POLA PEMAHAMAN AGAMA
DAN PERILAKU EKONOMI MASYARAKAT PERAJIN TEMPE
DI KELURAHAN PURWANTORO KECAMATAN BLIMBING MALANG
Oleh
MUHTADI RIDWAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ada tiga hal yang menjadi
perhatian dalam penelitian ini yang terkait dengan fenomena masyarakat di Kelurahan
Purwantoro Kecamatan Blimbing Kota Malang, khususnya dua wilayah RW lingkungan
Sanan, yaitu RW 15 dan RW 16. Kedua RW tersebut dipilih dari 24 RW yang berada di
bawah wilayah Kelurahan Purwantoro dengan alasan tertentu. Kedua wilayah RW
tersebut ditentukan sebagai situs penelitian ini untuk mengungkap dua fenomena
yang menjadi permasalahan penelitian, yakni fenomena sosial keagamaan
dan fenomena sosial ekonomi. Selain itu fenomena lain yang menarik adalah
masalah kemiskinan yang terkait dengan perilaku ekonomi masyarakat.
Fenomena
sosial keagamaan. Kelurahan Purwantoro adalah salah satu dari 11 kelurahan di
bawah wilayah Kecamatan Blimbing Kota Malang yang mempunyai banyak keunikan. Keunikan
tersebut antara lain adalah jumlah penduduk, jumlah Rukun Tetangga (RT) dan Rukun
Warga (RW)-nya terbanyak diantara 11 kelurahan lainnya dengan pemeluk agama
Islam terbanyak nomor dua setelah Kelurahan Bunulrejo. Ketersediaan sarana kegiatan
keagamaan yang melebihi kelurahan lainnya juga cukup dapat dipakai sebagai
bukti bahwa masyarakat Kelurahan Purwantoro adalah suatu komunitas masyarakat
agamis.
Demikian halnya dengan RW 15 dan RW 16 lingkungan Sanan. Dua RW yang masuk
wilayah Kelurahan Purwantoro ini mayoritas penduduknya juga beragama Islam.
Menurut penuturan dari kedua Ketua RW tersebut hanya ada dua anggota rumah
tangga yang berjumlah masing-masing 4 orang yang beragama Kristen.[1] Wilayah kedua RW di lingkungan
Sanan dikenal sebagai Kampung Sanan
dan juga sering disebut sebagai Kampung Santri dan Kampung Industri. Oleh karenanya masyarakat di kedua
wilayah RW yang berpenduduk 3417 jiwa dengan 904 rumah tangga juga dikenal
sebagai masyarakat santri dan masyarakat industri. Predikat ini
sebenarnya berasal dari peneliti sendiri yang secara kebetulan sekitar 25 tahun
(1985-2000) sebagai warga Sanan dan sejak itu pula sampai sekarang masih selalu
terlibat dalam kegiatan sosial keagamaan di Sanan.[2]
Sebutan ini tidak terlalu
berlebihan, setidaknya ada beberapa dasar dari hasil pengamatan dan data yang
terungkap. Pertama, dari segi ketersediaan sarana yang menunjang
kegiatan keagamaan sudah cukup memadai. Kedua, dari segi kegiatan
keagamaan, di kedua RW tersebut dapat dikatakan sangat padat. Hampir tidak ada
waktu terutama malam hari yang tidak terisi dengan kegiatan keagamaan. Ada dua
model kegiatan yang dapat dikemukakan, yaitu kegiatan yang diikuti secara
bersama-sama oleh masyarakat kedua RW tersebut, dan kegiatan yang dilakukan
secara sendiri-sendiri oleh masing-masing komunitas.
Kedua; fenomena sosial ekonomi. Dari aspek ini Kelurahan Purwantoro
sebagaimana pernah dikemukakan oleh Gubernur Jawa Timur seusai menghadiri
Perayaan Paskah Bersama 2009 di Gelora Olah Raga (GOR) Ken Arok Malang 27 April
2009, bahwa kota Malang termasuk daerah paling makmur di Jawa Timur,
karena tingkat pertumbuhan ekonomi Kota
Malang pada 2008 melebihi angka nasional, yaitu dengan nilai pertumbuhan
ekonomi sebesar 6,7 persen. Fakta yang menarik lagi bahwa Kelurahan Purwantoro,
khususnya Sanan, justru sebagai kontributor terbesar.[3]
Prestasi lainnya adalah pada 2007 Kelurahan Purwantoro berhasil meraih
juara I kelurahan terbaik Jawa Timur berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa
Timur nomor: 188/261/KPTS/013/2007. Pada tahun yang sama sebagai juara I
mewakili Jawa Timur di tingkat nasional, dan berhasil sebagai juara I tingkat
nasional.[4]
Hal yang menonjol dan mendapat
perhatian serius oleh tim, adalah adanya sentra industri tempe yang berada di
lingkungan Sanan yang mencakup dua RW, yaitu RW 15 dan RW 16. Sedikitnya ada
600 warga yang menggantungkan penghidupannya di bidang produksi tempe ini. Data yang cukup mencengangkan diungkap Badar, bahwa dalam
sehari, di Sanan menghabiskan 18 hingga 20 ton kedelai sebagai bahan membuat
tempe. Dengan asumsi harga perkilo Rp 4 ribu, maka minimal ada perputaran uang
di Sanan sebesar Rp 80 juta perhari dari sektor ini. “Ini hanya yang tercatat
pada Primer Koperasi Tahu Tempe (Primkopti) Bangkit Usaha yang berada di Sanan
Malang yang mensuplai kedelai kepada warga. Belum mereka yang membeli di luar”.[5]
Hampir 90 persen warga Kampung
Sanan menggeluti industri rumah tangga yang memproduksi tempe kedelai. Selain
dijual di pasar, ada juga yang diolah kembali untuk menjadi keripik.[6] Proses pengolahan tempe rupanya
membuat Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) penasaran, dan menengok sentra
produksi tempe tersebut. SBY menghabiskan waktu 45 menit di kawasan yang
memiliki usaha pengolahan panganan tempe skala industri rumah tangga itu. SBY
juga menyempatkan mampir di beberapa toko yang menjual aneka keripik tempe dan
berbincang dengan pemilik usaha sekaligus melihat proses pengolahan tempe.[7]
Fenomena lainnya adalah masalah kemiskinan. Fenomena ini perlu diungkap untuk
mengetahui hal-hal yang mempengaruhi
kaitan antara pemahaman agama dan perilaku ekonomi masyarakat. Bila dilihat dari potensi
ekonomi sebagaimana uraian di atas, terdapat kondisi berbalik ketika dalam
kenyataannya menurut data angka kemiskinan yang bersumber dari Badan Pusat
Statistik (BPS) Malang 2007, Kelurahan Purwantoro menduduki urutan kedua
tertinggi dari sebelas kelurahan di Kecamatan Blimbing, yaitu 614 rumah tangga
miskin dengan rincian 448 rumah tangga
hampir miskin, 144 rumah tangga miskin dan 22 rumah tangga sangat miskin
Angka fantastik kemiskinan
tersebut juga ditemukan di kedua RW tersebut, yakni RW 15 dan RW 16. Menurut
data dari Kelurahan Purwantoro, pada 2007 jumlah keluarga miskin di RW 15
berada pada posisi ketiga dari 24 RW, yaitu 58 kepala keluarga (KK) dengan
jumlah warga 247. Sedangkan RW 16 justru pada angka tertinggi, yaitu 151 KK
dengan jumlah warga 558. Pada 2008 jumlah keluarga miskin di RW 15 masih tetap
seperti pada 2007, yaitu 58 dengan jumlah warga 248, tetapi justru berada pada
posisi kedua. RW 16 masih pada posisi tertinggi walaupun jumlahnya menurun,
yaitu 149 KK dengan jumlah warga 557. Pada 2009 jumlah keluarga miskin di RW 15
menurun pada posisi keempat dengan jumlah warga semakin sedikit, yaitu 76 KK
dengan jumlah warga 156. RW 16 jumlah keluarga semakin menurun, tetapi
posisinya masih yang paling tinggi, yaitu 119 KK dengan jumlah warga 320.
Berdasarkan uraian ketiga
fenomena di atas menunjukkan bahwa tingkat keberagamaan masyarakat di wilayah
RW 15 dan RW 16 lingkungan Sanan
Kelurahan Purwantoro Kecamatan Blimbing Kota Malang tergolong masyarakat
taat beragama, atau masyarakat santri sebagaimana diutarakan di atas.
Setidaknya dilihat dari ketersediaan sarana kegiatan keagamaan yang sangat
memadai dan frekuensi kegiatan keagamaan yang hampir tiada henti terutama pada
malam hari. Artinya, bahwa secara ideal semestinya tidak ada masyarakat yang
perilakunya menyimpang dari ajaran agama.
Namun menurut pengamatan peneliti
dan beberapa pengakuan masyarakat ternyata masih ada beberapa warga yang
berperilaku tidak sesuai dengan ajaran agama Islam seperti bermain judi,
narkoba, tradisi selamatan yang berlebihan, minuman keras, terlibat dengan
rentenir dan sebagainya, sebagaimana pengakuan beberapa tokoh masyarakat sebagai
berikut:
Walaupun sudah berkurang, tetapi
ada beberapa warga yang masih melakukan perbuatan yang semestinya tidak
dilakukan oleh orang Islam. Justru beberapa diantaranya sangat aktif mengikuti
kegiatan keagamaan, yaitu aktif mengikuti acara tahlil rutin, istighasah, khataman al-Qur’an, dan
pengajian.[8]
Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah apakah predikat santri yang disandang oleh masyarakat Sanan, telah atau
belum membentuk mereka menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dalam perilaku
ekonomi yang mereka tekuni? Atau apakah predikat santri tersebut juga sudah
atau belum mempengaruhi pemahaman keagamaan secara benar sehingga berimplikasi
terhadap perilaku ekonomi mereka?
Selain aktif dalam kegiatan
keagamaan, masyarakat Sanan juga termasuk pekerja keras, sabar dan ulet. Hal
ini nampak pada perilaku keseharian mereka dalam menjalankan usaha sebagai
perajin tempe dan usaha lainnya, yaitu setiap hari menekuni usahanya yang sudah
dilakukan secara turun menurun. Menurut data di RW 15 terdapat 184 pembuat
tempe dengan melibatkan 193 tenaga kerja, 46 pembuat dan penjual kripik tempe
dengan melibatkan 210 tenaga kerja, dan 46 peternak sapi dengan melibatkan 79
tenaga kerja[9].
Sedangkan di RW 16 terdapat 98 pembuat
tempe dengan melibatkan 97 tenaga kerja, 11 pembuat dan penjual kripik tempe dengan melibatkan 51
tenaga kerja, dan 17 peternak sapi dengan melibatkan 29 tenaga kerja. dengan
realitas angka kemiskinan di kedua wilayah RW tersebut, maka semestinya angka
tersebut tidak akan terjadi sebesar itu, karena menurut perhitungan sudah
hampir tidak ada masyarakat yang menganggur. Hal ini justru diakui sendiri oleh
kedua ketua RW dengan menyatakan bahwa:
Kalau dilihat dari kondisi
keluarga Sanan, baik keadaan rumah maupun barang-barang yang dimiliki dan
penghasilan yang diperoleh kemudian dikaitkan dengan persyaratan kategori
keluarga miskin menurut pemerintah, sudah tidak ada lagi yang miskin, atau
paling tidak angka kemiskinan tidak sebesar data yang ada. Tetapi mau apalagi,
dan sayang kalau kesempatan yang diberikan pemerintah tidak diambil, di samping
masyarakat sendiri justru mau menerimanya, atau justru ada yang meminta untuk
didaftar.[10]
Pertanyaannya adalah bagaimana
masyarakat Sanan yang berpredikat sebagai masyarakat santri dan masyarakat
industri memahami kemiskinan? Menurut
pemantauan sepintas, nampaknya masyarakat Sanan mengidentikkan kemiskinan
dengan bantuan, dan karena bantuan tersebut bersumber dari pemerintah, maka bantuan tersebut berbeda
dengan bentuk bantuan menurut ajaran agama Islam yang menjadi hak fakir miskin,
seperti sedekah, zakat, infaq dan lain
sebagainya. Dua
pokok pertanyaan di atas, menunjukkan adanya persoalan yang perlu dikaji secara mendalam, yaitu
menyangkut pemahaman keagamaan masyarakat di Sanan yang berimplikasi terhadap
perilaku ekonomi mereka, baik aspek produksi, konsumsi dan distribusi.
Dalam rangka mengkaji secara
mendalam fenomena yang telah diungkapkan di atas, peneliti banyak merujuk pada
studi-studi terdahulu yang relevan digunakan sebagai referensi dan pembanding. Studi-studi
terdahulu tersebut antara lain studi Max Weber (1905) yang merumuskan hubungan
rasional antara etos kerja dan kesuksesan suatu bangsa dalam buku klasiknya, The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Gagasan Weber tersebut
adalah sebuah hasil riset pada awal abad ke-20 yang awalnya berbentuk jurnal
dalam bahasa Jerman dengan judul Die Protestantische Ethik und der 'Geist'
des Kapitalismus. Weber mencoba melihat etos bangsa Jerman dengan bertindak
rasional, berdisiplin tinggi, bekerja keras, berorientasi sukses secara materi,
tidak mengumbar kesenangan, hemat dan sederhana, menabung serta berinvestasi[11].
Weber menganalisis bahwa perubahan masyarakat Barat
menuju kemajuan ekonomi tidak hanya disebabkan oleh kelompok bisnis dan
pemodal. Dalam penelitiannya, sebagian dari nilai keberagamaan Protestan
memiliki aspek rasionalitas ekonomi dan nilai-nilai tersebut dirujukkan pada
spirit keagamaan. Semangat membangun kemandirian ekonomi secara individual dari
doktrin-doktrin tersebut telah ikut membangun peradaban kapitalisme awal secara
massif, padahal semangat etik ini bukan sebuah gerakan sistemik dan
teroganisasi yang memunculkan Protestanisme dan Calvinisme dengan
doktrinnya yang menekankan sikap puritan dan asketik, memungkinkan terjadinya
perubahan struktur ekonomi yang mendasar.[12]
Tesis yang diperkenalkannya sejak 1905 mengatakan bahwa
ada hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi.[13] Apa yang dikatakan Weber
dalam tesisnya ”Etika Protestan” rupanya memiliki kongruensi dengan yang
terjadi di Islam. Cukup banyak studi yang membahas masalah perilaku ekonomi dan
semangat keberagaman dalam konteks Islam dan sebagian di antaranya merujuk pada
studi Weber ini.
Studi Clifford
Geertz adalah tentang etos kerja dan perilaku ekonomi kaum muslim
reformis-puritan. Dalam konteks masyarakat Muslim, penelitian Clifford
Geertz[14] bisa dijadikan satu
rujukan lainnya. Dalam salah satu riset di Kediri, Jawa Timur pada awal 1960an,
Geertz menemukan banyak pengusaha di kota kecil tersebut yang berafiliasi pada
organisasi Islam modernis. Mereka adalah kaum santri yang sangat taat
menjalankan ibadah. Di samping itu, dalam bekerja mereka memiliki tingkat
kedisiplinan yang tinggi, senantiasa bekerja keras, hemat atau jauh dari
perilaku konsumtif. Menurut Geertz, perilaku ekonomi ini dipengaruhi dengan
pemahaman kalangan santri modernis ini terhadap ajaran Islam.[15]
Geertz menilai bahwa kemajuan
perekonomian di Mojokuto bukanlah semata-mata semangat “Etika Protestan” yang
khas seperti kerja keras, sifat hemat, kebebasan dan tekat balut yang
berlebihan, namun kemajuan di kota itu dikarenakan kekuatan organisasinya.
Kemajuan ekonomi efektif di Mojokuto bergerak dari ekonomi pasar dan aliran
perdagangan seluruhnya terpecah menjadi sejumlah besar transaksi kecil
antarpribadi yang saling berhubungan menuju ekonomi perusahaan.[16]
Studi lainnya dilakukan oleh
Robert N Bellah di Jepang. Penelitian ini mencoba mencari relasi antara agama dan
persoalan perkembangan ekonomi dalam masyarakat. Studinya tentang The
Religion of Tokugawa, merupakan salah satu rujukan sosiologi agama terpopuler
abad ini. Dalam penelitian itu, Bellah membeberkan sistem religi atau
kepercayaan sangat mempengaruhi etos kerja masyarakat Jepang. Bellah berusaha
menemukan faktor-faktor yang menunjang keberhasilan Jepang menjadi masyarakat
industri modern. Jepang
merupakan satu-satunya bangsa non Barat yang mampu dengan cepat
mentransformasikan dirinya menjadi negara industri, yaitu suatu masyarakat yang
memiliki peranan ekonomi yang sangat penting dalam sistem sosialnya, dan
peranan penting nilai-nilai ekonomi dalam sistem nilainya.
Bellah mengembangkan teori Weber
dalam kajian subsistem-subsistem fungsional dalam sistem sosial dengan mencoba
melihat prestasi (quality) dan bawaan (ascription) dengan
sifat-sifat ekonomi yang disebut sebagai nilai ekonomis. Kemudian sistem
motivasi atau budaya sebagai nilai-nilai budaya dan politik sebagai nilai-nilai
politis, serta sistem integratif
atau institusi sebagai nilai-nilai integratif dijadikan sebagai unsur yang
universal dan partikular untuk melihat pola utama (performance, achievement,
dan quality).[17]
Studi Bellah yang dipengaruhi
oleh karya Max Weber mempertanyakan kemungkinan adanya faktor-faktor religius
di masyarakat Jepang yang mirip dengan etika Protestan pada masyarakat Barat
yang memicu keberhasilan ekonomi bangsa Jepang. Setelah diteliti, masyarakat
Jepang pramodern telah dibentuk dengan etika yang bersumber pada era sebelum Tokugawa. Etika
ini berkembang sedemikian rupa pada masa Tokugawa, dan mempersiapkan masyarakat
Jepang untuk mengalami kemajuan yang pesat pada masa Meiji.
Sobary mencoba menjembatani tesis
Weber tentang etika protestan di masyarakat muslim di Indonesia. Dalam bukunya
yang berjudul Etika Islam: Dari Kesalehan Individual Menuju Kesalehan Sosial
(2007) Sobary melihat adanya etos kerja dan gerakan wirausaha yang bangkit dari
kesadaran keberagamaan. Tesis ini mengkaji keadaan sosio-religius masyarakat
Suralaya, sebuah perkampungan Betawi di perbatasan antara Jakarta dan Jawa
Barat.
Penelitian Sobary membuktikan bahwa tesis Weber tidak
sepenuhnya bisa diterima “apa adanya”. Tesis Weber mengambil penelitiannya
adalah pengusaha menengah dan atas yang mempunyai konstruksi pemikiran yang
maju karena didukung basis pendidikan yang cukup. Penelitian ini melengkapi
kajian Clifford Geertz di Mojokuto, James T. Siegel di Aceh, dan Lance Castle
di Jawa (santri). Ketiga peneliti ini juga berasumsi spirit keagamaan (Islam)
berpengaruh pada spirit berwirausaha. Ketiganya juga menjelaskan bahwa ternyata
mereka “gagal” bersaing dengan korporasi dagang yang dibangun oleh masyarakat
China. Terbukti, hingga sekarang, kantong-kantong perdagangan besar di
Indonesia banyak dikuasai oleh warga keturunan China.
Muslim Suralaya, dalam studi Sobary, memiliki tafsir
keagamaan yang berorientasi duniawi. Bagi mereka, agama Islam tidak melulu
mengharuskan pemeluknya beribadah secara ritual dan simbolik belaka, tapi Islam
juga mewajibkan pemeluknya untuk mengejar kesejahteraan ekonomi, justru untuk
meninggikan agama Islam itu sendiri. Jadi, muslim Suralaya memandang Islam
seperti Calvinisme ala Weber yang memandang bahwa ibadah tak hanya
sebatas ritus, namun dalam hal ekonomi juga terkandung nilai-nilai ibadah.
Namun kadarnya memang tidak sekuat Calvinisme yang digambarkan oleh
Weber.
Temuan Sobary menunjukkan bahwa penduduk Suralaya
bernasib beda dengan di Barat, meskipun sama memiliki pemahaman mengenai peran
agama sebagai etika perkembangan ekonomi. Kalau di Barat, Etika Protestan mampu
mengangkat mentalitas kapitalisme dalam banyak kalangan dan berkembang menjadi
kapitalisme modern. Berbeda dengan penduduk Suralaya yang tetap kurang
mengalami keberuntungan ekonomi secara maksimal, karena diakibatkan oleh faktor
struktural dan non struktural.[18]
Penelitian yang dilakukan Irwan
Abdullah merupakan sebuah hasil studi antropologi yang informatif, mendalam,
dan menarik tentang perekonomian rakyat di kota kecil di Klaten, Jawa Tengah.[19] Tujuan penelitian ini
untuk memahami fenomena keberhasilan bisnis muslim Jatinom dan pendukungnya
dalam konteks perubahan sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Irwan Abdullah
ini sebenarnya terinspirasi oleh tulisan Max Weber dalam The Protesten Ethic
and The Spirit of Capitalism. Dimana dikatakan, bahwa dalam masyarakat Protestan
Sekte Calvinas, Weber menyimpulkan bahwa agama memberikan dorongan moril
cukup kuat terhadap pertumbuhan perekonomian. Dalam arti agama dapat memberikan
pengaruh terhadap kemajuan dan perkembangan ekonomi.
