Senin, 11 Maret 2013

OTENTISITAS HADIS PERSPEKTIF ORIENTALIS:

Pendahuluan
Studi seputar relasi antara Islam dan orientalisme termasuk studi prestisius. Hampir setiap bidang Islamic studies berkaitan dengan orientalisme, baik itu tafsir, hadis, fikih, filsafat, sufisme maupun sejarah. Masing-masing bidang studi tidak luput dari sentuhan kajian para orientalis, bahkan mereka berhasil menghasilkan karya-karya bermutu yang tidak dapat dilakukan oleh sebagian umat Islam. Lebih dari itu, sebagian sarjana Muslim kadang menggunakan karya-karya mereka sebagai bahan referensi dalam penelitian mereka.
Sebagai bukti, dalam bidang hadis, mereka meracik sebuah kamus besar guna melacak keberadaan sebuah hadis berdasarkan teks utama dari hadis tersebut dalam enam buku koleksi hadis kanonik, Sunan al-Da>rimi>, Muwat}t}a’ Ma>lik, dan Musnad Ah}mad ibn H{anbal dengan judul Concordance Et Indices De La Tradition Musulmane (al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāz} al-H{adīth al-Nabawī) dalam tujuh jilid tebal. Kamus hadis ini adalah karya sekelompok orientalis yang dipublikasikan oleh A. J. Wensinck dan J. P. Mensing. Selain kamus ini, A. J. Wensinck meracik kamus hadis yang lebih kecil darinya yang berjudul Mifta>h Kunu>z al-Sunnah.
Dua karya monumental ini sekaligus bukti bahwa tidak semua karya para orientalis jelek, bahkan sebaliknya. Memang sebagian karya mereka tidak luput dari motivasi sentimen keagamaan yang berujung pada kesalahan, baik itu disengaja maupun tidak disengaja. Hanya saja, dari masa ke masa kajian sebagian orientalis mengalami pergeseran paradigma dari subyektivisme yang dipicu oleh sentimen keagamaan menuju obyektivisme yang dimotori oleh keterbukaan dan kejujuran intelektual.
Dalam makalah ini, fokus kajian penulis adalah studi hadis yang dilakukan sebagian orientalis lintas generasi. Idealnya, kajian ini mencakup studi hadis semua orientalis, tetapi karena alasan tertentu penulis hanya akan menitikberatkan pada studi hadis garapan sebagian orientalis tentang teori sistem isnād, evolusi historisitas hadis, dan problem validitas hadis.
Secara metodologis, pembatasan kajian pada sebagian orientalis ini masih bisa dipertanyakan, karena tidak akan menghasilkan pemahaman utuh terhadap sikap dan pandangan mereka terhadap hadis, terutama tentang teori sistem isnād, evolusi historisitas hadis, dan problem validitas hadis. Tetapi sependek penelitian penulis, ide-ide sebagian orientalis cukup merepresentasikan hasil studi hadis orientalis lainnya dan cukup menggemparkan jagad pemikiran Islam modern-kontemporer. Selain alasan ini, referensi signifikan yang ada hanya seputar studi hadis mereka sangat terbatas.
Di antara orientalis yang karyanya, sedikit atau banyak, berkaitan dengan studi hadis adalah Alois Sprenger (1813-1893), Sir William Muir (1819-1905), Ignaz Goldziher (1850-1921), David Samuel Margoliouth, P. Henri Lammens (1862-1937), Snouck Hurgronje (1857-1936), Leone Caetani (1869-1926), Josef Horovitz (1873-1931), Gregor Schoeler, Patrcia Crone, Alfred Guillaume (1888- ), James Robson (1890- ), Joseph Schacht (1902-1969), G. Weil, R. P. A. Dozy, Michael A. Cook, Norman Calder, David S. Powers, M. J. Kister, Daniel W. Brown, L. T. Librande, Nabia Abbot, Rafael Talmon, Brannon Wheeler, Noel J. Coulson, Charles J. Adams, Herbert Berg, G. Lecomte, R. Sellheim, R. Marston Speight, John Wansbrough, Burton, Hinds, Hawting, Uri Rubin, J. Fück, H. A. R. Gibb, W. M. Watt, Nabia Abbot, G. H. A. Juynboll, dan Harald Motzki.
Dengan mencermati ide-ide utama mereka, penulis berkesimpulan bahwa mereka seakan-akan terlibat dalam jaringan intelektual yang sangat erat; saling mewarisi ide, mengembangkan, merevisi, bahkan mengkritik dan menolaknya habis-habisan. Sayangnya, sebagian sarjana Muslim kontemporer terpengaruh oleh ide-ide mereka, seperti Mah}mu>d Abu> Rayyah pengarang dua buku kontroversial Ad}wa>’ ‘ala> al-Sunnah al-Muh}ammadiyyah aw Difa>’ ‘an al-H{adi>th dan Shaykh al-Mud}i>rah: Abu> Hurayrah, Ah}mad Ami>n pengarang trilogi buku Fajr al-Isla>m, D{uh}a> al-Isla>m, dan Yawm al-Isla>m, dan Kassim Ahmad pengarang I’a>dah Taqyi>m al-H{adi>th: al-‘Awdah ila> al-Qur’a>n.
