Minggu, 17 Maret 2013

Quo Vadis Studi Hadis ?


Quo Vadis Studi Hadis ? (Merefleksikan Perkembangan dan Masa depan Studi Hadis)

Sumber; http://zunlynadia.wordpress.com/2010/12/27/quo-vadis-studi-hadis-merefleksikan-perkembangan-dan-masa-depan-studi-hadis/Desember 27, 2010 zunlynadia
Pengantar
Tidak dapat diragukan lagi bahwa hadis mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kajian Islam. Sebagai sumber ajaran kedua setelah al-Qur’an, hadis menjadi rujukan dari berbagai problem sosial keagamaan yang dihadapi oleh umat muslim karena hadis tidak hanya sebagai bayan dan tafsir dari al-Qur’an tetapi juga mencakup semua kegiatan hidup Nabi Saw yang umum dan luas meliputi semua informasi, bahkan pesan, kesan dan sifat yang semuanya bersumber dari Nabi.
Meskipun diyakini sebagai sumber ajaran kedua setelah al-Qur’an, hadis mempunyai problem yang cukup rumit terkait dengan proses kodifikasinya yang memakan waktu cukup panjang yakni setelah hampir seratus tahun tinggal dalam hafalan para sahabat dan tabi’in yang banyak berpindah-pindah dari hafalan seorang guru kepada hafalan  muridnya. Sehingga setelah penulisan dan pembukuan hadis itu berkembang dengan pesat muncul berbagai persoalan apakah hadis yang dituliskan dan dibukukan itu benar-benar hafalan yang berasal dari Nabi, atau merupakan hafalan yang keliru dan sengaja dibuat-buat untuk maksud tertentu? Disamping itu juga timbul pertanyaan apakah hafalan itu redaksinya persis seperti yang diucapkan Nabi atau hanya maksud dan maknanya saja? kalau itu riwayah bil makna, apakah benar maksudnya sama seperti yang dimaksud oleh Nabi?dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang muncul dan memerlukan berbagai penelitian lebih lanjut untuk melihat otentisitas hadis sehingga memunculkan ilmu hadis dengan berbagai cabangnya[1].
Dalam ilmu-ilmu tersebut, para ahli hadis menyusun kriteria para perawi hadis yang dapat dipercaya dalam meriwayatkan hadis, mulai dari ketentuan akan adanya persambungan dan urutan pertalian hadis dari rawi sampai kepada Nabi Saw, hingga meneliti cara dan waktu dalam meriwayatkan hadis bahkan juga kepribadian para perawi yang dapat menghalangi dan mengurangi anggapan kecurangan dan kebohongan dalam membawakan hadis. Selain ilmu yang terkait dengan sanad, masih ada beberapa cabang ilmu lagi yang dikembangkan oleh para ahli hadis meski masih belum sempurna[2].
Meski berbagai perangkat keilmuan hadis sudah dirintis oleh para ulama hadis, namun dalam perkembangannya keilmuan hadis seolah berjalan ditempat (stagnan). Hal ini sangat berbeda dengan perangkat keilmuan dalam studi Islam yang lain seperti studi al-Qur’an  yang terus berkembang dengan cukup pesat. Kemandegan perkembangan keilmuan hadis ini menjadi keprihatinan banyak pihak mengingat pentingnya ilmu hadis dalam kerangka studi Islam secara umum. Dalam makalah ini, penulis akan berusaha merefleksikan dan memaparkan problem-problem ilmu hadis di dalam ranah Islamic studies dan mencoba untuk menawarkan solusi untuk perkembangan keilmuan hadis kedepan.
Perkembangan Studi Hadis
Sebagaimana yang telah penulis ungkapkan diatas, dalam sejarahnya hadis memang terlambat untuk dibukukan. Para ahli sejarah mencatat, hadis baru seabad lebih kemudian dibukukan. Selama itulah hadis bertebaran di masyarakat Islam dan umumnya dilestarikan hanya dalam bentuk hafalan saja. Setidaknya dalam proses historiografinya, hadis mengalami beberapa periode, dari periode keterpeliharaan dalam hafalan hingga periode dibukukannya hadis tersebut (pentadwinan). Pertama adalah periode keterpeliharaan hadis dalam hafalan yang berlangsung pada abad I hijriyah. Kedua, periode pentadwinan hadis, yang masih bercampur antara hadis dengan fatwa sahabat dan tabi’in yang berlangsung pada abad ke 2 hijriyah. Ketiga, periode pentadwinan dengan memisahkan hadis dari fatwa sahabat dan tabi’in, berlangsung sejak abad ke 3 hijriyah. Keempat periode seleksi keshahihan hadis dan kelima periode pentadwinan hadis tahdzib dengan sistematika penggabungan dan penyarahan yang berlangsung semenjak abad ke 4 hijriyah[3].