Hasil yang diperoleh dari
penelitian Irwan Abdullah adalah agama menjadi faktor kekuatan signifikan dalam
perubahan sosial dan ekonomi di Jatinom. Kekuatan masyarakat Jatinom dalam
melakukan bisnis di samping dipengaruhi spirit agama, juga dipengaruhi faktor
budaya turun temurun. Di samping itu keberhasilan pembisnis muslim Jatinom
disebabkan karena tidak adanya persaingan dengan etnis Cina atau absennya para
pedagang dari kalangan mata sipit.
Dari beberapa penelitian di atas
masih ada beberapa persoalan yang belum terungkap dalam melihat persoalan yang
terkait dengan pemahaman keagamaan terhadap aktivitas perekonomian, khususnya
dalam ranah Islam tradisional. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha
mengungkap masalah-masalah baru yang belum pernah diteliti dan berusaha mencari
celah beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.
Apabila ada sebagian yang memiliki kesamaan, penelitian ini berusaha
mengembangkan dan memperdalam temuan lebih lanjut.
Peran agama dalam berekonomi
tidak hanya ditemukan pada lingkungan masyarakat yang tergolong modern, tetapi
pada masyarakat yang masih tergolong primitif pun, justru sangat merasakan
pentingnya pemahaman dan praktik nilai-nilai agama (religi) dalam
membangkitkan semangat berekonomi penganutnya. Hal ini sesuai dengan hasil
studi Radam[20] dalam Religi Orang
Bukit pada penduduk asli Kalimantan Selatan, yang menemukan bahwa religi
memberikan tujuan dan arah keberadaan orang-orang dan selanjutnya memberikan
penekanan yang kuat pada nilai kepribadian. Religi dapat memperkuat (mengintensifkan)
kesanggupan manusia berbuat, dengan cara memberikan keyakinan terhadap
kemampuan dirinya sendiri, dalam semua aspek kehidupannya, termasuk dalam
berekonomi. Kesalingtergantungan antara sistem religi dan sistem ekonomi
terlihat dalam cara memproduksi dan mengkonsumsi. Dalam memproduksi, setiap
orang diwajibkan untuk menanam dua macam padi, yakni padi biasa untuk dimakan
dan padi ketan untuk sesajen.
Beberapa hasil studi yang telah
dikemukakan menunjukkan bahwa agama memiliki peran dalam membangkitkan semangat
dan keberhasilan dari para pelaku ekonomi. Seperti dikatakan Karim[21] bahwa perekonomian umat Islam
baru dapat maju, bila pola pikir dan pola laku muslimin dan muslimat sudah itqān
(tekun) dan iḥsān
(profesional). Sesuai dengan sabda Nabi, “Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak,”[22] karena akhlak (perilaku)
menjadi indikator baik-buruknya manusia. Baik buruknya perilaku bisnis para
pengusaha menentukan sukses-gagalnya bisnis yang dijalankannya. Demikian pula
dengan pandangan Naqvi[23] bahwa salah satu kekhasan
perekonomian Islam karena muatan norma moralnya.
Berdasarkan uraian di atas,
penting kiranya mengkaji secara mendalam tentang aktivitas ekonomi yang
menyangkut produksi, konsumsi dan distribusi yang dilakukan secara benar,
sesuai dengan nilai-nilai agama (Islam) yang diyakini oleh masyarakat komunitas
muslim, khususnya masyarakat komunitas muslim di Kelurahan Purwantoro Kecamatan
Blimbing Kota Malang, sehingga mengantarkan individu atau masyarakat dan bahkan
negara sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an sebagai baldatun ṭayyibatun wa rabbun ghafūr.
B. Fokus dan Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di
Kelurahan Purwantoro, tepatnya kampung Sanan yang dikenal dengan kampung
santri dan industri. Perajin tempe merupakan profesi mayoritas masyarakat
di kampung ini. Penelitian ini ingin menjawab tiga masalah utama, yaitu:
Bagaimana pola pemahaman agama masyarakat Sanan yang menjadi dasar perilaku
ekonomi, dan pola perilaku ekonomi masyarakat Sanan yang terbentuk sebagai
akibat pemahaman agamanya, serta relevansi pemahaman agama masyarakat dengan
perilaku ekonomi yang dilakukan? Ketiganya dijadikan acuan dalam menggali
sejauh mana hubungan pemahaman agama dan relevansinya dengan perilaku sosial
ekonomi masyarakat.
C. Kegunaan Penelitian
1.
Perspektif akademis. Dalam perspektif akademis,
penelitian ini diharapkan mampu memperkaya referensi akademis dalam riset-riset
tentang agama dan perilaku sosial ekonomi serta relevansi keduanya.
2.
Perspektif teoritis atau konseptual. Dalam perspektif teoritis
atau konseptual, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi pengembangan keilmuan, khususnya sosiologi ekonomi Islam.
Penelitian ini secara teoritis juga diharapkan memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu ekonomi maupun sosial, yang terkait dengan kajian tentang
hubungan pemahaman agama dan perilaku ekonomi masyarakat, sekaligus memberikan
sumbangsih bagi pengembangan ajaran agama sebagai alat transformasi sosial
ekonomi.
3.
Perspektif praktis. Secara praktis, penelitian ini
diharapkan menjadi kontribusi bagi pemerintah maupun para aktor lembaga agama
dalam pemberdayaan umat, sehingga dapat membaca fakta sosial di masyarakat
lebih cermat, khususnya dalam memilih strategi dan pendekatan yang sesuai
dengan karakter dan ciri khas masyarakat tertentu.
BAB II
AGAMA DAN PERILAKU SOSIAL
EKONOMI;
PERSPEKTIF TEORI
A. Agama dan Perilaku Sosial
1.
Agama dalam Perspektif Ilmu Sosial
Dalam sosiologi, keberagamaan
dikaji sebagai suatu fakta sosial.[24] Munculnya sosiologi
agama di akhir abad 19 sebagai disiplin baru dari sosiologi adalah untuk
melihat agama sebagai situs pengetahuan yang dikaji dari sudut pandang
sosiologis. Sosiologi agama tidak hendak melihat mengapa dan bagaimana
seseorang beragama, akan tetapi untuk memotret kehidupan beragama secara
kolektif yang difokuskan kepada peran agama dalam mengembangkan atau menghambat
eksistensi sebuah praktik kehidupan bermasyarakat. Sejarah peradaban
kemanusiaan selama berabad-abad memang tidak pernah sepi dari hiruk pikuk
aktualisasi agama dan kepercayaan dengan berbagai definisinya yang khas dan
diwujudkan dalam perilaku keseharian masyarakat.
Seorang sosiolog terkemuka asal
Perancis, Emile Durkheim dalam Muhni (1994) mendefinisikan agama sebagai, Religion
is an interdependent whole composed of beliefs and rites related to sacred things, unites adherents in
a single community known as a Church.[25] Dari pengertian ini,
agama bisa dimaknai sebagai pembentuk formasi sosial yang menumbuhkan
kolektivisme dalam satu komunitas masyarakat. Kesimpulan umum ini menjadi
pijakan bagi para sosiolog agama dalam menjelaskan dimensi sosial agama dan
keberadaan ajaran agama ini dianggap turut andil dan mewarnai masyarakat
pemeluknya dalam membentuk satu cara pandang, norma hidup dan praktik sosial
yang bisa dipotret secara kolektif. Di sini agama bisa dianggap mampu memainkan
peran dalam berbagai upaya transformasi sosial.
Berbeda dengan pandangan di atas,
Karl Marx memiliki pendapat yang sinis terhadap agama. Menurutnya, agama tak
lebih dari doktrin metafisik yang tidak
material, dan hanya menitikberatkan pada orientasi pasca-kematian. Hal ini
menurutnya agama telah menjadi candu bagi manusia dan mengalihan perhatian
pemeluknya atas penderitaan nyata dan kesulitan hidup yang dialami. Saat
memperkenalkan filsafat materialisme historisnya dalam kajian ideologi, Marx
menjelaskan bahwa agama adalah imajinasi; atau lebih tepatnya khayalan yang
melenakan. Agama menjadi suatu doktrin kepercayaan yang kerap digunakan sebagai
alat legitimasi untuk mempertahankan hal-hal yang ada di dalam masyarakat
sesuai dengan kepentingan para penindas.[26]
Dalam pandangan Clifford Gertz, antropolog budaya
sebagaimana dalam The Religion of Java (1960) menyatakan agama sebagai
keyakinan yang bisa didekati dengan faktor kebudayaan masyarakat. Agama bagi
Gertz adalah sistem simbol yang berperan
membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, persuasif dan tahan lama
di dalam diri manusia dengan cara merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang
umum dan membungkus konsep-konsep ini dengan aura faktualitas semacam itu
sehingga suasana hati dan motivasi tampak realistis secara unik.[27]
2.
Agama dan Perubahan Sosial
Agama kerap kali dianggap sebagai
pandangan hidup yang me-nomordua-kan urusan kehidupan duniawi karena sebagian
ajarannya banyak mengulas perkara kehidupan setelah mati. Karena itulah maka
agama lebih sering dilihat dalam aspek sakralitas dan ritualnya daripada ritual
sosialnya yang menyentuh masyarakat. Padahal munculnya kesadaran keagamaan
tidak hanya berkenaan dengan ritual ketuhanan dan menggapai keselamatan
akhirat, namun agama juga dibutuhkan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan
di dunia. Agama juga menjadi rujukan dalam menyikapi dan menyelesaikan problem
hidup. Bahkan, secara historis agama telah banyak mendorong nilai-nilai
emansipasi bagi pemeluknya, dimana sejarah telah mencatat bahwa agama juga menempatkan
dirinya sebagai penggerak perubahan masyarakat.
Perubahan sosial adalah proses
dimana terjadi perubahan struktur dan fungsi dalam sebuah formasi atau lembaga
sosial dalam suatu masyarakat.[28] Proses perubahan itu
selanjutnya mempunyai pengaruhnya pada sistem-sistem sosial (termasuk di
dalamnya nilai, pola perilaku maupun pola komunikasi) dalam masyarakat dimana
sistem-sistem tersebut terbangun dari berbagai kelompok-kelompok masyarakat
yang dinamis. Adapun analisis atas perubahan sosial umumnya dilakukan dengan
melihat proses sosial dalam tahapan-tahapan proses yang terjadi.[29]
Moore (1967) mendefinisikan
perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi pada struktur-struktur sosial,
yakni pada pola-pola perilaku dan interaksi sosial.[30] Dari sini, Moore hendak
menjelaskan bahwa perubahan sosial dalam kajian sosiologi memiliki pretensi
untuk melihat dan mempelajari tingkah laku masyarakat berikut
perubahan-perubahan yang terjadi. Moore juga menjelaskan perubahan sosial
tersebut disebabkan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam (internal) maupun
dari luar (eksternal).
Berbagai agama yang berkembang di
masyarakat telah banyak membangun satu peradaban, menciptakan berbagai ritual
dan tradisi baru dan dinamis, serta secara komunal mampu menciptakan dinamika
dan perubahan sosial. Demikian juga saat Islam hadir sebagai agama wahyu di
Jazirah Arab pada abad ke-7 M. Muhammad yang hadir sebagai pemimpin baru di
Mekkah, selain mengemban misi tauhid, juga melakukan perbaikan perilaku moral
masyarakat Arab dengan risalah yang dibawanya. Ajaran Islam membawa pesan dan
ajaran tentang hak-hak orang miskin, penghormatan terhadap perempuan, dan
pembelaan terhadap budak yang pada masa itu terpinggirkan dan tertindas. Bahkan
setelah hijrah di Madinah, Muhammad melalui Piagam Madinah mampu membuat
tatanan masyarakat baru lintas suku dan kabilah dalam satu negara yang dibangun
atas dasar kebersamaan dan keadilan.[31]
B. Agama dan Perilaku Ekonomi
1. Konsep Perilaku Ekonomi dalam
Agama
Perilaku ekonomi dasar meliputi konsep produksi,
konsumsi dan distribusi. Dalam pembahasan tentang perilaku ekonomi tidak lepas
dari bagaimana seseorang atau masyarakat melakukan produksi, konsumsi dan
distribusi, atau ada pula yang menambahkan konsep redistribusi. Pola konsumsi
dan perilaku produksi serta distribusi seseorang sangat menentukan roda
perekonomian suatu masyarakat. Islam sebagai agama yang sangat lengkap mengatur
tata kehidupan pemeluknya juga memberikan arahan-arahan bagaimana seseorang atau
masyarakat menjalankan kehidupan ekonominya.
Di dalam al-Qur’an diketahui memiliki ajaran tentang
konsumsi, produksi dan distribusi di samping aktivitas-aktivitas perekonomian
lainnya. Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan kegiatan produksi,
antara lain surat al-Baqarah (2): 22, 29, al-Naḥl (16): 5, 11, 65-71, Lukmān (31) 20,
al-Mulk (67): 15. Ayat-ayat tersebut menjelaskan adanya upaya memenuhi
kebutuhan dalam konteks kemaslahatan, tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.
Adapun ayat-ayat yang mengandung ajaran tentang konsumsi, misalnya surat al-Baqarah
(2): 168, al-Isrā’ (17): 26-28, al-Naḥl (16): 114. Dalam ayat-ayat tersebut
terkandung prinsip halal dan baik, tidak diperkenankannya perilaku berlebihan,
pelit, boros, harus seimbang, proporsional dan pertanggungjawaban. Demikian
pula dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan distribusi, seperti surat al-Anfāl (8): 1, al-Hashr
(59): 7, al-Hadīd (57): 7, al-Taubah (9): 60 mengandung nilai
larangan keras penumpukan harta benda atau barang kebutuhan pokok. Pola
distribusi harus mendahulukan aspek
prioritas berdasarkan need assessment.[32]
Dengan pendekatan tafsir ekonomi al-Qur’an, pemahaman
terhadap ayat-ayat kunci di atas diharapkan mencapai pemahaman yang
proporsional tentang produksi, konsumsi, dan distribusi. Khusus terkait dengan
konsumsi, setidaknya terdapat empat prinsip utama dalam sistem ekonomi yang
diisyaratkan dalam al-Qur’an:
a. Hidup hemat dan tidak
bermewah-mewah (abstain from wasteful and luxurius living).
b. Implementasi zakat (implementation
of zakat) dan mekanismenya pada tataran negara merupakan obligatory
zakat system bukan voluntary zakat system.
c.
Penghapusan riba (prohibition of riba); menjadikan
sistem bagi hasil (profit-loss sharing) dengan instrumen muḍārabah dan mushārakah sebagai
pengganti sistem kredit (credit system) termasuk bunga (interest rate).
d. Menjalankan usaha-usaha
yang halal (permissible conduct), jauh dari maisīr dan gharār;
meliputi bahan baku, proses produksi, manajemen, output produksi hingga
proses distribusi dan konsumsi harus dalam kerangka halal.
Dari empat prinsip tersebut
terlihat model perilaku ekonomi yang sesuai ajaran Islam. Dalam menyikapi
harta, harta bukanlah tujuan, ia hanya sekedar alat untuk menumpuk pahala demi
tercapainya falāh (kebahagiaan dunia dan akhirat).[33] Dengan mendasarkan
penjelasan ini maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya agama juga
memperhatikan pola perilaku kehidupan ekonomi para pemeluknya. Arti yang lain,
terdapat kaitan yang erat antara pemahaman agama seseorang dengan pola perilaku
ekonomi yang dijalani dalam kehidupan.
2. Konsep Perilaku Ekonomi dalam
Perspektif Sosiologi
a. Konsep Produksi
Produksi dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia diartikan sebagai proses mengeluarkan hasil atau penghasilan.
Produksi bisa dimaknai sebagai hasil dan proses pembuatan. Pengertian ini
mencakup segala kegiatan, termasuk prosesnya yang bisa menciptakan hasil serta
penghasilan dan pembuatan. Karl Marx berpendapat bahwa hanya manusia yang mampu
melakukan kerja, maka dari itu manusia bisa dikatakan sebagai produsen.
Kapitalisme menyebabkan manusia menjadi pekerja. Manusia tidak lagi memiliki
kontrol atas potensi yang ada pada dirinya. Marx menyebut potensi ini dengan
tenaga kerja (labour-power), yang dipertukarkan dengan benda abstrak
yang dinamakan sebagai upah kerja. Dengan demikian, sistem upah kerja pada
kapitalisme telah memisahkan kerja dengan kebutuhan, sehingga kerja (produksi)
tidak lagi menjadi tindak pemenuhan kebutuhan (konsumsi), namun sekedar untuk
memenuhi kebutuhan.[34]
Sementara Emile Durkheim dalam
bukunya The Division of Labor in Society, menjelaskan tentang dua tipe
masyarakat. Pertama adalah masyarakat yang berlandaskan pada solidaritas
mekanik. Tipe ini ditandai dengan pembagian kerja yang rendah, kesadaran
kolektif yang kuat, hukum refresif dominan, individualitas rendah, pola
normatif sebagai konsensus terpenting dalam komunitas, dan saling
ketergantungannya rendah. Kedua adalah tipe masyarakat yang berdasarkan pada
solidaritas organik. Tipe ini dicirikan oleh pembagian kerja yang tinggi,
kesadaran kolektif yang lemah, hukum resitutif yang lemah,
individualitas tinggi, nilai abstrak dan umum sebagai konsensus terpenting
dalam komunitas, dan saling ketergantungannya tinggi. Menurut Durkheim, dua
tipe masyarakat ini rentan terjadi konflik. Agar konflik tidak terjadi, maka
menurutnya harus dilakukan pembagian kerja, sehingga terjadi spesialisasi dalam
melakukan kegiatan produksi.[35]
Sementara produksi dalam padangan
Weber bisa dilihat dalam buku The
Protenstan Ethic and Spirit Capitalism. Weber mengatakan bahwa ada hubungan
elektive affinity, yaitu hubungan yang memiliki konsistensi logis
dan pengaruh motivasional yang bersifat mendukung secara timbal balik antara
etika protestan dan semangat kapitalisme modern. Weber mengatakan bahwa ada
aspek tertentu dalam etika Protestan yang bisa merangsang pertumbuhan sistem
kapitalisme modern dalam tahap-tahap pembentukannya. Pola motivasi yang
bersumber pada etika Protestan ini memiliki konsistensi logis dan saling
mendukung dengan semangat kapitalisme modern yang sedang berkembang, yaitu akuntansi rasional, hukum rasional,
dan teknik rasional.
Dari beberapa pandangan tokoh di
atas, dapat kita tarik benang merahnya, bahwa produksi adalah proses yang
diorganisasi secara sosial dimana barang dan jasa diciptakan. Adapun cakupan
produksi adalah kerja, pembagian kerja, faktor produksi (tanah, tenaga kerja,
teknologi, kapital dan organisasi), proses teknologi (instrumen, pengetahuan,
jaringan operasi, kepemilikan). Hubungan-hubungan produksi antara satu dengan
yang lainnya juga menjadi faktor yang mutlak dalam cakupan produksi yang harus
dipahami.
b. Konsep Konsumsi
Aspek kedua dalam ekonomi adalah
konsumsi. Untuk mengetahui tentang pengertian konsumsi, berikut dipaparkan
pengertian dan penjelasan dari berbagai ahli. Salah satu ahli itu adalah Don
Slater (1997). Menurutnya, konsumsi adalah bagaimana manusia dan aktor sosial
dengan kebutuhan yang dimilikinya berhubungan dengan barang atau jasa yang
dapat memuaskan mereka. Konsumsi lebih mengacu pada keseluruhan aktivitas
sosial yang orang lakukan, sehingga bisa dipakai untuk mencirikan dan mengenali
mereka di samping apa yang mereka lakukan untuk hidup.[36]
Karl Marx menurut Ritzer (2004)
ternyata banyak membahas konsumsi, khususnya tentang karyanya yang membahas
komoditas. Marx membedakan antara alat-alat produksi dan alat konsumsi.
Perbedaan tersebut tergantung pada apakah kegiatan tersebut berhubungan dengan
produksi atau tidak. Oleh sebab itu Marx mendefinisikan alat-alat produksi
sebagai komoditas yang memiliki bentuk di mana komoditas memasuki konsumsi
produktif. Sedangkan alat-alat konsumsi didefinisikan sebagai komoditas yang
memiliki suatu bentuk dimana komoditas itu memasuki konsumsi individual dari
kelas kapitalis dan pekerja.
Dengan pembagian di atas, maka
akan ada pengklasifikasian jenis konsumsi, yaitu konsumsi subsistensi dan
konsumsi mewah. Konsumsi subsistensi merupakan alat-alat konsumsi yang
diperlukan (necessary means of comsumption) atau konsumsi yang memasuki
kelas pekerja. Sedangkan konsumsi mewah adalah alat-alat konsumsi mewah (luxury
means of consumption), yang hanya memasuki konsumsi kelas kapitalis, yang
dapat dipertukarkan hanya untuk pengeluaran dari nilai surplus dan tentunya hal
ini tidak dimiliki oleh pekerja.[37]
Emile Durkheim membedakan pola
konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat yang memiliki solidaritas mekanik dan
solidaritas organik. Menurutnya, masyarakat yang memiliki solidaritas mekanik
memiliki pola konsumsi yang seragam. Berbeda dengan masyarakat yang memiliki
solidaritas organik, karena intensitas kesadaran kolektif yang rendah dan
tingginya individualitas serta tuntutan lingkungan bahwa masing-masing individu
harus tampil berbeda mengakibatkan pola konsumsinya sangat beragam. Menurut
Durkheim, perbedaan cara dan pola konsumsi tersebut dipandang akan meningkatkan
integrasi dalam masyarakat, sebab perbedaan itu akan menciptakan spesialisasi
dalam pekerjaan yang menyediakan barang dan jasa bagi suatu konsumsi.