Karya para orientalis dan sebagian sarjana Muslim kontemporer tersebut disanggah oleh sebagian sarjana Muslim seperti Muh}ammad Must}afa> al-A’z}ami>> dalam Dira>sa>t fi> al-H{adi>th al-Nabawi> wa Ta>ri>kh Tadwi>nih, Fuat M. Sezgin dalam Geschichte der Arabischen Schrifttummms, Must}afa> al-Siba>’i> dalam al-Sunnah wa Maka>natuha> fi> al-Tashri>’, Muh}ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b dalam Abu> Hurayrah: Ra>wiyah al-Isla>m, ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Yah}ya> al-Mu’alimi> al-Yama>ni> dalam al-Anwa>r al-Ka>shifah li ma> fi> Kita>b Ad}wa>’ ‘ala> al-Sunnah min al-Zalal wa al-Tad}li>l wa al-Muja>zafah, Muh}ammad Muh}ammad Abu> Shuhbah Difa>’ ‘an al-Sunnah wa Radd Shubah al-Mustashriqi>n wa al-Kutta>b al-Mu’as}iri>n, dan Nu>r al-Di>n ‘Itr dalam Manhaj al-Naqd fi> ‘Ulu>m al-H{adi>th.

Pembahasan
A. Teori Sistem Isnād
Terlepas dari perdebatan para sarjana Muslim baik klasik maupun kontemporer tentang persamaan atau perbedaan antara isna>d dan sanad, posisi isna>d dan sanad sangat urgen dalam Islam. Urgensinya terletak pada tradisi keilmuan utama Islam, seperti tafsir, hadis, fikih, teologi, dan sejarah. Para sarjana Muslim klasik menyajikan materi dalam buku-buku mereka dengan cara mencantumkan riwayat dan pendapat dengan menisbatkan ke empunya, terutama dalam bidang hadis.
Berkaitan dengan relasi antara isna>d dan hadis, bila mayoritas sarjana Muslim Sunni sepanjang sejarah meyakini permulaan sistem isna>d bersamaan dengan proses periwayatan hadis, maka sebagian orientalis tidak demikian. Mereka masih saja mempersoalkan permulaan dan validitas sistem isna>d, sebuah sistem periwayatan hadis handal khas Islam, yang menurut Ibn al-Muba>rak merupakan bagian dari Islam. Bahkan mereka berbeda pendapat secara tajam.
Sebelum membahas perbedaan pendapat para orientalis tentang teori sistem isna>d, hasil penelitian Muh}ammad H{amzah perlu diungkap terlebih dahulu. Menurutnya, banyak peneliti berpendapat bahwa isna>d  bermula setelah terjadinya “fitnah” berdasarkan pada perkataan Ibn Si>ri>n: “Mereka tidak biasa bertanya tentang isna>d. Ketika terjadi fitnah mereka berkata, “Berilah nama orang-orang kalian!Bila Ahli Sunnah, maka hadis mereka diterima dan bila ahli bid’ah, maka hadis mereka tidak diterima.” Hanya saja menentukan sejarah permulaan isna>d dengan kejadian fitnah ini menyisakan permasalahan: fitnah apakah yang dimaksud oleh Ibn Si>ri>n?
Sebagaimana dinukil oleh Muh}ammad H{amzah, Joseph Schacht (1902-1969), orientalis Jerman, dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence berpendapat bahwa fitnah yang dimaksud oleh Ibn Si>ri>n adalah fitnah pembunuhan al-Wali>d ibn Yazi>d ibn ‘Abd al-Malik ibn Marwa>n (w. 126 H) berdasarkan pada persamaan penggunaan kata “fitnah” antara perkataan Ibn Si>ri>n dan apa yang disebutkan al-T{abari> dalam Ta>ri>kh-nya, bahwa dalam kejadian-kejadian pada tahun 126 H perkara Bani Marwa>n kacau-balau dan terjadilah fitnah. Hipotesis ini menyeretnya untuk menjadikan perkataan Ibn Si>ri>n sebagai bahan karena ia wafat pada tahun 110 H, yaitu sebelum terjadinya fitnah.
Berbeda dengan Schacht, James Robson (1890- ) mengajukan interpretasi lain mengenai fitnah tersebut. Menurutnya, fitnah itu adalah fitnah ‘Abd Alla>h ibn al-Zubayr pada tahun 72 H ketika ia memproklamasikan dirinya sebagai khalifah. Orientalis ini mendasarkan pendapatnya pada perkataan fitnah yang dilontarkan oleh Ma>lik ibn Anas atas gerakan Ibn al-Zubayr. Berdasarkan itu, isna>d muncul setengah abad lebih awal dari penentuan Schacht karena ini sesuai dengan umur Ibn Si>ri>n. Ia juga mengilustrasikan kepada kita kemungkinan menerima keterlibatan dan pengetahuan Ibn Si>ri>n tentang apa yang terjadi pada saat itu.