Pada masa khalifah Umar bin Khattab sebenarnya sudah terpikir untuk membukukan hadis, tetapi setelah sebulan beristikharah iapun membatalkan niatnya dengan alasan kekhawatiran akan bercampurnya al-Qur’an dengan hadis[4]. Kemudian pada masa tabi’in banyak muncul hadis-hadis palsu dimana awal kemunculannya dikaitkan dengan peristiwa politik yang sering disebut sebagai fitnatul kubro yang diawali dengan terbunuhnya khalifah Ustman bin Affan, sehingga berimplikasi pada perpecahan umat Islam menjadi beberapa golongan, seperti khawarij, syi’ah, murji’ah dan lain sebagainya. Dalan situasi yang cukup “rumit” ini, setiap golongan menggunakan dalil-dalil yang dinisbatkan kepada Nabi Saw untuk mendukung kelompoknya. Kondisi inilah yang menyebabkan kebutuhan akan kodifikasi dan menyeleksi hadis semakin dirasakan, karena jika tidak segera diambil tindakan kodifikasi hadis akan semakin banyak hadis palsu bercampur dengan hadis asli.[5]
Berbeda dengan kodifikasi al-Qur’an, dimana para sahabat tidak menemukan banyak kendala dalam pengerjaannya, karena tugas “panitia” kodifikasi hanya mengumpulkan naskah-naskah al-Qur’an yang sudah ada di tangan para sahabat untuk disesuaikan dengan hafalan para sahabat lainnya yang secara mutawathir mereka terima dari Nabi Saw dan secara ilmiyah dapat dipastikan sebagai ayat-ayat al-Qur’an. Sementara dalam kodifikasi hadis banyak menemui berbagai macam kendala dan kerumitan terkait dengan hadis yang lebih banyak terpelihara dalam ingatan daripada dalam catatan. Apalagi hadis dalam ingatan para sahabat ini telah tersebar secara luas ke berbagai daerah Islam yang dikunjungi oleh para sahabat nabi. Rentang waktu yang cukup lama serta munculnya perbedaan misi politik serta madzhab pada masa itu juga menambah sulitnya “proyek” kodifikasi ini karena untuk menghimpun hadis-hadis yang cukup banyak tersebut tentunya dibutuhkan ketelitian yang cukup tinggi baik dalam kerangka ontologis[6], epistemologis[7] maupun aksiologis[8], sehingga hadis benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah[9].
Kodifikasi hadis secara resmi pertama kali digagas oleh khalifah Umat ibn Abd Aziz memalui surat edarannya kepada para gubernur di daerah agar menunjuk ulama ditempat masing-masing untuk menghimpun hadis-hadis, dan salah satu gubernur yang cukup tanggap dengan perintah khalifah adalah gubernur Madinah Abu Bakar Muhammad ibn Amr ibn Hazm yang pelaksanaanya ditangani oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Pada abad ini juga para ulama mulai menyusun kitab hadis dan meletakkan pula landasan epistemologisnya. Sejak dikeluarnya perintah tersebut, kegiatan kodifikasi ini terus berlanjut sampai abad ke 4 dan ke 5 Hijriyah dan mencapai puncaknya pada abad ke 3 H, karena pada abad ini banyak muncul para pengumpul hadis seperti imam Ahmad bin Hanbal, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, An-Nasa’I, Ibn Majah, al-Damiri, dan lain sebagainya.
Pada abad-abad tersebut perkembangan ilmu hadis cukup dinamis, disamping munculnya karya monumental di abad ke-3 H yang berupa kitab hadis yang dikenal dengan al-Kutub al-Sittah juga banyak bermunculan kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis dengan sistematika dan metode pemilahan hadis yang berbeda-beda[10]. Selain itu juga ada juga ulama yang melakukan kritik terhadap hadis-hadis yang dihimpun oleh ulama sebelumnya, baik kritik matan maupun kritik sanad, seperti kritik matan yang dilakukan oleh ulama mu’tazilah seperti al-Nazhzham dan kritik sanad yang dilakukan oleh al-Daruquthni terhadap Shahihayn[11]. Kemudian muncul lagi kalangan ulama kemudian yang merupakan anti tesis terhadap kritik-kritik tersebut, sehingga membuat keilmuan hadis semakin berkembang.
Dalam menyusun kitab hadis, para ulama tidak hanya mendasarkan pada aspek-aspek ontologi[12] tetapi juga meliputi aspek epitemologi yang berupa kritik sanad dan matan serta aspek aksiologi yang berupa tujuan penyusunannya baik secara praktis maupun teoritis. Penyusunan kitab-kitab hadis berdasarkan aspek-aspek tersebut disebut ilmu riwayah dan ilmu dirayah. Ilmu riwayah menekankan pada ketepatan menghimpun segala yang dinisbahkan kepada Nabi Saw, sedangkan ilmu dirayah lebih menekankan pada faktor diterima dan tidaknya sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi tersebut.[13]Kedua ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam menentukan status hadis. Tetapi dengan dibukukannya hadis Nabi SAW dan selanjutnya dijadikan rujukan oleh ulama yang datang kemudian, maka pada periode selanjutnya ilmu hadis riwayah tidak lagi banyak berkembang. Berbeda halnya dengan ilmu hadis dirayah yang senantiasa berkembang dan melahirkan berbagai cabang ilmu hadis. Oleh karena itu, pada umumnya yang dibicarakan oleh ulama hadis dalam kitab-kitab ulumul hadis yang mereka susun adalah ilmu hadis dirayah[14].