Max Weber juga membicarakan
konsumsi ketika dia memperlihatkan bagaimana cara konsumsi dan gaya hidup
seseorang berkaitan dengan etika Protestan. Dalam Economy and Society, dia
menjelaskan bahwa tindakan konsumsi dapat dikatakan sebagai tindakan sosial
sejauh tindakan tersebut memperlihatkan tingkah laku dari individu lain.
Menurutnya tindakan sosial terdiri dari; Pertama, instrumentally rational
action (tindakan rasional instrumental), yaitu tindakan yang berdasarkan
pertimbangan yang sadar terhadap tujuan tindakan dan pilihan dari alat yang
dipergunakan. Kedua, value rational action (tindakan rasional nilai),
yaitu suatu tindakan dimana tujuan telah ada dalam hubungannya dengan nilai
absolut dan akhir bagi individu. Ketiga, effectual type (tindakan
afektif), yaitu suatu tindakan yang didominasi perasaan atau emosi tanpa
refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar seperti cinta, marah, suka
ataupun duka. Keempat, traditional action (tindakan tradisional), yaitu
tindakan yang didasarkan pada kebiasaan atau tradisi. Keempat tindakan ini menurut
Weber bisa dikatakan sebagai tindakan konsumsi.[38]
Seorang tokoh lagi yang membahas
tentang sosiologi konsumsi adalah Thorstein Veblen. Dalam bukunya The Theory
of the Leisure Class, Veblen menjelaskan bahwa kapitalisme industri
berkembang secara barbar, Karena properti privat tidak lain merupakan barang
rampasan yang diambil melalui kemenangan perang. Untuk mencapai tujuan, para
pemilik modal melakukan praktek monopoli atau oligopoli.
Perkembangan ekonomi berjalan dengan dinamis, namun kasar dan ganas karena
tidak adanya aturan. Jika pun ada aturan, aturan itu hanya berlaku di antara
kelompok perusahaan yang memiliki monopoli ataupun oligopoli. Hal
ini menurut Veblen menyengsarakan rakyat, terutama dari petani kecil kelompok
menengah.
Kondisi tersebut memupuk tumbuh
dan berkembangnya masyarakat yang oleh Veblen disebut sebagai leisure class.
Hal ini bisa ditandai dari banyaknya orang yang mengejar kekayaan berupa uang.
Dalam bahasa Veblen disebut pecuniary culture serta pola konsumsi yang
mencolok (conspicuous consumtion), yaitu pengeluaran yang sia-sia untuk
kesenangan semata dan hasrat untuk menunjukkan suatu posisi atau status sosial
yang lebih terpandang dibandingkan dengan kalangan-kalangan yang lain. Veblen
beranggapan bahwa tindakan ini merugikan masyarakat secara keseluruhan.[39]
c. Konsep Distribusi
Usai membahas tentang produksi
dan konsumsi berikutnya dibahas beberpa teori distribusi dari beberapa tokoh.
Salah satunya adalah Karl Marx. Marx menjelaskan teori distribusi dalam bukunya
Capital: A Ctitique of Political Economy (1867-1967). Menurutnya ada 3 tipe
sirkulasi komoditi yang dialami manusia sepanjang sejarah. Pertama, sirkulasi
komoditi yang paling sederhana dilakukan manusia adalah K-K, yaitu komoditi
ditukar dengan komoditi. Tipe ini pada masyarakat tradisional dikenal dengan
istilah barter. Pada tipe ini, para aktor bisa langsung berinteraksi dan dapat
saling mengontrol perilaku masing-masing aktor.
Kedua adalah tipe K-U-K, yaitu
komoditi dikonversikan ke dalam uang, kemudian dikonversikan lagi dalam bentuk
komoditi. Pada tipe yang kedua ini, uang digunakan sebagai alat untuk melakukan
konversi. Para aktor seperti halnya tipe yang pertama, mereka dapat
mengembangkan jaringan sosial di antara sesamanya secara spontan dan dapat
saling mengontrol perilaku di antara mereka. Tipe satu dan dua hanya ada pada masa prakapitalis.
Pada masyarakat kapitalis modern
tipe ini bergeser menjadi U-K-U, yaitu uang digunakan untuk membeli komoditi
kemudian komoditi dijual kembali dan menghasilkan uang. Uang dalam tipe ketiga
ini merupakan modal yang digunakan untuk membeli sesuatu yang dimaksudkan untuk
dijual kembali. Uang yang digunakan untuk transaksi pada masa kapitalis
menjadikan komoditi bisa dipertukarkan tanpa kehadiran aktor pada suatu tempat
dan waktu yang sama. Dengan demikian, menurut Marx komoditi merupakan hasil
dari aktivitas produksi dan sekaligus sebagai aspek kemanusiaan dari para aktor
tidak lagi bisa dikontrol oleh aktor dalam jaringan hubungan sosial. Secara
otomatis hal ini akan mendorong aktor merasa terasing terhadap diri dan
lingkungan sosialnya.[40]
George Simmel dalam bukunya The
Philosophy of Money (1907-1978) tidak lansung meletakkan
dasar dan memberikan sumbangan terhadap perkembangan pemikiran sosiologi
tentang distribusi, namun dia telah menyentuh salah satu aspek distribusi,
yaitu uang. Dalam tesisnya tentang hubungan antara nilai dan uang, dia
menjelaskan bahwa orang membuat nilai dengan menciptakan objek, memisahkan diri
dari objek yang diciptakan, dan kemudian mencari jalan keluar terhadap jarak, rintangan,
dan kesulitan yang muncul dari obyek yang diciptakannya tersebut. Lebih lanjut menurut Simmel, nilai dari
sesuatu berasal dari kemampuan orang menempatkan diri mereka sendiri pada jarak
yang tepat terhadap obyek.
Dalam konteks nilai secara umum,
Simmel membicarakan uang. Menurutnya, dalam realitas ekonomi uang menciptakan
jarak terhadap objek juga memberikan sarana untuk mendapatkan jalan keluarnya.
Dalam proses penciptaan nilai, uang memberikan basis bagi perkembagan pasar,
ekonomi modern, dan masyarakat kapitalis. Dampak dari perkembangan ekonomi uang
terhadap individu dan masyarakat adalah munculnya sinisme dan kebosanan. Selain
itu, uang juga menciptakan perbudakan individu.[41]
Berbeda halnya dengan Weber. Dia
adalah sosiolog yang paling banyak mencurahkan perhatiannya dibandingkan dengan
peletak dasar lainnya terhadap distribusi dalam bentuk pertukaran di pasar. Dia
beranggapan bahwa pasar itu akan ada jika terdapat kompetisi di dalamnya.
Menurutnya, tindakan sosial di pasar bermula dari persaingan dan berakhir
dengan pertukaran. Lebih lanjut Weber juga melihat bahwa ada elemen perebutan
atau konflik dalam pasar. Dia menggunakan istilah perebutan pasar (market
strugle) ketika ia menjelaskan pertempuran antara seseorang dengan lainnya
di pasar. Sedangkan pertukaran di sini lebih dimaknai sebagai suatu kompromi
kepentingan dari bagian partai-partai, selama barang-barang atau keuntungan
yang lain sebagai kompensasi timbal balik.[42]
Berbeda dengan Marx, Karl Polanyi
melihat perekonomian dalam masyarakat pra industri justru melekat pada
institusi politik, sosial dan agama. Dengan demikian fenomena perdagangan, uang
dan pasar tidak bisa hanya didorong oleh motif mencari keuntungan belaka.
Kehidupan ekonomi masyarakat pra-industri diatur keluarga subsitensi, resiprositas,
dan redistribusi. Hal ini menurut Polanyi berbeda dengan masyarakat
modern. Pada masyarakat modern, sistem redistribusi tidak lagi dominan, ia
digantikan dengan ekonomi pasar yang ditandai dengan “pasar yang mengatur
dirinya sendiri”. Dalam kondisi yang seperti ini, barter tidak lagi dapat
memenuhi kebutuhan ekonomi yang semakin kompleks. Dalam kondisi seperti ini
pula, uang menjadi penggantinya. Jadi ekonomi dalam sistem yang seperti ini
diatur oleh pasar, yang mana berperilaku dalam suatu cara tertentu untuk
mencapai perolehan yang maksimum.[43]
Sementara Tacolt Parson dan
Smelser melihat uang adalah salah satu aspek dari pertukaran di pasar.
Posisinya adalah memainkan peranan antara produksi dan pertukaran. Uang
merupakan generalisasi dari daya beli yang mengontrol keputusan bagi pertukaran
barang dan jasa. Penjelasan Parson dan Smelser tentang pasar terlihat ketika
mereka membahas bagaimana pasar dipenuhi bukan hanya oleh
kepentingan-kepentingan ekonomi akan tetapi juga kepentingan pemerintah. Dengan
kata lain, pasar tidak hanya dipengaruhi oleh hukum penawaran dan permintaan
tetapi juga campur tangan pemerintah.[44]
3.
Kajian Relevansi Pemahaman Agama terhadap Perilaku Ekonomi
Secara lebih luas kaitannya
antara perilaku ekonomi dan pemahaman agama seseorang ini juga dibahas dalam
penelitian-penelitian klasik lainnya. Umumnya penelitian yang mengambil kajian pada hubungan antara agama dan
perilaku ekonomi selalu merujuk pada riset Max Weber tentang kemajuan
masyarakat Eropa di awal abad ke-20. Kemajuan Ekonomi Barat mempunyai kaitan
langsung dengan spirit keagamaan yang dianut masyarakat Eropa Barat. Demikian
kesimpulan penelitian Max Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism. Menurut Weber, semangat kebangkitan ekonomi tersebut lahir dari
watak disiplin dan perilaku kaum pengusaha progresif yang umumnya adalah
penganut Protestan taat.
Dalam konteks masyarakat Muslim, penelitian Clifford
Geertz[45] bisa dijadikan satu
rujukan lainnya. Dalam salah satu riset di Kediri, Jawa Timur pada awal 1960an,
Geertz menemukan banyak pengusaha di kota kecil tersebut yang berafiliasi pada
organisasi Islam Modernis. Mereka adalah kaum santri[46] yang sangat taat
menjalankan ibadah. Di samping itu, dalam bekerja mereka memiliki tingkat
kedisiplinan yang tinggi, senantiasa bekerja keras, hemat atau jauh dari
perilaku konsumtif.
Di tempat berbeda, di Kota Gede, Yogyakarta,
antropolog Jepang Mitsuo Nakamura[47] juga mendapatkan temuan
yang nyaris sama dengan Geertz. Penelitian di akhir tahun 1970-an yang dia
lakukan memberikan informasi bahwa orang-orang kaya di Kota Gede kebanyakan
adalah kaum santri yang memiliki keberagamaan yang taat. Dalam konteks perilaku
ekonomi, mereka pun memiliki etos kerja wiraswastawan yang tinggi dan
dilekatkan dengan afiliasi mereka pada Islam modernis.
Sementara itu, Hiroko Horikoshi[48] yang melakukan riset di
Garut, Jawa Barat pada 1970an memberikan informasi yang relatif sama. Horikoshi
menemukan geliat ekonomi di kalangan pengusaha pribumi yang rata-rata terlahir
dari keluarga pesantren. Mereka adalah keturunan kiai yang kemiliki tingkat
keberagamaan yang taat sekaligus menjadi aktor-aktor ekonomi. Kebetulan hampir
semuanya terlibat dan berpartisipasi dalam organisasi Islam modernis. Perilaku
ekonomi kalangan anak kiai ini memiliki watak disiplin, memiliki etos kerja
kuat, dan cenderung tidak boros.
Meski memberikan ilustrasi yang mengkaitkan antara keberagamaan
Islam modernis dengan keberdayaan ekonomi, tiga antropolog di atas memang belum bisa membuktikan thesis Weber tentang
hubungan agama (Islam) dengan etos kerja dan perilaku ekonomi masyarakat di
Indonesia.
Adalah Muhammad Sobary yang menemukan titik terang
tesis Weber tentang etika protestan di masyarakat muslim di Indonesia. Dalam
bukunya Etika Islam: Dari Kesalehan Individual Menuju Kesalehan Sosial,
Sobary melihat adanya etos kerja dan gerakan wirausaha yang bangkit dari
kesadaran keberagamaan masyarakat di Suralaya Jawa Barat.[49] Meski demikian Sobary
memberikan catatan bahwa penelitiannya di Suralaya memang tidak bisa
mendapatkan spirit keberagamaan, dalam konteks gerakan ekonomi mandiri,
sedahsyat apa yang ditemukan Weber di Eropa barat. Sobary mendapati perilaku
ekonomi masyarakat muslim di Suralaya tidak bisa mewujud seperti spirit
Protestan di Barat menjadi ideologi besar yang melahirkan pengusaha kelas
elite, bahkan menguasai struktur ekonomi dunia.[50]
Secara jelas dapat dilihat dari
penelitian Irwan Abdullah yang memiliki bukti-bukti lain yang dapat dikatakan
otentik, bahwa para pengusaha kecil (pedagang) sebagaimana yang terjadi di
Jatinom, Klaten, mereka adalah penganut Islam yang berpaham modernis, yang
berhasil menerjemahkan paham keagamaannya menjadi paham keagamaan yang reformis,
sehingga sangat mendorong bagi terciptanya kesuksesan usaha yang mereka
jalankan.[51]
Bagi Bryan S. Turner, tesis Weber
harus dipandang sebagai suatu tesis yang mengandung teori yang ideal tentang
nilai dan tesis tersebut dapat dibenarkan sepanjang pembatasan-pembatasan
tertentu.[52] Sejalan dengan Turner,
Alatas juga menyatakan bahwa tesis Weber dapat berlaku di Asia Tenggara, dengan
catatan, diperlukan adanya adaptasi tertentu antara agama Protestan dan Islam
yang memiliki perbedaan mengenai konsep Tuhan.[53]
Kajian agama dan perilaku ekonomi ini setidaknya
memberikan gambaran akademis bahwa kajian tentang agama dan transformasi sosial
memiliki konteks sosiologis yang berbeda. Dalam hal ini mengkaji bagaimana
konteks penelitian yang baru menjadi penting untuk diperkaya guna mendapatkan
referensi akademis yang terus dikembangkan, sehingga problem pemahaman agama
dan membidik bagaimana potensi agama dalam melakukan transformasi sosial
ekonomi semakin menemukan momentumnya.
C. Agama dan Stratifikasi Sosial
Stratifikasi berasal dari stratum,
yang artinya lapisan. Berdasarkan pengertian etimologis ini istilah
stratifikasi sosial memiliki arti yang sama dengan pelapisan sosial, yaitu
pembedaan penduduk atau para warga masyarakat ke dalam lapisan-lapisan secara
hirarkis. Selo Soemardjan sebagaimana dikutip Ishomudin mengemukakan bahwa
pelapisan sosial akan selalau ada selama di dalam masyarakat. Stratifikasi sosial
adalah demensi vertikal dari struktur sosial masyarakat, dalam artian melihat
perbedaan masyarakat berdasarkan pelapisan yang ada, apakah berlapis-lapis
secara vertikal dan apakah pelapisan tersebut terbuka atau tertutup[54].
Adalah T.B Bottomore, seorang
tokoh yang mengulas secara detil tentang elit dan masyarakat dalam bukunya yang
berjudul Elites and Society. Lapisan yang lebih tinggi dari kelompok
masyarakat adalah kelompok elite, yang secara nominal terdiri atas
kelompok-kelompok biasa disebut sebagai aristokrasi yang bersifat militer,
relijius komersial, maupun plutokrasi (orang kaya). Munculnya elite
baru menurut pergeseran sosiologis maupun psikologis, disebabkan oleh timbulnya
kekuatan-kekuatan sosial yang membela kepentingan-kepentingan baru seperti
ekonomis maupun teknologis dalam masyarakat.[55]
Dalam bukunya The Religion in
Java, Clifford Geertz mengelompokkan orang Jawa menjadi tiga kelas, yaitu abangan,
santri dan priyayi. Geertz menggambarkan abangan adalah
kelompok masyarakat yang menitikberatkan segi-segi sinkretisme Jawa yang
menyeluruh, dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani di antara
penduduk. Sementara santri adalah kelompok masyarakat yang mewakili
sikap yang menitikberatkan pada segi-segi Islam dan sinkretisme. Pada umumnya
berhubungan dengan elemen dagang maupun elemen-elemen tertentu di antara para
petani. Sedangkan priyayi adalah kelompok masyarakat yang
menitikberatkan pada segi-segi individu dan berhubungan dengan unsur-unsur
birokrasi.[56]
Zainuddin Maliki (2004) dalam
bukunya Agama Priyayi, menjelaskan bahwa para elite penguasa mendefinisikan
ulang terminologi Geertz terkait dengan stratifikasi masyarakat di Jawa.
Menurutnya, santri dan abangan di satu pihak menggambarkan kelas
yang tidak memegang kekuasaan (wong cilik, wong ndek-ndekan).
Sementara priyayi menggambarkan pihak yang memegang kekuasaan strategis
(wong nduwuran).[57]
Sedangkan Karl Marx melihat bahwa
dalam masyarakat itu terdiri dari struktur atas dan struktur bawah. Bagi kaum
marxis, struktur masyarakat tidaklah banyak. Mereka hanya membaginya dalam
struktur atas yang biasa dia sebut sebagai supra struktur dan struktur
bawah yang biasa disebut sebagai infrastruktur atau basis. Menurut Marx,
struktur atas (supra struktur) diduduki oleh orang yang memegang
kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan kebudayaan. Mereka menggunakan
bidang-bidang itu sebagai landasan untuk mengukuhkan kedudukan mereka di
masyarakat yang juga akan menentukan jalannya kehidupan masyarakat. Marx biasa
menyebut golongan ini sebagai kaum borjuis.[58]
Pitrin A Sorokin (1959)
mendefinisikan bahwa stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk ke dalam
kelas-kelas secara hirarkis. Perwujudannya bisa dalam bentuk kelas tinggi dan
kelas rendahan. Menurut Sorokin, munculnya perbedaan kelas atau stratifikasi sosial
di dalam masyarakat disebabkan karena adanya ketidakseimbangan dalam pembagian
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dipikul oleh para warga masyarakat.
Orang-orang yang memiliki pembagian lebih besar maka akan berada di struktur
atas, demikian pula sebaliknya.[59]
Soekanto (1981) menyatakan social
stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat atau sistem berlapis-lapis dalam masyarakat.
Stratifikasi sosial merupakan konsep sosiologi, dalam artian kita tidak akan
menemukan masyararakat seperti kue lapis, tetapi pelapisan adalah suatu konsep
untuk menyatakan bahwa masyarakat dapat dibedakan secara vertikal menjadi kelas
atas, kelas menengah dan kelas bawah berdasarkan kriteria tertentu.[60]
Paul B Horton dan Chester L Hunt
(1992) menyatakan bahwa stratifikasi sosial merupakan sistem peringkat status
dalam masyarakat. Peringkat memberitahukan kepada kita adanya demensi vertikal
dalam status sosial yang ada dalam masyarakat. Menurutnya, terjadinya
stratifikasi sosial dalam masyarakat dikarenakan sesuatu yang dihargai dalam
masyarakat jumlahnya terbatas, akibatnya distribusinya di dalam masyarakat tidaklah
merata. Mereka yang memperoleh banyak hal, menduduki kelas atas dan mereka yang
tidak memperolehnya, menduduki kelas bawah. [61]
Dalam stratifikasi sosial terdapat
beberapa hal yang menjadi dasar dalam menentukan seseorang berada pada posisi
yang mana. Menurut Ishomuddin (2005) ada empat hal yang bisa dijadikan sebagai
dasar dalam menentukan stratifikasi sosial. [62]
1. Ukuran kekayaan (ekonomi)
2. Ukuran kekuasaan dan
wewenang (politik)
3. Ukuran kehormatan (sistem
nilai)
4. Ukuran ilmu pengetahuan
(termasuk kecakapan dan keterampilan)
Pendapat di atas merupakan suatu
penggambaran bahwa stratifikasi sosial sebagai gejala yang universal, artinya
dalam setiap masyarakat bagaimanapun juga keberadaanya pasti akan didapatkan
pelapisan sosial tersebut. Apa yang dikemukakan Aristoteles dan Karl Marx
adalah salah satu bukti adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat yang sederhana
sekalipun. Kriteria jenis kekayaan dan juga profesi pekerjaan merupakan
kriteria yang sederhana, sekaligus menyatakan bahwa dalam masyarakat kita tidak
akan menemukan masyarakat tanpa kelas. Perkembangan masyarakat selanjutnya
menuju masyarakat yang semakin modern dan kompleks, stratifikasi sosial yang
terjadi dalam masyarakat akan semakin banyak.