Pada gilirannya, sebagaimana akan terlihat dalam pembahasan berikutnya, interpretasi fitnah Schacht dan Robson memengaruhi pandangan mereka tentang teori permulaan penggunaan isna>d, evolusi historitas hadis, dan problem validitas hadis. Bila mereka berdua mendasarkan teori permulaan isna>d-nya pada penentuan penanggalan fitnah di kalangan umat Islam, maka Sprenger, Caetani, dan Horovitz mendasarkan teori kemunculan isna>d pada tulisan-tulisan ‘Urwah, sosok yang dianggap sebagai penghimpun hadis pertama.
Alois Sprenger (1813-1893), orientalis Jerman generasi pertama yang mula-mula skeptis terhadap orisinalitas hadis, sependapat dengan Leone Caetani (1869-1926), orientalis Italia. Dengan nada skeptis, sebagaimana dinukil oleh Muh}ammad Baha>’ al-Di>n, Sprenger mengemukakan argumentasinya bahwa tulisan-tulisan ‘Urwah kepada ‘Abd al-Ma>lik tidak disertai dengan sanad-sanad. Oleh sebab itu, apa pun yang dinisbatkan kepada ‘Urwah berupa penggunaan sanad-sanad pasti muncul relatif lebih akhir.
Sementara itu Caetani, sebagaimana menurut Muh}ammad Must}afa> al-A’z}ami, meyakini bahwa penggunaan isna>d untuk hadis-hadis Nabi belum dikenal pada masa ‘Abd al-Ma>lik (80 H) atau lebih dari enam puluh tahun paska Nabi saw. wafat, karena ‘Urwah (w. 94 H), penghimpun hadis pertama, tidak menggunakan isna>d dan tidak menyebutkan referensi pembicaraannya selain al-Qur’an sebagaimana tampak dengan jelas dalam penukilan-penukilan al-T{abari> darinya. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa penggunaan sanad-sanad bagi hadis dimulai antara ‘Urwah dan Ibn ‘Ish}a>q (151 H), sehingga sebagian besar sanad yang ada dalam buku-buku sunnah pastilah kreasi para sarjana hadis pada abad kedua hijriah, bahkan begitu juga pada abad ketiga.
Di pihak berseberangan, Josef Horovitz (1873-1931), orientalis Jerman, membantah keras pendapat Sprenger dan Caetani. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pihak yang menafikan penggunaan ‘Urwah terhadap isna>d tidaklah mengkaji tulisan-tulisan dan sanad-sanadnya dengan sempurna. Ia sampai pada kesimpulan bahwa penggunaan isna>d untuk hadis bermula sejak sepertiga yang ketiga dari abad pertama hijriah. Menurut Muh}ammad Baha>’ al-Di>n, Horovitz menuangkan kritik ini dalam bukunya Alter and Ursprung des Isnad Der Islam VIII pada tahun 1918. Akram al-‘Umri> menyebutkan dua pendapat Horovitz. Pertama, Robson menarik kesimpulan bahwa Horovitz sependapat dengan Caetani yang berpendapat bahwa sanad belum ada sebelum tahun 74 H. Kedua, isna>d pada masa sebelum al-Zuhri> merupakan kebiasaan, bukan sesuatu yang telah paten.
Jauh berbeda dengan tiga orientalis di atas, Ignaz Goldziher (1850-1921) melangkah lebih ekstrem. Menurut orientalis Hungaria ini, sebagaimana dinukil oleh Ali Masrur, isna>d adalah hasil dari perkembangan pemikiran generasi Islam awal. Pendapat ini sama dengan pendapat Joseph Schacht. Orientalis spesialis hadis-hadis fikih ini, sebagaimana dikutip oleh Muh}ammad Baha>’ al-Di>n, berpendapat bahwa isna>d diketahui secara luas berawal dari bentuk sederhana dan mencapai kesempurnaannya pada paruh kedua abad ketiga hijriah. Banyak isna>d yang tidak mendapatkan perhatian dan kelompok apa pun yang ingin menisbatkan pendapat-pendapatnya kepada orang-orang terdahulu (al-mutaqaddimu>n), maka mereka memilih figur-figur itu lalu meletakkannya ke dalam isna>d.
Masih menurut Schacht, sebagaimana dikutip oleh Ali Masrur, isna>d memiliki kecenderungan untuk berkembang ke belakang. Isna>d berawal dari bentuk yang sederhana, lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengaitkan doktrin-doktrin aliran fikih klasik kepada tokoh yang lebih awal, seperti sahabat dan akhirnya kepada Nabi. Dengan kata lain, isna>d merupakan rekayasa sebagai hasil dari pertentangan antara aliran fikih klasik dan ahli hadis. Pendapat terakhir Schacht ini dikenal dengan nama projecting back theory.
Pendapat senada diutarakan oleh Noel J. Coulson. Sebagaimana dikutip oleh Muh}ammad Baha>’ al-Di>n, ia berpendapat bahwa demi mengukuhkan madhhab dalam mengikuti apa yang sudah ditetapkan dari hukum-hukum al-Qur’an, ahli hadis mulai menisbatkan banyak kaidah dan hukum secara salah kepada Rasulullah saw. Mereka menciptakannya dalam bentuk cerita-cerita dan informasi-informasi tentang apa yang dikatakan dan dilakukan Muhammad dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Itu adalah akibat kepercayaan kokoh mereka bahwa Nabi saw. akan memutuskan secara tegas dengan hukum-hukum yang dinisbatkan kepadanya ketika ia menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi.