Dalam perspektif keilmuan hadis, ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu, sanad hadis, matan hadis dan kemunculan kritik hadis, dimana ketiganya berkembang menjadi cabang-cabang dalam ilmu hadis yang disusun para ulama masa itu dalam kitab-kitabnya diantaranya adalah: pertama ilmu yang berkaitan dengan sanad yakni ilmu rijalil hadis[15], ilmu jarh wa ta’dil[16], kedua ilmu yang berkaitan dengan matan hadis yakni ilmu mukhtalaf al-Hadis[17], ilmu ilalul hadis[18], ilmu gharibul hadis[19], ilmu nasikh dan mansukh[20] dan lain sebagainya.
Demikian dinamisnya para ulama hadis masa itu sehingga karya-karya dalam bidang hadis terus berkembang dan menjadi rujukan ulama pada masa kini dalam mengkaji dan mempelajari hadis-hadis Nabi Saw.
Perkembangan Islamic Studies
Pembicaraan mengenai studi Islam memang tidak pernah selesai. Karena studi Islam ini memang tidak pernah mengenal kata berhenti dan terus-menerus berkembang sesuai dengan semangat zaman. Setidaknya ada empat fase perkembangan yang dilalui dalam studi agama yakni fase lokal, kanonikal, kritikal dan global[21], dimana empat tahapan ini berpengaruh juga terhadap perkembangan studi Islam. Pertama, adalah tahapan Lokal. Semua agama pada era presejarah (Prehistorical period) dapat dikategorikan sebagai lokal. Semua praktik tradisi, kultur, adat istiadat, norma, bahkan agama adalah fenomena lokal. Kelokalan ini tidak bisa dihindari sama sekali karena salah satu faktor utamanya adalah bahasa. Bahasa yang digunakan oleh penganut tradisi dan adat istiadat setempat adalah selalu bersifat lokal.
Fase kedua adalah fase Canonical atau Propositional. Kehadiran agama-agama Ibrahimi (Abrahamic Religions), dan juga agama-agama di Timur, yang pada umumnya menggunakan panduan Kitab Suci (the Sacred Text) merupakan babak baru tahapan sejarah perkembangan agama-agama dunia paska prehistoric religions di atas[22].). Era ini disebut “canonical’ karena semuanya menerima adanya wahyu yang kebenarannya dianggap final dan absolute, yang terjelma dalam kitab suci (sacred text). Panduan  keagamaan yang  didasarkan pada teks kitab suci inilah yang  berkembang pesat di abad tengah dan di kemudian hari nanti akan mempunyai andil dalam membentuk corak keberagamaan yang scripturalis-tekstualis, selain tradisi-tradisi lain yang lebih kontekstual juga ikut berkembang dalam menginterpretasikan kitab suci.
Fase ketiga adalah fase Critical. Fase ini dipicu oleh semangat Enlightenment dimana pada abad ke-16 dan 17, kesadaran beragama di Eropa mengalami perubahan yang radikal[23]. Meskipun ini adalah pengalaman Eropa, tetapi dalam perkembangannya juga merambah ke seluruh tradisi  agama-agama dunia. Hal ini menimbulkan pergesekan sehingga tidak dapat diingkari sama sekali bahwa antar pengikut dan pendukung keberagamaan yang bersifat Canonical-texstual sendiri seringkali muncul ketegangan-ketegangan sosial-politik yang tak terhindarkan[24]. Sejarah perkembangan studi terhadap fenomena agama, ibarat gerak jarum jam, tidak bisa diputar kembali. Ketiga tradisi tersebut berjalan bersama. Kadang bersenggolan, kadang berjalan bersama lalu pisah dipersimpangan jalan, bahkan kadang bertubrukan juga. Dalam kondisi seperti itu muncul fase keempat yaitu fase Global.
Dalam fase global, Era teknologi informasi mempercepat terwujudkannya impian borderless society ini. Dalam era global, fenomena glokalisasi juga tampak jelas di sini. Tradisi lokal dibawa ke arena global. Muslim diaspora, immigrant muslim di Eropa, gerakan transnasionalisme menempati salah satu bagian dari kompleksitas kehidupan agama di era global ini.