Dari berbagai pengertian tentang
stratifikasi sosial yang sudah dituliskan di atas, paling tidak ada tiga
pengertian stratifikasi sosial. Golongan pertama mendefinisikan bahwa
masyarakat terdiri dari kelas atas (upper class) dan kelas bawah (lower
class). Sementara golongan kedua menyebutkan bahwa masyarakat terdiri dari
tiga kelas, yaitu kelas atas (upper class), kelas menengah (middle
class) dan kelas bawah (lower class). Golongan yang ketiga memaknai
stratifikasi masyarakat dalam kelas atas (upper class), kelas menengah (middle
class), kelas menengah ke bawah (lower middle class) dan kelas bawah
(lower class).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Situs
Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota
Malang Jawa Timur dengan alasan utama
perkembangan perekonomian di Kota Malang yang cukup signifikan setiap periode.
Selain itu, Kota Malang merupakan kota terbesar kedua setelah Kota Surabaya di
provinsi Jawa Timur. Artinya kompleksitas permasalahan perkotaan, mulai dari
kemiskinan, kependudukan, pengangguran sampai masalah sosial dan agama memiliki
derajat yang kurang lebih sama. Sedangkan situs penelitian ini ditetapkan di RW
15 dan RW 16 Kampung Sanan Kelurahan Purwantoro Kecamatan Blimbing Kota Malang.
Kota Malang memiliki pertumbuhan
ekonomi tertinggi di Jawa Timur pada 2008-2009. Sedangkan di Kota Malang yang
memiliki sirkulasi ekonomi paling tinggi dalam hal industri rumah tangga (home
industry) adalah daerah Sanan. Namun dalam konteks sosial budaya, di Sanan
masih banyak terdapat perilaku ekonomi sosial yang menyimpang dari ajaran agama
Islam sebagai agama utama di Sanan. Fakta tersebut dijadikan argumentasi awal
untuk membaca perilaku ekonomi dan perilaku agama masyarakat Kampung Sanan.
Kedekatan peneliti dengan lokasi penelitian, memungkinkan peneliti bisa
memahami lebih banyak dalam waktu relatif singkat tentang situasi sosial dan
ekonomi dan memudahkan kelancaran proses penelitian ini.
B. Metode dan Pendekatan
Berangkat dari konteks masalah
serta tujuan yang ditentukan sebelumnya, penelitian ini menggunakan pendekatan
paradigma alamiah (naturalistic paradigm). Pandangan ini mula-mula
bersumber dari pandangan Max Weber yang diteruskan Irwin Deutcher, dan lebih
dikenal dengan pandangan fenomenologis.[63] Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif, post positivistic, etnografik,
humanistik, atau studi kasus (case study).[64] Penelitian ini bermaksud
memahami pemahaman (understanding of understanding) perilaku ekonomi
melalui pemahaman agama individu. Dengan demikian akan diketahui bagaimana
pemahaman agama seseorang berimplikasi terhadap perilaku ekonomi sehari-hari
dalam konteks produksi, konsumsi dan distribusi. Selain itu juga melalui
pandangan ini peneliti bisa memahami perilaku sosial ekonomi relevansinya
dengan pemahaman agama dalam masyarakat Sanan.
Karena temuan teoretis yang
dibangun dalam penelitian ini lebih mementingkan perspektif pemahaman dan
pemaknaan subyektif tentang pemahaman agama dan perilaku ekonomi, maka jenis
penelitian kualitatif (qualitative research) dapat digunakan. Dalam
perspektif konstruksi sosial dipahami bahwa individu dengan institusinya adalah
sebuah dialektika yang terekspresi dalam tiga kategori, yaitu: masyarakat
sebagai produk individu, masyarakat sebagai realitas obyektif, dan individu
adalah produk masyarakat atau sosial.
Penelitian kualitatif menggunakan
pendekatan yang memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari
perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia. Dengan
demikian pendekatan ini disebut juga dengan pendekatan holistik. Data yang dikumpulkan
dipelajari sebagai suatu keutuhan dan keseluruhan serta untuk mengembangkan
pengetahuan yang mendalam mengenai obyek, dilakukan secara eksploratif dan
deskriptif.[65]
Melalui pendekatan ini diharapkan
terangkat gambaran mengenai aktualitas, realitas sosial dan persepsi sasaran
penelitian tanpa tercemar oleh
pengukuran formal. Teknik penelitian melalui pengungkapan cerita yang bersifat idiosinkretis
namun penting, yang diceritakan orang-orang yang ada di lapangan, tentang
peristiwa-peristiwa nyata dengan cara alamiah. Karena itu keterlibatan
peneliti tanpa intervensi terhadap variabel-variabel proses yang sedang berlangsung, apa adanya, dengan ruang lingkup yang lebih kepada molar
daripada molekular.
Keberadaan peneliti selama 25
tahun (1985-2010) di lokasi penelitian sangat membantu peneliti untuk menggali
dan menyusun pemahaman atas perilaku ekonomi dan pemahaman agama masyarakat. Peneliti
sendiri sering disebut sebagai tokoh masyarakat dan sering dilibatkan untuk
memutuskan suatu keputusan tertentu yang terkait dengan keharmonisan Kampung
Sanan. Posisi seperti ini membuat peneliti relatif tidak mendapat kesulitan
berarti dalam seluruh proses penelitian.
Dengan pendekatan kualitatif yang
diambil, peneliti menentukan teori formal dalam penelitian ini, yakni
fenomenologi.[66] Fenomenologi seperti
diungkapkan Dhavamony, adalah cara mendapatkan suatu kebenaran dasar atau
kebenaran yang obyektif menurut subyek. Untuk proses itu perlu menerapkan apa
yang disebut sebagai ephoce dan eidetic. Ephoce dalam
fenomenologi merupakan penilaian yang dikonsepkan sebelumnya harus ditunda atau
diberi tanda kurung, sampai fenomena ini sendiri bicara untuk dirinya.
Sedangkan yang dimaksud dengan eidetic adalah pemahaman makna diperoleh
selalu dan hanya lewat pemahaman ungkapan-ungkapan.[67]
Penerapan fenomenologi sebagai
teori formal dalam penelitian ini membuat peneliti tidak menempatkan diri
sebagai orang luar yang sedang mempelajari para pelaku ekonomi, namun belajar
pada para pelaku ekonomi (learning from the people). Dalam rangka learning
from the people peneliti memahami bahasa, kebiasaan, dan watak para pelaku
ekonomi sebagai subyek yang diteliti, yang semuanya membutuhkan pemahaman,
verifikasi, klarifikasi terutama kepada peneliti dan orang-orang sekitar yang
terlibat langsung dengan tindakan para pelaku ekonomi di Sanan, khususnya warga
RW 15 dan RW 16 Kelurahan Purwantoro Kecamatan Blimbing Kota Malang.
Dalam hal mengungkap sejarah
Kampung Sanan misalnya, karena tidak ada dokumentasi apapun, peneliti harus
melakukan wawancara mendalam, mencari waktu tepat untuk mengingat-ingat apa
yang terjadi di masa lalu, lalu menyusunnya sebagai sebuah kisah yang
sistematis. Untuk menghindari ketidakakuratan, juga untuk menjaga obyektivitas,
peneliti tidak melakukan penggalian data pada satu sumber saja, melainkan
kepada beberapa sumber yang dianggap memahami lebih dalam tentang sejarah
Kampung Sanan. Demikian pula dengan topik-topik lainnya, peneliti seringkali
harus mencari keterangan lebih dari satu sumber untuk satu topik. Hal ini
mengingat aspek sosial budaya Kampung Sanan yang beragam.
C. Fokus Penelitian
1.
Keadaan Stratifikasi Sosial Masyarakat Sanan
Dalam masyarakat industri,
stratifikasi sosial umumnya terbentuk mengikuti pola industri yang sedang
berlangsung dengan membawa karakteristik stratifikasi yang terdapat di
masyarakat sebelumnya. Hal ini juga terjadi di Kampung Sanan.
2.
Para Perajin Tempe
Dengan melakukan observasi
menyeluruh pada perilaku ekonomi dan agama masyarakat, peneliti menganggap
pentingnya mengungkap keseharian kehidupan para perajin tempe ini dengan
memberikan kategorisasi tertentu yang bersifat obyektif.
3.
Pemahaman Agama dan Perilaku Ekonomi Masyarakat Sanan
Kajian ini akan memfokuskan pada
pemahaman masyarakat dan perilakunya pada aspek agama. Kajian ini dilakukan
setelah mengungkap stratifikasi sosial dalam aspek agama di mana aspek tersebut
memberikan pengaruh yang saling berkaitan.
4.
Relevansi Pemahaman Agama atas Perilaku Ekonomi
Kajian ini lebih memfokuskan pada
relevansi antara masing-masing konsep dan variasi tindakan yang berkembang
dalam kehidupan. Peneliti mendasarkan pada prinsip bahwa pemahaman agama di
Kampung Sanan beragam. Hal itu berdampak pada perilaku agama mereka yang juga
berbeda-beda.
D. Tahapan Penelitian
1. Tahap
Memasuki Lapangan Penelitian
Penelitian
ini terkait dengan pemahaman keagamaan individu dalam kaitannya perilaku
ekonomi sehari-hari dan implikasi yang terjadi. Dalam konteks ini peneliti
melihat bagaimana konstruksi sosial yang terjadi dari dua pemahaman agama yang
berbeda,
antara yang taat beragama dan yang kurang taat beragama dan hubungannya dengan
perilaku ekonomi. Sudah sejak awal peneliti berperan sebagai instrumen kunci
karena peneliti memiliki aktivitas sehari-hari di wilayah bersangkutan dan
tidak merasa kesulitan bergaul karena sudah puluhan tahun (25 tahun) hidup
dengan masyarakat Sanan. Peneliti sering terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan
masyarakat di bidang keagamaan maupun masalah sosial, budaya dan ekonomi.
2. Tahap Pengumpulan Data
Pada tahap
ini peneliti sudah menentukan cara melakukan pengumpulan data, yakni dengan
melakukan wawancara, observasi dan dokumentasi. Untuk data primer dalam penelitian ini,
peneliti sudah
mendatangi secara langsung beberapa sumber data seperti kantor Biro Pusat Statistik (BPS) Kota Malang, Kepala Dinas
Sosial Kota Malang, Camat Blimbing, Lurah Purwantoro dan para Ketua RW 15 dan RW 16 Sanan Kelurahan Purwantoro
Kecamatan Blimbing. Tidak lupa peneliti juga melakukan penggalian data kepada
para tokoh agama dan sosial masyarakat Sanan, yang ditentukan secara snwoball
dengan tetap memikirkan topik pemahaman agama serta status sosial ekonomi
mereka. Informasi yang didapatkan dari
para informan ini dipilih secara random dengan pendekatan snowball.
3. Tahap Pengolahan dan
Analisis Data
Analisis data bertujuan
untuk mengidentifikasi kelompok atau individu yang dijadikan obyek penelitian;
menentukan kategori kelompok atau individu yang signifikan dengan obyek yang
diteliti; melakukan verifikasi hubungan antara kategori yang satu dengan
kategori lainnya; melakukan verifikasi hubungan antara varian yang satu dengan
varian yang lainnya. Setelah data terkumpul, pengolahan data dilakukan secara
bertahap di lapangan dengan memberikan kode (coding) dan memisahkan data
sesuai dengan tipologinya. Tahap itu dilakukan setelah data terkumpul
seluruhnya. Pengolahan data bertujuan untuk mengungkapkan sejumlah informasi yang
berkaitan dengan masalah penelitian.
Dalam penelitian ini akan digunakan analisis data sebagaimana yang
disampaikan Miles dan Huberman dalam konteks analisis data kualitatif yang
terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi
data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
4. Tahap Verifikasi dan
Kesimpulan
Peneliti
sepenuhnya menggunakan pendapat Moleong (1990) yang mengemukakan bahwa ada 4
(empat) kriteria yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data, yaitu melalui
kriteria derajat kepercayaan (credibility) atau validitas internal,
keteralihan (transferability), yakni kemampuannya jika digunakan dalam
situasi lain, ketergantungan (dependability) atau reliabilitas dan
kepastian (confirmability) yang diuji melalui pelacakan kembali (audit
trail).
BAB VI
MEMAHAMI POLA DAN RELEVANSI
PEMAHAMAN AGAMA
ATAS PERILAKU EKONOMI MASYARAKAT
A.
Stratifikasi dan Mobilitas Sosial
1.
Mobilitas Sosial dalam Perspektif Ekonomi
Dari pemaparan hasil penelitian
mengenai pelapisan sosial masyarakat di Kampung Sanan, setidaknya bisa dilihat
dalam perspektif sosial ekonomi. Apa yang ditemukan di Sanan secara makro
sejalan dengan konsep stratifikasi sosial secara umum, dan praktik di Sanan
lebih spesifik berlaku secara mikro, dengan beragam keunikannya sendiri.
Pembahasan dalam konteks ini dikaitkan dengan beragam pola pemahaman agama yang
terdapat di Sanan.
Mengamati perkembangan ekonomi di
Kampung Sanan, yang cukup menarik dianalisis adalah pola mobilitas sosial yang
umumnya unik dan terjadi antar generasi. Pola perubahan sosial seperti ini
tidak lazim dalam konteks masyarakat industri dalam skala besar dan bersifat
publik, melainkan justru mendapatkan peluang untuk dikembangkan dalam pola
industri rumahan. Pola mobilitas sosial yang dimaksud adalah adanya pergeseran
dari masyarakat buruh menjadi pedagang atau pengusaha karena adanya tempaan
yang sangat intensif untuk menjadi pengusaha.
Menurut Soekanto[68] yang mengutip pendapat
Kimball Young dan Raymond W Mack (1959) dalam Sociology and Social Life, mobilitas sosial (social mobility) merupakan suatu gerak dalam struktur sosial (social structure), yakni pola-pola
tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok. Struktur sosial mencakup
sifat-sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antar individu
dalam kelompoknya.
Apa yang dapat dibaca dalam konteks
masyarakat Sanan ini adalah perubahan sosial yang evolutif, dengan faktor utama
penyebab dari dalam maupun juga dari luar. Dari dalam berkaitan dengan
interaksi keseharian masyarakat serta hubungan antara masing-masing kelompok
sosial yang ada. Dari luar disebabkan karena tekanan ekonomi yang cukup kuat
dari masa ke masa dan membuat masyarakat Sanan sendiri berkeinginan untuk
mempertahankan kehidupannya.
2.
Kategorisasi Sosial dalam Perspektif Agama
Keberadaan kampung Lor Embong
(Utara jalan) dan Kidul Embong (Selatan jalan) secara geografis di Sanan
merupakan kategorisasi sosial yang memiliki makna sosial tertentu. Kategorisasi
itu berasal dari pengalaman kehidupan sosial agama dan sosial ekonomi di
Kampung Sanan dan pada praktik kehidupan sehari-hari melahirkan identitas
sosial tertentu.
Kelompok abangan mengacu
pada warga yang tinggal di Kidul Embong,
dan sebaliknya masyarakat santri banyak ditemukan pada warga yang
tinggal di Lor Embong. Masyarakat santri
ditandai dengan perilaku kehidupan sosial yang dipengaruhi dengan ajaran Islam.
Sebaliknya masyarakat abangan masih menjalankan hal-hal yang tidak
diperkenankan oleh Islam.
Adanya pemahaman keberagamaan
yang berbeda pada hakikatnya akan melahirkan perilaku keberagamaan yang berbeda
dan pada gilirannya juga akan menghasilkan perilaku sosial ekonomi yang berbeda
pula. Apa yang dapat ditemukan di Sanan dapat membuktikan bahwa aspek
keberagamaan masyarakat sedikit banyak memiliki pengaruh pada etika ekonomi
dalam masyarakat walaupun tidak terlalu signifikan menonjol, setidaknya sampai
saat ini. Kehidupan bersama yang ditunjukkan pun tidak melahirkan gejolak yang
serius. Polarisasi itu hanya menjadi bahan gunjingan di tengah masyarakat, baik
masyarakat yang bersifat abangan
maupun yang santri.
Proses perubahan sosial, dalam
bentuk apapun, memerlukan faktor pendorong dari luar, dan memiliki posisi yang
signifikan dalam menentukan arah perubahan sosial yang dimaksud. Ini terjadi
sebagaimana kedatangan sejumlah santri, guru dan kiai dari kelas santri yang
mempengaruhi keberadaan penduduk asal (native
society) yang mulanya adalah “abangan”. Dalam hal ini pula dapat dinyatakan
adanya pergeseran stratifikasi sosial[69] yang berkembang ke arah
yang lebih variatif. Dari penjelasan yang disampaikan di atas secara umum dapat
ditarik benang merah bahwa faktor agama merupakan faktor paling dominan dalam
masyarakat Sanan yang bisa mempengaruhi perilaku kehidupan sosial lainnya.
B. Kategori Status Sosial Ekonomi
Masyarakat
Dari data yang dikumpulkan
berdasarkan observasi maupun wawancara dapat dikelompokkan beragam model
perkembangan usaha sesuai dengan kategori tertentu. Untuk memudahkan
menganalisis dimensi pemahaman keagamaan dan perilaku ekonomi masyarakat
perajin tempe Sanan, peneliti menggolongkan empat kategori besar, yakni
golongan perajin tempe yang miskin (di bawah rata-rata), golongan perajin yang
usahanya stagnan (tidak banyak mengalami kemajuan), golongan perajin tempe yang
sukses (usahanya berkembang pesat) dan golongan perajin tempe yang bangkrut
(awalnya maju kemudian mengalami kemunduran). Kategorisasi seperti demikian
memudahkan untuk membahas etos kerja berkaitan dengan pola pemahaman agama.
Tabel 13
Kategorisasi Status Sosial
Perajin Tempe Berdasarkan Pemahaman Keagamaan dan Perilaku Ekonomi
No
|
Kategori
|
Subyek
|
Pemahaman
Agama
|
Perilaku
Ekonomi
|
1.
|
Golongan
miskin
|
Kang
Pi’i, Budi
|
Awam
– fatalis
|
Fatalis – tidak kreatif, tidak berani
berspekulasi, etos kerja tinggi
|
2.
|
Golongan
sukses
|
Didik
Arif, Suwaji
|
Awam
– progresif
|
Progresif, disiplin, etos kerja tinggi, berani
berspekulasi, menggunakan manajemen bisnis yang baik
|
3.
|
Golongan
stagnan
|
Cak
Said, Kaji Dalil, Kaji Qomari
|
Awam
(Cak Said), alim (Kaji Dalil dan Kaji Qomari)
|
Fatalis, mempertahankan nilai lama, kurang
berani berspekulasi
|
4.
|
Golongan
bangkrut
|
Cak
Madul
|
Alim
– tekstualis
|
Tanpa manajemen, boros, etos kerja rendah,
disiplin rendah
|
Sumber: Data Diolah Peneliti,
2010
Pertama, untuk melihat kategori
perajin tempe yang tergolong miskin, bisa dilihat profil dari Kang Pi’i yang
hanya berprofesi sebagai buruh lembang dan memiliki penghasilan antara
Rp. 1.200.000,- sampai Rp. 1.350.000,- setiap bulan. Selain Kang Pi’i, Budi
juga masuk dalam kategori ini. Pekerjaan Budi selain sebagai sopir di salah
satu SMK, juga memproduksi kripik tempe, dan dalam satu bulan penghasilannya
berkisar antara 1.200.000,- s/d 1.350.000.-. Keberadaan mereka berdua dengan
penghasilan itu dikategorikan sebagai keluarga miskin.
Kedua, pengusaha yang sukses
sebagai perajin tempe. Di Kampung Sanan ada banyak orang yang berhasil
mengembangkan usahanya. Memang hal ini tidak bisa semata-mata didasarkan oleh
pengetahuan agama yang mereka anut, sebab tentu ada banyak faktor lain yang
juga ikut berperan dalam perkembangan usaha mereka.
Didik maupun Suwaji termasuk
muslim tradisionalis, namun keberaniannya dalam mengambil inovasi menjadikan
usahanya berhasil. Pemahaman tentang sistem ekonomi dan kepiawaiannya dalam
membaca peluang pasar juga menjadi pendukung keberhasilan usahanya. Dengan
melihat keberhasilannya, tesis tentang relevansi pemahaman agama (modern) dan
perilaku ekonomi seperti dikemukakan Geertz maupun Abdullah[70] setidaknya bisa
didiskusikan kembali.
Dalam konteks inilah dapat
ditegaskan bahwa kesuksesan dalam bisnis memang tidak semata-mata ditentukan
oleh pemahaman agama seseorang. Kesuksesan dalam bisnis tidak lepas dari etika
bisnis yang mempengaruhinya. Menurut Gregory A. Emery, dalam berusaha (bisnis)
orang harus mempertimbangkan variabel-variabel nonekonomi dalam bentuk
nilai-nilai sosial dan kultural yang dapat mendorong kemajuan ekonomi. Good
business berdasarkan reliable ethics. Bisnis tanpa etika jangka
panjang tidak mungkin akan berhasil.[71]
Ketiga, perajin tempe yang
usahanya bangkrut. Madul adalah perajin tempe yang memiliki pemahaman agama
yang cukup dilihat dari segi pendidikan, lingkungan dan keturunannya. Perilaku
Madul kurang baik dari segi agama, bisnisnya pun terpuruk, dan konon menurut
warga sekitar, itu terjadi karena karma perilakunya sendiri.
Kendatipun demikian, keterpurukan
Madul sebagai perajin tempe tidak saja semata-mata disebabkan oleh perilakunya
yang kurang baik. Ada beberapa hal yang menjadikan usahanya terpuruk semenjak
2007 yang lalu. Madul tidak mampu mengelola usahanya dengan baik apalagi ketika
ada krisis ekonomi. Dia lebih banyak meninggalkan usahanya untuk urusan-urusan
yang tidak jelas. Selain itu Madul juga tidak memiliki manajemen keuangan yang
baik.
