Biografi Imam Al-Turmudzi
Nama lengkap beliau Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa Ibnu Sawwah al-Sulami
al-Turmudzi. Tempat kelahiran beliau pada wilayah utara sungai Jihua
(Amudariya) di sebuah kota kecil terletak di sebelah utara Iran dan
dikenal dengan kota Turmudz atau Tirmidz, dengan dialek setempat terbaca
Turmidzi. Lahir pada tahun 209 H (sebagian ulama menduga tahun 200 H)
dan meninggal dunia pada malam Senin tanggal 13 Rajab 279 H dalam usia
70 tahun di kota yang sama. Kesamaan tempat lahir dan meninggal memberi
pertanda bahwa sebagaian besar dedikasi keilmuan Imam al-Turmudzi di
persembahkan untuk masyarakat Islam di kampung halamannya.
Pada segi kealiman (reputasi ilmiah), peringkat hapalan terhadap hadis
nabawi dan perilaku kezuhudan Imam al-Turmudzi adalah orang kedua di
negeri Khurasan sesudah kebesaran Imam al-Bukhari. Type kejiwaan Imam
al-Turmudzi sugestible, mudah hanyut (trenyuh) perasaan pribadinya
setiap menyaksikan/mendengar derita orang lain. Karenanya beliau sering
mencucurkan air mata (menangis) dan di akhir hayatnya menderita buta
total.
Perjalanan Studi al-Turmudzi
Negara tempat persinggahan studi Imam al-Turmudzi meliputi Khurasan,
Iraq dan Hijaz. Di ketiga wilayah itulah al-Turmudzi berguru hadis
kepada Qutaibah bin Sa’ad al-Saqafi, Abu Mus’ab, Ishaq bin Musa, Sufyan
bin Waki’, Muhamad Ibnul-Musanna, Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu
Dawud, al-Darimi dan lain-lain. Pada usia 40 tahun
al- Turmudzi berguru
kepada Imam al-Bukhari di bidang hadis, illat hadis dan fiqh, sehingga
beliau dikenal sebagai korp diskusi (munadharah) sub disiplin ilmu fiqh
yang dikoordinir oleh Imam al-Bukhari. Dalam bidang teori ‘illat hadis
tampak membekas sekali pengaruh binaan Imam al-Bukhari. Berkat
spesialisasi illat hadis itulah Imam al-Turmudzi dalam jajaran
muhaddisin dikenal sebagai al-Hafidz al-Naqid (kritikus ahdis).
Betapa besar rasa percaya Imam al-Bukhari terhadap kadar dan kealiman
hadis al-Turmudzi terbukti oleh kesediaan beliau mentransfer sebuah
hadis yang diriwayatkan al-Turmudzi dalam al-Jami’ al-Salih. Sekalipun
cukup memadai proses berguru hadis kepada Imam Muslim, namun hanya
sebuah hadis saja yang berasal dari sang guru tersebut dalam koleksi
Imam al-Turmudzi.
Faktor kesezaman periode hidup Imam al-Turmudzi dengan Imam al-Bukhari
(bahkan sedaerah asal) dan Imam Muslim, maka banyak diperoleh informasi
bahwa guru-guru mereka bertiga itu sama (menyatu). Bahkan al-’allamah
Muhamad bin jafar al-Kuttabi menghitung 120 pakar hadis yang hidup
semasa (abad ke III hijriah) dengan penulis kutubus-sittah, termasuk di
dalamnya guru-guru mereka.
Imam al-Turmudzi berhasil membina kader ulama hadis yang terkenal
kemudian, semisal Ahmad bin Abdullah al-Marwazi, Muhamad bin Mahbub
(perawi utama al-Jami’ al-Turmudzi), Ahmad bin Yusuf al-Nasafi, Imam
al-Harawi dan lain-lain.
Sementara orang menyangka Imam al-Turmudzi dalam sikap fiqh bermadzhab
Syafi’i, dugaan lain membangsakan beliau sebagai penganut faham Hanbali.
Asumsi itu mungkin dihubungkan dengan berbagai ulasan fiqhul-hadis
yang melengkapi komentar hadis-hadis bermateri hukum dalam al-Jami’
al-Turmudzi. Menurut analisis Waliyullah al-Dihlawi sikap pandang ulama
muhaddisin bisa saja sejalan dengan faham hukum madzhab tertentu, tanpa
berpretensi memihak, selagi faham tersebut konsisten dengan pengamalan
as-sunnah dalam skala luas. Imam al-Turmudzi menurut pengamatan
al-Dihlawi tergolong mujtahid yang independen (mandiri). Pemihakan
secara terbuka justeru kepada korp ahlul-hadis, seperti tersurat pada
ulasan berpengantar “qala ashabuna” artinya kawan seprofesi hadis.
Karya Ilmiah Imam al-Turmudzi
Para penulis biografi Imam al-Turmudzi rata-rata menyebut 10 (sepuluh)
judul kitab yang diselesaikan semasa hidup beliau. Yang paling tekenal
adalah al-Jami’ al-Turmudzi (Sunan al-Turmudzi). Di bagian akhir
al-Jami’ disertakan suplemen berupa sebuah naskah yang menyajikan
himpunan teori tentang ‘illat hadis dan diberi judul al-’illal
al-Kabir. Naskah tersebut dalam edisi terpisah dikenal dengan judul
al-illal al-Mufrad. Teori ‘illat itu diperoleh dari hasil berguru
kepada Imam al-Bukhari. naskah al-’Illal al-Kabir itu kelak dikembangkan
dalam bentuk kitab syarah oleh Ibnu al-A’rabi (wafat 546 H), Ibnu Rajab
al-Hanbali (wafat 795 H) dan Jalaluddin al Sayuthi (wafat 911 H).
Karya ilmiah Imam al-Turmudzi lainnya adalah al-Syama’il al-Nabawiyah
(cukup populer), Kitabu al-Tafsir, Kitab al-Tarikh, Kitab al-Zuhd,
Kitabu Asma-i al-Sahabati, Kitabu Asma-i Wa al-Kunna dan Kitab Fi
al-Jarhi Wa al-Ta’dili.
Al-Jami’ Al-Turmudzi
Sebutan al-Jami’ adalah pada tempatnya karena koleksi hadis Imam
al-Turmudzi melengkapi ke delapan pokok kandungan hadis, termasuk di
dalamnya hadis tentang sirah, manaqib, kitab al-Fadha-il, tafsir,
al-mawa’idl wal-adab disamping materi hadis-hadis hukum. Imam al-Hakim
memberi titel al-Jami’ al-Kabir dan hanya al-Khatib al-Baghdadi menyebut
dengan sahih al-Turmudzi. Kalangan muhaddisin memberi nama Sunan
al-Turmudzi dan yang lebih memasyarakat justru al-Jami’ al-Turmudzi.
Imam al-Turmudzi seperti memadukan sistem koleksi yang telah
dikembangkan oleh kedua guru beliau, yakni Imam al-Bukhari dalam hal
melengkapi kedelapan pokok kandungan hadis dan prioritas pilihan hadis
pada jenis sahih yang muttasil serta pengembangan fiqhul-hadis seperti
terbaca pada rumusan judul sub bab pengelompokan hadisnya. Sistem
koleksi Imam Muslim dipedomani dalam hal penyajian setiap hadis dengan
menyederhanakan sanad dengan hanya satu sanad yang lengkap.
Pola dasar yang dipegangi Imam al-Turmudzi dalam meyajikan setiap hadis
dalam al-Jami’ adalah menjadikan hadis sebagai bahan kajian (referensi)
yang siap pakai. Pola tersebut dijabarkan dalam bentuk :
Rumusan judul/thema pokok pembicaraan atau kandungan hadis ;
Keterangan rinci tentang derajat nilai hadis dikaitkan dengan nilai
kehujjahan dalam disiplin syari’ah islamiah. Imam al-Turmudzi layak
dipandang sebagai orang pertama mencantumkan penilaian terhadap derjat
mutu setiap hadis, termasuk didalamnya menyingkap aspek ‘illat pada
hadis setempat. Bahkan Imam al-Turmudzi mempelopori penyebutan hadis
hasan secara tegas. hanya saja seperti disinyalir oleh al-Zhabi dalam
mizan al-I’tidal agaknya Imam al-Turmudzi agak toleran dalam
menggolongkan hadis sebagai sahih atau hasan ;
Menyajikan data individu perawi/rijalul-hadis lengkap dengan nama diri,
panggilan kehormatan (kuniyah) dan sedikit tentang indikasi jarah
ta’dil perawi yang bersangkutan;
Melengkapi setiap hadis dengan ulasan yang mengarah pada fiqhul-hadis
(upaya memahami kandungan materi hadis) terdiri atas pandangan Fuqaha
generasi sahabat, tabi’in dan ulama yang hidup sezaman dengan Imam
al-Turmudzi sampai pada tingkat relevansi kandungan hadis yang
bersangkutan dengan praktek amaliah ulama sezaman atau sebelum
periode Imam al-Turmudzi. Selain itu ditegaskan pula apakah kapasitas
hadis tersebut sebagai hujjah dianggap ma’mul bihi (efektif dipakai
pedoman) atau ghairu ma’mul bihi (dikesampingkan pemakaiannya).
Fasilitas yang melengkapi identitas, ulasan dan kapasitas setiap
hadis di dalam al-Jami’ al-Turmudzi telah mampu menempatkan koleksi
al-Jami’ sebagai bahan kajian bagi masyarakat umum (khususnya peminat
ajaran Islam tingkat pemula), berbeda dengan al-Jami’ al-Bukhari dan
Shahih Muslim yang lebih cocok sebagai referensi bagi kalangan ulama
profesional yang cukup menguasai teori-teori ulumul-hadis.
Derajat Kedudukan al-Jami’ al-Turmduzi
Imam (Syarafuddin) al-Nawawi dalam al-Taqrib dan Jalalud-din al-Sayuthi
dalam al-Jami’ al-Saghir telah menempatkan kedudukan al-Jami’
al-Turmudzi rangking kedua sesudah Sunan Abu Dawud dan sebelum Sunan
al-Nasa’i. Derajat kedudukan tersebut ditopang oleh sistem seleksi hadis
yang dikoleksikan Imam al-Turmudzi memprioritaskan kwalitas hadis yang
ma’mul bihi, khusunya ditandai oleh sikap kesediaan praktisi hukum
(fuqaha’) dalam mengamalkannya.
Sistematika penempatan hadis dalam al-Jami’ al-Turmudzi mempertahankan tata urutan sebagai berikut :
Pertama : Hadis-hadis populer dari sahabat Nabi SAW yang dinilai
kesahihan riwayatnya amat prima, yakni hadis tersebut termuat juga
dalam koleksi Muhaddisin yang mengkhususkan pada sahihul-hadis, utamanya
hadis yang tergolong muttafaq ‘alaih. Ada semacam kecenderungan Imam
al-Turmudzi dalam menjadikan standard sanad (transmisi) Imam al-Bukhari
dan Imam Muslim sebagai tolok ukur seleksi mutu sanad ;
Kedua : Hadis-hadis yang memenuhi standard persyaratan
al-Bukhari dan Muslim, yakni syarat kepribadian dan proses tahamul
(mentransfer) riwayat dan jaminan sejahtera dari indikasi ‘illat hadis
sebagaimana ditradisikan dalam seleksi Imam al-Bukhari dan Imam Muslim ;
Ketiga : Kelompok hadis gharib dan mu’allal yang dijelaskan unsur ‘illatnya dan;
Keempat : Hadis-hadis yang diketahui telah dimanfaatkan oleh kalangan Fuqaha’ sebagai rujukan faham fiqh mereka.
Memperhatikan asas penempatan urutan hadis koleksi al-Jami’ urutan
terakhir layak diduga keras bahwa kriteria ma’mul bihi sebagai acuan
nilai pakai menjadi kriteria umum koleksi al-jami’ betapa sedikit
mengorbankan aspek mutunya.
Mutu Hadis Koleksi al-Jami’ al-Turmudzi
Ibnu Shalas dan Dr. Subhi Sholeh memandang koleksi hadis dalam al-Jami’
al-Turmudzi sebagai memadai untuk pedoman mengenai hadis hasan.
Pandangan itu berpangkal pada kenyataan hadis al-Jami’ al-Turmudzi
banyak didukung oleh perawi thabaqat ketiga dan keempat. Kondis hadis
sejenis itu amat mendominir koleksi al-Jami’. Realita ini tidak mampu
menghapus keinginan pihak-pihak yang mencoba membela keunggulan
al-Jami’, seperti ditempuh oleh al-Hajimi yang telah membuktikan
hadis-hadis eks riwayat perawi thabaqah ketiga dan keempat. Hanya pada
posisi sawahib (pendukung matan yang sama) dan posisi muttaba’ (penopang
sanad serupa).
Betapa semnagat Imam al-Turmusi dalam memprioritaskan kolkesi hadis
Shahih muttasil tampak menonjol, namun dibagia “al-Fadho’il” banyak
memuat hadis gharib dari jenis munkar. Sikap semacam itu secara tidak
langsung menyingkap toleransi Imam al-Turmudzi dalam hal pemanfaatan
hadis bermutu dha’if untuk pentingan targhib (merangsang massa agar
menggemari amalan sunnah) dan tharghib (menghalau massa agar menjauhi
munkarat dan hal-hal makruh).
Fakta lain yang mempengaruhi derajat al-Jami’ al-Turmudzi sebagai
koleksi hadis adalah pemuatan hadis yang diriwayatkan oleh al-Mashlub
dan al-Kilbi, padahal kedua perawi itu dicurigai sebagai pemalsu hadis
(membuat hadis palsu). Pertimbangan yang mampu mempertahankan kedudukan
al-Jami’ dalam jajaran sunnah/sittah antara lain :
Seleksi mutu hadis yang dimuat dalam al-Jami’ oleh Imam al-Turmudzi
telah dikonsultasikan pada ulama hadis diwilayah Hijaz, Iraq dan
Khusaran;
Memuat jenis hadis bersanad sulasiyah, walau dalam jumlah yang minim,
seperti riwayat dari Ismail bin Musa diperoleh dari Umar bin Shakir dari
sahabat Anas Ibnu Malik tentang sabda rasulullah SAW mengenai prediksi
beliau bagaimana sikap ketahanan seseorang dalam memegangi ajaran
agamanya;
Kelompok hadis yang diragukan dalam koleksi al-Jami’ al-Turmudzi seperti
diduga oleh Ibnu al-Jausi, Ibnu taimiyah dan al-Jahabi jumlah 23-30
satuan hadis dianggap maudhu’ (palsu) terutama yang bermateri
al-Fadha’il, ternyata padanan matanya dapat dijumpai dalam koleksi
Shahih Imam Muslim. Klaim maudhu’ yang dilontarkan oleh Ibnu al-Jauzi
ditentang keras oleh Jalaluddin al-Sayuthi, karena Ibnu al-Jauzi
dianggap sangat gegabah dan ekstrim dalam menilai suatu hadis, lagi pula
qaidah yang digunakan olehnya tidak demikian populer dikalangan ulama
muhadditsin maupun kritikus hadis;
Koleksi hadis al-Jami’ al-Turmudzi yang berintikan sejumlah 4.050/4.051