Jika dibandingkan dengan pendapat Goldziher, Schacht, dan Coulson, maka pendapat Robson lebih lunak. Menurut orientalis Inggris ini, sebagaimana dikutip oleh Ali Mustafa Yaqub, pada pertengahan abad pertama hijriah mungkin sudah ada suatu metode semacam sanad. Sebab pada pada masa itu sejumlah sahabat sudah wafat, sedangkan orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi saw. mulai meriwayatkan hadis-hadisnya. Dengan sendirinya mereka akan ditanya oleh orang-orang yang mendengarnya, dari siapa mereka mendapatkan hadis-hadis itu. Hanya saja metode sanad secara detail tentulah berkembang sedikit demi sedikit setelah itu.
Setelah itu Robson menarik kesimpulan, sebagaimana dinukil oleh Muh}ammad Must}afa> al-A’z}ami>, dengan berkata sebagai berikut:
Sesungguhnya kita tahu bahwa Ibn Ish}a>q pada paruh kedua dari abad kedua hijriah memberikan informasi-informasinya tanpa sanad. Sebagian besar yang tersisa darinya tanpa sanad utuh dan para pendahulunya pasti lebih sedikit memperhatikan sanad-sanad dibanding dirinya. Tetapi tidak tepat kita berkata, “Sesungguhnya isna>d berasal dari masa al-Zuhri> dan tidak diketahui pada masa ‘Urwah, sementara sistem isna>d yang mencapai kesempurnaannya memakan waktu lama dan berkembang dengan lambat. Sebagian orang mungkin bisa menerima bahwa sebagian sanad bermula sejak dulu sebagaimana yang diklaim orang.
Masih berkaitan dengan posisi Ibn Ish}a>q dalam persoalan permulaan isna>d, W. Montgomery Watt, orientalis Inggris, berpendapat bahwa sanad bermula dari bentuk tidak sempurna. Ia berargumentasi dengan apa yang terdapat dalam buku Ibn Ish}a>q pada paruh pertama dari abad kedua hijriah dan dengan al-Wa>qidi>, seorang juru tulis Ibn Sa’ad yang kira-kira dua puluh tahun lebih muda darinya, yang berusaha menyebutkan silsilah para periwayat (ruwa>t) dengan sempurna. Orang yang memaksakan diri menyebutkan silsilah para periwayat dengan sempurna adalah al-Sha>fi’i>, orang yang sezaman dengan al-Wa>qidi. Sehingga bila penyebutan sanad yang sempurna sudah tersebar luas, maka para sarjana hadis terdorong untuk menisbatkan sanad kepada orang-orang yang sezaman dengan Muh}ammad saw., sehingga ketika mereka menisbatkan kepada para periwayat, maka penisbatan mereka akan menjadi benar karena mereka mengetahui dari mana para pendahulu mereka mendapatkan informasi-informasinya.
Pendapat yang bertolak belakang dengan para orientalis di atas dikemukakan oleh Nabia Abbot. Sebagaimana dikutip oleh Ali Masrur, ia menyatakan bahwa praktik penulisan hadis sudah berlangsung “sejak awal” dan “berkesinambungan”. Kata “sejak awal” di sini mengandung arti bahwa para sahabat Nabi saw. sendiri telah menyimpan catatan-catatan hadis, sementara kata “berkesinambungan” berarti bahwa sebagian besar hadis memang diriwayatkan secara tertulis, selain tentunya juga dengan lisan, hingga akhirnya hadis-hadis itu dihimpun dalam berbagai koleksi kanonik.

B. Evolusi Historisitas Hadis

Teori sistem isna>d sangat erat kaitannya dengan evolusi historisitas hadis, karena isna>d  tidak bisa dipisahkan dari hadis. Oleh sebab itu, bila seorang peneliti berangkat dari asumsi salah tentang teori isna>d, maka pada gilirannya ia akan memengaruhi pandangannya tentang evolusi historisitas hadis; apakah kemunculan isna>d bersamaan dengan kemunculan hadis atau ia muncul jauh sesudah hadis itu disabdakan oleh Nabi saw. dan apakah hadis-hadis dalam buku-buku koleksi hadis itu benar-benar berasal dari Nabi saw. atau tidak. Ini juga masuk pada persoalan otentisitas dan validitas hadis.
Dalam hal ini, pendapat Goldziher dalam Muhamedanische Studien perlu dikemukakan. Sebab, menurut Muh}ammad Must}afa> al-A’z}ami>, buku ini ibarat kitab suci pegangan para peneliti di dunia orientalisme. Dalam buku ini Goldziher mencatat, sebagaimana dinukil oleh Ali Masrur, bahwa fenomena hadis berasal dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi, karena kandungan hadis yang terus membengkak pada era selanjutnya dan dalam setiap generasi Muslim materi hadis berjalan paralel dengan doktrin-doktrin fikih dan teologi yang seringkali saling bertentangan, maka dapat disimpulkan bahwa sangat sulit untuk menentukan hadis-hadis orisinal yang berasal dari Nabi. Sebagian besar materi hadis dalam koleksi kitab hadis merupakan hasil perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama, atau refleksi dari kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada masyarakat Muslim selama masa-masa tersebut.
