Jumat, 07 Juni 2013

GUS DUR; PROFIL SANG PEMIKIR (Seri Biografi 4)

Kebiasaan dan Riwayat Keluarga
 
Abdurrahman "Addakhil", demikian nama lengkapnya. Secara leksikal, "Addakhil" berarti "Sang Penakluk", sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas" (Barton, Greg. 2004:25)


Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan "darah biru". Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais 'Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia. (Barton, 2000:26)

Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca Negara tidak liput dari perhatiannya. Disamping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.

Disamping dikenal sebagai seorang budayawan, Gus Dur juga merupakan aktor politik yang handal, kecerdikan dan kepintaran Abdurrahman Wahid ini nampak dari cara ia berperan sebagai political player,  Abdurrahman Wahid benar-benar telah menjadi seorang ad-Dakhil. Tidak mengherankan bila berbagai pengharaan telah diperolehnya. Di antaranya pernah menerima penghargaan sebagai Man of The Year 1990 oleh majalah Editor. Abdurrahman Wahid memperoleh penghargaan Magsaysay dari Philipina, lantaran dinilai telah berhasil memainkan peran penting sebagai integrator bangsa, membangkitkan semangat kerukunan antar umat  beragama, dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap demokrasi.

Political Player yang Controversial

Salim Said dalam Asmawi (1999:155) mengakui bahwa Gus Dur adalah politikus paling ulung. Sejak era 1990-an di Indonesia hanya ada dua politikus sejati, yakni Pak Harto dan Gus Dur. Kini setelah Soeharto tidak lagi terjun dalam politik praktis, tinggal Gus Dur, yang ia anggap politikus paling ulung.

Predikat sebagai political player ulung sebagaimana disebut di atas tentu tidak semuanya sependapat. Mengingat di masyarakat memang ada dikotomi dalam melihat sosok Abdurrahman wahid. Ada yang memandang dengan kagum, sebaliknya ada yang memandang dengan sinisme. Bahkan terkadang lebih dari itu, Abdurrahman wahid tidak jarang dinilai sebagai inkonsisten, sekedar tampil beda,  munafik, agen zionis, anggota Partai Ba’ats (Irak), dan sebutan minor lainnya. Dikotomi penilaian ini tidak ada yang salah selama hal itu tetap dalam kerangka yang kritis dan proporsional, dengan selalu berusaha untuk mengedepankan obyektifitas.

Dianalogikan sebuah gunung, maka pendakian terhadapnya Abdurrahman wahid dengan segala manuver dan kontroversinya hendaklah ditempuh dengan banyak jalur.  Saran ini tentu saja tidak berlebihan, mengingat tanpa melakukan pendakian dari berbagai jalur, yang akan terjadi adalah bias penglihatan.

Sebagai tokoh yang selalu bersikap kontroversi, ke-anehan dan kevokalannya, dengan selalu mengedepankan watak inklusifisme, dan komitmennya dalam upaya menciptakan budaya yang demokratis, apa yang dilakukan Abdurrahman Wahid selama ini tanpaknya menelorkan hasil. Pada tingkat internal warga nahdliyin misalnya, sekarang sudah tumbuh budaya keterbukaan (inklusif), budaya untuk saling menghargai, dan toleran (tasamuh) terhadap perbedaan pendapat, perbedaan agama yang memang ciri khas dari sikap kemasyarakatan Nu. Di samping itu tampilnya Gus Dur  sebagai mantan  PB-NU, telah mengubah lanskap sosiologis yang menempatkan NU dalam kelompok konservatif atau tradisionalis.

Sebelum dipimpin Gus Dur, citra NU yang menonjol adalah sebagai organisasi Islam yang ekslusif dari pengaruh pemikiran kontemporer yang berkembang, konservatif dalam pemahaman keagamaan, dan fundamentalis dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Hanya dalam tiga periode kepemimpinannya, dia berhasil  mengubah citra NU menjadi inklusif, modern, dan moderat. Gus Dur juga sangat bersemangat   dalam memperjuangkan nilai-nilai demokratis dalam kehidupan politik nasional, sementara kata orang, yang bersangkutan belum tentu demokrat dalam pergaulan sehari-hari. Ini mungkin berkaitan dengan tradisi pesantren, di mana posisi kiai tak dapat diganggu gugat dan tidak biasa dikritik.