Keempat fase dalam studi agama ini tentunya sangat berpengaruh terhadap perkembangan keilmuan dalam Islam -merujuk pada tulisan Prof. Dr Amin Abdullah- dalam perspektif keilmuan Islam empat fase tersebut dapat dikerucutkan menjadi, fase Ulum al-Diin, fase al-Fikr al-Islamiy (Islamic thought) dan fase Dirasat Islamiyyah (Islamic Studies). Dalam Ulum al-Diin[25] muncul kluster ilmu-ilmu agama (Islam) seperti Kalam, Fikih, Tafsir, Hadis, Qur’an, Faraidl, Aqidah, Akhlaq, Ibadah dan begitu seterusnya dengan ilmu bantunya bahasa Arab (Nahwu, Saraf, Balaghah, Badi’, ‘Arudl). Ulum al-Diin ini kemudian berkembang menjadi al-Fikr al-Islamiy[26] yang isinya  secara komprehensif meliputi Studi al-Qur’an dan al-Sunnah, pemikiran Hukum (Legal thought), pemikiran Kalamiyyah (Theological thought), pemikiran Mistik (Mystical thought atau Sufism), Ekspresi Artistik, pemikiran Filsafat (Philosophical thought), pemikiran politik (Political thought), dan pemikiran Modern dalam Islam. Disini al-Fikr al-Islamiy mempunyai struktur ilmu dan the body of knowledge yang kokoh dan komprehensif-utuh tentang Islam.

Kemudian Ketika pergumulan dan silang pendapat antara Ulum al-Diin dan al-Fikr al-Islamiy belum selesai dan belum duduk, dunia akademis keilmuan Islam terus berkembang dan kemudian muncul Dirasat Islamiyyah (Islamic Studies)[27]. Dalam Dirasat Islamiyyah ini dialog, perbincangan dan pembahasan yang mendalam tentang isu-isu kontemporer seperti Hak Asasi Manusia, gender (partisipasi wanita dalam kegiatan politik, sosial, ekonomi, pendidikan), pluralitas agama, hubungan dan hukum Internasional yang menggunakan metode dan pendekatan campuran antara al-Fikr al-Islamiy dan Dirasat islamiyyah menjadikan keilmuan dalam Islam mengalami progress yang cukup cepat dan tentunya dengan tantangan yang semakin berat. Lalu pertanyaannya kemudian adalah dimana posisi studi hadis selama ini? Apakah masih bertahan dalam ranah Ulum al-Diin ataukah sudah beranjak kearah al-Fikr al-Islamiy atau bahkan sudah memasuki fase Dirasat Islamiyyah? Mengenai hal ini penulis akan mencoba untuk memaparkannya dibawah ini.
Kedudukan Hadis dalam Islamic Studies
Sebagaimana yang telah penulis paparkan diatas, masa keemasan dalam studi hadis terjadi pada masa abad ke-2 hingga abad ke-5, dimana para ulama cukup kreatif dan sangat produktif tidak hanya dalam rangka kodifikasi hadis tetapi juga meletakkan dasar-dasar dalam keilmuan hadis. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya ternyata tidaklah demikian. Ilmu hadis seolah hanya berjalan di tempat tanpa adanya perkembangan yang berarti. Ilmu hadis yang pernah digagas oleh para ulama seolah telah final. Sehingga hadis yang merupakan “produk” ulama pada masa tersebut diterima oleh umat muslim sebagai produk jadi yang sudah tidak perlu lagi dikritik dan dikembangkan. Sampai disini kemudian teks-teks hadis menjadi teks yang sakral yang seolah sulit untuk dijangkau dan dilakukan berbagai pengembangan. Sangat berbeda dengan studi Islam yang lain seperti studi al-Qur’an. 

Dinamika dalam studi terhadap al-Qur’an begitu terasa, sehingga perkembangan dalam studi al-Qur’an begitu cepat. Berbagai pendekatan dan analisis banyak bermunculan terkait dengan kajian atas al-Qur’an. Sebut saja misalnya dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, Al-Jabiri dan lain sebagainya. Tawaran-tawaran baru dalam menafsirkan teks al-Qur’an terus bermunculan seiring dengan perkembangan zaman, seperti pendekatan hermeneutik, sejarah, antropologi, sosiologi, semantik dan lain sebagainya. Sehingga dengan demikian diskursus seputar penafsiran al-Qur’an ini menjadi diskursus yang tidak pernah usai dengan berbekal keyakinan bahwa al-Qur’an adalah salih li kulli zaman wa makan[28].
Sementara dalam kajian hadis, para intelektual muslim sedikit enggan untuk melakukan kritik ataupun mengkajinya dengan berbagai pendekatan dan lebih suka menggunakan hadis sebagai produk yang sudah jadi. Ada beberapa hal menurut penulis yang menjadi penyebab atas stagnansi keilmuan hadis, diantaranya adalah:
  1. 1. Problem otentisitas hadis
Problem otentisitas hadis ini memang menyita banyak perhatian para ulama, baik para ulama hadis pada masa lalu hingga saat ini. Perpecahan umat Islam menjadi berbagai golongan dan persoalan politik menjadi salah satu sumber dari problem otentisitas hadis. Menurut Imam Muhammad bin Sirin, beliau menyatakan bahwa “pada mulanya kaum muslimin tidak pernah menanyakan sanad dalam menerima suatu hadis tetapi semenjak terjadi fitnah (terbunuhnya Usman bin Affan), apabila mendengar hadis mereka selalu menanyakan dari siapa hadis itu diperoleh[29]. Sehingga kritik sanad dan matan menjadi kunci untuk menyelesaikan problem ini. Sanad memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hadis, hal ini karena sanad terkait dengan mata rantai dari periwayat hadis, sehingga kritik sanad sangat berperan dalam menyelamatkan hadis dari segala pemalsuan. Sedangkan dalam persoalan matan, hal ini terkait dengan redaksi matan yang diriwayatkan baik secara lafal (riwayah bil lafz) maupun secara makna (riwayah bil ma’na)[30]. Setidaknnya ada lima syarat yang disepakai oleh para ulama untuk menetapkan kesahihan hadis yang terkait dengan sanad dan matan, yakni hadis yang tersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dabit serta terhindar dari syaz dan illat.
