Jumat, 27 Juni 2014

PUASA WARISAN AJARAN UNIVERSAL



Bismillahirrahmanirrahim,
Puasa dalam bahasa Arab disebut shiyam atau shaum berarti menahan diri dari suatu perbuatan. Menurut istilah hukum Islam, “puasa berarti menahan atau mengendalikan diri dari makan, minum, seks, dan hal-hal lain yang dapat membatalkan dari terbit fajar sampai terbenam matahari”.

Puasa dengan bentuk yang khas ini, kewajibannya dideklarasikan pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah, yaitu saat diturunkannya ayat tentang kewajiban puasa (al-Qur’an, surat al-Baqarah ayat 183). Pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijriyah itu, Rasulullah SAW bersama kaum muslimin generasi pertama melakukan kewajiban puasa perdana, termasuk pada saat-saat mereka berjuang melawan orang-orang kafir dalam peperangan Badar yang terjadi pada 17 Ramadhan tahun itu.
Ayat 183 tersebut menjelaskan bahwa puasa di samping diwajibkan kepada kaum muslimin, tradisi olah psikis dan olah fisik ini juga diwajibkan kepada umat-umat dan bangsa-bangsa pada masa nabi-nabi sebelumnya.
Umat Nabi Musa as. Dan juga umat Nabi Isa as telah menerima kewajiban puasa sebulan Ramadhan (30 hari), namun mereka melakukan perubahan. Pendeta-pendeta di kalangan mereka menambahkan puasa sepuluh hari sehingga menjadi 40 hari. Suatu ketika salah seorang pendeta jatuh sakit. Umatnya lalu bernadzar, “jika Allah menyembuhkan dia, mereka akan menambah puasa sepuluh hari lagi”, sehingga menjadi 50 hari. Berpuasa 50 hari ini dirasa terlampau berat bagi mereka bila jatuh di musim panas. Mereka menderita karenanya, kemudian mereka pindahkan puasa itu ke musim semi.
Nabi Musa as., diperintahkan untuk melakukan puasa selama 40 hari sebagai syarat meneri wahyu berupa kitab Taurat. Pemimpin bani Israel ini melakukan puasa dari 1 Dzulqa’dah sampai 10 Dzulhijjah. Taurat diterima Nabi Musa as., bersamaan pada hari raya kurban (Idul Adha). Puasa 40 hari ini lalu dilakukan oleh rohaniawan di antara orang-orang Yahudi sampai kini. Merka puasa hari kesepuluh pada bulan ketujuh menurut perhitungan mereka (Q., Surat al-A’raf; 142).
Selain puasa 40 hari, orang Yahudi atau bani Israel dahulu juga melakukan ritual puasa beramai-ramai dalam rangka meredakan kemarahan Tuhan atau sebagai ungkapan peneyesalan atas pembangkangan yang mereka perbuat, seperti pada hari-hari ketika mereka dikepung di padang pasir bernama Tih selama kurang lebih 40 hari. Sementara, umat Nabi Isa as., adanya tradisi puasa di kalangan mereka dapat diketahu dari Bibel, kitab yang disebut sebagai Perjanjian Baru (Matius 4; 16-18).
Puasa juga dilakukan oleh orang-orang Arab sebelum Islam, yaitu puasa pada hari Asyura. Setelah Rasulullah datang ke Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi juga berpuasa pada hari Asyura yang dimaksudkan sebagai peringatan atas selamatnya Nabi Musa dari kejaran Fir’un. Karena lebih berhak dalam meneladani Nabi Musa, beliau berpuasa pada hari itu dan menyuruh para sahabat berpuasa pula.
Bangsa-bangsa primitif yang tidak terjangkau oleh dakwah tiga agama besar (Yahudi, Nasrani, dan Islam), ternyata juga melakukan puasa. Bangsa Mesir Kuno misalnya, biasa melakukan puasa pada hari-hari besar mereka, sebagaimana kebiasaan para tokoh dan dukun bangsa Mesir melakukan puasa tujuh hari sampai enam minggu setiap tahunnya.
Bangsa Cina juga melakukan puasa pada hari-hari besar mereka dan pada hari-hari tertentu yang dianggap sebagai hari malapetaka. Mereka berpuasa ketika ada anggota keluarganya meninggal. Sebagian orang Cina tinggal di Tibet, bahkan berpantang makan selama 24 jam terus-menerus, tanpa berhenti sampai mau menelan ludahnya sendiri.
Bangsa Yunani mengambil tradisi puasa dari bangsa Mesir Kuno. Mereka berpuasa pada sebelum musim bunga dan sebelum masa panen. Sebagian mereka berpuasa beberapa hari berturut-turut sebelum berangkat menuju ke medan perang supaya memperoleh kemenangan. Bangsa Romawi dan Persia juga demikian.
Dalam agama Hindu, pengikut Brahma melakukan puasa selama 24 hari setahun atau 40 hari berturut-turut diserta dengan bacaan-bacaan kitab suci mereka. Pengikut Wisnu sangat berlebihan dalam puasanya, Ada yang tidur di atas paku menyiksa diri, berdiri terus tidak duduk, dan bahkan ada yang bergelimbungan di bawah terik matahari.
Dalam masyarakat Jawa Kuno, tradisi puasa sangat terkenal. Seakan-akan puasa sudah menjadi keakraban hidup mereka. Ada puasa mutih, puasa ngrowot, puasa patigeni, puasa ngalong, dan lain sebagainya.
 Terlepas dari sekian banyak tujuan dan latarbelakang umat dan bangsa terdahulu dalam berpuasa, tampaklah bahwa puasa  merupakan ajaran universal. Puasa seperti menjadi kebutuhan naluri, bahkan kebutuhan fitrah manusia. Uraian diatas menunjukkan bahwa tradisi puasa dalam sejarahnya sangat tua setua umur manusia itu sendiri. Hanya saja puasa dalam ajaran Islam konsep dan tata caranya lebih konkret dan elegan.
Tradisi puasa para Nabi dan umat-umat mereka dahulu yang kini dilestarikan oleh agama Islam membuktikan bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ini merupakan penerus yang murni dan konsekuen dari ajaran-ajaran para Nabi itu. Dan, semakin jelaslah bahwa agama Islam benar-benar sejalan dengan fitrah manusia.
Wallahu A’lam bi al-Shawab...  


0 komentar:

Posting Komentar