Pendapat dengan substansi hampir senada, tetapi dengan rangkaian kata berbeda dicetuskan oleh Schacht melalui projecting back theory gagasannya. Teori yang juga dikenal dengan nama backward-projection theory atau naz}ariyyah al-qadhaf al-khalfi> li al-asad ini termasuk teori penting dalam kajian hadis orientalis yang sedikit atau banyak memengaruhi pemikiran dua sarjana Muslim kontemporer, A. A. Fyzee dan Fazlur Rahman. Schacht menegaskan bahwa hukum Islam belum eksis pada masa al-Sha’bi> (w. 110 H). Oleh sebab itu, bila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum, maka hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sha’bi>. Hukum Islam baru dikenal sejak pengangkatan para hakim agama (qa>d}i>) yang baru dilakukan pada masa Dinasti Umayyah. Keputusan-keputusan yang diberikan pada qa>d}i> ini memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Oleh karena itu, mereka tidak menisbatkan keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri, melainkan menyandarkannya kepada tokoh-tokoh sebelumnya demi memperoleh legitimasi lebih kuat, yang semakin lama semakin jauh ke belakang hingga kepada Nabi Muhammad saw.
Bila merujuk pada teori ini, maka klaim kesejarahan hadis yang diyakini umat Islam tidak berguna lagi. Sebab teori ini secara tidak langsung menafikan kemunculan hadis pada masa Rasulullah saw., tetapi muncul jauh sesudah beliau wafat di tangan para qa>d}i> yang dibubuhi sanad serta diproyeksikan pada generasi-generasi sebelumnya. Dengan kata lain, hadis tidak otentik berasal dari Nabi, tetapi hanya kreasi orang-orang setelahnya.
Tidak jauh dari pendapat Schacht, salah seorang orientalis yang banyak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Goldziher dan Schacht dan memusatkan perhatiannya pada kajian hadis selama puluhan tahun, G. H. A. Juynboll, mengatakan bahwa pada paruh pertama dari abad pertama hijriah hadis Nabi tidak mendapatkan perlakuan seperti generasi-generasi Muslim belakangan. Ia berargumentasi dengan informasi dari buku-buku koleksi hadis empat khalifah: Abu> Bakar, ‘Umar, ‘Uthma>n, dan ‘Ali>. Khusus khalifah pertama, jarang sekali ia menemukan dalam karangan-karangan terdahulu seperti T}abaqa>t karya Ibn Sa’ad hadis-hadis dari lisan khalifah ini. Ma>lik tidak meriwayatkannya dalam al-Muwat}t}a’-nya kecuali empat puluh empat hadis. Satu di antaranya hadis musnad kepada Nabi dengan isna>d tidak terputus. Dalam Musnad al-T{aya>lisi> ia menemukan sembilan hadis milik Abu> Bakar. Tujuh di antaranya tentang al-targhi>b dan al-tarhi>b. Sedangkan Musnad Ah}mad ibn H{anbal ia menemukan sembilan puluh tujuh dengan pengulangan, sisanya tentang bermacam-macam tema, dan enam hadis yang tidak berkaitan dengan hukum-hukum haram-halal. Berkaitan dengan S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, ia menemukan lima hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Bakar. Juyboll lalu menarik kesimpulan melalu perbandingan koleksi hadis yang beragam dalam sejarah kodifikasinya bahwa tidak mungkin memasukkan Abu> Bakar dalam daftar para periwayat atau periwayat terbanyak dan bahwa hadis-hadis tidak berperan penting sepanjang kekhalifahannya.
Pendapat Juynboll menarik sehingga perlu dieksplorasi lebih jauh. Kalau kita merujuk pada koleksi hadis tiga khalifah pertama selain Abu> Bakar al-S{iddi>q (w. 13 H) dalam buku-buku hadis kanonik, maka kita mendapatkan data serupa yaitu mereka bertiga tidak termasuk para periwayat hadis dengan koleksi hadis terbanyak seperti Abu> Hurayrah (w. 59 H), ‘Ad secara ketat, sebagaimana tersurat dalam perkataan Ibn Si>ri>n di atas. Secara tidak langsung, itu juga membuktikan bahwa proses transmisi hadis sebelum terjadinya fitnah berlangsung dengan longgar dan tidak mendapatkan perhatian ekstra dibanding periode-periode belakangan.