Pandangan yang menyebut Abdurrahman Wahid sebagai pejuang demokrasi rasanya tidak berlebihan bila menengok sepak terjang dan pemikirannya yang sarat dengan nilai-nilai demokrasi dan penguatan akar civil society. Menurut Gus Dur Demokrasi adalah keadaan tertentu yang memiliki beberapa ciri, antara lain harus bertumpu pada kedaulatan hukum dan memberikan perlakuan yang sama pada semua warga negara di hadapan undang-undang. Ini harus ditunjang oleh kemerdekaan berbicara, kebebasan berpikir dan sikap menghormati pluralitas pandangan. Lebih jauh lagi, ia berarti keharusan memelihara dan melindungi hak-hak pihak minoritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi semua hal itu mengacu kepada kepentingan umum yaitu kepentingan bersama sebagai bangsa dan negara. Dalam keadaan demokrasi itu berjalan sepenuhnya, orang tidak memiliki ketakutan akan berpendapat atau berkelakuan yang aneh-aneh. Kepentingan bangsa ditentukan oleh mayoritas pemberi suara dalam pemilihan umum yang diandaikan menjadi wahana “kedaulatan rakyat”. (www.gusdur.com)

Tokoh Islam yang sejak awal tidak mau bergabung dengan ICMI ini cendrung menempatkan perjuangan umat hanya sebagai bagian dari perjuangan untuk menciptakan kehidupan politik yang lebih demokratis di negeri ini. Menurutnya, yang terpenting sekarang ini adalah bagaimana mengokohkan mekanisme politik yang demokratis. Karena itu, ia tak pernah mempersoalkan tentang jumlah orang Islam yang duduk dalam pemerintahan maupun lembaga perwakilan (Afandi,1996:5)

Budayakan Demokrasi dan Civil Society

Beberapa sepak terjangnya setidaknya menjadi cerminan dari pemikiran dan obsesinya untuk menciptakan dan membudayakan demokrasi di satu sisi dan terciptanya civil society yang kuat di sisi lain.  Pertama, kasus pencabutan SIUPP Monitor 1990, lantaran polling yang menghebohkan yang dinilai melecehkan Rasulullah Muhammad. Di kata hampir semua ummat Islam mengecam dan menuntut dibrendelnya Monitor, Abdurrahman Wahid justru tampil “membela” dan mengecam keras pembredelan Monitor. Menurutnya dengan menuntut pembredelan Monitor, maka sama artinya memberikan otoritas dan membenarkan perilaku pemerintah ketika itu yang suka melakukan pembrendelan. “Pembelaan” nya terhadap Monitor bukan lantaran Abdurrahman wahid tidak marah atas polling Monitor, namun karena sikap ummat Islam yang terkesan mau main hakim sendiri, termasuk menuntut  pencabutan SIUPP yang sama sekali tidak demokratis.

Kedua, kelahiran ICMI pada tahun 1990 menurut pandangan Abdurrahman Wahid sarat akan nuansa sektarian. Nuansa ini dalam banyak hal menurutnya cukup mengganggu kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Karenanya Abdurrahman wahid menolak kehadiran ICMI, termasuk ikatan-ikatan cendikiawan lainnya yang juga mengedepankan primodialisme keagamaan. Respon atas penolakannya ini, selain ditunjukkan dengan sikapnya yang tidak mau bergabung dengan ICMI, juga dengan mendirikan Forum Demokrasi.

Ketiga, pasca politik “sapu bersih” pemerintah dalam Peristiwa 27 Juli 1996. sesudah peristiwa berdarah ini, suara-suara kritis yang tadinya begitu keras, hilang seketika. Masyarakat juga dibuat ketakutan luar biasa. Dalam suasana mencekam ini, Abdurrahman wahid tampil dengan mendirikan “posko pengaduan” bagi mereka yang merasa kehilangan sanak keluarganya, mengalami kerugian fisik maupun harta benda. Gus Dur sendiri menjadi relawan dalam posko tersebut.
Dan keempat, pembelaannya terhadap kelompok minoritas. Pembelaan terhadap keluarga Kong Hu Chu dalam persidangannya di PTUN  Surabaya, yang kebetulan perkawinannya tidak diakui pemerintah, lantaran mereka tetap bersikukuh hati untuk menggunakan agama mereka, kong Hu Chu, setidaknya menjadi bukti kepedulian Abdurrahman wahid pada kelompok minoritas.

Sepak terjang Abdurrahman wahid dalam menegakkan demokrasi ini tampaknya sangat dipengaruhi oleh pemikiran “liar”-nya yang selalu mengedepankan nilai-nilai inklusifisme, selalu berusaha untuk mengambil “jalan tengah” (moderat).