Keempat, perajin tempe yang
tidak berkembang (stagnan). Perilaku usaha yang stagnan bisa dilihat dari perilaku Cak Said.
Pada rentang waktu ketika dia pertama kali menikah sampai dengan Said memiliki
4 orang anak, kondisinya tidak banyak berubah. Baik usahanya maupun beban yang
ditanggungnya. Justru kalau dilihat dari aspek beban tanggungan menjadi semakin
bertambah, karena selain masih menanggung keluarga (bapak, ibu, dan 8 adiknya),
Said harus juga menanggung isteri dan empat anaknya.
Kaji Dalil dan Kaji Qomari
merupakan contoh lain perajin tempe yang berjalan stagnan. Mereka tergolong
orang yang ingin melestarikan tradisi lama dalam proses pembuatan tempe. Mulai
dari produksi sampai proses distribusi dilakukannya dengan cara tradisional.
Dari berbagai tipologi yang telah
dipaparkan di atas, bisa dinyatakan bahwa kemajuan ataupun kemunduran dalam
usaha tidak semata-mata disebabkan oleh keyakinan dan pemahaman agama
seseorang. Namun lebih dari itu, ada nilai-nilai lain yang mendorong
keberhasilan dalam melakukan usaha. Hal yang paling penting, yaitu perilaku dan
pemahaman ekonomi seseorang dalam proses produksi dan distribusinya. Selain itu
yang tidak kalah pentingnya adalah jaringan dan kreativitas dalam memasarkan
produk yang sesuai dengan permintaan pasar.
C. Spirit Agama dalam Perubahan
Sosial Ekonomi Masyarakat
Dari penyajian hasil penelitian diketahui terdapat
beberapa pola pemahaman beragama masyarakat Kampung Sanan. Pemahaman yang
variatif ini didapatkan dari sumber yang variatif, mulai dari pengajian rutin,
pendidikan pesantren dan lainnya. Variasi pemahaman ini melahirkan tindakan
sosial ekonomi yang berbeda-beda pula.
Pola pemahaman agama kaitannya dengan perilaku sosial
ekonomi masyarakat Sanan setidaknya dapat diringkas ke dalam empat kategori
berikut:
1. Mereka yang mempunyai
pemahaman agama lebih dicirikan dengan pengetahuan keislaman dan tingkat
pendidikan yang baik (alim), namun dalam perilaku sosialnya justru banyak
bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang dipahaminya.
2. Mereka yang berpemahaman agama
sedang/kurang (awam), namun dalam perilaku sosialnya justru banyak menjalankan
nilai-nilai yang diajarkan oleh agama dalam konteks sosial maupun individual.
3. Mereka yang berpemahaman agama
lebih dan tingkat pendidikan agama yang lebih (alim) dan memiliki perilaku
sosial yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama.
4. Mereka yang berpemahaman agama
kurang (awam) dan memiliki perilaku sosial yang sepadan dengan pemahaman
agamanya.
Dari keempat golongan ini, apabila diringkas lagi dalam
tabel yang didasarkan pada argumen pemahaman agama secara tekstual dan
kontekstual setidaknya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 14
Pola Pemahaman Agama terhadap Perilaku Keberagamaan dan Perilaku Ekonomi
dan Masyarakat Perajin Tempe
No
|
Pola Pemahaman Agama
|
Subyek
|
|
Tekstual
|
Kontekstual
|
||
1.
|
Memiliki pemahaman agama yang baik secara tekstual
|
Memiliki perilaku sosial yang kurang mencerminkan pemahaman agamanya
|
Cak
Madul dkk
|
2.
|
Memiliki pemahaman agama yang kurang (kaum awam)
|
Memiliki perilaku sosial ekonomi yang mencerminkan nilai-nilai agama
|
Didik Arif, Suwaji dkk
|
3.
|
Memiliki pemahaman agama yang baik secara tekstual
|
Memiliki perilaku sosial ekonomi yang mencerminkan nilai-nilai agama
|
Cak Said, Kaji Dalil, Kaji Qomari
dkk
|
4.
|
Memiliki pemahaman agama yang kurang (kaum awam)
|
Memiliki perilaku sosial yang setara dengan pemahaman agamanya
|
Kang Pi’i, Budi dkk
|
Sumber: Data Analisis Diolah Peneliti, 2010
Perilaku keberagamaan orang Islam ditentukan oleh teologi
yang menjadi menjadi keyakinannya. Secara garis besar ada beberapa aliran
teologi yang mengkonstruksi pemahaman masyarakat. Pertama Qadariah. Paham ini memberikan gambaran bahwa manusia memiliki
kebebasan (free will) dan kekuatan sendiri (free act) untuk
mewujudkan perbuatannya. Kedua Jabariah. Paham ini memiliki pemahaman
bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kemerdekaan dalam menentukan kehendak
dan perbuatannya. Artinya segala sesuatu yang terjadi dalam diri manusia sudah
ditetapkan oleh Allah.[72] Sedangkan ketiga yaitu Ash‘ariah,
aliran teologi ini menjembatani pertikaian antara dua aliran di atas dan
memiliki pemahaman bahwa manusia memiliki kebebasan dalam menentukan hak, namun
Allah juga memiliki kewenangan dalam menentukan.[73]
Paling tidak pemahaman agama di atas itulah yang
membentuk pola fikir masyarakat di Sanan. Namun jika dilihat dari keseharian
orang Sanan, mereka bisa digolongkan sebagai penganut ahlussunnah waljamā’ah (al-Ash’ariyah). Ajaran ini
ditampakkan secara nyata oleh masyarakat Sanan dengan etos kerja dan keuletan
serta pantang menyerah dalam berusaha dengan diiringi tawakal kepada Allah.
Sebagian besar mereka sangat meyakini bahwa rezeki itu diatur oleh Allah,
selama mereka mau berusaha untuk mencari. Hal ini bisa dilihat dari ungkapan
Kang Pi’i berikut ini;
Kulo mboten nggersulo,
mungkin garise namung sak monten, kaleh katah rugine; rugi mboten pajeng,
nyisah, rugi mboten saget jogo subuhe, inggih tetep shalat tapi mboten kados
wonten griyo. Urusan rezeki niku kan mboten hak awak dewe, tapi urusane Allah,
masiho kedik sing penting halal lan barokah.[74]
Pandangan yang sama juga
dikatakan oleh H. Qomari. Pada saat ia merasakan sangat mudah untuk mendapatkan
rezeki. “Mungkin gusti Allah sampun ngersaaken mekaten,”[75] ungkapnya. Selain itu,
sifat sabar dan keuletan serta etos kerja yang tinggi juga sudah tertanam dalam
sikap dan kesehariannya.
Pemahaman dan perilaku yang sama juga nampak dalam diri
Cak Said. Menurutnya bekerja membuat tempe adalah bagian dari ibadah dan yang
tidak kalah pentingnya adalah kedisiplinan. Seperti dalam penuturannya, “Ndamel
tempe niku butuh disiplin. Disiplin ndamel dan disiplin budhal. Saklintune niku
nggih butuh kesabaran, ketekunan lan ketelatenan. Gak mesti akeh gawene iku
sugih.”[76]
Dia beranggapan bahwa apa yang
dilakukannya adalah bagian dari ibadah kepada-Nya. Semua yang dia terima
sekarang adalah rezeki yang sudah ditentukan. ”Asalkan manusia mau berusaha
maka pasti Allah akan memberikan jalan yang terbaik, begitu juga sebaliknya.
Oleh karena itu, kita sebagai manusia harus senantiasa berusaha memberikan yang
terbaik buat orang-orang di sekeliling kita dan tentunya kepada Nya,” pungkasnya.
Pernyataan Cak Said ini
menunjukkan pentingnya kedisiplinan dalam bekerja. Selain itu juga menunjukkan
bahwa ada korelasi yang signifikan antara bekerja dan ibadah. Dalam tradisi
Islam, kerja dinilai sebagai sesuatu yang paling tinggi, baik di hadapan Tuhan
maupun di hadapan manusia. Bahkan Islam menyamakan bekerja yang diniati ibadah
dengan jihād fī sabīlillāh dan bahkan bisa menebus dosa. Islam juga
menempatkan kerja sebagai nilai kewajiban dalam beribadah.[77]
Agama
menjadi salah satu motor penggerak masyarakat Sanan untuk bekerja. Rupanya
keberadaan pesantren Roudlotul Mujtahidin ini memiliki pengaruh terhadap
perkembangan industri tempe di Sanan. Dhofir (1982) pernah menganalisis bahwa
kehidupan pesantren ditandai oleh suatu etika (etos) dan tingkah laku
kehidupan ekonomi yang bersifat agresif, penuh watak kewiraswastaan dan
menganut kebebasan berusaha.[78]
Dari watak dan tingkah laku
seperti itulah, menurut pengamatan Geertz, banyak sekali lulusan pesantren yang
menjadi pengusaha (pedagang), prosentase mereka cukup besar dalam lingkungan
kelompok pengusaha. Dalam hal kegairahan ekonomi di kalangan santri itu,
Clifford Geertz membuktikan dalam studi antropologisnya pada masyarakat santri
di Mojokunto (Pare, Jawa Timur) memiliki kegairahan ekonomi dan semangat kerja
yang sangat kuat.[79]
Max Weber pernah menganalisis bahwa perubahan
masyarakat Barat menuju kemajuan ekonomi tidak hanya disebabkan oleh kelompok
bisnis dan pemodal. Sebagian dari nilai keberagamaan Protestan yang memiliki
aspek rasionalitas ekonomi juga memiliki andil penting. Semangat membangun
kemandirian ekonomi secara individual dari doktrin-doktrin tersebut telah ikut
membangun peradaban kapitalisme awal secara massif, padahal semangat etik ini
bukan sebuah gerakan sistemik dan teroganisir yang memunculkan Protestanisme
dan Calvinisme dengan doktrinnya yang menekankan sikap puritan dan
asketik, memungkinkan terjadinya perubahan struktur ekonomi yang mendasar.
D. Relevansi Pemahaman
Agama dan Perilaku Ekonomi
Agama merupakan sistem sosial yang sudah terlembaga
dalam setiap masyarakat. Secara mendasar agama menjadi norma yang mengikat
dalam keseharian dan menjadi pedoman dari sebagian konsep ideal. Ajaran-ajaran
agama yang telah dipahami dapat menjadi pendorong kehidupan individu sebagai
acuan dalam berinteraksi kepada Tuhan, sesama manusia maupun alam sekitarnya.
Ajaran itu bisa diterapkan dalam mendorong perilaku ekonomi, sosial dan budaya.[80]
Kegiatan ekonomi mayarakat Sanan yang paling mendasar
meliputi konsep produksi, konsumsi dan distribusi. Pembahasan tentang perilaku
ekonomi tidak lepas dari bagaimana seseorang atau masyarakat melakukan
produksi, konsumsi dan distribusi, atau ada pula yang menambahkan konsep
redistribusi. Selain hal itu, motif dan etika ekonomi juga menjadi penentu
dalam menentukan laju perekonomian.
Menurut Pak Puji anggota Kelompok Informasi Masyarakat
(KIM), ada dua pola produksi yang digunakan perajin tempe, yaitu secara
tradisional dan modern. Sistem tradisional hanya menggunakan tempe lokal,
pengolahan dan penjualannya pun juga dilakukan secara tradisional. Sedangkan
sistem modern lebih berorientasi pada hasil penjualan, dan peralatan yang
digunakan pun juga sudah sangat modern. Para perajin tempe kini sudah mulai
banyak yang beralih ke pola yang terakhir ini.[81]
Usaha yang berkembang di Sanan adalah perajin tempe, toko
khusus jual kripik tempe, alat produksi tempe dan peternak sapi.”[82] Ada beberapa model dalam
produksi tempe; ada perajin yang hanya membuat tempe saja, ada yang membuat dan
menjualnya sendiri, ada yang menjadi agen dengan cara membeli barang-barang
dari orang lain dan menjualnya kembali, bahkan ada yang kegiatannya hanya kulak[83] saja, sistem nitip
penjualan juga masih ada walaupun sudah relatif sedikit.
Hampir semua perajin tempe yang ada di Kampung Sanan
diawali dengan ngenger kepada orang lain. Setelah dirasa mengetahui
seluk-beluk penjualan tempe, maka mereka akan berjualan sendiri dengan bahan
secukupnya. Namun ada pula yang menggunakan sistem kulak dari orang yang
dahulu pernah ia ikuti. Dalam rangka proses pemisahan dari orang yang di-ngenger-i
itu, biasanya masih dipantau dan diarahkan. Namun dengan modal keuletan,
ketelatenan dan kemauan yang tinggi serta doa mereka bisa menjadi perajin tempe
yang sukses. Rata-rata perajin tempe yang berhasil di Sanan memiliki perilaku
yang baik dengan dibarengi etos kerja yang tinggi.
Agama dan etos kerja memang memiliki wilayah yang
berbeda. Agama bergerak dalam dimensi ritual, sedang bekerja atau usaha adalah
berdimensi duniawi untuk mencari nafkah hidup. Namun, pada wilayah yang lain,
agama dan etos kerja memiliki relevansi yang cukup signifikan sebagai salah
satu motivasi spiritual menuju tambahan nilai kebaikan dan amal bagi keluarga
dan orang lain. Keterkaitan antara agama dan etos kerja, dapat dilihat dari
spirit keagamaan yang dimiliki para perajin tempe ketika merintis usahanya.
Sembilan bulan awal karirnya
menjual tempe, Ketang berjualan sendiri sebanyak 6 alir ke Surabaya atas ajakan
Nur Hasyim. Setiap alirnya dia beli Rp. 8.000,- menjual dengan harga Rp.
14.000,- dalam setiap alirnya. Ketang menjual tempe dengan cara di-pikul
keliling. Dari jualannya di Surabaya itu ketang hanya bisa mengantongi Rp.
150,- sd. Rp. 200,- setelah menyelesaikan setoran dan dipakai untuk transport
PP Malang-Surabaya dan uang makan.[84] Ini adalah bukti kerja
keras Ketang untuk merintis menjadi perajin tempe.
Lantas dimana letak relevansi
antara pemahaman agama dengan perilaku agama dengan perilaku ekonomi? Untuk
menjawab pertanyaan ini akan disajikan beberapa kategori seperti diungkapkan
sebelumnya. Pertama, orang yang memiliki pengetahuan agama yang baik dan
perilaku baik. Kedua, orang yang memiliki pengetahuan agama
kurang/sedang akan tetapi perilakunya baik. Ketiga, orang yang memiliki
pengetahuan agama baik, namun perilakunya kurang.
Dari ketiga kategori di atas
setidaknya bisa memberikan penjelasan
tentang relevansi antara agama, perilaku agama dan perilaku ekonomi. Orang yang memiliki
pengetahuan agama baik dan perilaku baik serta perilaku ekonomi baik
tergambarkan pada sosok Kaji Dalil. Sedangkan orang yang memiliki pengetahuan
agama cukup (pas-pasan) dan perilaku agama baik dan ekonominya
baik ada pada diri Suwaji. Sementara orang yang memiliki pemahaman agama baik
dan perilakunya jelek serta perilaku ekonominya jelek adalah Cak Madul.
E. Komparasi Teoritik; Relevansi
Perilaku Ekonomi dan Doktrin Agama
1.
Relevansi Pemahaman Agama dengan Spirit Etos Kerja Dalam Kehidupan Ekonomi
Max Weber pada awal abad ke-20
dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, pernah
merumuskan tentang hubungan rasional antara etos kerja dan kesuksesan suatu
bangsa. Weber hendak memotret etos kerja bangsa Jerman yang memiliki disiplin
yang tinggi, bekerja keras, punya obsesi yang tinggi untuk keberhasilan, tidak
suka bersenang-senang, dan lebih suka berinvestasi.
Singkatnya, Weber beranggapan bahwa etika protestan yang ada pada kaum
Calvinis memiliki semangat kebebasan dan etos kerja individu yang tinggi. Menurutnya, etika inilah yang memberikan
dorongan kuat kepada penganutnya guna mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan cara mengembangkan perdagangan selama hidup di dunia.
Weber beranggapan bahwa semangat inilah yang mendorong perkembangan kapitalisme
awal.
Dalam kondisi yang seperti ini,
Weber beranggapan agama akan senantiasa saling terkait dengan politik, ekonomi,
dan dunia pada umumnya. Agama berada pada posisi yang paling tinggi dalam diri
manusia. Dengan demikian, maka agama akan menuntun individu dalam menetukan
struktur ekonomi dan sosial di masyarakat. Tesis Weber tentang adanya hubungan
etika Protestan khususnya Calvinisme, dengan semangat kapitalisme modern dapat
disebut sebagai fenomena yang unik dan tidak dapat dijadikan sebagai kesimpulan
adanya hubungan dinamis antara agama dan modernisasi.
2.
Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi
Dalam konteks masyarakat Muslim,
penelitian Clifford Geertz[85] bisa dijadikan satu
rujukan lainnya. Dalam salah satu riset di Kediri, Jawa Timur pada awal 1960an,
Geertz menemukan banyak pengusaha di kota kecil tersebut yang berafiliasi pada
organisasi Islam Modernis. Mereka adalah kaum santri yang sangat taat
menjalankan ibadah. Di samping itu, dalam bekerja mereka memiliki tingkat
kedisiplinan yang tinggi, senantiasa bekerja keras, hemat atau jauh dari
perilaku konsumtif. Menurut Geertz, perilaku ekonomi ini dipengaruhi dengan
pemahaman kalangan santri modernis ini terhadap ajaran Islam.[86]
Geertz menilai bahwa kemajuan
perekonomian di Mojokunto dan Tabanan bukanlah semata-mata semgat “Etika
Protestan” yang khas seperti kerja keras, sifat hemat, kebebasan dan tekat
balut yang berlebihan, namun kemajuan di kota itu dikarenakan kekuatan
organisasinya. Kemajuan ekonomi efektif di Mojokuto bergerak dari ekonomi pasar
dan aliran perdagangan seluruhnya terpecah menjadi sejumlah besar transaksi
kecil antarpribadi yang saling berhubungan menuju ekonomi perusahaan. Dengan
model seperti ini, maka perdagangan dan perindustrian berjalan dalam satu
kerangka pranata-pranata yang ditentukan secara bersama-sama. Sistem ini
mengorganisasikan berbagai ragam keahlian dalam beberapa tujuan produktif
tertentu. Pendirian lembaga distribusi dan produksi berupa toko kecil, bengkel
dan pabrik menunjukkan perkembangan ekonomi di Mojokuto.[87]
3. Relasi Agama dan Perkembangan
Ekonomi Masyarakat
Selain Weber, penelitian lain
yang mencoba mencari relasi antara agama dan persoalan perkembangan ekonomi
dalam masyarakat agama adalah penelitian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah.
Melaui bukunya yang berjudul The Religion of Tokugawa, Bellah berusaha menemukan
faktor-faktor yang menunjang keberhasilan Jepang menjadi masyarakat industri
modern Jepang merupakan satu-satunya bangsa non Barat yang mampu dengan cepat
mentransformasikan dirinya menjadi negara industri.
Dari penelitian yang dilakukan
atas inspirasi Weber, Bellah menemukan ada hubungan dinamis antara agama
Tokugawa dan kebangkitan ekonomi Jepang modern. Hasil penelitian Bellah
menunjukkan bahwa etika ekonomi Jepang modern bersumber dari etika kelas
Samurai. Sedang etika Samurai berasal dari ajaran-ajaran Tokugawa.
4. Agama Sebagai Faktor Dominan
Perkembangan Sosial Ekonomi
Penelitian yang dilakukan Irwan
Abdullah merupakan sebuah hasil studi antropologi yang informatif, mendalam,
dan menarik tentang perekonomian rakyat di kota kecil di Klaten, Jawa Tengah.[88] Penelitian ini
terinspirasi oleh tulisan Max Weber.
Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Irwan Abdullah adalah pertama, keberhasilan komunitas pedagang muslim
Jatinom tidak hanya berdasarkan pada ketaatan dalam beragama saja, namun juga
ada faktor yang lain yang berperan seperti semangat berdagang, hubungan dan solidaritas
antar pedagang yang terikat dengan kelompok keagamaan dan lain sebagainya. Kedua, itu dia juga
menemukan bahwa agama memiliki peranan yang penting dalam mengarahkan perilaku
ekonomi pedagang. Ketiga, perkembangan usaha ditentukan oleh struktur politik
lokal yang melingkupi. Keempat, perkembangan perekonomian di Jatinom lebih
ditentukan oleh peluang-peluang ekonomi yang ada.
5 . Etika Islam: Dari Kesalehan
Individu Menuju Kesalehan Sosial
Adalah Muhammad Sobary yang
mencoba menjembatani tesis Weber tentang etika protestan di masyarakat muslim
di Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul Etika Islam: Dari Kesalehan
Individual Menuju Kesalehan Sosial (2007) Sobary melihat adanya etos kerja
dan gerakan wirausaha yang bangkit dari kesadaran keberagamaan. Tesis ini
mengkaji keadaan sosio-religius masyarakat Suralaya, sebuah perkampungan Betawi
perbatasan antara Jakarta dan Jawa Barat.