Pendapat Harald Motzki selaras dengan tesis tersebut. Menurutnya, sebagaimana dinukil oleh Wael Hallaq dalam The Origins and Evolution of Islamic Law, tampak jelas bahwa hadis tidak berperan dalam bentuk-bentuk pemikiran fikih yang berkembang pada awal-awal kemunculannya. Penggunaan rasio terus berkembang sejak periode pertama hingga pertengahan abad kedua hijriah/abad kedelapan masehi. Hasil studi statistik salah seorang peneliti menunjukkan bahwa sepertiga dari riwayat-riwayat al-Zuhri> berisi penalaran rasio, sementara sepertiga terakhir hanya mengandung pendapat-pendapat yang dinisbatkan kepada para pendahulu. Hasil studi statistik itu juga menunjukkan bahwa Qata>dah berpegang pada rasio sebanyak 62% dalam riwayat-riwayatnya yang sangat menunjukkan bahwa 84% dari bagian yang tersisa atau 32% dari keseluruhan riwayat berisi penalaran rasio para pendahulu.
Selain pendapat Goldziher, Schacht, Juynboll, dan Motzki tentang persoalan evolusi historisitas hadis di atas, Muh}ammad Must}afa> al-A’z}ami menyebut pendapat sebagian orientalis bahwa hadis-hadis Nabi ada dengan bentuk sederhana pada akhir abad pertama hijriah dan kemudian berkembang, sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa ia muncul pada abad kedua hijriah dan menjadi sempurna pada abad ketiga hijriah. Sayangnya, al-A’z}ami tidak menyebut nama mereka sehingga tidak bisa dilacak dan dieksplorasi lebih jauh.

C. Problem Validitas Hadis
Bila teori sistem isna>d sangat erat kaitannya dengan evolusi historisitas hadis, maka dua hal itu juga sangat memengaruhi problem validitas hadis. Sebab sistem isna>d adalah sistem untuk mengukur tingkat akurasi periwayatan hadis, sehingga hadis itu bisa dinilai valid atau tidak. Dengan kata lain, validitas hadis sangat bergantung pada penilaian terhadap akurasi penerapan sistem isna>d .
Sementara itu, pengkajian terhadap evolusi historisitas hadis sangat membantu pelacakan otentisitas dan validitas sebuah hadis. Dengan kata lain, apakah keadaan sebuah hadis bisa dibuktikan dengan adanya catatan historis atau tidak. Oleh sebab itu, hasil kajian yang salah terhadap salah satu dari tiga hal tersebut sangat memengaruhi hasil kajian yang lain.
Contoh terbaik untuk tesis tersebut adalah dua argumentasi dari empat argumentasi Goldziher dalam meragukan kesahihan hadis Nabi saw. Pertama, koleksi hadis belakangan tidak menyebutkan sumber tertulisnya dan memakai istilah-istilah isna>d yang lebih mengimplikasikan periwayatan lisan daripada periwayatan tertulis. Kedua, perkembangan hadis secara massal sebagaimana terdapat dalam koleksi hadis belakangan tidak termuat dalam koleksi hadis yang lebih awal. Dua argumentasi itu sangat berkaitan dengan tiga aspek sekaligus.
Argumentasi pertama mengandung tiga kemungkinan yang saling berkaitan satu sama lain. Pertama, aspek isna>d yang menurutnya menggunakan istilah-istilah periwayatan dengan lisan, bukan periwayatan tertulis. Secara tidak langsung, ia berpendapat bahwa periwayatan tertulis lebih kuat daripada periwayatan lisan. Kedua, aspek historisitas hadis yang menurutnya koleksi hadis belakangan tidak menyebutkan sumber tertulisnya. Sumber tertulis merupakan sumber historis yang cukup memadai untuk dipercaya sebagai salah satu dukomen yang bernilai tinggi. Ketiga, aspek validitas hadis yang bisa ditangkap secara tersirat bahwa ketika sebuah hadis tidak memiliki sumber tertulis atau direkam sejarah serta lebih banyak dilakukan secara lisan, maka validitas hadis itu sangat diragukan.
Argumentasi kedua juga mengandung tiga hal yang saling berkaitan satu sama lain. Pertama, aspek isna>d yang dapat ditangkap secara tersirat bahwa ada semacam keterputusan dan pelebaran sanad antara koleksi hadis yang lebih awal dengan koleksi hadis belakangan. Dua hal itu menyebabkan perbedaan jumlah koleksi hadis yang seharusnya sama antar generasi. Kedua, aspek historisitas hadis yang dapat ditangkap secara tersirat bahwa sejarah pembukuan hadis tidak berjalan secara linear, tetapi berjalan membengkak. Ini terbukti dengan adanya perluasan materi atau koleksi hadis yang semakin hari semakin banyak. Ketiga, aspek validitas hadis yang dapat ditangkap secara tersirat bahwa pembengkakan jumlah hadis dari generasi ke generasi menimbulkan asumsi bahwa hadis tersebut bukan berasal dari Nabi saw., tetapi berasal dari generasi-generasi setelahnya.
Menurut Muh}ammad ‘Abd al-Razza>q Aswad dalam disertasinya Al-Ittija>ha>t al-Mu’a>s}irah fi> Dira>sah al-Sunnah al-Nabawiyyah fi> Mis}r wa Bila>d al-Sha>m, Goldziher termasuk dalam lingkaran orientalis seperti Caetani, Guston White, dan Wensinck yang berpendapat bahwa para sarjana hadis Muslim hanya mengkritik sanad hadis, tidak mengkritik matannya.