Abdurrahman Wahid mengartikan demokrasi sebagai kondisi di mana kebebasan berpendapat yang benar-benar dijamin undang-undang, sebab menurutnya, kebebasan merupakan salah satu esensi demokrasi. Adanya kebebasan untuk berorganisasi dan berserikat, adanya kebebasn berpegian, masuk, dan keluar negeri tanpa harus dikaitkan dengan masalah politik. Orang yang mengeritik pemerintah sekeras apapun, menurut Abdurrahman Wahid bukan merupakan alasan bagi pemerintah untuk melakukan “cekal”. (Abdurrahman Wahid dalam  Murod, 1999:185).

Selain itu, menurut Gus Dur demokrasi juga mensyaratkan beberapa hal, yaitu : pertama rasa tanggung jawab pada kepentingan bersama,  kedua, kemampuan menilik masa depan, dan ketiga, kesediaan berkorban bagi masa depan. Dan ini semua menurut Gus Dur membutuhkan adanya kerelaan, dan keinginan untuk melakukan sesuatu tanpa harus diberi imbalan karena “kerelaan” inilah sebenarnya hakekat dari demokrasi. Jadi demokrasi adalah sesuatu yang dilakukan dengan rela (dalam  Murod, 1999:158).

Gagasan Gus Dur dalam Komunikasi politik

Pada dasarnya, gagasan besar Abdurrahman Wahid ldalam komunikasi politik lebih diletakkan pada upaya membangun pemikiran liberal mengenai agama, negara dan masyarakat. Gagasan-gagasan liberal terhadap persoalan tersebut merupakan konsekuensi logis dipilihnya paradigma liberal dalam memberikan penafsirannya atas wacana-wacana yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam merespon derasnya arus modernitas, Abdurrahman Wahid lebih banyak bersikap positif dan fleksibel. Bagi Abdurrahman Wahid, watak pluralistik dan multi-kommunal masyarakat Indonesia modern harus dihormati dan dipertahankan dari kecenderungan-kecenderungan sektarianistik. Fakta pada hampir semua realitas kekerasan yang terjadi di negeri ini lebih menonjolkan dimensi sektarian yang anti pluralitas.

Salah satu yang menonjol dari pemikiran Abdurrahman Wahid adalah kemampuannya untuk mengombinasikan apa yang terbaik di dalam nilai-nilai modernitas dan komitmennya terhadap rasionalitas dan keulamaan maupun kebudayaan tradisional.

Liberalisasi pemikiran Abdurrahman Wahid dapat terlihat secara jelas dalam berbagai bentuk gagasan besarnya, yang dianggap oleh banyak pengamat keluar dari jalur kelaziman, utamanya dari logika arus mainstream yang berkembang pada zamannya. Tidak berlebihan bila Hakim (1993:86) mengatakan bahwa cara untuk memahami pemikiran Abdurrahman Wahid adalah dengan tiga kata kunci, yaitu liberalisme, demokrasi dan universalisme.

a.    Universalitas  Nilai-Nilai kemanusiaan
Salah satu pemikiran Abdurrahman Wahid yang (paling) menonjol adalah komitmennya untuk mengeluarkan gagasan tentang perlunya ditegakkan kemanusiaan dalam masyarakat. Hal ini sebenarnya tampak dalam kesukannya pada musik, utamanya pada musik yang berisikan nilai-nilai perdamaian dan persaudaraan manusia.

Terlepas dari kegemaran tersebut, pandangan Abdurrahman Wahid tentang nilai kemanusiaan adalah penting untuk dikedepankan. Dalam keseluruhan konstelasi pemikiran Abdurrahman Wahid, pandangan tentang nilai ini telah menjadi titik tolak dalam menelusuri alur atau paradigma pemikirannya. Baginya, penghayatan atas nilai-nilai kemanusiaan adalah inti dari ajaran agama. Tanpa nilai-nilai tersebut, dunia hanya dipenuhi oleh berbagai bentuk kekerasan dan konflik sosial.  

b.    Makna Keadilan dalam Pluralitas  Masyarakat
Abdurrahman Wahid, di samping terkenal dengan konsep humanisme universalnya, ia juga berusaha untuk mengedepankan nilai-nilai keadilan sosial di tengah masyarakat plural. Keadilan harus ditegakkan tanpa memandang etnisitas dan agama. Prinsip ini seolah sebagai kelanjutan dari visi humanisme yang dikembangkannya yang bersifat universal tanpa memandang sekat-sekat agama.

