Pendahuluan
Studi
seputar relasi antara Islam dan orientalisme termasuk studi prestisius. Hampir
setiap bidang Islamic studies berkaitan dengan orientalisme, baik itu
tafsir, hadis, fikih, filsafat, sufisme maupun sejarah. Masing-masing bidang
studi tidak luput dari sentuhan kajian para orientalis, bahkan mereka berhasil
menghasilkan karya-karya bermutu yang tidak dapat dilakukan oleh sebagian umat
Islam. Lebih dari itu, sebagian sarjana Muslim kadang menggunakan karya-karya
mereka sebagai bahan referensi dalam penelitian mereka.
Sebagai
bukti, dalam bidang hadis, mereka meracik sebuah kamus besar guna melacak
keberadaan sebuah hadis berdasarkan teks utama dari hadis tersebut dalam enam
buku koleksi hadis kanonik, Sunan al-Da>rimi>, Muwat}t}a’ Ma>lik, dan Musnad
Ah}mad ibn H{anbal dengan judul
Concordance Et Indices De La Tradition Musulmane (al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfāz}
al-H{adīth
al-Nabawī) dalam tujuh jilid tebal. Kamus hadis ini adalah
karya sekelompok orientalis yang dipublikasikan oleh A. J. Wensinck dan J. P.
Mensing. Selain kamus ini, A. J. Wensinck meracik kamus hadis yang lebih kecil
darinya yang berjudul Mifta>h Kunu>z al-Sunnah.
Dua
karya monumental ini sekaligus bukti bahwa tidak semua karya para orientalis
jelek, bahkan sebaliknya. Memang sebagian karya mereka tidak luput dari
motivasi sentimen keagamaan yang berujung pada kesalahan, baik itu disengaja
maupun tidak disengaja. Hanya saja, dari masa ke masa kajian sebagian
orientalis mengalami pergeseran paradigma dari subyektivisme yang dipicu oleh
sentimen keagamaan menuju obyektivisme yang dimotori oleh keterbukaan dan
kejujuran intelektual.
Dalam
makalah ini, fokus kajian penulis adalah studi hadis yang dilakukan sebagian
orientalis lintas generasi. Idealnya, kajian ini mencakup studi hadis semua orientalis,
tetapi karena alasan tertentu penulis hanya akan menitikberatkan pada studi
hadis garapan sebagian orientalis tentang teori sistem isnād, evolusi
historisitas hadis, dan problem validitas hadis.
Secara
metodologis, pembatasan kajian pada sebagian orientalis ini masih bisa
dipertanyakan, karena tidak akan menghasilkan pemahaman utuh terhadap sikap dan
pandangan mereka terhadap hadis, terutama tentang teori sistem isnād, evolusi
historisitas hadis, dan problem validitas hadis. Tetapi sependek penelitian
penulis, ide-ide sebagian orientalis cukup merepresentasikan hasil studi hadis
orientalis lainnya dan cukup menggemparkan jagad pemikiran Islam
modern-kontemporer. Selain alasan ini, referensi signifikan yang ada hanya
seputar studi hadis mereka sangat terbatas.
Di
antara orientalis yang karyanya, sedikit atau banyak, berkaitan dengan studi
hadis adalah Alois Sprenger (1813-1893), Sir William Muir (1819-1905), Ignaz
Goldziher (1850-1921), David Samuel Margoliouth, P. Henri Lammens (1862-1937),
Snouck Hurgronje (1857-1936), Leone Caetani (1869-1926), Josef Horovitz
(1873-1931), Gregor Schoeler, Patrcia Crone, Alfred Guillaume (1888- ), James
Robson (1890- ), Joseph Schacht (1902-1969), G. Weil, R. P. A. Dozy, Michael A.
Cook, Norman Calder, David S. Powers, M. J. Kister, Daniel W. Brown, L. T.
Librande, Nabia Abbot, Rafael Talmon, Brannon Wheeler, Noel J. Coulson, Charles
J. Adams, Herbert Berg, G. Lecomte, R. Sellheim, R. Marston Speight, John
Wansbrough, Burton, Hinds, Hawting, Uri Rubin, J. Fück, H. A. R. Gibb, W. M.
Watt, Nabia Abbot, G. H. A. Juynboll, dan Harald Motzki.
Dengan
mencermati ide-ide utama mereka, penulis berkesimpulan bahwa mereka seakan-akan
terlibat dalam jaringan intelektual yang sangat erat; saling mewarisi ide,
mengembangkan, merevisi, bahkan mengkritik dan menolaknya habis-habisan.