Karena problem otensitisa hadis ini merupakan problem utama dalam hadis karena terkait dengan diterima dan ditolaknya suatu hadis maka banyaknya perhatian pada wilayah ini akhirnya agak mengenyampingkan persoalan-persoalan lain yang sebenarnya juga penting tekait dengan kontekstualisasi dan pengembangan keilmuan hadis yang lain.
  1. 2. Persoalan terkait dengan rijalil hadis
Masih terkait dengan problem dalam sanad hadis. Studi kritis terhadap para periwayat hadis ini memakai metode-metode yang sudah baku sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ulama terdahulu melalui kitab-kitab rijalil hadis yang juga ditulis oleh para ulama terdahulu. Sehingga metode dalam kritik sanad ini tidak banyak mengalami perkembangan. Padahal selain menggunakan metode dan kitab rujukan yang telah dibuat oleh para ulama abad ke 3 sampai abad ke 5 tersebut, ada banyak celah dan cara yang bisa dilakukan kritik terhadap rijalil hadis, yakni melalui pendekatan-pendekatan baru misalnya pendekatan historis kritis, pendekatan sosio antropologis dan lain sebagainya yang bisa melihat kondisi makro dari periwayat hadis. Menurut penulis sangat penting sekali upaya melihat kondisi makro para periwayat hadis, karena dengan memperhatikan kondisi makro dari periwayat yang meliputi kondisi sosial, politik dari periwayat hadis akan bisa terlihat bagaimana corak hadis yang dihasilkan, bagaimana teks-teks yang tertulis dalam matan dan lain sebagainya. Bagaimanapun juga hadis-hadis yang disampaikan sangat diwarnai dengan persoalan politik masa itu. Dengan melihat suasana politik masa itu, kita dapat melihat inkonsistensi dalam periwayatan hadis. Sehingga ilmu sejarah akan sangat membantu kita dalam meneliti rijal hadis disamping kitab-kitab rijalil hadis yang telah ada[31].
  1. 3. Penilaian terhadap keadilan sahabat
Definisi yang diberikan ulama mengenai sahabat memang berbeda-beda. Namun secara umum para ulama hadis mengatakan bahwa yang dikatakan sahabat itu adalah umat Islam yang pernah melihat Rasul Allah[32]. Beberapa ulama menyatakan bahwa semua sahabat Nabi adalah orang yang adil dan tidak satupun dari mereka yang tercela. Baik al-Qur’an maupun hadis Nabi yang menyatakan hal tersebut menjadi dalil dan alasan yang kuat, dan karena para sahabat Nabi ini sudah bersifat adil maka tidak perlu lagi dilakukan kritik sanad terhadap mereka.
  1. 4. Stigma inkar sunnah
Berbeda dengan al-Qur’an, tidak ada stigma inkar al-Qur’an bagi para ulama sekritis apapun ia memahami al-Qur’an. Stigma inkar sunnah ini membuat para ulama mengendalikan diri dan segan dalam melakukan telaah dan mengembangkan pemikiran terhadap hadis. Para ulama lebih suka menerima hadis berikut keilmuan hadis dalam bentuk jadi tanpa berusaha untuk mengembangkannya. Sehingga yang terjadi adalah pemahaman hadis secata tekstual tanpa bersusah payah memperdulikan proses panjang sejarah terkumulnya hadis dan proses pembentukan ajaran ortodoksi.
Keempat hal diatas membuat studi hadis jalan di tempat tanpa adanya perkembangan yang berarti. Jika dilihat dalam kerangka pemikiran Islam, studi hadis masih berada dalam fase ulum al-Diin dan masih mulai beranjak pada al-Fikr al-Islamiy. Sehingga bisa dilihat pengajaran dalam ilmu hadis ini cenderung tidak mendalam dan mengulang-ulang masih terus terkutat dengan kritik sanad dan matan dengan metode yang seolah sudah baku tersebut. Sebenarnya ketiga kluster tersebut sebenarnya bersaudara, hanya saja cara atau sudut pandang, keluasan horison  pengamatan (Approaches) dan metode (Process dan Procedure) pengambilan dan pengumpulan data serta aneka ragam sumber data yang diperoleh dari berbagai bahasa (termasuk bahasa asing) berbeda antar ketiga tradisi kelimuan keislaman tersebut sehingga hasilnya pun berbeda[33]. Perbedaan itu muncul karena perkembangan intelektual manusia itu sendiri. Dengan berbagai pendekatan diharapkan studi hadis ini menjadi lebih konstekstual dan tidak lagi menjadi teks-teks yang sakral yang sulit untuk “dijamah”.