Abdurrahman Wahid sangat menginginkan dijunjung tingginya nilai dasar dalam membangun masyarakat, yaitu keadilan, persamaan dan demokrasi. Upaya menjunjung tinggi dasar tersebut adalah meninggalkan formalisasi agama di tengah-tengah masyarakat plural, sebagaimana yang terjadi di indonesia. Baginya, masyarakat seharusnya dirangsang untuk tidak terlalu memikirkan manifestasi simbolik dari agama dalam kehidupan, akan tetapi lebih mementingkan esensinya. Keadilan, baginya, adalah milik semua agama, dan harus ditegakkan oleh umat beragama.

c.    Makna Kebudayaan dalam Pluralitas Masyarakat
Persoalan lain yang menjadi perhatian utama dalam pemikiran Gus Dur adalah perihal hubungan agama dan kebudayaan. Sebagaimana hubungan agama dan negara yang masih problematik, bagi Gus Dur dalam konteks ke-Indonesia-an, hubungan antara agama, negara, dan kebudayaan ternyata masih juga memunculkan masalah serius.

Pemikiran tentang relasi agama, negara dan kebudayaan merupakan salah satu perhatian utama pemikiran dan aksi politik Gus Dur, yang sama besarnya dengan persoalan lain. Berbagai problem kebudayaan yang seringkali hadir dalam realitas masyarakat selalu membuatnya gelisah, apalagi ketika problem tersebut dibenturkan dengan keyakinan agama serta diletakkan dalam rangka uniformitas kebudayaan.

Gus Dur memiliki suatu pandangan bahwa kebudayaan sebuah bangsa pada hakikatnya adalah kenyataan yang majemuk dan pluralistik. Penyeragaman atau sentralisasi kebudayaan (sebagaiman yang telah dipraktekkan oleh negara) merupakan suatu tindakan yang dianggapnya tidak berbudaya (Santoso :2004:118). Karenanya, sebuah entitas budaya yang berlingkup lebih luas, seperti kebudayaan sebuah bangsa, haruslah memiliki wajah pluralitas dan menghargai kemajemukan. Gagasannya terhadap persoalan ini adalah perlunya dikembangkan sebuah kebijaksanaan pengembangan desentralisasi kebudayaan.

d.    Progresivitas Pemikiran Ke-Islam-an
Pada dasarnya pemikiran liberal dan liberalisasi pemikiran Gus Dur sudah diteliti, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Greg Barton adalah orang yang mungkin pertama kali melakukan penelitian atas pemikiran liberal Gus Dur, yang kemudian dituangkan dalam bukunya yang monumental ”the Emergence of Neo-modernisme A progressive, Liberal Movement of Islamic thought in Indonensia”. Greg Barton mengemukakan beberapa aspek liberal dalam pemikiran Gus Dur (Santoso :2004:124), baik yang menyangkut tentang kekuatan Islam Tradisional dan sistem pemerintahan, keberaniannya dalam mengatakan kelemahan Islam Tradisional di Indonesia, unsur-unsur dinamisasi pesantren sebagai kekuatan untuk menanggapi lahirnya tantangan moderenitas, pluralisme, maupun persoalan tentang humanitarianisme.

Liberaliasme pemikiran Gus Dur disadari merupakan gaya pikir divergen, yang menjelajah keluar dari cara-cara berpikir konvensional (seperti lazimnya) (Santoso, 2004:124). Gagasan dalam pemikirannya memang cenderung melompat-lompat, sehingga ritmenya sering dipahami tidak beraturan. Tapi mainstream utama yang dibidik adalah agar pemahaman dan pengetahuan keagamaan dan sikap politik umat tidak stagnan. Setiap bentuk pengetahuan dan pemahaman harus bisa dilihat secara kritis sehingga dapat memunculkan kritis atas hal tersebut.

Menurut Mujamil Qomar dalam Santoso (2004:125) bahwa Gus Dur adalah orang yang sangat yakin atas kesempurnaan Islam, tapi ia berbeda dengan pandangan ulama pada umumnya yang mengira bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan hidup sudah lengkap dibahas dalam Al-Quran.


Daftar Pustaka

Barton, Greg. 2004. Biografi Gus Dur (The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid). Terjemahan: Lie Hua. Cetakan IV, LkiS, Yogyakarta
Asmawi, 1999. PKB Jendela Politik Gus Dur. Titian Ilahi Press, Yogyakarta.
Murod, Ma’mun. 1999. Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amien Rais tentang Negara. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hakim, Arief. 1993. Politik NU dan Era Globaliasi Gus Dur. LPLI Sunan Ampel, Surabaya
Santoso, Listiyono. 2004. Teologi Politik Gus Dur.Ar-Ruzz Media, Jogjakarta.

Sumber; http://www.sarjanaku.com

0 komentar:

Posting Komentar