Quo Vadis Studi Hadis ? (Merefleksikan Perkembangan dan Masa depan Studi Hadis)
Sumber; http://zunlynadia.wordpress.com/2010/12/27/quo-vadis-studi-hadis-merefleksikan-perkembangan-dan-masa-depan-studi-hadis/Desember
27, 2010 zunlynadia
Pengantar
Tidak
dapat diragukan lagi bahwa hadis mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam
kajian Islam. Sebagai sumber ajaran kedua setelah al-Qur’an, hadis menjadi
rujukan dari berbagai problem sosial keagamaan yang dihadapi oleh umat muslim
karena hadis tidak hanya sebagai bayan dan tafsir dari al-Qur’an tetapi juga
mencakup semua kegiatan hidup Nabi Saw yang umum dan luas meliputi semua informasi,
bahkan pesan, kesan dan sifat yang semuanya bersumber dari Nabi.
Meskipun
diyakini sebagai sumber ajaran kedua setelah al-Qur’an, hadis mempunyai problem
yang cukup rumit terkait dengan proses kodifikasinya yang memakan waktu cukup
panjang yakni setelah hampir seratus tahun tinggal dalam hafalan para sahabat
dan tabi’in yang banyak berpindah-pindah dari hafalan seorang guru kepada
hafalan muridnya. Sehingga setelah penulisan dan pembukuan hadis itu
berkembang dengan pesat muncul berbagai persoalan apakah hadis yang dituliskan
dan dibukukan itu benar-benar hafalan yang berasal dari Nabi, atau merupakan
hafalan yang keliru dan sengaja dibuat-buat untuk maksud tertentu? Disamping
itu juga timbul pertanyaan apakah hafalan itu redaksinya persis seperti yang
diucapkan Nabi atau hanya maksud dan maknanya saja? kalau itu riwayah bil
makna, apakah benar maksudnya sama seperti yang dimaksud oleh Nabi?dan
masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang muncul dan memerlukan berbagai
penelitian lebih lanjut untuk melihat otentisitas hadis sehingga memunculkan
ilmu hadis dengan berbagai cabangnya[1].
Dalam
ilmu-ilmu tersebut, para ahli hadis menyusun kriteria para perawi hadis yang
dapat dipercaya dalam meriwayatkan hadis, mulai dari ketentuan akan adanya
persambungan dan urutan pertalian hadis dari rawi sampai kepada Nabi Saw,
hingga meneliti cara dan waktu dalam meriwayatkan hadis bahkan juga kepribadian
para perawi yang dapat menghalangi dan mengurangi anggapan kecurangan dan
kebohongan dalam membawakan hadis. Selain ilmu yang terkait dengan sanad, masih
ada beberapa cabang ilmu lagi yang dikembangkan oleh para ahli hadis meski
masih belum sempurna[2].
Meski
berbagai perangkat keilmuan hadis sudah dirintis oleh para ulama hadis, namun
dalam perkembangannya keilmuan hadis seolah berjalan ditempat (stagnan). Hal
ini sangat berbeda dengan perangkat keilmuan dalam studi Islam yang lain
seperti studi al-Qur’an yang terus berkembang dengan cukup pesat.
Kemandegan perkembangan keilmuan hadis ini menjadi keprihatinan banyak pihak
mengingat pentingnya ilmu hadis dalam kerangka studi Islam secara umum. Dalam
makalah ini, penulis akan berusaha merefleksikan dan memaparkan problem-problem
ilmu hadis di dalam ranah Islamic studies dan mencoba untuk menawarkan
solusi untuk perkembangan keilmuan hadis kedepan.
Perkembangan Studi Hadis
Sebagaimana
yang telah penulis ungkapkan diatas, dalam sejarahnya hadis memang terlambat
untuk dibukukan. Para ahli sejarah mencatat, hadis baru seabad lebih kemudian
dibukukan. Selama itulah hadis bertebaran di masyarakat Islam dan umumnya
dilestarikan hanya dalam bentuk hafalan saja. Setidaknya dalam proses
historiografinya, hadis mengalami beberapa periode, dari periode
keterpeliharaan dalam hafalan hingga periode dibukukannya hadis tersebut
(pentadwinan). Pertama adalah periode keterpeliharaan hadis dalam
hafalan yang berlangsung pada abad I hijriyah. Kedua, periode
pentadwinan hadis, yang masih bercampur antara hadis dengan fatwa sahabat dan
tabi’in yang berlangsung pada abad ke 2 hijriyah. Ketiga, periode
pentadwinan dengan memisahkan hadis dari fatwa sahabat dan tabi’in, berlangsung
sejak abad ke 3 hijriyah. Keempat periode seleksi keshahihan hadis dan
kelima periode pentadwinan hadis tahdzib dengan sistematika penggabungan
dan penyarahan yang berlangsung semenjak abad ke 4 hijriyah[3].
Pada
masa khalifah Umar bin Khattab sebenarnya sudah terpikir untuk membukukan
hadis, tetapi setelah sebulan beristikharah iapun membatalkan niatnya dengan
alasan kekhawatiran akan bercampurnya al-Qur’an dengan hadis[4]. Kemudian pada masa tabi’in banyak muncul
hadis-hadis palsu dimana awal kemunculannya dikaitkan dengan peristiwa politik
yang sering disebut sebagai fitnatul kubro yang diawali dengan terbunuhnya
khalifah Ustman bin Affan, sehingga berimplikasi pada perpecahan umat Islam
menjadi beberapa golongan, seperti khawarij, syi’ah, murji’ah dan lain
sebagainya. Dalan situasi yang cukup “rumit” ini, setiap golongan menggunakan
dalil-dalil yang dinisbatkan kepada Nabi Saw untuk mendukung kelompoknya.