Menuju arah baru dalam Studi Hadis
Sebagaimana yang telah penulis paparkan diatas, studi hadis menjadi bidang yang sangat rigit, kaku dan sensitif. Kaku karena selama ini menjadi bidang yang monodisipliner, yakni pendekatan yang dianggap sah adalah kritik sanad dan kritik matan, itupun dengan aturan-aturan yang sudah baku. Seharusnya fase ini sudah dianggap selesai, tetapi kenyataannya tidaklah demikian, studi hadis lebih menekankan pada pengulangan pengulangan daripada pengembangan. Dari sini kemudian tanpa disadari teks hadis menjadi lebih suci dibanding dengan al-Qur’an. Menurut penulis, ada dua hal yang perlu dilakukan dalam rangka mengembangkan studi hadis, yang pertama terkait dengan kajian terhadap teks hadis dan yang kedua terkait dengan persoalan tehnis pengajaran hadis.
Pertama adalah kajian (Istiqro’) terhadap hadis. Setidaknya ada tiga level utama dalam kajian hadis[34]. (1) Kajian terhadap hadis dalam hubungannya dengan Nabi. Dalam hal ini menggunakan kritik sanad yang menguji kredibilitas periwayat dengan melihat tidak hanya pada unsur mikro tetapi juga pada unsur makro[35] melalui berbagai pendekatan. Selain itu penting juga mempertimbangkan analisis terhadap aspek-aspek psikologis Nabi ketika menyampaikan hadis baik secara qaqli, fi’li maupun taqriri. (2) Kajian terhadap teks hadis itu sendiri. Dalam mengkaji teks hadis sangat penting kiranya untuk mengembangkan berbagai pendekatan dalam mengkaji teks hadis misalnya dengan mengembangkan hermeneutika hadis, yakni teori dan metodologi interpretasi teks hadis dengan mempertimbangkan hubungan antara Nabi Saw, teks hadis dan pembaca serta pendekatan-pendekatan lainnya seperti pendekatan historis, antropologi, pendekatan sastra dan lain sebagainya. (3) Kajian terhadap teks hadis dalam kaitannya dengan masyarakat pembaca/penafsirnya. Hal ini mulai dikembangkan dalam studi hadis meski masih dalam level yang terbatas seperti kajian tentang studi living sunnah/hadis[36].
Kedua adalah terkait dengan tehnis pengajaran hadis. Menurut penulis sangat penting kiranya untuk memisahkan jurusan tafsir dengan jurusan hadis dalam pengajaran tafsir hadis di perguruan tinggi. Jika sebelumnya telah terjadi perpindahan jurusan tafsir hadis dari fakultas Syari’ah ke fakultas Ushuluddin yang menandai pergeseran sebuah paradigma legal formalistik ke paradigma yang –katakanlah-lebih substantif dan membebaskan. Maka saat ini penting kiranya untuk segera mungkin memisahkan studi hadis dan studi al-Qur’an dengan harapan akan lebih mengembangkan kedua bidang tersebut. Setidaknya pemisahan ini bertujuan untuk (1) Mendorong dinamisasi dan kegairahan dalam studi hadis, (2) Agar perhatian akademik terhadap studi hadis menjadi ;lebih besar daripada ketika studi hadis itu masih digabungkan dengan studi al-Qur’an. (3) ini yang lebih bersifat akademis, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam studi hadis dalam Islamic studies diatas bahwa studi hadis ternyata memiliki karateristik yang berbeda dengan studi al-Qur’an baik dari segi epistemologi, ontologi dan aksiologi maupun dari pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan.
Penutup
Demikianlah makalah ini dibuat tidak hanya dalam rangka memenuhi tugas kuliah tetapi juga merupakan refleksi atas kegelisahan penulis terhadap studi hadis selama ini. Melihat posisi hadis/sunnah yang berada di urutan kedua setelah al-Qur’an dalam sumber hukum, moral, etika dan keseluruhan kehidupan umat Islam, maka sudah selayaknyalah studi hadis ini mendapatkan perhatian yang tidak sedikit dari umat islam. Namun nampaknya sependek yang penulis lihat, setidaknya dalam makalah ini, studi hadis selama ini masih menempati posisi yang peripheral dalam dinamika studi keislaman dan keagaman secara umum. Kondisi seperti inilah yang kemudian, di antaranya, mengakibatkan kurang dinamisnya studi hadis dari pada studi-studi dalam ranah Islamic studies yang lain seperti tafsir, fiqh, tashawwuf, dlsb. Oleh karena itu, penulis berharap semoga makalah singkat ini dapat memberikan sedikit inspirasi bagi pengembangan studi hadis kedepan. Amin.