Menurut Goldziher, sebagaimana diringkas oleh Muh}ammad H{amzah, umat Islam hanya fokus pada kritik sanad tanpa kritik matan. Itu berasal dari peran dari kesaksian atas kehidupan religi umat Islam, sehingga tingkat kesahihan hadis ditentukan oleh derajat keadilan para periwayatnya. Meskipun dengan metode ini umat Islam berhasil mengetahui banyak hal dan memisahkan banyak hadis yang silsilah isna>d-nya terdiri dari para periwayat mudallis, tetapi itu tidak cukup guna mendeteksi hadis-hadis palsu. Sebab para pemalsu dan para mudallis berhasil mengedarkan banyak hal dengan merangkai sanad-sanad imajinatif untuk hal-hal yang hendak mereka edarkan. Pada saat yang sama, para mudallis mendasarkan periwayatan hadis-hadis aneh mereka pada para periwayat terkenal. Silsilah sanad-sanad imajinatif banyak memengaruhi para audiens yang cenderung mempercayai apa yang diriwayatkan dari mereka.
Selanjutnya, ia menarik kesimpulan bahwa langkah-langkah yang diterapkan dalam penyelidikan dan penyaringan isna>d-isna>d kurang memadai dan gagal menyaring hadis-hadis dari penambahan-penambahan yang tampak dengan jelas, karena kritik hadis dalam pandangan umat Islam sejak awal lebih didominasi oleh aspek eksternal. Oleh sebab itu, obyek kritiknya hanya pada aspek eksternal saja. Kesahihan matan lebih terikat pada kritik silsilah isna>d. Jika sanad hadis lolos dari kaidah-kaidah kritik aspek eksternal, maka matan-nya juga akan sahih meskipun bertentangan dengan realita atau berisi hal-hal kontradiktif.
Bila Goldziher hanya meragukan validitas hadis, maka Schacht melangkah lebih jauh lagi darinya. Orientalis yang mengklaim dirinya sebagai penerus Goldziher ini menyatakan bahwa tidak ada satu pun hadis yang sahih, terutama hadis-hadis fikih. Ia melampaui Goldziher dengan mengganti sikap skeptisnya menjadi sikap penuh keyakinan dalam menolak kesahihan hadis.
Dalam meragukan dan menolak validitas hadis, sebagai sarjana dengan reputasi baik tentu saja mereka menggunakan perangkat keilmuan dengan usaha bertahun-tahun sehingga sampai pada kesimpulan tersebut. Sebagai orientalis kenamaan, Goldziher meneliti beragam disiplin keilmuan Islam, termasuk hadis. Begitu juga Schacht melalui kajian mendalam terhadap al-Muwat}t}a’ karya Ma>lik ibn Anas dan al-Risa>lah karya Muh}ammad ibn Idri>s al-Sha>fi’i>. Usaha mereka berdua kemudian dilanjutkan oleh orientalis-orientalis lain, seperti G. H. A. Juynboll dan Harald Motzki, baik itu berupa kritik, pengembangan dari penemuan sebelumnya, bahkan penemuan-penemuan baru.
Juynboll, misalnya, berusaha sunguh-sungguh mengembangkan teori common link gagasan Schacht dalam meneliti otentisitas dan validitas hadis. Menurut Ali Masrur, ia menggunakannya untuk menyelidiki asal-usul dan sejarah awal periwayatan hadis selama dua puluh tahun terakhir ini. Teori ini berpijak pada asumsi dasar bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang periwayat, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkannya, semakin besar pula seorang periwayat dan jalur periwayatannya memiliki klaim kesejarahan.
Ia menawarkan teori ini sebagai ganti dari metode kritik hadis konvensional. Jika metode kritik hadis konvensional berpijak pada kualitas periwayat, maka metode common link tidak hanya menekankan kualitas periwayat saja, tetapi juga kuwantitasnya. Menurutnya, kritik hadis konvensional memiliki beberapa kelemahan yang cukup mendasar dan tidak mampu memberikan kepastian mengenai sejarah periwayatan hadis.
Sementara itu, menurut Ali Masrur, dalam upayanya memperbaiki metode analisis isna>d Juyboll, Motzki mengajukan suatu metode yang disebut dengan metode analasis isna>d-cum-matn. Metode ini bertujuan untuk menelusuri sejarah periwayatan hadis dengan cara membandingkan varian-varian yang terdapat dalam berbagai kompilasi yang berbeda-beda. Tentu saja metode ini tidak hanya menggunakan isna>d, tetapi juga matan hadis. Dalam mengamati varian-varian hadis yang dilengkapi dengan isna>d, metode ini berangkat dari asumsi dasar bahwa sebagian berbagai varian dari sebuah hadis, setidak-tidaknya sebagiannya, merupakan akibat dari proses periwayatan dan juga bahwa isna>d dari varian-varian itu, sekurang-kurangnya sebagiannya, merefleksikan jalur-jalur periwayatan yang sebenarnya.