Kondisi inilah yang menyebabkan kebutuhan akan kodifikasi dan menyeleksi hadis
semakin dirasakan, karena jika tidak segera diambil tindakan kodifikasi hadis
akan semakin banyak hadis palsu bercampur dengan hadis asli.[5]
Berbeda dengan kodifikasi al-Qur’an, dimana para
sahabat tidak menemukan banyak kendala dalam pengerjaannya, karena tugas
“panitia” kodifikasi hanya mengumpulkan naskah-naskah al-Qur’an yang sudah ada
di tangan para sahabat untuk disesuaikan dengan hafalan para sahabat lainnya
yang secara mutawathir mereka terima dari Nabi Saw dan secara ilmiyah dapat
dipastikan sebagai ayat-ayat al-Qur’an. Sementara dalam kodifikasi hadis banyak menemui berbagai macam kendala dan
kerumitan terkait dengan hadis yang lebih banyak terpelihara dalam ingatan
daripada dalam catatan. Apalagi hadis dalam ingatan para sahabat ini telah
tersebar secara luas ke berbagai daerah Islam yang dikunjungi oleh para sahabat
nabi. Rentang waktu yang cukup lama serta munculnya perbedaan misi politik
serta madzhab pada masa itu juga menambah sulitnya “proyek” kodifikasi ini karena
untuk menghimpun hadis-hadis yang cukup banyak tersebut tentunya dibutuhkan
ketelitian yang cukup tinggi baik dalam kerangka ontologis[6], epistemologis[7] maupun aksiologis[8], sehingga hadis benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiyah[9].
Kodifikasi
hadis secara resmi pertama kali digagas oleh khalifah Umat ibn Abd Aziz memalui
surat edarannya kepada para gubernur di daerah agar menunjuk ulama ditempat
masing-masing untuk menghimpun hadis-hadis, dan salah satu gubernur yang cukup
tanggap dengan perintah khalifah adalah gubernur Madinah Abu Bakar Muhammad ibn
Amr ibn Hazm yang pelaksanaanya ditangani oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Pada abad
ini juga para ulama mulai menyusun kitab hadis dan meletakkan pula landasan
epistemologisnya. Sejak dikeluarnya perintah tersebut, kegiatan kodifikasi ini
terus berlanjut sampai abad ke 4 dan ke 5 Hijriyah dan mencapai puncaknya pada
abad ke 3 H, karena pada abad ini banyak muncul para pengumpul hadis seperti
imam Ahmad bin Hanbal, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, An-Nasa’I, Ibn
Majah, al-Damiri, dan lain sebagainya.
Pada
abad-abad tersebut perkembangan ilmu hadis cukup dinamis, disamping munculnya
karya monumental di abad ke-3 H yang berupa kitab hadis yang dikenal dengan al-Kutub
al-Sittah juga banyak bermunculan kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis
dengan sistematika dan metode pemilahan hadis yang berbeda-beda[10]. Selain itu juga ada juga ulama yang melakukan
kritik terhadap hadis-hadis yang dihimpun oleh ulama sebelumnya, baik kritik
matan maupun kritik sanad, seperti kritik matan yang dilakukan oleh ulama
mu’tazilah seperti al-Nazhzham dan kritik sanad yang dilakukan oleh
al-Daruquthni terhadap Shahihayn[11]. Kemudian muncul lagi kalangan ulama kemudian yang
merupakan anti tesis terhadap kritik-kritik tersebut, sehingga membuat keilmuan
hadis semakin berkembang.
Dalam
menyusun kitab hadis, para ulama tidak hanya mendasarkan pada aspek-aspek
ontologi[12] tetapi juga meliputi aspek epitemologi yang
berupa kritik sanad dan matan serta aspek aksiologi yang berupa tujuan
penyusunannya baik secara praktis maupun teoritis. Penyusunan kitab-kitab hadis
berdasarkan aspek-aspek tersebut disebut ilmu riwayah dan ilmu dirayah.
Ilmu riwayah menekankan pada ketepatan menghimpun segala yang
dinisbahkan kepada Nabi Saw, sedangkan ilmu dirayah lebih menekankan
pada faktor diterima dan tidaknya sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi
tersebut.[13]Kedua ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan satu
sama lain dalam menentukan status hadis. Tetapi dengan dibukukannya hadis Nabi
SAW dan selanjutnya dijadikan rujukan oleh ulama yang datang kemudian, maka
pada periode selanjutnya ilmu hadis riwayah tidak lagi banyak berkembang.
Berbeda halnya dengan ilmu hadis dirayah yang senantiasa berkembang dan
melahirkan berbagai cabang ilmu hadis. Oleh karena itu, pada umumnya yang
dibicarakan oleh ulama hadis dalam kitab-kitab ulumul hadis yang mereka susun
adalah ilmu hadis dirayah[14].
Dalam
perspektif keilmuan hadis, ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian,
yaitu, sanad hadis, matan hadis dan kemunculan kritik hadis, dimana ketiganya
berkembang menjadi cabang-cabang dalam ilmu hadis yang disusun para ulama masa
itu dalam kitab-kitabnya diantaranya adalah: pertama ilmu yang berkaitan
dengan sanad yakni ilmu rijalil hadis[15], ilmu jarh wa ta’dil[16], kedua ilmu yang berkaitan dengan matan
hadis yakni ilmu mukhtalaf al-Hadis[17], ilmu ilalul hadis[18], ilmu gharibul hadis[19], ilmu nasikh dan mansukh[20] dan lain sebagainya.