***
Daftar Pustaka
Abdurrahman, M, Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam menentukan status hadis, Jakarta: Paramadina, 2000
Al-Khatib, Ajjaj, Ushul al-Hadis wa Musthalahuh Beirut: Darul Fikr, 1979
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993
Assa’idi, Sa’dullah, Hadis-hadis Sekte, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Hadi, Pardodo, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 1994
Ilyas, Yunahar dan M Mas’udi (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, Yogyakarta: LPPI UMY, 1996
Ikhwan, Nur, Beberapa gagasan tentang Pengembangan Studi al-Qur’an dan Hadis (Refleksi atas Perkembangan Jurusan Tafsir Hadis di Indonesia), dalam buku Hermeneutika al-Qur’an Madzhab Yogya Yogyakarta: Forstudia dan Islamika, 2003
Khaeruman, Badri Otentisitas Hadis; Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, Bandung: ROSDA, 2004
Mansyur, M, Dkk, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, Yogyakarta : Teras, 2007
Rahmat, Jalaluddin, Pemahaman hadis Perspektif histories, dalam buku Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, Yogyakarta: LPPI UMY, 1996
Suriasumantri, Yuyun S, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer Jakarta: Sinar Harapan, 1988
Syamsuddin, Sahiron, dkk, Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya, Yogyakarta: Forstudia dan Islamika, 2003
Yaqub, Ali Mustafa Kritik Hadis, Jakarta : Pustaka firdaus, 2000
Zuhri, Muh, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997

Catatan kaki ;
[1] Drs Yunahar Ilyas Lc dan Drs M Mas’udi (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1996), hlm 100
[2] Ibid., hlm 101
[3] Drs. Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis; Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: ROSDA, 2004), hlm 44
[4] Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis wa Musthalahuh (Beirut: Darul Fikr, 1979), hlm 154
[5] Sebagaimana pernyataan al-Zuhri: Sekiranya tidak ada hadis yang datang dari arah timur yang asing bagi saya, niscaya saya tidak menulis hadis dan tidak pula mengizinkan orang menulis. Dr. Muh Zuhri, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm 52-53
[6] Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas ruang lingkup objek penelaahan dan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontology tersebut, hadis dalam wilayah ontologis disini adalah kandungan hadis, seperti aqidah, syariah, muamalah akhlak, sejarah dan lain – lain.
[7] Epistemologi merupakan asas cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi satu tubuh pengetahuan. Dalam kerangka ini secara epistemologis, dalam keilmuan hadis dititikberatkan kepada cara-cara menentukan derajat hadis yang berkaitan dengan kandungannya.
[8] Aksiologis merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan, dalam kerangka ini hadis disini berkaitan dengan tujuan ulama yang mengumpulkan hadis.
[9] Pertanggungjawaban secara ilmiyah karena memang setiap pengetahuan harus mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga batang tubuh pengetahuan yang disusunnya, yakni dari segi epistemologis, ontologis serta aksiologis. Ketiga istilah ini dikutip dari filsafat ilmu. Penjelasan istilah ini dapat dilihat dalam Yuyun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1988), cet ke-5 hlm 10. Lihat juga Dr. Pardodo Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994)
[10] Ada kitab-kitab yang disusun dengan menggunakan sistematika yang digunakan ulama pada abad sebelumnya, ada juga yang ulama yang menyusun kitab al-Mustakhraj seperti kitab al-Mustakhraj terhadap shalih Bukhari yang disusun oleh Abu Bakar Ahmad bin ibrahim al-Isma’ili dan Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Burqani, kitab al-Mustakhraj terhadap shahih Muslim yang disusun oleh Abu Ja’far Ahmad al-Naysaburi, dan Abu Bakr Muhammad bin Muhammad bin Raja’ al-Naysaburi, ada juga ulama yang menambahkan yang belum terhimpun dalam shahihayn dengan menyusun kitab al-Mustadrak.
[11] Abu Hasan ‘Ali bin Umar bin Ahmad bin Mahdi al-Daruquthni, selanjutnya disebut al-Daruquthni. Ia mengarang kitab al-Istidrakat wa al-Tatabbu’ sebagai kritikan terhadap 218 sanad hadis yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim. Kritikan tersebut selanjutnya dijawab oleh al-Asqalani dalam Hadyu al-Sariy: Muqaddimah Fath al-Bari, Dr. M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam menentukan status hadis, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm 6-7
[12] Seperti munculnya kitab-kitab musnad dan mushannaf
[13] Dr. Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm 101
[14] Dalam perkembangannya, istilah ulumul hadis menjadi sinonim bagi ilmu hadis dirayah. Selain itu, ilmu hadis dirayah disebut juga mustalahu al-hadits (ilmu peristilahan hadis) atau ‘ilm usul al-hadis (ilmu dasar hadis).