Data-data di atas menunjukkan adanya jaringan intelektual yang kuat antara Goldziher, Schacht, Juynboll, dan Harald Motzki, terutama pengaruh pemikiran-pemikiran hadis Goldziher terhadap Schacht dan Joynboll. Ini terbukti salah satunya dengan keterkaitan ide dan kajian mereka di samping pengakuan mereka sendiri. Bahkan menurut Fuat Sezgin, sebagaimana dinukil oleh Nu>r al-Di>n ‘Itr, para peneliti menganggap pencapaian-pencapaian Goldziher dalam hal ini secara umum bersifat pasti. Oleh karena itu, dalam proses penelitian terhadap perkara-perkara utama dan rincian-rinciannya mereka mencukupkan diri pada pencapaian-pencapaian Goldziher.
Lebih dari itu, dalam mengkaji seluk-beluk hadis, para orientalis memiliki istilah-istilah teknis tertentu yang sama atau berbeda sama sekali dengan istilah-istilah teknis kreasi para sarjana Muslim, seperti kritik internal, kritik eksternal, common link, common link cum partial common link, real common link, seeming (artificial) common link, inverted common link, inverted partial common link, partial common link, diving strand, single strand, argument e silentio, fabricator, source critical method, spider, geometric progression, isna>d-cum-matn, dan terminus ante quem.

Penutup
Sekelumit fakta dalam pembahasan makalah ini membuktikan bahwa pandangan para orientalis tentang hadis bermacam-macam, termasuk pandangan mereka mengenai teori sistem isna>d, evolusi historisitas hadis, dan problem validitas hadis. Oleh karena itu, menggeneralisasi mereka dalam satu kategori saja tidak dapat dibenarkan. Lebih dari itu, sebagian orang menganggap negatif seluruh usaha mereka. Padahal faktanya tidak demikian. Justeru sebagian usaha mereka sangat berarti bagi kemajuan kajian Islam.
Salah satu nilai positif kajian keislaman mereka terutama hadis adalah bisa memacu gairah kajian umat Islam sendiri terhadap agama warisan intelektual para pendahulu mereka. Tidak bisa dibayangkan bila kajian keislaman tidak mendapatkan sentuhan dari para orientalis akan sepesat seperti sekarang. Sebagai bentuk kajian ilmiah dengan beragam kepentingan, baik sentimen keagamaan, ekonomi, politik maupun murni pengembangan kajian ketimuran, usaha mereka tetap harus tidak dipandang sebelah mata. Sebab nilai positif tidak selalu atau harus berasal dari umat Islam, sedangkan nilai negatif dari non-Muslim.
Menyadari hal itu, usaha mereka tetap harus diterima dengan kepala dingin seraya menyelidiki, mengkritik, bahkan dikembang sedemikian rupa agar spirit mengkaji Islam terutama hadis tetap menyala di tengah-tengah umat Islam. Bila itu dilakukan, setidaknya mereka akan menyadari bahwa Islam serta kekayaan warisan intelektual para sarjana Muslim merupakan dua hal yang sangat berarti, sehingga mereka sebagai para pewaris sah tidak rela bila yang berhasil mengembangkan apalagi yang menghancurkannya adalah orang lain di luar komunitas mereka.
Dalam makalah ini, penulis membuktikan bahwa mereka mengkaji hadis dengan serius, bahkan rela menghabiskan puluhan tahun dari sisa hidupnya sehingga menghasilkan beberapa karya dan penemuan yang tidak bisa dilakukan oleh umat Islam. Sebagai peneliti outsiders, tentu saja metode dan hasil kajian mereka tidak harus sama dengan metode dan hasil kajian umat Islam. Oleh sebab itu, kelebihan dan kekurangan tetap menghiasi metode dan hasil kajian mereka, sebagaimana juga berlaku terhadap metode dan hasil kajian umat Islam sebagai peneliti insiders.

Daftar Pustaka

Aswad, Muh}ammad ‘Abd al-Razza>q. Al-Ittija>ha>t al-Mu’a>s}irah fi> Dira>sah al-Sunnah al-Nabawiyyah fi> Mis}r wa Bila>d al-Sha>m. Damaskus: Da>r al-Kalim al-T{ayyib, 2008.
Al-A’z}ami>, Muh}ammad Must}afa>. Dira>sa>t fi> al-H{adi>th al-Nabawi> wa Ta>ri>kh Tadwi>nih. Beirut: al-Maktab al-Isla>mi>, 1992.
Baha>’ al-Di>n, Muh}ammad. Al-Mustashriqu>n wa al-H{adi>th al-Nabawi>. Kuala Lumpur: Fajar Ulung SDN. BHD., 1999.
Hallaq, Wael. Nash’ah al-Fiqh al-Isla>mi> wa Tat}awwuruh. Beirut: Da>r al-Mada>r Isla>mi>, 2007.
H{amzah, Muh}ammad. Al-H{adi>th al-Nabawi> wa Maka>natuha> fi> al-Fikr al-Isla>mi> al-H{adi>th. Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fi> al-‘Arabi>, 2005.
‘Itr, Nu>r al-Di>n. Manhaj al-Naqd fi> ‘Ulu>m al-H{adi>th. Damaskus: Da>r al-Fikr, 2008.
Masrur, Ali. Teori Common link G. H. A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2007.
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

Wallahu a’lamu bis-shawab.

1 komentar: