’ al-Turmudzi sebagai bahan kajian (referensi) mudah mengenali mutu setiap hadisnya, karena Imam al-Turmudzi  secara jujur dan terbuka mencantumkan identitas mutu setiap hadis koleksinya berupa keterangan suplemen (pelengkap) yang dumuat tepat dibelakang redaksi matan hadis yang bersangkutan;
Sejauh hasil pengamatan seksama Imam al-Turmudzi diperoleh kepastian bahwa sepenuh hadis koleksi al-jami’ layak diamalkan (dijadikan pedoman) kecuali hanya dua hadis, yakni hadis riwayat  Abdullah Ibnu Abbas tentang shalat jama’ tenpa alasan terang atau bepergian dan hadis tentang perintah membunuh peminum khamar yang belum jera juga sekalipun telah empat kali harus menjalani sangsa hadd. Selebih dua hadis tersebut Imam al-Turmudzi menjamin keabsahan mengamalkannya.

Pribadi Imam al-Turmudzi Menurut Ibnu Hazm
Agak mengejutkan bila ulama setenar Imam al-Turmudzi dianggap majhul (tidak dikenal pribadinya, apalagi kualitas keulamaan hadisnya) oleh Ibnu Hazm al-Dhohiri. Anggapan serupa itu tidak hanya menimpa Imam al-Turmudzi, terhadap nama Imam al-Baihaqi berlaku anggapan dan perlakuan yang sama.
Asumsi itu wajar saja dan tidak perlu dibesar-besarkan karena domisili Ibnu Hazm al-Dhohiri di Andalusia (Spanyol) dan dimungkinkan sekali kitab al-Jami’ al-Turmudzi seperti juga Sunan Ibnu Majjah belum sempat masuk ke negeri tersebut. Ketidak-kenalan Ibnu Hazm kepada Imam al-Turmudzi mungkin saja terjadi karena Imam Muhammad bin Musa bin Safrah al- Sulami al-Turmudzi telah wafat tahun 279 H, saat  kira-kira 105 (seratus lima tahun) kemudian baru lahir Ibnu Hazm al-Dhohiri di Andalusia.
Kitab Syarah al-Jami’ al-Turmudzi
Kitab berformat syarah (mengulas) terhadap koleksi hadis al-Jami’ al-Turmudzi yang paling populer antara lain :
‘Aridhah al-Ahwadzi, oleh Ibnu al-Arabi al-Maliki, wafat 543 H);
Qutul-Muhaghtadzi, oleh Jalaluddin al-Sayuthi (wafat 911 H);
Tuhfatul-Ahfadzi, oleh al-Hafidz al-Mubarakfuri (wafat 1353 H) yang redaksi cetakannya ditahqiq oleh Abd. Rahman Muhammad Usman;
Ma’arif al-Sunan, disusun oleh Muhammad Yusuf al-Nabwari.

Istilah Khas Dalam al-Jami’
Pembaca al-Jami’ al-Turmudzi pasti menjumpai penyebut identitas hadis yang sepintas tampaknya unik, karena dalam menyebut redikat hadis menggabungkan 2 (dua) istilah bagi klasifikasi hadis, misalnya “Hasan Shahih”, atau “Hasan Gharib” dan “Shahih Gharib”.
Pemakain istilah ganda agaknya spesifikasi (kekhususan) dalam koleksi hadis al-Jami’ al-Turmudzi, yang kolektornya sendiri tidak mengkonfirmasikan pembakuan maksudnya. Beberapa penafsiran sempat berkembang, misalnya untuk istilah “Hasan Shahih” mungkin dimaksudkan :
Hadis yang bersangkutan diperoleh Imam al-Turmudzi melalui  2 (dua) jalur sanad, bila diperhatikan sanad pertama dan itu lebih meyakinkan maka kualitas hadis itu patut digolongkan sebagai hadis hasan, tetapi bila ditarik melalui jalur sanad lain yang juga diterima oleh Imam al-Turmudzi dalam proses belajar hadis akan diperoleh mutu sanad yang karenanya hadis itu patut digolongkan shahih;
Predikat “Hasan” patut dialamatkan pada aspek matan materi matan hadis yang bersangkutan sebagai informasi yang harus ditanggapi baik oleh jiwa sehat dan pemilik akal yang waras. Perihal predikat “Shahih” itu ditujukan pada mutu sanad pendukung riwayatnya;
Kedua predikat itu semata-mata dialamatkan pada integritas perawi pendukung hadis yang bersangkutan. Maksudnya bila dilihat dari sifat primer (kaidah mayor) yakni tingkat hafalan dan kecermatan perawi, maka para pendukung sanad hadis tersebut dianggap shahih, namun bila dikaji sifat skunder (kaidah minor) yakni sifat kejujuran dan konsisten tidaknya perawi dalam mengamalkan ajaran hadis tersebut maka para pendukung sanad hadis tersebut hanyalah hasan;
Estimet lain predikat “hasan” teruntukkan kualitas sanad, sedangkan predikat “Shahih” menandai mutu matan (termasuk redaksi matan) hadis yang bersangkutan;
Al-‘Alamah Muhammad Abd. Razaq Hamzah optimis dalam menganalisis istilah dalam al-Jami’ dengan “Hasan Shahih” sebagai pernyataan bahwa kapasitas hadis yang bersangkutan adalah shahih yang siap diamalkan (dijadikan dasar berhujjah), sedangkan untuk yang tidak memiliki persyaratan untuk diamalkan cukup diberikan predikat “Shahih” saja.
Sejauh pengamatan ulama terhadap pemakaian istilah “Gharib” secara mandiri, konotasinya semaksud dengan “Dha’if” dalam istilah mayoritas muhadditsin. Tetapi bila istilah itu muncul terpadu dengan identitas lain, semacam “Shahih Gharib atau Hasan Gharib” maka yang dimaksud dengan gharib disana adalah tafarrud fi al-riwayah (menyendiri dalam periwayatan) hadis yang bersangkutan.

Sumber Pustaka
Al-Hafidz, al-Mubarakfuri, Tuhfatul-Ahwadzi, Beirut : Dar al-Fikri, 1979, Muqaddimah, 337-427 dan Jilid X, hal. 456.
Dr. Muhammad Abu Suhbah, al-Khutub al-Sittah, al-Sihah, Mesir, Maktabah, al-Azhar, 1969, hal. 116-126
Dr. Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah wa Makanatuha, Kairo, Dar al-Qaumiyah, 1966, hal. 413.
Dr. Subhi Salih, Ulumul-Hadis wa Mustalahuh, Beirut, Dar Ilmi-Malayin, 1971, hal. 399-400
Muhammad al-Sabagh, al-Hadis al-Nabawi, Riyad, al-Maktab al-Islami, 1976, hal. 396-399
Muhammad Ahmad Qamar, al-Hadis al_Nabawi al-Syarif, Majalah Rabithah, ‘Alamil-Islami, Th. XX, Nopember, 1981, hal. 124-125
Abd. Fatah Abu Ghadah, al-Turmudzi, al-Imam al-Muhaddits, Majalah Rabithah ‘Alamil-Islami, TH. XX, Makkah, Nopember, 1981, hal. 40-47
Prof. Dr.TM. Hasbi al-Shiddiqi, Sejarah Perkembangan Hadis II, Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga, tt.,hal. 97-98

0 komentar:

Posting Komentar