Temuan Sobary menunjukkan bahwa penduduk Suryalaya
bernasib beda dengan di Barat, meskipun sama memiliki pemahaman mengenai peran
agama sebagai etika perkembangan ekonomi. Kalau di Barat, Etika Protestan mampu
mengangkat mentalitas kapitalisme dalam banyak kalangan dan berkembang menjadi
kapitalisme modern. Berbeda dengan penduduk Suryalaya yang tetap kurang
mengalami keberuntungan ekonomi secara maksimal, karena diakibatkan oleh faktor
struktural dan non struktural.[89]
Sobary setidaknya mengemukakan empat alasan mengapa
tesis Weber tidak berjalan di kalangan masyarakat muslim Suralaya. Pertama,
keterbatasan ruang sehingga pemasaran terbatas. Kedua, tidak menjadi gerakan
ekonomi yang massif, hanya bersifat personal. Ketiga, spirit keagamaan warga
Suralaya tidak sekuat sebagai “panggilan” kaum Calvinis Protestan. Berdagang
hanya untuk kewajiban kebutuhan keluarga. Keempat, mereka mempunyai cukup modal
dan pengetahuan tentang pengembangan usaha.
6. Hasil Penelitian di
Sanan, Relevansi Pemahaman Agama dan Perilaku Ekonomi
Dalam penelitian ini ditemukan
bahwa pola pemahaman agama yang berbeda-beda pada setiap masyarakat utamanya
kelas pengusaha akan menghasilkan pola perilaku ekonomi yang berbeda-beda pula.
Dari pola perilaku ekonomi yang berbeda menghasilkan kesuksesan yang
berbeda-beda. Sebagaimana dijelaskan setidaknya terdapat empat golongan
masyarakat terkait dengan pola pemahaman agama dan perilaku ekonominya. Keempat golongan tersebut
adalah:
a.
Mereka yang berpemahaman
agama lebih yang dicirikan dengan pengetahuan keislaman dan tingkat pendidikan
yang baik (alim), namun dalam perilaku sosialnya justru banyak bertentangan
dengan ajaran-ajaran agama yang dipahaminya.
b.
Mereka yang
berpemahaman agama sedang/kurang (awam), namun dalam perilaku sosialnya justru
banyak menjalankan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama dalam konteks sosial
maupun individual.
c.
Mereka yang
berpemahaman agama lebih dan tingkat pendidikan agama yang lebih (alim) dan
memiliki perilaku sosial yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama.
d.
Mereka yang
berpemahaman agama kurang (awam) dan memiliki perilaku sosial yang sepadan
dengan pemahaman agamanya.
Perajin tempe di Sanan tidak menggunakan teori-teori
ekonomi yang diperoleh dari bangku sekolah maupun kuliah. Pendidikan mereka
tidak tinggi. Mereka hanya belajar dari pengalaman sehari-hari saja. Dengan
modal keuletan, ketelatenan dan kemauan yang tinggi mereka bisa menjadi perajin
tempe yang sukses.
Kondisi di Sanan ini memberikan gambaran bahwa pola
pemahaman keagamaan masyarakat memiliki pengaruh signifikan terjadap
perkembangan ekonomi. Agama bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi
perilaku ekonomi mereka. Ada banyak faktor lain misalnya dari segi interaksi
sosial, faktor profesionalitas, faktor hemat, manajemen ekonomi dan
kedisiplinan yang justru didapatkan bukan dari pemahaman agama. Justru
pemahaman agama yang mendorong kesuksesan sebagian besar mereka adalah
keyakinan sebaliknya, yakni aspek asketis dan penyerahan total terhadap faktor
ilahiyah.
Di Kampung Sanan semua pengusaha tempe beragama Islam,
namun tidak semuanya sukses seperti yang digambarkan oleh Weber. Namun
kesalehan dan ketaatan beragama yang dimplementasikan dalam keseharian tidak
dimiliki oleh semua perajin tempe. Hanya perajin tempe yang memiliki kesalehan
yang diimplementasikan melalui perilaku ekonomi yang setara dengan ajaran agama
yang berpeluang berhasil. Kebanyakan dari perajin tempe baik juragan maupun
buruh juga bukan orang-orang modernis seperti yang digambarkan oleh Weber.
Mereka hanyalah muslim tradisional yang mengikuti paham asy’ariah, yang sering
diasosiasikan dengan ajaran-ajaran fatalisme.
Tabel 3
Komparasi Hasil Penelitian
No
|
Penelitian
|
Topik
|
Hasil Penelitian
|
Komparasi di Sanan
|
||
1.
|
Max Weber: Etos Kerja dalam Etika Protestan, The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism (1905)
|
Kristen
Protestan, Calvinisme, Jerman, Perkembangan Kapitalisme Eropa Barat
|
Etika
protestan mengajarkan semangat kebebasan dan etos individu telah menggerakkan
penganutnya untuk bekerja keras dan menggapai keuntungan hidup
sebanyak-banyaknya selama hidup di dunia dengan mengembangkan perdagangan dan
melakukan berbagai kegiatan ekonomi produktif.
|
Benar
bahwa moralitas, nilai dan etika agama telah mendorong penganutnya untuk
bekerja keras mencari kehidupan ekonomi (duniawi), namun tidak hanya sebatas
nilai rasionalitasnya belaka. Kepasrahan terhadap kehendak yang kuasa juga
bisa memacu orang untuk bekerja sangat keras.
|
||
2.
|
Clifford Geertz: Etos Kerja dan Perilaku Ekonomi
Kaum Muslim Reformis-Puritan, Penjaja
dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota di Indonesia
(1977)
|
Pengusaha
Muslim, Mojokuto Kediri, organisasi Islam Modernis, Perilaku Ekonomi
|
Reformisme
Islam, dalam bentuknya Muslim puritan, adalah doktrin mayoritas para saudagar.
Di samping itu, dalam bekerja mereka memiliki tingkat kedisiplinan yang
tinggi, senantiasa bekerja. Mereka adalah kaum santri yang sangat taat
menjalankan ibadah. Di samping itu, dalam bekerja mereka memiliki tingkat
kedisiplinan yang tinggi, senantiasa bekerja keras, hemat atau jauh dari
perilaku konsumtif. Menurut Geertz, perilaku ekonomi ini dpengaruhi dengan
pemahaman kalangan santri modernis ini terhadap ajaran Islam
|
Perilaku
non-konsumtif , tidak jujur, tidak hemat, tidak disiplin tidak terkait dengan
golongan Islam tertentu terkait dengan doktrin tertentu. Penelitian di Sanan
menunjukkan bahwa sebagian besar pengusaha sukses adalah mereka yang berasal
dari kaum Muslim tradisional, bukan puritan reformis modernis. Ketaatan
menjalankan ibadah tidak menjadi satu-satunya aspek keberhasilan ekonomi di
Sanan.
|
||
3.
|
Robert N. Bellah: Etos Kerja dalam Agama Tokugawa
di Jepang, Religi Tokugawa
Akar-akar Budaya Jepang (1992)
|
Agama
Tokugawa Jepang, kebangkitan ekonomi Jepang, penerapan nilai-nilai Etika
Protestan
|
|
Di Kampung Sanan semua pengusaha tempe
beragama Islam, namun tidak semuanya sukses seperti yang digambarkan oleh
Weber. Namun kesalehan dan ketaatan beragama yang dimplementasikan dalam
keseharian tidak dimiliki oleh semua perajin tempe. Hanya perajin tempe yang
memiliki kesalehan yang diimplementasikan
melalui perilaku ekonomi yang
setara dengan ajaran agama yang berpeluang berhasil.
|
||
4.
|
Irwan Abdullah: Peran Nilai Agama dalam Perilaku
Ekonomi, The Muslim Bussinessmen of Jatinom: Religious Reform
and Economic Modernization in a Central Javanese Town (1994)
|
Pedagang
Muslim Jatinom Klaten, komunitas pedagang Cina, politik lokal, peran nilai
agama
|
Lanjutan...............................
Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Irwan Abdullah adalah pertama, keberhasilan
komunitas pedagang muslim Jatinom tidak hanya berdasarkan pada ketaatan dalam
beragama saja, namun juga ada faktor yang lain yang berperan seperti semangat
berdagang, hubungan dan solidaritas antar pedagang yang terikat dengan
kelompok keagamaan dan lain sebagainya. Kedua, itu dia juga menemukan bahwa
agama memiliki peranan yang penting dalam mengarahkan perilaku ekonomi
pedagang. Ketiga, perkembangan usaha ditentukan oleh struktur politik
lokal yang melingkupi. Keempat, perkembangan perekonomian
di Jatinom lebih ditentukan oleh peluang-peluang ekonomi yang ada.
|
Apa yang ditemukan Abdullah memiliki banyak persamaan
dengan yang ditemukan dalam penelitian ini. Agama memang menjadi faktor yang
mempengaruhi keberhasilan ekonomi, namun bukan satu-satunya. Ada banyak
faktor lain yang memiliki pengaruh besar, baik itu bersumber dari agama
maupun tidak sama sekali, terkait dengan keberhasilan ekonomi seseorang.
|
||
5.
|
M Sobary: Etos Kerja dan Spirit Islam, Catatan
untuk Weber, Etika Islam:
Dari Kesalehan Individual Menuju Kesalehan Sosial (2007)
|
Etos
kerja Muslim, Suralaya, catatan untuk tesis Etika Protestan
|
Temuan
Sobary menunjukkan bahwa penduduk Suryalaya bernasib beda dengan di Barat,
meskipun sama memiliki pemahaman mengenai peran agama sebagai etika
perkembangan ekonomi. Kalau di Barat, Etika Protestan mampu mengangkat
mentalitas kapitalisme dalam banyak kalangan dan berkembang menjadi
kapitalisme modern. Berbeda dengan penduduk Suryalaya yang tetap kurang
mengalami keberuntungan ekonomi secara maksimal, karena diakibatkan oleh
faktor struktural dan non struktural
|
Temuan
di Sanan menunjukkan bahwa kualitas pemahaman agama seseorang tidak menjadi
jaminan perilaku dan perkembangan
ekonomi tertentu. Mereka yang berpemahaman agama lebih, namun dalam
perilaku sosial ekonominya justru banyak bertentangan dengan ajaran-ajaran
agama yang dipahaminya, dan dia mengalami kebangkrutan. Dan sebaliknya.
|
Sumber:
Diolah dari analisis hasil penelitian, 2010
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah
melakukan pemaparan hasil penelitian dan analisis data, sesuai dengan rumusan
penelitian yang diajukan di awal, penelitian ini menarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1.
Pemahaman Agama
Pemahaman agama masyarakat memiliki pengaruh yang
kuat dalam membentuk perilaku sosial ekonomi. Namun pemahaman agama semata
tidak selalu berhasil mengejawantahkan apa yang dipahami dengan apa yang harus
dipraktikkan. Tindakan sosial dan ekonomi masyarakat juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain di luar nilai-nilai agama. Hal inilah yang melahirkan
kenyataan ada sebagian masyarakat yang memiliki pengetahuan agama yang dianggap
baik (dilihat dari kualitas pendidikan dan lingkungan keluarga) namun justru
tidak berhasil menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupannya. Sebaliknya, ada
sebagian masyarakat yang memiliki pengetahuan agama awam namun perilaku sosial
ekonominya persis dengan apa yang diajarkan dalam nilai-nilai agama. Hal ini
juga berlangsung dalam konteks etos kerja, hubungan kerja, interaksi dengan masyarakat,
dan perilaku sosial lain.
2.
Perilaku Ekonomi
|
3.
Relevansi Pemahaman Agama dan
Perilaku Ekonomi
Dapat dikemukakan sedikitnya terdapat 4 (empat) kategori perilaku ekonomi
berkaitan dengan pemahaman agama mereka. Pertama,
mereka yang memiliki pengetahuan agama yang alim dan memiliki perilaku ekonomi
yang sepadan dengan pengetahuan agamanya. Kedua,
mereka yang memiliki pengetahuan agama yang alim namun tidak menjadikan
pengetahuan agamanya sebagai faktor yang harus dipertimbangkan dalam perilaku
ekonominya. Ketiga, mereka yang
memiliki pengetahuan awam namun memiliki perilaku ekonomi yang sesuai dengan
nilai-nilai agama sebagaimana dipraktikkan oleh golongan pertama. Keempat, mereka yang memiliki perilaku
ekonomi yang sepadan dengan pengetahuan agamanya yang awam.
Temuan penelitian ini juga menjawab pemahaman umum yang menyatakan
pandangan fatalistik (jabariyah)
dalam agama justru menjadi penghalang bagi masyarakat untuk melakukan perubahan
dalam konteks ekonomi. Warga Kampung Sanan justru meletakkan aspek fatalistik
ini sebagai sikap terakhir ketika semua usaha keras sudah dilakukan. Ungkapan
“yang penting saya sudah bekerja, hasilnya terserah Yang Kuasa” menjawab
problem yang terjadi selama ini bahwa tidak semua pengertian fatalistik dalam
agama berkontribusi negatif dalam usaha-usaha yang bersifat ekonomi (duniawi).
Pengetahuan agama bukanlah satu-satunya faktor yang mendorong perilaku
sosial ekonomi. Perilaku ekonomi juga banyak ditentukan dari faktor-faktor lain
seperti aspek kesejarahan, lingkungan dan interaksi sosial, serta sejauh mana
individu menyerap nilai agama dan diaplikasikan substansinya dalam kehidupan
sehari-hari.
B. Implikasi Teoritik
1. Konsep Stratifikasi Sosial
Berangkat dari pemaparan analisis data yang sudah dilakukan, dalam hal
stratifikasi sosial, penelitian ini memperkuat konsep yang ada selama ini bahwa
stratifikasi sosial memiliki kaitan erat dengan aspek perekonomian masyarakat.
Apa yang dapat ditambahkan dari hasil penelitian ini adalah keterkaitan antara
dimensi sejarah dan pemahaman keyakinan (agama) suatu masyarakat yang turut
serta membentuk dan memperkokoh suatu stratifikasi dalam masyarakat.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa perpindahan status sosial masyarakat
juga dipengaruhi oleh sejauh mana pemahaman agama yang dimilikinya. Di sisi
lain, mobilitas status sosial ini juga ditentukan dari sejauh mana etos kerja
yang terbangun dari pemahaman agama ini. Sebab pemahaman agama seseorang tidak
selalu relevan dengan tingkah laku ekonomi yang dilakukan sehari-hari. Dengan
kata lain pemahaman agama tidak selalu berbanding lurus dengan nilai-nilai yang
dilakukan sehari-hari. Pemahaman agama yang bagus yang dimiliki kaum elit tidak
serta merta mencerminkan tingkah laku ekonomi sesuai dengan nilai-nilai agama,
dan sebaliknya.
2. Konsep Pemahaman Agama
Dari hasil penelitian ini dapat ditegaskan bahwa pemahaman atas ajaran
sebuah agama tidak selalu menjadi cermin atas perilaku sosial yang dilakukan
sehari-hari. Ada banyak faktor yang mempengaruhi cara orang berperilaku. Agama
hanya menjadi sebagian faktor yang turut memberikan kontribusi, dan bukan
satu-satunya. Hal ini melahirkan kenyataan bahwa pemahaman agama yang baik
tidak selalu melahirkan tingkah laku yang baik pula. Begitu pula dengan
perilaku ekonomi dan etos kerja. Hanya dengan pemahaman agama yang
diimplementasikan secara sungguh-sungguh yang berhasil membentuk perilaku yang
baik pula.
Agama yang hanya dipahami secara tekstual senyatanya tidak bisa menjadi
ukuran perilaku ekonomi dan etos kerja yang tinggi. Namun nilai agama yang
dibatinkan serta diterapkan secara kontekstual terbukti banyak membantu
seseorang untuk tetap bekerja keras di suatu waktu dan menyerahkan semua
hasilnya kepada Yang Kuasa di waktu lainnya. Inilah yang dapat disumbangkan
dari hasil penelitian ini bahwa kendatipun nilai-nilai agama memiliki
kontribusi terhadap perkembangan ekonomi suatu masyarakat, namun hal tersebut
hanya terbatas pada nilai-nilai agama yang kontekstual.
3. Konsep Perilaku Ekonomi
Apa yang
ditemukan dalam kajian ini juga memperkuat temuan yang menyatakan adanya
relevansi antara pemahaman agama terhadap kemajuan ekonomi seseorang. Namun
demikian yang menjadi pangkal pokok temuan dalam penelitian ini adalah konteks
pemahaman agamanya. Pemahaman agama yang bisa memberikan kontribusi
perekonomian justru berasal dari mereka yang memahami nilai-nilai agama secara
kontekstual, bukan semata-mata kontekstual. Kendatipun disampaikan bahwa nilai
agama memiliki pengaruh terhadap perkembangan ekonomi masyarakat, namun nilai
agama bukanlah satu-satunya. Ada aspek lain seperti faktor kesejarahan,
interkasi masyarakat, dan aspek sosial budaya lainnya.
Hal lain
yang patut menjadi perhatian adalah bahwa pemahaman agama dalam konteks asy’ariyah sebagaimana dipahami begitu
sering terbelenggu dalam faktor fatalisme, justru tidak berpengaruh dominan
dalam menentukan keberhasilan ekonomi masyarakat sebagaimana amatan Geertz di
Mojokuto. Apa yang terjadi Sanan merupakan suatu temuan yang bisa didiskusikan
kembali, bahwa sebagian besar pengusaha yang berhasil adalah mereka yang bisa
memadukan antara aspek kerja keras dan ketertundukan atas hasil kerja keras itu
di hadapan Yang Kuasa. Mereka yang berhasil justru mereka yang bekerja keras di
siang hari (profit oriented) dan
tetap bergumul dalam berbagai kegiatan sosial (social oriented) dan kegiatan keagamaan (transenden) di malam hari.
Kombinasi antara kedua sikap dan perilaku yang sering disebut ‘berbeda’ ini
justru melahirkan sikap sosial yang memiliki kontribusi positif untuk
perkembangan ekonomi masyarakat.
C. Keterbatasan Studi
Walaupun
sudah diupayakan secara maksimal, penelitian ini tetap saja memiliki
keterbatasan yang disadari sepenuhnya. Di antara keterbatasan studi yang
diharapkan menjadi pemikiran selanjutnya dan dapat dilengkapi oleh studi-studi
lain dengan tema sejenis adalah sebagai berikut:
1.
Penelitian ini dilakukan hanya
dalam konteks memahami nilai-nilai agama yang membentuk perilaku ekonomi
seseorang dan tidak secara maksimal mengemukakan nilai-nilai sosial lain yang
turut membentuk perilaku ekonomi. Selain itu juga tidak secara maksimal
membahas peran manajemen bisnis dan segi motivasi dalam berbisnis. Penelitian
ini hanya sanggup mengungkapkan bahwa faktor agama adalah salah satu faktor
saja dan bukan satu-satunya faktor. Mengenai faktor lain apakah yang paling berperan
dalam membentuk perilaku ekonomi seseorang tidak dibahas secara mendalam.
Keterbatasan ini akan terjawab bila ada studi lain yang mampu mengupas tuntas
dalam lebih mendalam serta komprehensif sejauh mana berbagai faktor tersebut
mempengaruhi perilaku dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat.
2.
Indikator pemahaman agama yang
digunakan dalam penelitian ini barangkali terlalu sederhana dan simplifikatif
sebab lebih banyak menonjolkan aspek pendidikan, lingkungan maupun keturunan.
Pemahaman agama sebagaimana diketahui tentu bermakna luas dan mendalam dan
mungkin bersifat personal. Namun dalam penelitian ini lebih banyak digunakan
secara umum dan lebih bersifat generalisasi. Keterbatasan ini diharapakan bisa
memacu studi lain utamanya memberikan indikator perilaku keagamaan yang
berdimensi testual dan kontekstual.
3.
Pemaknaan kemiskinan
sebagaimana terjadi di situs penelitian bukanlah sebuah temuan yang baru sama
sekali. Keterbatasan penelitian ini di antaranya adalah mempelajari apakah
masyarakat memahami secara sungguh-sungguh mengapa program demikian yang sudah
nyata kegagalannya masih sering diulang-ulang dalam berbagai kesempatan. Sejauh
mana kesadaran dalam memahami nilai-nilai politis dalam berbagai program
tersebut tidak banyak dikupas dalam penelitian ini. Padahal pemahaman itu
justru paling penting untuk mengetahui dasar-dasar seseorang menerima bantuan
tersebut berdasarkan beragam argumentasi yang dimilikinya. Penelitian ini tidak
membahas secara mendalam fenomena yang cukup menarik tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’ān
al-Karīm
al-Atas, Syed Hussein, 1988, Mitos Pribumi
Malas: Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial.
Jakarta: LP3ES.
Abdullah, Irwan, 1994, ”The Muslim Businessmen of Jatinom:
Religious Reform and Economic Modernization in a Central Javanese Town”, Disertation,
Amsterdam: University of Amsterdam.
Abdullah, Taufik (ed.), 1979, Agama, Etos Kerja
dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta: LP3ES, Yayasan Obor dan LEKNAS-LIPI.
Abdullah, Taufik (ed), 1988, Tesis Weber dan Islam
di Indonesia dalam Agama, dalam Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi,
cet. IV, Jakarta: LP3ES.
Abdulsyani, 1992, Sosiologi, Skematika, Teori
dan Terapan, Jakarta: Bumi Aksara.