Demikian
dinamisnya para ulama hadis masa itu sehingga karya-karya dalam bidang hadis
terus berkembang dan menjadi rujukan ulama pada masa kini dalam mengkaji dan
mempelajari hadis-hadis Nabi Saw.
Perkembangan Islamic Studies
Pembicaraan
mengenai studi Islam memang tidak pernah selesai. Karena studi Islam ini memang
tidak pernah mengenal kata berhenti dan terus-menerus berkembang sesuai dengan
semangat zaman. Setidaknya ada empat fase perkembangan yang dilalui dalam studi
agama yakni fase lokal, kanonikal, kritikal dan global[21], dimana empat tahapan ini berpengaruh juga
terhadap perkembangan studi Islam. Pertama, adalah tahapan Lokal.
Semua agama pada era presejarah (Prehistorical period) dapat
dikategorikan sebagai lokal. Semua praktik tradisi, kultur, adat istiadat,
norma, bahkan agama adalah fenomena lokal. Kelokalan ini tidak bisa dihindari
sama sekali karena salah satu faktor utamanya adalah bahasa. Bahasa yang
digunakan oleh penganut tradisi dan adat istiadat setempat adalah selalu
bersifat lokal.
Fase kedua adalah fase Canonical
atau Propositional. Kehadiran agama-agama
Ibrahimi (Abrahamic Religions), dan juga agama-agama di Timur, yang
pada umumnya menggunakan panduan Kitab Suci (the Sacred Text)
merupakan babak baru tahapan sejarah perkembangan agama-agama dunia paska prehistoric
religions di atas[22].).
Era ini disebut “canonical’ karena semuanya menerima adanya wahyu yang
kebenarannya dianggap final dan absolute, yang terjelma dalam kitab suci (sacred
text). Panduan keagamaan yang didasarkan pada teks kitab suci
inilah yang berkembang pesat di abad tengah dan di kemudian hari nanti
akan mempunyai andil dalam membentuk corak keberagamaan yang
scripturalis-tekstualis, selain tradisi-tradisi lain yang lebih kontekstual
juga ikut berkembang dalam menginterpretasikan kitab suci.
Fase ketiga adalah fase Critical.
Fase ini dipicu oleh semangat Enlightenment
dimana pada abad ke-16 dan 17, kesadaran beragama di Eropa mengalami perubahan
yang radikal[23]. Meskipun ini adalah pengalaman Eropa, tetapi
dalam perkembangannya juga merambah ke seluruh tradisi agama-agama dunia.
Hal ini menimbulkan pergesekan sehingga tidak dapat diingkari sama sekali bahwa
antar pengikut dan pendukung keberagamaan yang bersifat Canonical-texstual
sendiri seringkali muncul ketegangan-ketegangan sosial-politik yang tak
terhindarkan[24]. Sejarah perkembangan studi terhadap fenomena
agama, ibarat gerak jarum jam, tidak bisa diputar kembali. Ketiga tradisi
tersebut berjalan bersama. Kadang bersenggolan, kadang berjalan bersama lalu
pisah dipersimpangan jalan, bahkan kadang bertubrukan juga. Dalam kondisi
seperti itu muncul fase keempat yaitu fase Global.
Dalam
fase global, Era
teknologi informasi mempercepat terwujudkannya impian borderless society
ini. Dalam era global, fenomena glokalisasi juga tampak jelas di sini. Tradisi
lokal dibawa ke arena global. Muslim diaspora, immigrant muslim di Eropa,
gerakan transnasionalisme menempati salah satu bagian dari kompleksitas
kehidupan agama di era global ini.
Keempat
fase dalam studi agama ini tentunya sangat berpengaruh terhadap perkembangan
keilmuan dalam Islam -merujuk pada tulisan Prof. Dr Amin Abdullah- dalam
perspektif keilmuan Islam empat fase tersebut dapat dikerucutkan menjadi, fase Ulum
al-Diin, fase al-Fikr al-Islamiy (Islamic thought) dan fase Dirasat Islamiyyah
(Islamic Studies). Dalam Ulum al-Diin[25] muncul kluster ilmu-ilmu agama (Islam) seperti Kalam,
Fikih, Tafsir, Hadis, Qur’an, Faraidl,
Aqidah, Akhlaq, Ibadah dan
begitu seterusnya dengan ilmu bantunya bahasa Arab (Nahwu, Saraf, Balaghah,
Badi’, ‘Arudl). Ulum al-Diin ini kemudian berkembang menjadi al-Fikr
al-Islamiy[26] yang isinya secara komprehensif meliputi Studi
al-Qur’an dan al-Sunnah, pemikiran Hukum (Legal
thought), pemikiran Kalamiyyah (Theological thought), pemikiran
Mistik (Mystical thought atau Sufism), Ekspresi Artistik, pemikiran Filsafat (Philosophical thought), pemikiran
politik (Political thought), dan pemikiran Modern dalam Islam. Disini
al-Fikr al-Islamiy mempunyai struktur ilmu dan the
body of knowledge yang kokoh dan komprehensif-utuh tentang Islam.
Kemudian Ketika pergumulan dan silang pendapat antara Ulum al-Diin dan al-Fikr al-Islamiy belum selesai dan belum duduk, dunia akademis keilmuan Islam terus berkembang dan kemudian muncul Dirasat Islamiyyah (Islamic Studies)[27]. Dalam Dirasat Islamiyyah ini dialog, perbincangan dan pembahasan yang mendalam tentang isu-isu kontemporer seperti Hak Asasi Manusia, gender (partisipasi wanita dalam kegiatan politik, sosial, ekonomi, pendidikan), pluralitas agama, hubungan dan hukum Internasional yang menggunakan metode dan pendekatan campuran antara al-Fikr al-Islamiy dan Dirasat islamiyyah menjadikan keilmuan dalam Islam mengalami progress yang cukup cepat dan tentunya dengan tantangan yang semakin berat. Lalu pertanyaannya kemudian adalah dimana posisi studi hadis selama ini? Apakah masih bertahan dalam ranah Ulum al-Diin ataukah sudah beranjak kearah al-Fikr al-Islamiy atau bahkan sudah memasuki fase Dirasat Islamiyyah? Mengenai hal ini penulis akan mencoba untuk memaparkannya dibawah ini.
Kemudian Ketika pergumulan dan silang pendapat antara Ulum al-Diin dan al-Fikr al-Islamiy belum selesai dan belum duduk, dunia akademis keilmuan Islam terus berkembang dan kemudian muncul Dirasat Islamiyyah (Islamic Studies)[27]. Dalam Dirasat Islamiyyah ini dialog, perbincangan dan pembahasan yang mendalam tentang isu-isu kontemporer seperti Hak Asasi Manusia, gender (partisipasi wanita dalam kegiatan politik, sosial, ekonomi, pendidikan), pluralitas agama, hubungan dan hukum Internasional yang menggunakan metode dan pendekatan campuran antara al-Fikr al-Islamiy dan Dirasat islamiyyah menjadikan keilmuan dalam Islam mengalami progress yang cukup cepat dan tentunya dengan tantangan yang semakin berat. Lalu pertanyaannya kemudian adalah dimana posisi studi hadis selama ini? Apakah masih bertahan dalam ranah Ulum al-Diin ataukah sudah beranjak kearah al-Fikr al-Islamiy atau bahkan sudah memasuki fase Dirasat Islamiyyah? Mengenai hal ini penulis akan mencoba untuk memaparkannya dibawah ini.
Kedudukan Hadis dalam Islamic Studies
Sebagaimana
yang telah penulis paparkan diatas, masa keemasan dalam studi hadis terjadi
pada masa abad ke-2 hingga abad ke-5, dimana para ulama cukup kreatif dan
sangat produktif tidak hanya dalam rangka kodifikasi hadis tetapi juga
meletakkan dasar-dasar dalam keilmuan hadis. Akan tetapi dalam perkembangan
selanjutnya ternyata tidaklah demikian. Ilmu hadis seolah hanya berjalan di
tempat tanpa adanya perkembangan yang berarti. Ilmu hadis yang pernah digagas
oleh para ulama seolah telah final. Sehingga hadis yang merupakan “produk”
ulama pada masa tersebut diterima oleh umat muslim sebagai produk jadi yang
sudah tidak perlu lagi dikritik dan dikembangkan. Sampai disini kemudian
teks-teks hadis menjadi teks yang sakral yang seolah sulit untuk dijangkau dan
dilakukan berbagai pengembangan. Sangat berbeda dengan studi Islam yang lain
seperti studi al-Qur’an.
Dinamika dalam studi terhadap al-Qur’an begitu terasa, sehingga perkembangan dalam studi al-Qur’an begitu cepat. Berbagai pendekatan dan analisis banyak bermunculan terkait dengan kajian atas al-Qur’an. Sebut saja misalnya dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, Al-Jabiri dan lain sebagainya. Tawaran-tawaran baru dalam menafsirkan teks al-Qur’an terus bermunculan seiring dengan perkembangan zaman, seperti pendekatan hermeneutik, sejarah, antropologi, sosiologi, semantik dan lain sebagainya. Sehingga dengan demikian diskursus seputar penafsiran al-Qur’an ini menjadi diskursus yang tidak pernah usai dengan berbekal keyakinan bahwa al-Qur’an adalah salih li kulli zaman wa makan[28].
Dinamika dalam studi terhadap al-Qur’an begitu terasa, sehingga perkembangan dalam studi al-Qur’an begitu cepat. Berbagai pendekatan dan analisis banyak bermunculan terkait dengan kajian atas al-Qur’an. Sebut saja misalnya dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, Al-Jabiri dan lain sebagainya. Tawaran-tawaran baru dalam menafsirkan teks al-Qur’an terus bermunculan seiring dengan perkembangan zaman, seperti pendekatan hermeneutik, sejarah, antropologi, sosiologi, semantik dan lain sebagainya. Sehingga dengan demikian diskursus seputar penafsiran al-Qur’an ini menjadi diskursus yang tidak pernah usai dengan berbekal keyakinan bahwa al-Qur’an adalah salih li kulli zaman wa makan[28].
Sementara
dalam kajian hadis, para intelektual muslim sedikit enggan untuk melakukan
kritik ataupun mengkajinya dengan berbagai pendekatan dan lebih suka
menggunakan hadis sebagai produk yang sudah jadi. Ada beberapa hal menurut
penulis yang menjadi penyebab atas stagnansi keilmuan hadis, diantaranya
adalah:
- 1. Problem otentisitas hadis
Problem
otentisitas hadis ini memang menyita banyak perhatian para ulama, baik para
ulama hadis pada masa lalu hingga saat ini. Perpecahan umat Islam menjadi
berbagai golongan dan persoalan politik menjadi salah satu sumber dari problem
otentisitas hadis. Menurut Imam Muhammad bin Sirin, beliau menyatakan bahwa
“pada mulanya kaum muslimin tidak pernah menanyakan sanad dalam menerima suatu
hadis tetapi semenjak terjadi fitnah (terbunuhnya Usman bin Affan), apabila
mendengar hadis mereka selalu menanyakan dari siapa hadis itu diperoleh[29]. Sehingga kritik sanad dan matan menjadi kunci
untuk menyelesaikan problem ini. Sanad memiliki kedudukan yang sangat penting
dalam hadis, hal ini karena sanad terkait dengan mata rantai dari periwayat
hadis, sehingga kritik sanad sangat berperan dalam menyelamatkan hadis dari
segala pemalsuan. Sedangkan dalam persoalan matan, hal ini terkait dengan redaksi
matan yang diriwayatkan baik secara lafal (riwayah bil lafz) maupun
secara makna (riwayah bil ma’na)[30]. Setidaknnya ada lima syarat yang disepakai oleh
para ulama untuk menetapkan kesahihan hadis yang terkait dengan sanad dan
matan, yakni hadis yang tersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang yang
adil dan dabit serta terhindar dari syaz dan illat.
Karena
problem otensitisa hadis ini merupakan problem utama dalam hadis karena terkait
dengan diterima dan ditolaknya suatu hadis maka banyaknya perhatian pada
wilayah ini akhirnya agak mengenyampingkan persoalan-persoalan lain yang
sebenarnya juga penting tekait dengan kontekstualisasi dan pengembangan
keilmuan hadis yang lain.
- 2. Persoalan terkait dengan rijalil hadis
Masih
terkait dengan problem dalam sanad hadis. Studi kritis terhadap para periwayat
hadis ini memakai metode-metode yang sudah baku sebagaimana yang telah
dilakukan oleh para ulama terdahulu melalui kitab-kitab rijalil hadis yang juga
ditulis oleh para ulama terdahulu. Sehingga metode dalam kritik sanad ini tidak
banyak mengalami perkembangan. Padahal selain menggunakan metode dan kitab rujukan
yang telah dibuat oleh para ulama abad ke 3 sampai abad ke 5 tersebut, ada
banyak celah dan cara yang bisa dilakukan kritik terhadap rijalil hadis, yakni
melalui pendekatan-pendekatan baru misalnya pendekatan historis kritis,
pendekatan sosio antropologis dan lain sebagainya yang bisa melihat kondisi
makro dari periwayat hadis. Menurut penulis sangat penting sekali upaya melihat
kondisi makro para periwayat hadis, karena dengan memperhatikan kondisi makro
dari periwayat yang meliputi kondisi sosial, politik dari periwayat hadis akan
bisa terlihat bagaimana corak hadis yang dihasilkan, bagaimana teks-teks yang
tertulis dalam matan dan lain sebagainya. Bagaimanapun juga hadis-hadis yang
disampaikan sangat diwarnai dengan persoalan politik masa itu. Dengan melihat
suasana politik masa itu, kita dapat melihat inkonsistensi dalam periwayatan
hadis. Sehingga ilmu sejarah akan sangat membantu kita dalam meneliti rijal
hadis disamping kitab-kitab rijalil hadis yang telah ada[31].
- 3. Penilaian terhadap keadilan sahabat
Definisi
yang diberikan ulama mengenai sahabat memang berbeda-beda. Namun secara umum
para ulama hadis mengatakan bahwa yang dikatakan sahabat itu adalah umat Islam
yang pernah melihat Rasul Allah[32]. Beberapa ulama menyatakan bahwa semua sahabat
Nabi adalah orang yang adil dan tidak satupun dari mereka yang tercela. Baik
al-Qur’an maupun hadis Nabi yang menyatakan hal tersebut menjadi dalil dan
alasan yang kuat, dan karena para sahabat Nabi ini sudah bersifat adil maka
tidak perlu lagi dilakukan kritik sanad terhadap mereka.
- 4. Stigma inkar sunnah
Berbeda
dengan al-Qur’an, tidak ada stigma inkar al-Qur’an bagi para ulama sekritis
apapun ia memahami al-Qur’an. Stigma inkar sunnah ini membuat para ulama
mengendalikan diri dan segan dalam melakukan telaah dan mengembangkan pemikiran
terhadap hadis. Para ulama lebih suka menerima hadis berikut keilmuan hadis
dalam bentuk jadi tanpa berusaha untuk mengembangkannya. Sehingga yang terjadi
adalah pemahaman hadis secata tekstual tanpa bersusah payah memperdulikan
proses panjang sejarah terkumulnya hadis dan proses pembentukan ajaran
ortodoksi.
Keempat
hal diatas membuat studi hadis jalan di tempat tanpa adanya perkembangan yang
berarti. Jika dilihat dalam kerangka pemikiran Islam, studi hadis masih berada
dalam fase ulum al-Diin dan masih mulai beranjak pada al-Fikr
al-Islamiy. Sehingga bisa dilihat pengajaran dalam ilmu hadis ini
cenderung tidak mendalam dan mengulang-ulang masih terus terkutat dengan kritik
sanad dan matan dengan metode yang seolah sudah baku tersebut. Sebenarnya
ketiga kluster tersebut sebenarnya bersaudara, hanya saja cara atau sudut
pandang, keluasan horison pengamatan (Approaches) dan metode (Process
dan Procedure) pengambilan dan pengumpulan data serta aneka ragam sumber
data yang diperoleh dari berbagai bahasa (termasuk bahasa asing) berbeda antar
ketiga tradisi kelimuan keislaman tersebut sehingga hasilnya pun berbeda[33]. Perbedaan itu muncul karena perkembangan
intelektual manusia itu sendiri. Dengan berbagai pendekatan diharapkan studi
hadis ini menjadi lebih konstekstual dan tidak lagi menjadi teks-teks yang
sakral yang sulit untuk “dijamah”.
Menuju arah baru dalam Studi Hadis
Sebagaimana
yang telah penulis paparkan diatas, studi hadis menjadi bidang yang sangat
rigit, kaku dan sensitif. Kaku karena selama ini menjadi bidang yang
monodisipliner, yakni pendekatan yang dianggap sah adalah kritik sanad dan
kritik matan, itupun dengan aturan-aturan yang sudah baku. Seharusnya fase ini
sudah dianggap selesai, tetapi kenyataannya tidaklah demikian, studi hadis
lebih menekankan pada pengulangan pengulangan daripada pengembangan. Dari sini
kemudian tanpa disadari teks hadis menjadi lebih suci dibanding dengan
al-Qur’an. Menurut penulis, ada dua hal yang perlu dilakukan dalam rangka
mengembangkan studi hadis, yang pertama terkait dengan kajian terhadap
teks hadis dan yang kedua terkait dengan persoalan tehnis pengajaran
hadis.
Pertama
adalah kajian (Istiqro’)
terhadap hadis. Setidaknya ada tiga level utama dalam kajian hadis[34]. (1) Kajian terhadap hadis dalam hubungannya
dengan Nabi. Dalam hal ini menggunakan kritik sanad yang menguji kredibilitas
periwayat dengan melihat tidak hanya pada unsur mikro tetapi juga pada unsur
makro[35] melalui berbagai pendekatan. Selain itu penting
juga mempertimbangkan analisis terhadap aspek-aspek psikologis Nabi ketika
menyampaikan hadis baik secara qaqli, fi’li maupun taqriri. (2)
Kajian terhadap teks hadis itu sendiri. Dalam mengkaji teks hadis sangat
penting kiranya untuk mengembangkan berbagai pendekatan dalam mengkaji teks
hadis misalnya dengan mengembangkan hermeneutika hadis, yakni teori dan
metodologi interpretasi teks hadis dengan mempertimbangkan hubungan antara Nabi
Saw, teks hadis dan pembaca serta pendekatan-pendekatan lainnya seperti
pendekatan historis, antropologi, pendekatan sastra dan lain sebagainya. (3)
Kajian terhadap teks hadis dalam kaitannya dengan masyarakat
pembaca/penafsirnya. Hal ini mulai dikembangkan dalam studi hadis meski masih
dalam level yang terbatas seperti kajian tentang studi living sunnah/hadis[36].
Kedua
adalah terkait dengan
tehnis pengajaran hadis. Menurut penulis sangat penting kiranya untuk
memisahkan jurusan tafsir dengan jurusan hadis dalam pengajaran tafsir hadis di
perguruan tinggi. Jika sebelumnya telah terjadi perpindahan jurusan tafsir
hadis dari fakultas Syari’ah ke fakultas Ushuluddin yang menandai pergeseran
sebuah paradigma legal formalistik ke paradigma yang –katakanlah-lebih
substantif dan membebaskan. Maka saat ini penting kiranya untuk segera mungkin
memisahkan studi hadis dan studi al-Qur’an dengan harapan akan lebih
mengembangkan kedua bidang tersebut. Setidaknya pemisahan ini bertujuan untuk
(1) Mendorong dinamisasi dan kegairahan dalam studi hadis, (2) Agar perhatian
akademik terhadap studi hadis menjadi ;lebih besar daripada ketika studi hadis
itu masih digabungkan dengan studi al-Qur’an. (3) ini yang lebih bersifat
akademis, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam studi hadis dalam Islamic
studies diatas bahwa studi hadis ternyata memiliki karateristik yang berbeda
dengan studi al-Qur’an baik dari segi epistemologi, ontologi dan aksiologi
maupun dari pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan.
Penutup
Demikianlah
makalah ini dibuat tidak hanya dalam rangka memenuhi tugas kuliah tetapi juga
merupakan refleksi atas kegelisahan penulis terhadap studi hadis selama ini.
Melihat posisi hadis/sunnah yang berada di urutan kedua setelah al-Qur’an dalam
sumber hukum, moral, etika dan keseluruhan kehidupan umat Islam, maka sudah
selayaknyalah studi hadis ini mendapatkan perhatian yang tidak sedikit dari
umat islam. Namun nampaknya sependek yang penulis lihat, setidaknya dalam
makalah ini, studi hadis selama ini masih menempati posisi yang peripheral
dalam dinamika studi keislaman dan keagaman secara umum. Kondisi seperti inilah
yang kemudian, di antaranya, mengakibatkan kurang dinamisnya studi hadis dari
pada studi-studi dalam ranah Islamic studies yang lain seperti tafsir, fiqh,
tashawwuf, dlsb. Oleh karena itu, penulis berharap semoga makalah singkat ini
dapat memberikan sedikit inspirasi bagi pengembangan studi hadis kedepan. Amin.