[15] Dengan ilmu ini dapat diketahui apakah para perawi itu layak diterima menjadi perawi hadis, diantara ulama yang menyusun kitab tentang tokoh-tokoh hadis ini adalah al-Bukhari , Ibn Sa’ad dalam kitabnya Thabaqat, Ibn Hajar al-Asqalani dan lain sebagainya.Ibid., 104
[16] Ilmu Jarh wa ta’dil adalah ilmu yang membahas mengenai para perawi yang membuat mereka tercela atau bersih dalam menggunakan lafadz-lafadz tertentu. Ibid., hlm 102
[17] Ilmu yang mempelajari hadis-hadis yang secara lahiriyah bertentangan namun ada kemungkinan dapat diterima dengan syarat. Ibid.,
[18] Ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak keabsahan suatu hadis seperti memarfu’kan hadis mauquf, dan lain sebagainya sehingga dengan ilmu ini dapat menentukan apakah suatu hadis termasuk hadis dhaif atau dapat melemahkan suatu hadis yang secara lahiriyah luput dari segala illat. Ibid.,
[19] Ilmu yang membahas dan menjelaskan hadis Rosulullah Saw yang sukar diketahui dan dipahami orang banyak karena telah bercampur dengan bahasa lisan atau bahasa arab pasar. Ibid., hlm 105
[20] Ilmu yang membahas hadis-hadis yang bertentangan dan tidak mungkin diambil jalan tengah. Hukum hadis yang satu menasikh hokum hadis yang lain mansukh. Ibid.,
[21] Empat fase ini dikemukakan oleh Prof. Dr. Amin Abdullah dalam tulisannya Mempertautkan Ulum Al-Diin, Al-Fikr Al-Islamiy dan Dirasat Islamiyyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global dalam http://aminabd.wordpress.com/category/tulisan-2008/
[22] Budaya baca tulis (Literacy) dengan menggunakan huruf, sudah mulai dikenal dalam kehidupan umat manusia. Tradisi yang dulunya “oral” (lesan) berubah menjadi “written” (tulisan)
[23] Pandangan keagamaan yang mewakili “insider” dan  “outsider”mulai muncul di sini. Objektif dan subjektif, fideistic subjectivism dan scientific objectivism, believer dan spectator mulai dikenal. Belakang para ilmuan membedakan antara “faith” dan “tradition”; antara “essence” dan “manifestation” dalam beragama.
[24] Pengalaman hubungan disharmonis dan penuh ketegangan dan kekerasan  antara Katolik dan Protestan di Barat pada abad tengah, antara kelompok Sunni dan Syi’iy di Timur Tengah pada abad-abad  sebelumnya bahkan hingga sekarang, Mahayana dan Hinayana di lingkungan tradisi keagamaan Buddha, Brahmaisme, Wisnuisme dan Syivaisme di lingkungan Hindu dan masih banyak lagi yang lain, yang menjadikan atau mendorong munculnya “doubt” seperti telah diungkap di depan. Doubt inilah yang memicu munculnya tradisi baru dalam sejarah pemikiran keagamaan yang disebut penelitian atau research. Tradisi keilmuan baru dalam mempelajari agama-agama dunia ini, selain didorong rasa ingin tahu tentang hakekat agama, asal-usul, sejarah perkembangannya, juga didorong oleh cara berpikir Kritis atau Critical dalam beragama.
[25] Disini Ulum al-Diin sebagai representasi “tradisi lokal” keislaman yang berbasis pada “bahasa” dan “teks-teks” atau nash-nash keagamaan
[26] Disini al-Fikr al-Islamiy sebagai representasi pergumulan humanitas pemikiran keislaman yang berbasis pada “rasio-intelek”,
[27] Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies merupakan kluster keilmuan baru yang berbasis pada paradigma keilmuan sosial kritis-komparatif lantaran melibatkan seluruh “pengalaman” (experiences) umat manusia di alam historis-empiris yang amat sangat beranekaragam.
[28] Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Forstudia dan Islamika, 2003), hlm xvii
[29] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta : Pustaka firdaus, 2000), hlm 4
[30] Drs. Sa’dullah Assa’idi, Hadis-hadis Sekte (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm 27
[31] Jalaluddin Rahmat, Pemahaman hadis Perspektif histories, dalam buku Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, Op,Cit., hlm 144
[32] Diantara para ulama yang mendefinisikan sahabat adalah:
1. Muhammad Nawawi al-Jawi berpendapat bahwa orang
[33] Amin Abdullah., Op.Cit
[34] Nur Ikhwan, Beberapa gagasan tentang Pengembangan Studi al-Qur’an dan Hadis (Refleksi atas Perkembangan Jurusan Tafsir Hadis di Indonesia), dalam buku Hermeneutika al-Qur’an Madzhab Yogya, Op.Cit., hlm 240-241
[35] Unsur mikro dan makro di sini penulis adaptasi dari konsep asbabun nuzul yang melihat latar belakang turunnya ayat yang spesifik (mikro) dan global (makro). Sedangkan konsep mikro dalam studi hadisi disini, menurut hemat penulis, adalah meliputi analisis terhadap kepribadian (personality) periwayat, sedangkan unsure makro meliputi kondisi sosial politik yang ada “di sekitar” kehidupan periwayat masa itu.
[36] Tradisi yang hidup di masyarakat yang disandarkan kepada hadis, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta : Teras, 2007)

0 komentar:

Posting Komentar