Abidin, Hamid, 2004, Reinterpretasi
Pendayagunaan ZIS: Menuju Efektivitas Pemanfaatan Zakat Infak Sedekah,
Jakarta: Piramedia.
Alfian, 1980, Kemiskinan Struktural: Suatu
Bunga Rampai, Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial dan HIPIS.
Al-Andang, 1998, Agama yang Berpijak dan
Berpihak, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Ali, Lukman, et.all., 1996, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Ketujuh, Jakarta: Balai Pustaka.
Ali, Muhammad Daud, 1998, Sistem Ekonomi Islam
Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI-Press.
Alpizar, 2008, Islam dan Perubahan Sosial:
Suatu Teori tentang Perubahan Masyakarat.
Andresky, Stanislav, 1989, Max Weber:
Kapitalisme, Birokrasi dan Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Arikunto, S., 1989, Prosedur Penelitian: Suatu
Pendekatan Praktis, Jakarta: Bina Aksara.
Arslan, Mahmut, 2000, “A Cross-Cultural Comparison of British and
Turkish Managers in Terms of Protestant Work Ethic Characteristics, Business
Ethics”, A European Review, Volume 9 Number 1, January 2000, Blackwell
Publishers Ltd, UK.
Asifudin, Ahmad Janan, 2004, Etos Kerja Islami,
Surakarta: Universitas Muhammadiyah.
al-As}fah}a>ni>y, Al-Ra>ghib, tanpa
tahun, Mu’jam Mufrada>t li Alfa>ẓ al-Qur’a>n, Beirut: Dar al-Fkr.
Aziz, Moh., dkk., (ed.). Dakwah Pemberdayaan
Masyarakat: Paradigma Aksi Metodologi, Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Azizy, A. Qodri, 2004, Membangun Fondasi Ekonomi Umat
Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Azra, Azyumardi, 2003, Berderma untuk Semua:
Wacana dan Praktik Filantropi Islam, Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah-Teraju.
Al-Ba’ly, Abdul Al-Hamid Mahmud, 2006, Ekonomi
Zakat: Sebuah Kajian Moneter dan Keuangan Syariah, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Bamualim, Chaider S., 2005, Revitalisasi
Filantropi Islam, Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya.
Bellah, Robert N., 1992, Religi Tokugawa:
Akar-akar Budaya Jepang, Jakarta: Gramedia.
Berger, Peter L dan Thomas Luckman, 1991, Langit
Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES.
Berger, Peter L. dan Luckman, Thomas, 1991, Tafsir
Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta:
LP3ES.
Beyer, Peter dalam Richard H. Roberts (ed.), 1995, Religion and
The Transformations of Capitalism, cet. I, London: Routledge.
Boediono, 1996, Pengantar Ekonomi Makro, Yogyakarta: BPFE.
UGM.
Budiman, Arif, 1995, Teori-teori Pembangunan Dunia Ketiga,
Jakarta: Gramedia.
Campbell, Tom, 1994, Tujuh Teori Sosial, Terj. F. Budi
Hardiman, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Chapra, M. Umer, 1999, Islam dan Tantangan Ekonomi: Islamisasi
Ekonomi Kontemporer, Surabaya; Risalah Gusti.
Cook, Sarah dan Macauray, Steve, 1997, Perfect Empowerment:
Pemberdayaan yang Tepat, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Damsar, 2009, Pengantar Sosiologi Ekonomi, Jakarta: Prenada
Media Group.
Dhofir, Zamarkahsyari, 1982, Tradisi Pesantren: Studi tentang
Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES.
Djakfar, Muhammad, 2009, Anatomi Perilaku
Bisnis Dialektika Etika dengan Realitas, Malang: UIN Perss.
Djazuli, H. A. dan Janwari, Yadi, 2002, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat: Sebuah
Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo.
Djojohadikusumo, Sumitro, 1982, Agama, Etos
Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta: LP3ES.
Djojohadikusumo, Sumitro, 1991, “Perkembangan
Pemikiran Ekonomi”, Buku 1, Dasar Teori dalam Ekonomi Umum, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Efendi, Bahtiar, 2001, ”Pertumbuhan Etos Kerja
Kewirausahaan dan Etika Bisnis di Kalangan Muslim”, dalam Masyarakat Agama
dan Pluralisme Keagamaan, Yogyakarta: Galang Press.
Elliot, Charles, 1987, Perfect Empowerment, New York: UNESCO.
Engineer, Asghar Ali, 1999, Islam dan Teologi Pembebasan,
Bandung: Mizan.
Fanani, Ahmad Fuad, 2004, Islam Madzhab Kritis: Menggagas
Keberagamaan Liberatif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Fauroni, Lukman, 2009, Produksi dan Konsumsi dalam al-Qur’an:
Aplikasi Tafsir
Ekonomi al-Qur’an,
Yogyakarta: ttp.
Franz Magnis-Suseno, 1997, “Nilai Budaya Jawa
dan Etika Bisnis”, Driyarkara, Tahun XXIII, No. 5, 1997
Friedmann, John, 1989, Regional Development
Policy; A Case Study of Venezuela Cambridge, Mass M.I.T. Press.
Friedmann, John, 1992, Empowerment: The Politic of Alternative
Development, Blackwell Publisher.
Geertz, Clifford, 1977, Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan
Modernisasi Ekonomi di Dua Kota di Indonesia, Jakarta: Buku Obor,
Geertz, Clifford, 1981, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya.
Geertz, Clifford, 1985, Religion as a Cultural System dalam M.
Banton, Anthropological Approaches to the Study of Religion, London: Tavistock: XLIII.
Gulger, Alan Gilbert dan Josef, 2007, Urbanisasi dan Kemiskinan
di Dunia Ketiga, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Hafidhuddin, Didin, 2000, Tentang
Zakat Infak Sedekah, Jakarta: Gema Insani Press.
Hafidhuddin, Didin, 2002, Zakat dalam Perekonomian Modern,
Jakarta: Gema Insani Press.
Hanafi, Syafiq Mahmadah dan Sobirin, Achmad, 2002, “Relevansi
Ajaran Agama dalam Aktivitas Ekonomi (Studi Komparatif antara Ajaran Islam dan
Kapitalisme)”, IQTISAD Journal of Islamic Economics ISSN 1411– 013X, Vol. 3, No. 1, Muharram 1423
H/Maret 2002.
Hanna, Milad, 2005, Menyongsong yang Lain
Membela Pluralisme, Jakarta: Jaringan Islam Liberal.
Hasan, Tholchah dkk., 2005, Etos Kerja Laksana
Bulan Purnama, Malang: Aswaja Centre LPITI Unisma dan Pemkot Batu.
Horikoshi, Hiroko, 1987, Kiai dan Perubahan
Sosial, Jakarta: P3M.
Horton, Paul B dan Hunt, Chester L., 1989, Alih
bahasa: Aminuddin Ram. Sosiologi, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Horton, Paul B dan Hunt, Chester L., 1992, Sosiologi,
Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hume, David dan Turner, M. 1990. Sociology of Development:
Theoreties, Policies, and Practices, Harvester.
Ibrahim, Saad M., 1997, “Kemiskinan dalam Perspektif Al-Qur’an”
Disertasi, Jakarta: Pasca Sarjana, Institut Agama Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
Ibrahim, Saad, 2007, Teologi Kemiskinan, Memaknai Kembali
Kemiskinan dalam Perspektif al-Qur'an, Malang: UIN Press.
Ibnu Katsīr, al-Hāfiz ‘Imāmuddīn Abdul Fida’ Ismā’īl bin ‘Umar, 1414
H./1994 M., Lubāb al-Tafsīr min Ibn Katsīr, Juz 2, Kairo: Muassasah Dār
al-Hilāl.
International Forum on Globalization, 2003, Globalisasi
Kemiskinan dan Ketimpangan, Yogyakarta: Cindelaras.
Ishomuddin, 2005, Sosiologi Perspektif Islam, Malang: UMM
Press.
al-Ja>ziri>y, ‘Abd
al-Rah}ma>n bin Muh}ammad, tanpa tahun, ‘Awa>d} al-Fiqh ‘ala>
Madha>hib al-‘Arba’ah, Mesir: Dar Ibn al-Haitsam.
Jasni, Zainuh, 1968, Ekonomi Swadaja, Djakarta: Penerbit Bulan Bintang.
Kahmad, Dadang, 2002, Karl Marx: Towards a Critique of Hegel’s
Philosophy of Right: An Introduction, MSW.
Kahmad, Dadang, 2002, Sosiologi Agama, Bandung: Rosda Karya.
Karim, Adiwarman, 2002, Ekonomi Mikro Islam, Jakarta:
International Institute of Islamic Thought [IIIT] Indonesia.
Karim, Adiwarman, 2004, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Kartasasmita, Ginandjar, 1996, Pembangunan untuk Rakyat:
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta: CIDES.
Kartasasmita, Ginandjar, 1997, Kemiskinan,
Jakarta: Balai Pustaka.
Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Republik Indonesia, 2008, Undang-Undang Republik Indnesia Nomor 20
Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Khozin, 2000, “Modernisasi dan Transformasi
Keagamaan: Kajian Pergeseran dari Abangan menjadi Santri dalam Perspektif
Emik,” Salam, Program Pascasarjana UMM Vol. 3 No. 1/2000, Malang.
Koentjaraningrat, 1997, Kebudayaan, Mentalitas
dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia.
Korten, David C. dan Syahrir (ed), Pembangunan
Berdimensi Kerakyatan, Jakarta: Yayasan Indonesia.
Krannich, Ronald J., 1982, “Governing Urban Thailand: Copying
with Policies and Administrative Politics,” dalam Urban Affairs Quartely,
No. 3 March 1982.
Kurniawati, 2004, Kedermawanan Kaum Muslimin: Potensi dan Realita
Zakat Masyarakat di Indonesia, Jakarta: Piramedia.
Lee, Thomas W., 1999, Using Qualitative Methods in Organizational
Research, Sage Publications.
Oscar Lewis, 1959, Five Families: Mexican Case Studies in the
Culture of Poverty,
Madjid, Nurcholis, 1994, Demokratisasi Politik,
Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, Jakarta: Paramadina.
al-Maqdisi, Faedhullah al-Husni, Tanpa tahun. Fathu
al-Rahman li Thalibi Ayat al-Qur’an, Surabaya: Maktabah Dahlan, tt.
Maliki, Zainuddin, 2005, Agama Priyayi: Makna
Agama di Tangan Penguasa, Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Maliki, Zainuddin, 2006, dalam kuliah “Simbol-simbol
Ajaran Agama” di Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya.
al-Maqdisi, Faid}ulla>h al-H}usni, tanpa tahun,
Fath} al-Rah}ma>n li T}a>libi A<ya>t al-Qur’a>n, Surabaya:
Maktabah Dahlan.
Marx, Karl, Towards a Critique of Hegel’s Philosophy of Right:
an Introduction, MSW.
al-Mausu>’ah al-H{adi>th al-Sha>rif, Cetakan kedua
(Jami>’ al-H{uqu>q Mah}fud}ah li Shirkah al-Bara>mij al-Isla>miyah
al-Dawliyah, Global Islamic Software Company, 2000), 1991-1997.
Mas’ud, Novian, 2009 dalam Muhammad Djakfar, Anatomi Perilaku
Bisnis Dialektika Etika dengan Realitas, Malang: UIN Press.
Moleong, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet ke-16,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Moore, Wilbert E., 1967, Order and Change: Essay in Comparative
Sociology, New York: John Wiley and Sons.
Muchtarom, Zaini, 1988, Santri dan Abangan di Jawa, Jakarta:
INIS.
Mudrajad, Kuncoro, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah:
Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Surabaya: Penerbit Erlangga.
Muhni, Djuretna A. Imam, 1994, Moral dan Religi Menurut Emile
Durkheim dan Henry Bergson, Yogyakarta: Kanisius.
Murrell, Peter, 2002, “Institutions and Firms in Transition
Economics”, Journal of Economic Literature, Classification Numbers: P3, D23,
K1, H1.
Mursi, Abdul Hamid, 1994, SDM yang Produktif, Pendekatan
al-Qur’an dan Sains, dalam (ter.) Moh. Nur Hakim, Jakarta: Gema Insani
Prees.
Mu'tasim, Radjasa dan Abdul Munir Mulkhan, 1998, Bisnis Kaum
Sufi: Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nababan, M. Faruq, 2002, al-Iqtis}a>d al-Isla>mi>, dalam
(ter.) Zainuddin dan Noersalim, Sistem Ekonomi Islam Pilihan Setelah Kegagalan
Istem Kapitalis dan Sosialis, Yogyakarta: Tim UII Press.
Nakamura, Mitsuo, 1983, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon
Beringin, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Naqvi, Syed Nawab Haider, 1993, Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu
Sintesis Islami, Bandung: Penerbit Mizan.
Naqvi, Syed Nawab Haider, 2003, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Nashir, Haedar, 1997, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasir, Nanat Fatah, 1999, Etos Kerja Wirausahawan Muslim,
cet. I, Bandung: Gunung Jati Press.
Nasution, Harun, 2002, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah,
Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press.
Ndraha, Tajuddin, 1887, Pembangunan Masyarakat:
Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas, Jakarta: Penerbit Bina Aksara.
Nitiprawiro, Wahono, 2000, Teologi Pembebasan:
Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, Yogyakarta: LKiS.
Syam, Nur, 2005, Islam Pesisir, Yogyakarta:
LKiS.
Oscar Lewis, 1959, Five Families: Mexican Case Studies in the
Culture of Poverty.
Pals, Daniel L., 2001, Seven Theories of Religion: dari Animisme
E. B. Tylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya Cliffort Geertz,
Yogyakarta: Qalam.
Pranarka dan Prijono (ed.), 1996, Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan
dan Implementasi, Jakarta: CSIS.
Qadir, Abdurrachman, 1998, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan
Sosial, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Qardawi, Yusuf, 2002, Hukum Zakat, Cetakan
VI, Jakarta: Litera Antar Nusa.
Qardawi, Yusuf, 2002, Teologi Kemiskinan:
Doktrin Dasar dan Solusi Islam atas Problem Kemiskinan, Yogyakarta: Mitra
Pustaka.
Qodir, Zuly, 2002, Agama dan Etos Dagang,
Solo: Pondok Edukasi.
Quthb, Sayyid, 1987, Islam dan Perdamaian Dunia,
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Quthb, Sayyid, 1994, Keadilan Sosial dalam
Islam, Jakarta: Pustaka.
Quthub, Muhammad, 1993, Jawaban terhadap Alam
Fikiran Barat yang Keliru tentang aI-Islam, dalam ter. Alwi A. S., Bandung:
CV. Diponegoro.
Radam, Noerid-Haloe, 2001, Religi Orang Bukit,
Yogyakarta: Yayasan Semesta bekerja sama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford
Foundation.
Rahardjo, M. Dawam, 1985, Esei-esei Ekonomi Politik,
Jakarta: LP3ES.
Rahardjo, M, Dawam, 1999, Islam dan
Transformasi Sosial Ekonomi, Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat.
Ridho, M. Taufik, 2006, Zakat dan Peran Negara,
Jakarta: Forum Zakat (FOZ).
Ridwan, A. Muhtadi, 2003, “Aplikasi Pengelolaan
Dana ZIS pada Lembaga Zakat, Infaq, dan Shodaqoh (LAGZIS) Kota Malang,”
Thesis, Program Studi Magister Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang.
Robertson, Roland, 1995, Agama dalam Analisa
dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rodinson, Maxime, 1974, Islam and Capitalism,
Harmondsworth: Penguin Books.
Rohadi, Muhammad, 2010, “Nabi Muhammad Pelopor
Etos Kerja yang Sangat Tinggi”, Pelita, 27 April 2010.
Saad IH, M. 1997, “Kemiskinan dalam Perspektif
Al-Qur’an” (Disertasi Pasca Sarjana,
Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Ibrahim, Saad. 2007, Teologi Kemiskinan,
Memaknai Kembali Kemiskinan dalam Perspektif al-Qur'an , Malang: UIN Press.
Sābiq, Sayid, 1983 M./1403 H., Fiqh al-Sunnah,
Jilid I, Cetakan keempat, Bairut Lebanon: Dār al-Fikr.
Sahri, Muhammad, 2006, Mekanisme Zakat dan
Permodalan Masyarakat Miskin: Pengantar untuk Rekonstruksi Kebijakan
Pertumbuhan Ekonomi, Malang: Bahtera Press.
Saleh, Fauzan, 2004, Teologi Pembaruan:
Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta.
Seabrook, Jeremy, 2006, Kemiskinan Global:
Kegagalan Model Ekonomi Neoliberalisme, Yogyakarta: Resist Book.
Sen, Amartya, 2001, Masih Adakah Harapan bagi
Kaum Miskin?: Sebuah Perbincangan tentang Etika dan Ilmu Ekonomi di Fajar
Milenium Baru, Bandung: Mizan.
Shiddiqi, Nourouzzaman, 1996, Jeram-Jeram
Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sobary, Muhammad, 2007, Etika Islam: dari
Kesalehan Individual Menuju Kesalehan Sosial, Yogyakarta: LkiS.
Soekanto, Soerjono, 1981, Sosiologi:
Suatu Pengantar, Jakarta: Universitas. Indonesia Press.
Soekanto, Soerjono, 2000, Sosiologi Suatu
Pengantar, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Soemardjan, Selo dan Soemardi, Soelaeman, 1964, Setangkai
Bunga Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia.
Stone, 1979, Russel A. dalam Taufik Abdullah
(ed.), Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, cetakan I, Jakarta
LP3ES, Yayasan Obor dan Leknas-LIPI.
Sudrajat, Ajat, 1994, Etika Protestan dan
Kapitalisme Barat: Relevansinya dengan Islam Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara.
Sudjana, Nana & Ibrahim, 1989, Penelitian
dan Penilaian Pendidikan, Bandung: Sinar Baru.
Sukidi, 2005, “Etika Protestan Muslim Puritan
Muhammadiyah sebagai Reformasi Islam Model Protestan,” Kompas, Bentara, 01
Juni 2005.
Sumodiningrat, Gunawan, 1997, Pembangunan
Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat: Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta:
Bina Reksa.
Sunyoto, Usman, 1998, Pembangunan dan
Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suparlan, Parsudi (eds), 1995, Kemiskinan di
Perkotaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sutrisno, Loekman, 1997, Kemiskinan, Perempuan,
dan Pemberdayaan, Yogyakarta: Kanisius.
Suyanto, Bagong (ed.), 2001, Rencana Induk
Pengentasan Kemiskinan di Kota Surabaya, Surabaya: Lutfansah Mediatama.
Sutrisno, Loekman, 1997, Kemiskinan, Perempuan,
dan Pemberdayaan, Yogyakarta: Kanisius.
Syari'ati, Ali, 1998, Islam Mazdab Pemikiran
dan Aksi, Bandung: Mizan.
Tim Penyusun, Kota Malang dalam Angka 2007
(Malang: BPS, 2007).
Tim Penyusun, Kota Malang dalam Angka 2008
(Malang: BPS, 2008).
Tim Penyusun, Kota Malang dalam Angka 2009
(Malang: BPS, 2009).
Tim Penyusun, Kecamatan Blimbing Kota Malang
dalam Angka 2007 (Malang: BPS, 2007).
Tim Penyusun, Kecamatan Blimbing Kota Malang
dalam Angka 2008 (Malang: BPS, 2008).
Tim Penyusun, Kecamatan Blimbing Kota Malang
dalam Angka 2009 (Malang: BPS, 2009).
Tjokroamidjojo, Bintoro, 1992, Pengantar
Adminstrasi Pembangunan, Jakarta: LP3ES.
Todaro, Michael P., 2000, Pembangunan Ekonomi
di Dunia Ketiga, Jilid I, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Turner, Bryan S., 1974, Weber and Islam: A Critic Study, London
and Boston: Routlegde & Keagen Paul.
Turner, Bryan S., 1984,
Sosiologi Islam Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi Weber, Jakarta:
Rajawali Press.
Turner, Bryan S, 2006, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat:
Bongkar Wacana atas Islam vis a vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme dan
Globalisme, Yogyakarta: Ar Ruz.
Wahid, Marzuki, 2004, Sinopsis dan Indeksasi Hasil Penelitian
Kompetitif Dosen PTAI Tahun 1999-2003, Jakarta: Ditpertais, Ditjen Bagais,
Depag. RI.
Waidl, Abdul (ed.), 2008, Mendahulukan si Miskin: Buku Sumber
bagi Anggaran Pro Rakyat, Yogyakarta: LKiS.
Weber, Max, 2000, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme,
Surabaya: Promothea.
Weber, Max, 2006, Studi Komprehensif Sosiologi Kebudayaan, Yogyakarta:
IRCiSoD.
Weber, Max, 2006, The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism, dalam terj. TW Utomo dan Yusuf Pria Budiarja, Etika Protestan
dan Spirit Kapitalisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yafie, Ali, 1986, “Islam dan Problema Kemiskinan“, Majalah
Pesantren, No.2/VolIII/ 1986.