unit hadis seperti dibukukan dalam edisi syarah oleh al-Hafidz
al-Mubarakfuri (wafat 1353 H) dan telah ditahqiq oleh Abdul Rohmad bin
Usman, sekalipun dalam sistem koleksinya memberi tempat kepada kelompok
hadis hasan sebagai sawahib dan muttaba’, cukup dijamin oleh
kewibawaan dan integritas kolektornya Imam al-Turmudzi. Dengan
pengakuan terbuka Imam al-Hakim dan Ibnu Hibban mengkategorikan Imam
al-Turmudzi sebagai ulama hadis yang Siqqah (kepercayaan). Bagi
masyarakat pemakai al-Jami’ al-Turmudzi sebagai bahan kajian (referensi)
mudah mengenali mutu setiap hadisnya, karena Imam al-Turmudzi secara
jujur dan terbuka mencantumkan identitas mutu setiap hadis koleksinya
berupa keterangan suplemen (pelengkap) yang dumuat tepat dibelakang
redaksi matan hadis yang bersangkutan;
Sejauh hasil pengamatan seksama Imam al-Turmudzi diperoleh kepastian
bahwa sepenuh hadis koleksi al-jami’ layak diamalkan (dijadikan pedoman)
kecuali hanya dua hadis, yakni hadis riwayat Abdullah Ibnu Abbas
tentang shalat jama’ tenpa alasan terang atau bepergian dan hadis
tentang perintah membunuh peminum khamar yang belum jera juga sekalipun
telah empat kali harus menjalani sangsa hadd. Selebih dua hadis tersebut
Imam al-Turmudzi menjamin keabsahan mengamalkannya.
Pribadi Imam al-Turmudzi Menurut Ibnu Hazm
Agak mengejutkan bila ulama setenar Imam al-Turmudzi dianggap majhul
(tidak dikenal pribadinya, apalagi kualitas keulamaan hadisnya) oleh
Ibnu Hazm al-Dhohiri. Anggapan serupa itu tidak hanya menimpa Imam
al-Turmudzi, terhadap nama Imam al-Baihaqi berlaku anggapan dan
perlakuan yang sama.
Asumsi itu wajar saja dan tidak perlu dibesar-besarkan karena domisili
Ibnu Hazm al-Dhohiri di Andalusia (Spanyol) dan dimungkinkan sekali
kitab al-Jami’ al-Turmudzi seperti juga Sunan Ibnu Majjah belum sempat
masuk ke negeri tersebut. Ketidak-kenalan Ibnu Hazm kepada Imam
al-Turmudzi mungkin saja terjadi karena Imam Muhammad bin Musa bin
Safrah al- Sulami al-Turmudzi telah wafat tahun 279 H, saat kira-kira
105 (seratus lima tahun) kemudian baru lahir Ibnu Hazm al-Dhohiri di
Andalusia.
Kitab Syarah al-Jami’ al-Turmudzi
Kitab berformat syarah (mengulas) terhadap koleksi hadis al-Jami’ al-Turmudzi yang paling populer antara lain :
‘Aridhah al-Ahwadzi, oleh Ibnu al-Arabi al-Maliki, wafat 543 H);
Qutul-Muhaghtadzi, oleh Jalaluddin al-Sayuthi (wafat 911 H);
Tuhfatul-Ahfadzi, oleh al-Hafidz al-Mubarakfuri (wafat 1353 H) yang redaksi cetakannya ditahqiq oleh Abd. Rahman Muhammad Usman;
Ma’arif al-Sunan, disusun oleh Muhammad Yusuf al-Nabwari.
Istilah Khas Dalam al-Jami’
Pembaca al-Jami’ al-Turmudzi pasti menjumpai penyebut identitas hadis
yang sepintas tampaknya unik, karena dalam menyebut redikat hadis
menggabungkan 2 (dua) istilah bagi klasifikasi hadis, misalnya “Hasan
Shahih”, atau “Hasan Gharib” dan “Shahih Gharib”.