***
Daftar Pustaka
Abdullah,
M.Amin, dalam http://aminabd.wordpress.com/category/tulisan-2008/
Abdurrahman,
M, Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam menentukan status
hadis, Jakarta: Paramadina, 2000
Al-Khatib,
Ajjaj, Ushul al-Hadis wa Musthalahuh Beirut: Darul Fikr, 1979
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1993
Assa’idi,
Sa’dullah, Hadis-hadis Sekte, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Hadi,
Pardodo, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 1994
Ilyas,
Yunahar dan M Mas’udi (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, Yogyakarta:
LPPI UMY, 1996
Ikhwan,
Nur, Beberapa gagasan tentang Pengembangan Studi al-Qur’an dan Hadis
(Refleksi atas Perkembangan Jurusan Tafsir Hadis di Indonesia), dalam buku
Hermeneutika al-Qur’an Madzhab Yogya Yogyakarta: Forstudia dan
Islamika, 2003
Khaeruman,
Badri Otentisitas Hadis; Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, Bandung:
ROSDA, 2004
Mansyur,
M, Dkk, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, Yogyakarta :
Teras, 2007
Rahmat,
Jalaluddin, Pemahaman hadis Perspektif histories, dalam buku Pengembangan
Pemikiran terhadap Hadis, Yogyakarta: LPPI UMY, 1996
Suriasumantri,
Yuyun S, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer Jakarta: Sinar
Harapan, 1988
Syamsuddin,
Sahiron, dkk, Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya, Yogyakarta:
Forstudia dan Islamika, 2003
Yaqub,
Ali Mustafa Kritik Hadis, Jakarta : Pustaka firdaus, 2000
Zuhri,
Muh, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1997
Catatan kaki ;
[1] Drs Yunahar Ilyas Lc dan Drs M Mas’udi (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1996), hlm 100
[1] Drs Yunahar Ilyas Lc dan Drs M Mas’udi (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1996), hlm 100
[3] Drs. Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis;
Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: ROSDA, 2004), hlm 44
[4] Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis wa
Musthalahuh (Beirut: Darul Fikr, 1979), hlm 154
[5] Sebagaimana pernyataan al-Zuhri: Sekiranya
tidak ada hadis yang datang dari arah timur yang asing bagi saya, niscaya saya
tidak menulis hadis dan tidak pula mengizinkan orang menulis. Dr. Muh
Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1997), hlm 52-53
[6] Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas
ruang lingkup objek penelaahan dan penafsiran tentang hakikat realitas dari
objek ontology tersebut, hadis dalam wilayah ontologis disini adalah kandungan
hadis, seperti aqidah, syariah, muamalah akhlak, sejarah dan lain – lain.
[7] Epistemologi merupakan asas cara bagaimana materi
pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi satu tubuh pengetahuan. Dalam
kerangka ini secara epistemologis, dalam keilmuan hadis dititikberatkan kepada
cara-cara menentukan derajat hadis yang berkaitan dengan kandungannya.
[8] Aksiologis merupakan asas dalam menggunakan
pengetahuan, dalam kerangka ini hadis disini berkaitan dengan tujuan ulama yang
mengumpulkan hadis.
[9] Pertanggungjawaban secara ilmiyah karena memang
setiap pengetahuan harus mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga
batang tubuh pengetahuan yang disusunnya, yakni dari segi epistemologis,
ontologis serta aksiologis. Ketiga istilah ini dikutip dari filsafat ilmu.
Penjelasan istilah ini dapat dilihat dalam Yuyun S Suriasumantri, Filsafat
Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1988), cet ke-5
hlm 10. Lihat juga Dr. Pardodo Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994)
[10] Ada kitab-kitab yang disusun dengan menggunakan
sistematika yang digunakan ulama pada abad sebelumnya, ada juga yang ulama yang
menyusun kitab al-Mustakhraj seperti kitab al-Mustakhraj terhadap
shalih Bukhari yang disusun oleh Abu Bakar Ahmad bin ibrahim al-Isma’ili
dan Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Burqani, kitab al-Mustakhraj terhadap
shahih Muslim yang disusun oleh Abu Ja’far Ahmad al-Naysaburi, dan Abu
Bakr Muhammad bin Muhammad bin Raja’ al-Naysaburi, ada juga ulama yang
menambahkan yang belum terhimpun dalam shahihayn dengan menyusun kitab
al-Mustadrak.
[11] Abu Hasan ‘Ali bin Umar bin Ahmad bin Mahdi
al-Daruquthni, selanjutnya disebut al-Daruquthni. Ia mengarang kitab al-Istidrakat
wa al-Tatabbu’ sebagai kritikan terhadap 218 sanad hadis yang digunakan
oleh Bukhari dan Muslim. Kritikan tersebut selanjutnya dijawab oleh al-Asqalani
dalam Hadyu al-Sariy: Muqaddimah Fath al-Bari, Dr. M. Abdurrahman, Pergeseran
Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam menentukan status hadis, (Jakarta:
Paramadina, 2000), hlm 6-7
[12] Seperti munculnya kitab-kitab musnad dan
mushannaf
[13] Dr. Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu
Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm 101
[14] Dalam perkembangannya, istilah ulumul hadis
menjadi sinonim bagi ilmu hadis dirayah. Selain itu, ilmu hadis dirayah disebut
juga mustalahu al-hadits (ilmu peristilahan hadis) atau ‘ilm usul al-hadis
(ilmu dasar hadis).
[15] Dengan ilmu ini dapat diketahui apakah para
perawi itu layak diterima menjadi perawi hadis, diantara ulama yang menyusun
kitab tentang tokoh-tokoh hadis ini adalah al-Bukhari , Ibn Sa’ad
dalam kitabnya Thabaqat, Ibn Hajar al-Asqalani dan lain sebagainya.Ibid.,
104
[16] Ilmu Jarh wa ta’dil adalah ilmu yang membahas
mengenai para perawi yang membuat mereka tercela atau bersih dalam menggunakan
lafadz-lafadz tertentu. Ibid., hlm 102
[17] Ilmu yang mempelajari hadis-hadis yang secara
lahiriyah bertentangan namun ada kemungkinan dapat diterima dengan syarat. Ibid.,
[18] Ilmu yang membahas tentang sebab-sebab
tersembunyi yang dapat merusak keabsahan suatu hadis seperti memarfu’kan hadis
mauquf, dan lain sebagainya sehingga dengan ilmu ini dapat menentukan apakah
suatu hadis termasuk hadis dhaif atau dapat melemahkan suatu hadis yang secara
lahiriyah luput dari segala illat. Ibid.,
[19] Ilmu yang membahas dan menjelaskan hadis
Rosulullah Saw yang sukar diketahui dan dipahami orang banyak karena telah
bercampur dengan bahasa lisan atau bahasa arab pasar. Ibid., hlm 105
[20] Ilmu yang membahas hadis-hadis yang bertentangan
dan tidak mungkin diambil jalan tengah. Hukum hadis yang satu menasikh hokum
hadis yang lain mansukh. Ibid.,
[21] Empat fase ini dikemukakan oleh Prof. Dr. Amin
Abdullah dalam tulisannya Mempertautkan Ulum Al-Diin, Al-Fikr Al-Islamiy
dan Dirasat Islamiyyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global
dalam http://aminabd.wordpress.com/category/tulisan-2008/
[22] Budaya baca tulis (Literacy) dengan
menggunakan huruf, sudah mulai dikenal dalam kehidupan umat manusia. Tradisi
yang dulunya “oral” (lesan) berubah menjadi “written” (tulisan)
[23] Pandangan keagamaan yang mewakili “insider”
dan “outsider”mulai muncul di sini. Objektif dan
subjektif, fideistic subjectivism dan scientific objectivism, believer
dan spectator mulai dikenal. Belakang para ilmuan membedakan antara “faith” dan “tradition”;
antara “essence” dan “manifestation” dalam beragama.
[24] Pengalaman hubungan disharmonis dan penuh
ketegangan dan kekerasan antara Katolik dan Protestan di Barat pada abad
tengah, antara kelompok Sunni dan Syi’iy di Timur Tengah pada abad-abad
sebelumnya bahkan hingga sekarang, Mahayana dan Hinayana di lingkungan tradisi
keagamaan Buddha, Brahmaisme, Wisnuisme dan Syivaisme di lingkungan Hindu dan
masih banyak lagi yang lain, yang menjadikan atau mendorong munculnya “doubt”
seperti telah diungkap di depan. Doubt inilah yang memicu munculnya
tradisi baru dalam sejarah pemikiran keagamaan yang disebut penelitian atau research.
Tradisi keilmuan baru dalam mempelajari agama-agama dunia ini, selain didorong
rasa ingin tahu tentang hakekat agama, asal-usul, sejarah perkembangannya, juga
didorong oleh cara berpikir Kritis atau Critical dalam beragama.
[25] Disini Ulum al-Diin sebagai
representasi “tradisi lokal” keislaman yang berbasis pada “bahasa” dan
“teks-teks” atau nash-nash keagamaan
[26] Disini al-Fikr al-Islamiy sebagai
representasi pergumulan humanitas pemikiran keislaman yang berbasis pada
“rasio-intelek”,
[27] Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies merupakan kluster
keilmuan baru yang berbasis pada paradigma keilmuan sosial kritis-komparatif
lantaran melibatkan seluruh “pengalaman” (experiences) umat manusia di alam historis-empiris yang amat sangat beranekaragam.
[28] Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika
al-Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Forstudia dan Islamika, 2003), hlm
xvii
[29] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta
: Pustaka firdaus, 2000), hlm 4
[30] Drs. Sa’dullah Assa’idi, Hadis-hadis Sekte
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm 27
[31] Jalaluddin Rahmat, Pemahaman hadis Perspektif
histories, dalam buku Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, Op,Cit., hlm
144
[32] Diantara para ulama yang mendefinisikan sahabat
adalah:
1.
Muhammad Nawawi al-Jawi berpendapat bahwa orang
[33] Amin Abdullah., Op.Cit
[34] Nur Ikhwan, Beberapa gagasan tentang
Pengembangan Studi al-Qur’an dan Hadis (Refleksi atas Perkembangan Jurusan
Tafsir Hadis di Indonesia), dalam buku Hermeneutika al-Qur’an Madzhab
Yogya, Op.Cit., hlm 240-241
[35]
Unsur mikro dan makro di sini penulis adaptasi dari konsep asbabun nuzul yang
melihat latar belakang turunnya ayat yang spesifik (mikro) dan global (makro).
Sedangkan konsep mikro dalam studi hadisi disini, menurut hemat penulis, adalah
meliputi analisis terhadap kepribadian (personality) periwayat, sedangkan unsure
makro meliputi kondisi sosial politik yang ada “di sekitar” kehidupan periwayat
masa itu.
[36] Tradisi yang hidup di masyarakat yang disandarkan
kepada hadis, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta
: Teras, 2007)
0 komentar:
Posting Komentar