Ya'qub, H. Hamzah, 1992, Kode Etik Dagang Menurut Islam: Pola
Pembinaan Hidup dalam Berekonomi, Bandung: CV. Diponegoro.
al-Zuhayli, Wahbah, 1997 M/1418 H, al-Fiqh al-Isla>mi wa
Adillatuh, Cetakan keempat, Bairut Lebanon: Dar al-Fikr.
http://malangraya.web.id/category/jatim/page/6/,
akses pada 5 Januari 2010 dan koran Malang Post, Senin 1 Mei 2009.
http://kominfo.malangkota.go.id, Purwantoro Kelurahan Terbaik di Jawa Timur,
10/07/2007, diakses pada 30 Januari
2010.
http://kominfo.malangkota.go.id,
Lomba Kelurahan, Malang Dinilai Tim Pusat, 12/07/2007, diakses pada 30 Januari 2010.
http://www.antara.co.id/en,
SBY calls on all people to maintain public order, PubDate: 06/12/09,
akses 30/01/2010,
http://www.vivanews.com,
Di Malang, SBY Didampingi Muhaimin Iskandar, Tifatul, Suryadharma Ali, Zulkifli
Hasan, Jum'at, 12 Juni 2009, akses 30 Januari 2010,
www.koranpendidikan.com,
SBY Mulai ‘Serang’ Rivalnya, Senin, 15 Juni 2009, akses 30 Januari 2010,
www.surya.co.id,
Warga pun Berebut Jabat Tangan dengan SBY, Sabtu, 13 Juni 2009, akses 30
Januari 2010.
http://www.gumilarcenter.com/Sosiologi/materi10.pdf,
Gugum Gumilar, “Bahan Ajar Pengantar Sosiologi”, Program Studi Ilmu
Komunikasi Unikom, 2000,
Majalah Monitor Investasi Sosial Sinar Edisi Maret-April
2006.
[1] Data secara rinci
di kedua RW memang tidak terdokumendasi secara rinci, tetapi kedua ketua RW
(Sukawi, RW 15 dan Sudirnyoto RW 16) menyatakan hal tersebut ketika peneliti
mengadakan wawancara dengan yang bersangkutan pada 25 dan 15 April 2010.
[2] Data kependudukan adalah keadaan 2009 yang
bersumber dari Ketua RW 15 (Sukawi) yang
peneliti dapatkan pada 25 April 2010, dan dari Ketua RW 16 (Sudiryoto) yang peneliti dapatkan pada 15
April 2010. Tentang predikat Sanan sebagai kampung santri dan kampung
industri sebenarnya peneliti sendiri yang pertama kali menyatakan dan
kemudian diamini oleh beberapa masyarakat dan tokoh masyarakat Sanan setiap
peneliti mengadakan wawancara dengan mereka. Justru beberapa di antara mereka menyatakan bahwa “dadi wong
Sanan nek gak iso ngaji yo minggato wae, nek gak iso mangan yo matek’o wae”
(Jadi orang Sanan kalau tidak bisa mengaji ya pergi saja dari Sanan, kalau
tidak bisa makan ya mati saja). Mereka tersebut antara lain, Sukawi (Ketua RW
15), Sudiryoto (Ketua RW 16), H. Ir. Muchlas Zainuddin (tokoh muda sukses dalam
usaha), Chamdani (Ketua Primkopti
Bangkit Usaha Malang dan Bendahara
II Yayasan Anak Yatim AT-TAUFIQ Sanan), H. Agusmanto (Bendahara I Yayasan Anak
Yatim AT-TAUFIQ Sanan), Ridwan (Ketua Ta’mir Langgar Baiturrahman dan Ketua
Ishari Sanan Malang), Masyhudi (Wakil Ketua Yayasan Anak Yatim At-Taufiq), dan
Obet (Tokoh muda dan ketua Jama’ah Solawat el-Sananta). Wawancara dilakukan
selama antara Januari-April 2010. Dari pernyataan tersebut maka tidak
berlebihan, kalau masyarakatnya juga mempunyai predikat yang sama. Walaupun
kedua wilayah RW tersebut mempunyai sebutan yang sama tetapi masing-masing
mempunyai karakter yang berbeda. Karakteristik tersebut akan peneliti paparkan
di bab berikutnya.
[3] http://malangraya.web.id/category/jatim/page/6/,
akses pada 5 Januari 2010 dan koran Malang Post, Senin 1 Mei 2009.
[4] Sebagaimana disampaikan oleh Camat Blimbing
Kota Malang Drs. Wahyu Setianto, MM.,
bahwa lagi-lagi kota Malang boleh
berbangga, sebab Kelurahan Purwantoro Kecamatan Blimbing memenangi lomba kelurahan di tingkat
Jawa Timur. Dengan prestasi ini maka kelurahan dengan jumlah RW terbanyak (24 RW) di Kota Malang melaju ke tingkat nasional. Secara terpisah,
Asisten II Sekkota Malang Dra. Sutiarsih, M.Si menjelaskan, Kelurahan Purwantoro dinyatakan sebagai juara 1
kelurahan terbaik Jatim berdasarkan Keputusan Gubernur Jatim, nomor:188/261/KPTS/013/2007.
Diungkapkan Kelurahan Purwantoro tercatat sebagai kelurahan pertama di Jatim
yang mengikuti lomba kelurahan tingkat nbasional. “Tahun-tahun sebelumnya sudah
pernah diadakan namun hanya tingkat
Jawa Timur saja. Sedangkan tahun ini juara 1 mewakili Jatim di tingkat nasional. Dalam lomba ini juara II diraih Kelurahan Oro-oro Ombo Madiun, juara III
Kelurahan Tamansari Bondowoso, dan juara IV Kelurahan Trenggalis Surabaya”. http://kominfo.malangkota.go.id, Purwantoro Kelurahan
Terbaik di Jawa Timur, 10/07/2007,
diakses pada 30 Januari 2010.
[5] http:// kominfo.malangkota.go.id, Lomba Kelurahan, Malang
Dinilai Tim Pusat, 12/07/2007, diakses
pada 30 Januari 2010.
[7] Peneliti ikut menyaksikan kehadiran SBY
sebagai undangan dari Primkopti
Bangkit Usaha Malang. Keterangan juga dikutip dari media website, antara lain : http://www.antara.co.id/en, SBY calls on all people to maintain public
order, PubDate: 06/12/09, akses 30/01/2010, http://ww.vivanews.com,
Di Malang, SBY Didampingi Muhaimin Iskandar, Tifatul, Suryadharma Ali,
Zulkifli Hasan, Jum'at, 12 Juni 2009, akses 30 Januari 2010, www.koranpendidikan.com, SBY Mulai ‘Serang’ Rivalnya, Senin, 15 Juni 2009, akses 30
Januari 2010, www.surya.co.id, Warga
pun Berebut Jabat Tangan dengan SBY, Sabtu, 13 Juni 2009, akses 30 Januari
2010.
[8] Sukawi (Ketua RW 15),
Sudiryoto (Ketua RW 16), Ir. H. Muchlas Zainuddin (tokoh pemuda dan pengusaha),
Ridwan (ketua ta’mir langgar Baitur Rahman), Chamdani (ketua Primkopti Bangkit
Usaha), dan H. Achmari Amir (ketua ta’mir Masjid Darus Salam), Wawancara,
Malang, Januari-April 2010.
[9]Usaha ternak sapi
merupakan usaha sampingan para perajin tempe dengan memanfaatkan limbah
produksi, seperti irengan (sisa air yang dipakai merendam kedelai) dan
kulit kedelai.
[10] Sukawi (Ketua RW 15) dan
Sudiryoto (Ketua RW 16), Wawancara, Malang, 25 April 2010.
[11] Weber, Max, The Protestant Ethic and
the Spirit of Capitalism, dalam terj. TW Utomo dan Yusuf Pria Budiarja, Etika
Protestan dan Spirit Kapitalisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 95.
[12] Asifudin, Ahmad Janan, Etos Kerja Islami
(Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 2004), 157.
[13] Sudrajat, Ajat, Etika
Protesten dan Kapitalisme Barat: Relevansinya dengan Islam Indonesia,
cetakan Pertama (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 8
[14] Geertz, Clifford, Penjaja dan
Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota di Indonesia
(Jakarta: Buku Obor, 1977).
[15] Sukidi, “Etika Protestan
Muslim Puritan Muhammadiyah sebagai Reformasi Islam Model Protestan”, Kompas,
Bentara, Rabu, 01 Juni 2005.
[17] Bellah, Robert N., Religi
Tokugawa Akar-akar Budaya Jepang (Gramedia Pustaka Utama, 1992), 5.
[18] Sobary, Muhammad, Etika Islam:
Dari Kesalehan Individual Menuju Kesalehan Sosial (Yogyakarta: LkiS. 2007),
254.
[19] Abdullah, Irwan, “The Muslim Bussinessmen
of Jatinom: Religious Reform and Economic Modernization in a Central Javanese
Town” (Dissertation, Universiteit Van Amsterdam, 1994), 161.
[20] Radam Noerid Haloe. Religi Orang Bukit.(Yogyakarta:
Yayasan Semesta bekerja sama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Foundation,
2001), 300.
[21] Karim, Adiwarman, Ekonomi
Mikro Islam (Jakarta: Internaral Institute of Islamic Thought Indonesia
[IIIT Indonesia], 2002), 24.
[22] Hadith riwayat dari Abi
Hurairah dan ditakhrij dari Musnad Ahmad ibn Hambal (nomor hadith 8595),
redaksi lengkapnya sebagai berikut :
حَدَّثَنَا سَعِيدُ
بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ عَجْلَانَ عَنْ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
Lihat Masu’ah al-Hadis al-Syarif,
Cetakan kedua, 2000 (Jami’ al-Huquq Mahfudlah li Syirkah al-Baramij
al-Islamiyah al-Dauliyah (Global IslamicSoftware Company), 1991-1997).
[23] Naqvi, Syed Nawab Haider,
Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami, Cetakan Ke III (Bandung:
Penerbit Mizan, 1993), 142.
[24]
Kahmad menyatakan, bahwa istilah ”fakta sosial” diperkenalkan pertama
kali oleh Emile Durkheim, sosiolog Perancis. Menurut Durkheim, fakta sosial
adalah suatu cara bertindak yang umum dalam suatu masyarakat dan terwujud
dengan sendirinya, sehingga bebas dari manifestasi individual. Berdasarkan
anggapan Durkheim fakta sosial memiliki empat ciri atau karakteristik; (1)
suatu wujud di luar individu, (2) melakukan hambatan atau membuat kendala
terhadap individu, (3) bersifat luas atau umum, (4) bebas dari manivestasi atau
melampaui manivestasi individu. Lihat Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama (Bandung: Rosda Karya, 2002). 43
[25]
Muhni, Djuretna A Imam, Moral
dan Religi Menurut Emile Durkheim & Henry Bergson. (Yogyakarta: Kanisius, 1994), iv. Pengertian dari
Durkheim ini memberikan penjelasan dua hal. Pertama, bahwa agama
memiliki dua aspek penting, yakni aspek kesucian agama dan adanya ritual agama.
Kedua adalah bahwa agama memiliki peran sebagai alat penyatuan
masyarakat. Agama secara sosiologis mampu menjadi sebuah kekuatan kolektif di
satu sisi, dan sisi lain setiap penganut mengintegrasikan diri dalam masyarakat
melalui ritual, ajaran dan norma-norma keagamanaan. Durkheim juga melihat agama
sebagai sesuatu yang selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya dan memiliki
sifat yang historis.
[26] Marx menyatakan: “Agama adalah teori umum dunia
ini, logikanya dalam bentuk yang populer, sanksi moralnya, penggenapannya yang
sangat penting, landasan penghiburan dan pembenaran yang umum. Agama adalah
perwujudan khayal manusia karena manusia tidak memiliki kenyataan.” Marx, Karl, Towards a Critique of Hegel’s Philosophy of Right:
an Introduction, MSW, 63-64.
[27] Geertz, Clifford, Religion as a Cultural System dalam
M. Banton. Anthropological Approaches to
the Study of Religion (London: Tavistock: XLIII, 1985), 414.
[28] Gugum Gumilar, “Bahan
Ajar Pengantar Sosiologi”, Program Studi Ilmu Komunikasi Unikom, 2000, http://www.gumilarcenter.com/Sosiologi/materi10.pdf
[29] Menurut Gumilar (2000),
proses perubahan sosial terdiri dari tiga tahap berurutan: (1) invensi yaitu
proses di mana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan, (2) difusi,
ialah proses di mana ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam Sistem sosial,
dan (3) konsekuensi yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem
sosial sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi. Perubahan terjadi
jika penerimaan, penolakan, ataupun sintesa atas sebuah nilai baru berdampak
secara sosiologis. Karena itu menurut Gumilar, perubahan sosial adalah akibat
proses interaksi sosial di antara individu atau kelompok di sebuah masyarakat.
[30] Moore,
Wilbert E., Order and Change: Essay in Comparative Sociology (New York:
John Wiley and Sons, 1967), 3.
[31] Shiddiqi, Nourouzzaman, Jeram-Jeram
Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 94-95.
[32] Fauroni, Lukman, “Produksi dan Konsumsi dalam
Al-Qur’an: Aplikasi Tafsir
Ekonomi Al-Qur’an” (Makalah, Yogyakarta, 2009), ii.
[33] Ibid.
[35] Ibid, 69-70.
[36] Ibid, 113.
[37] Ibid, 115.
[38] Ibid, 121.
[39] Ibid, 124.
[40] Ibid, 94-95.
[41] Ibid, 96-98.
[42] Ibid, 99.
[43] Ibid, 100.
[44] Ibid, 102.
[45] Geertz, Clifford, Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial
dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota di Indonesia (Jakarta: Buku Obor, 1977).
[46] Istilah santri
memang lazim untuk dipakai oleh kalangan muslim yang memiliki keberagamaan
lebih dalam masyarakat muslim. Santri biasanya dilekatkan pada anak
didik atau lulusan pesantren yang memiliki wawasan Islam di atas orang
kebanyakan. Kacamata Geerts, santri menjadi salah satu kategori sosial yang
secara antropologis berbeda dengan kategori abangan dan priyayi.
[47] Nakamura, Mitsuo, Bulan
Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1983).
[48] Horikoshi, Hiroko, Kiai
dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987).
[49] Sobary, Muhammad, Etika
Islam: Dari Kesalehan Individual Menuju Kesalehan Sosial (Yogyakarta: LKiS.
2007). Buku
tersebut merupakan hasil tesis Muhammad Sobary di
Universitas Monash, Australia. Penelitian Sobary tersebut membuktikan bahwa
tesis Weber tidak sepenuhnya bisa diterima “apa adanya”. Tesis Weber mengambil
penelitiannya adalah pengusaha menengah dan atas yang mempunyai kontruksi
pemikiran yang maju karena didukung basis pendidikan yang cukup. Penelitian ini
melengkapi kajian Clifford Geertz di Mojokuto, James T. Siegel di Aceh, dan
Lance Castle di Jawa (santri). Ketiga peneliti ini juga berasumsi spirit
keagamaan (Islam) berpengaruh pada spirit berwirausaha. Ketiganya juga
menjelaskan bahwa ternyata mereka “gagal” bersaing dengan korporasi dagang
dibangun oleh China. Terbukti, hingga sekarang, kantong-kantong perdagangan
besar di Indonesia banyak dikuasai oleh warga keturunan China.
[50] Ibid. Sobary setidaknya
mengemukakan empat alasan mengapa tesis Weber
tidak berjalan di kalangan masyarakat muslim Suralaya. Pertama,
keterbatasan ruang sehingga pemasaran terbatas. Kedua, tidak menjadi gerakan
ekonomi yang massif, hanya bersifat personal. Ketiga, spirit keagamaan warga
Suralaya tidak sekuat sebagai “panggilan” kaum Calvinis Protestan.
Berdagang hanya untuk kewajiban kebutuhan keluarga. Keempat, mereka mempunyai
cukup modal dan pengetahuan tentang pengembangan usaha.
[51] Abdullah, Irwan, The Muslim Bussinessmen,
147.
[52] Turner, Bryan S., Sosiologi
Islam Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi Weber (Jakarta: Rajawali
Press, 1984), xiii-xiv.
[53] Alatas, Syed Hussein, Mitos
Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial
(Jakarta: LP3ES, 1988), 182.
[56] Geertz, Clifford.
Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981),
8.
[57] Zainuddin, Agama
Priyayi: Makna Agama di Tangan Penguasa. (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2005),
xxxiii.
[58] Ishomuddin, Sosiologi
Perspektif Islam. (Malang: UMM Press, 2005), 195-196.
[60] Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Universitas.
Indonesia Press, 1981), 133.
[62] Ishomuddin, 229-230.
[63] Moleong, Metodologi
Penelitian Kualitatif, Cet ke-16 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002),
31.
[64] Sudjana, Nana
&Ibrahim, Penelitian dan Penilaian Pendidikan (Bandung: Sinar Baru,
1989), 8.
[65] Arikunto, S., Prosedur
Penelitian: Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Bina Aksara, 1989).
[66] Istilah fenomenologi berasal dari Bahasa
Yunani phainomenon yang secara harfiah berarti “gejala” atau apa yang
telah menampakkan diri. Sedangkan fenomenologi sebagai metode berfikir ilmiah,
merupakan cabang dari ilmu filsafat yakni aliran eksistensial. Metode
fenomenologi dirintis oleh Edmund Husserl dengan semboyan zuruck zuden
sachen selbst (kembali kepada hal itu sendiri), artinya kalau kita ingin
memahami sebuah perilaku pemimpin perusahaan atau hubungan atasan dan bawahan
diperusahaan tertentu, maka jangan puas kita hanya mempelajari pendapat orang
tentang hal itu atau memahaminya berdasarkan teori-teori, melainkan
dikembalikan kepada subyek yang melakukan. Dalam memahami suatu fenomenologi
menghendaki keaslian bukan kesemuan, perekaan dan kepalsuan.
[67] Dhavamony, Mariasusai, Phenomenology
of Religion, diterjemahkan oleh Kelompok Studi Agama Driyakarya, Fenomena
Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 34-35.
[69] Mengenai pergeseran
stratifikasi sosial dalam konteks abangan menuju santri dapat dibaca di tulisan
Khozin. “Modernisasi dan Transformasi Keagamaan: Kajian Pergeseran dari
Abangan menjadi Santri dalam Perspektif Emik,” Jurnal Salam, Program Pascasarjana UMM Vol.
3 No. 1/2000, Malang.
[70] Abdullah, Irwan, The Muslim Businessmen of Jatinom:
Religious Reform and Economic Modernization in a Central Java Town (Amsterdam: University of Amsterdam, 1994),
147.
[71] Franz Magnis-Suseno,
“Nilai Budaya Jawa dan Etika Bisnis”, Driyarkara, Tahun XXIII, No. 5
(1997), 37.
[72] Nasution, Harun, Teologi Islam
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 2002), 33.
[73] Ibid, 72.
[74] Terjemahan: “Saya tidak menyesal, mungkin garisnya memang seperti itu, juga malah
banyak ruginya; rugi tidak laku, rugi sisa [tempe], rugi tidak tepat shalat
subuh, walaupun shalat juga tapi tidak seperti shalat di rumah. Urusan rezeki
itu kan bukan hak kita, tapi urusan Allah, walaupun sedikit yang penting halal
dan berkah”. Kang Pi’i, Wawancara, Malang, 20
April 2010.
[75] Terjemahan: “Mungkin Allah sudah menggariskan seperti itu.” H Qomari Hasyim, Wawancara, 5 April 2010.
[76] Terjemahan: “Membuat tempe itu butuh disiplin.
Disiplin
dalam membuat dan disiplin dalam berangkat menjual. Selain itu butuh kesabaran,
ketekunan, dan ketelatenan. Tidak pasti produksinya banyak akan membuat orang
jadi kaya.” Cak Said, Wawancara,
Malang, 23 Maret 2010.
[77] Mursi, Abdul Hamid, SDM
yang Produktif, Pendekatan al-Qur’an dan Sains, dalam (terj.) Moh. Nur
Hakim, (Jakarta: Gema Insani Prees, 1994), 39-44.
[78] Dhofir, Zamarkahsyari, Tradisi
Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982), 5.
[79] Efendi, Bahtiar,
“Pertumbuhan Etos Kerja Kewirausahaan dan Etika Bisnis di Kalangan Muslim”, dalam
Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan (Yogyakarta: Galang Press,
2001), 203.
[80] Nasir, Nanat Fatah, Etos
Kerja Wirausahawan Muslim, cet. I (Bandung: Gunung Jati Press, 1999), 45-47.
[81] Puji, Wawancara,
Malang, 17 Februari 2010.
[82] Kemput Priadi, Wawancara,
Malang, 17 Februari 2010.
[83] Kulak adalah kegiatan untuk
membeli barang-barang dari satu orang dan menjulanya kembali kepada orang yang
lainnya. Kemput Priadi, Wawancara, Malang, 17 Februari 2010.
[84] Cak Ketang Wage Nursiono,
Wawancara, RT 08 RW 15 Sanan Kelurahan Purwantoro Kecamatan
Blimbing Malang, 21 Februari 2010.
[85] Geertz, Clifford, Penjaja dan Raja: Perubahan
Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota di Indonesia (Jakarta: Buku Obor, 1977).
[86]Sukidi, “Etika Protestan
Muslim Puritan Muhammadiyah sebagai Reformasi Islam Model Protestan”, Kompas,
Bentara, Rabu, 01 Juni 2005.
[88] Abdullah, Irwan, “The Muslim Bussinessmen
of Jatinom: Religious Reform and Economic Modernization in a Central Javanese
Town” (Dissertation, Universiteit Van Amsterdam, 1994), 161.
[89] Sobary, Muhammad, Etika Islam: Dari Kesalehan
Individual Menuju Kesalehan Sosial (Yogyakarta: LkiS. 2007), 254.
0 komentar:
Posting Komentar