Pemakain istilah ganda agaknya spesifikasi (kekhususan) dalam koleksi
hadis al-Jami’ al-Turmudzi, yang kolektornya sendiri tidak
mengkonfirmasikan pembakuan maksudnya. Beberapa penafsiran sempat
berkembang, misalnya untuk istilah “Hasan Shahih” mungkin dimaksudkan :
Hadis yang bersangkutan diperoleh Imam al-Turmudzi melalui 2 (dua)
jalur sanad, bila diperhatikan sanad pertama dan itu lebih meyakinkan
maka kualitas hadis itu patut digolongkan sebagai hadis hasan, tetapi
bila ditarik melalui jalur sanad lain yang juga diterima oleh Imam
al-Turmudzi dalam proses belajar hadis akan diperoleh mutu sanad yang
karenanya hadis itu patut digolongkan shahih;
Predikat “Hasan” patut dialamatkan pada aspek matan materi matan hadis
yang bersangkutan sebagai informasi yang harus ditanggapi baik oleh jiwa
sehat dan pemilik akal yang waras. Perihal predikat “Shahih” itu
ditujukan pada mutu sanad pendukung riwayatnya;
Kedua predikat itu semata-mata dialamatkan pada integritas perawi
pendukung hadis yang bersangkutan. Maksudnya bila dilihat dari sifat
primer (kaidah mayor) yakni tingkat hafalan dan kecermatan perawi, maka
para pendukung sanad hadis tersebut dianggap shahih, namun bila dikaji
sifat skunder (kaidah minor) yakni sifat kejujuran dan konsisten
tidaknya perawi dalam mengamalkan ajaran hadis tersebut maka para
pendukung sanad hadis tersebut hanyalah hasan;
Estimet lain predikat “hasan” teruntukkan kualitas sanad, sedangkan
predikat “Shahih” menandai mutu matan (termasuk redaksi matan) hadis
yang bersangkutan;
Al-‘Alamah Muhammad Abd. Razaq Hamzah optimis dalam menganalisis istilah
dalam al-Jami’ dengan “Hasan Shahih” sebagai pernyataan bahwa kapasitas
hadis yang bersangkutan adalah shahih yang siap diamalkan (dijadikan
dasar berhujjah), sedangkan untuk yang tidak memiliki persyaratan untuk
diamalkan cukup diberikan predikat “Shahih” saja.
Sejauh pengamatan ulama terhadap pemakaian istilah “Gharib” secara
mandiri, konotasinya semaksud dengan “Dha’if” dalam istilah mayoritas
muhadditsin. Tetapi bila istilah itu muncul terpadu dengan identitas
lain, semacam “Shahih Gharib atau Hasan Gharib” maka yang dimaksud
dengan gharib disana adalah tafarrud fi al-riwayah (menyendiri dalam
periwayatan) hadis yang bersangkutan.
Sumber Pustaka
Al-Hafidz, al-Mubarakfuri, Tuhfatul-Ahwadzi, Beirut : Dar al-Fikri, 1979, Muqaddimah, 337-427 dan Jilid X, hal. 456.
Dr. Muhammad Abu Suhbah, al-Khutub al-Sittah, al-Sihah, Mesir, Maktabah, al-Azhar, 1969, hal. 116-126
Dr. Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah wa Makanatuha, Kairo, Dar al-Qaumiyah, 1966, hal. 413.
Dr. Subhi Salih, Ulumul-Hadis wa Mustalahuh, Beirut, Dar Ilmi-Malayin, 1971, hal. 399-400
Muhammad al-Sabagh, al-Hadis al-Nabawi, Riyad, al-Maktab al-Islami, 1976, hal. 396-399
Muhammad Ahmad Qamar, al-Hadis al_Nabawi al-Syarif, Majalah Rabithah, ‘Alamil-Islami, Th. XX, Nopember, 1981, hal. 124-125
Abd. Fatah Abu Ghadah, al-Turmudzi, al-Imam al-Muhaddits, Majalah
Rabithah ‘Alamil-Islami, TH. XX, Makkah, Nopember, 1981, hal. 40-47
Prof. Dr.TM. Hasbi al-Shiddiqi, Sejarah Perkembangan Hadis II, Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga, tt.,hal. 97-98
0 komentar:
Posting Komentar