Sayangnya, sebagian sarjana Muslim kontemporer terpengaruh oleh ide-ide mereka,
seperti Mah}mu>d Abu> Rayyah pengarang dua buku kontroversial Ad}wa>’
‘ala> al-Sunnah al-Muh}ammadiyyah aw Difa>’ ‘an al-H{adi>th dan
Shaykh al-Mud}i>rah: Abu> Hurayrah, Ah}mad Ami>n pengarang trilogi buku Fajr
al-Isla>m, D{uh}a> al-Isla>m, dan Yawm al-Isla>m,
dan Kassim Ahmad pengarang I’a>dah Taqyi>m al-H{adi>th: al-‘Awdah
ila> al-Qur’a>n.
Karya
para orientalis dan sebagian sarjana Muslim kontemporer tersebut disanggah oleh
sebagian sarjana Muslim seperti Muh}ammad Must}afa>
al-A’z}ami>> dalam Dira>sa>t fi> al-H{adi>th al-Nabawi>
wa Ta>ri>kh Tadwi>nih, Fuat M. Sezgin dalam Geschichte der
Arabischen Schrifttummms, Must}afa> al-Siba>’i> dalam al-Sunnah
wa Maka>natuha> fi> al-Tashri>’, Muh}ammad ‘Ajja>j
al-Khat}i>b dalam Abu> Hurayrah: Ra>wiyah al-Isla>m, ‘Abd
al-Rah}ma>n ibn Yah}ya> al-Mu’alimi> al-Yama>ni> dalam al-Anwa>r
al-Ka>shifah li ma> fi> Kita>b Ad}wa>’ ‘ala> al-Sunnah min
al-Zalal wa al-Tad}li>l wa al-Muja>zafah, Muh}ammad Muh}ammad Abu>
Shuhbah Difa>’ ‘an al-Sunnah wa Radd Shubah al-Mustashriqi>n wa
al-Kutta>b al-Mu’as}iri>n, dan Nu>r al-Di>n ‘Itr dalam Manhaj
al-Naqd fi> ‘Ulu>m al-H{adi>th.
Pembahasan
A. Teori Sistem Isnād
Terlepas dari perdebatan para sarjana Muslim baik klasik
maupun kontemporer tentang persamaan atau perbedaan antara isna>d dan sanad, posisi isna>d dan sanad sangat urgen dalam
Islam. Urgensinya terletak pada tradisi keilmuan utama Islam, seperti tafsir,
hadis, fikih, teologi, dan sejarah. Para sarjana Muslim klasik menyajikan
materi dalam buku-buku mereka dengan cara mencantumkan riwayat dan pendapat
dengan menisbatkan ke empunya, terutama dalam bidang hadis.
Berkaitan dengan relasi antara isna>d dan hadis, bila mayoritas sarjana Muslim Sunni sepanjang sejarah meyakini
permulaan sistem isna>d bersamaan dengan proses periwayatan
hadis, maka sebagian orientalis tidak demikian. Mereka masih saja mempersoalkan
permulaan dan validitas sistem isna>d, sebuah sistem periwayatan hadis
handal khas Islam, yang menurut Ibn al-Muba>rak merupakan bagian dari Islam.
Bahkan mereka berbeda pendapat secara tajam.
Sebelum membahas perbedaan pendapat para orientalis
tentang teori sistem isna>d, hasil penelitian Muh}ammad H{amzah perlu diungkap terlebih dahulu. Menurutnya, banyak peneliti berpendapat
bahwa isna>d bermula setelah terjadinya “fitnah”
berdasarkan pada perkataan Ibn Si>ri>n: “Mereka tidak biasa bertanya
tentang isna>d. Ketika terjadi fitnah mereka
berkata, “Berilah nama orang-orang kalian!” Bila Ahli Sunnah, maka
hadis mereka diterima dan bila ahli bid’ah, maka hadis mereka tidak diterima.”
Hanya saja menentukan sejarah permulaan isna>d dengan kejadian fitnah ini
menyisakan permasalahan: fitnah apakah yang dimaksud oleh Ibn Si>ri>n?
Sebagaimana dinukil oleh Muh}ammad H{amzah, Joseph Schacht (1902-1969), orientalis Jerman, dalam The Origins of
Muhammadan Jurisprudence berpendapat bahwa fitnah yang dimaksud oleh Ibn Si>ri>n adalah fitnah pembunuhan al-Wali>d ibn Yazi>d ibn ‘Abd al-Malik
ibn Marwa>n
(w. 126 H) berdasarkan pada persamaan penggunaan kata “fitnah” antara perkataan
Ibn Si>ri>n dan apa yang disebutkan al-T{abari> dalam Ta>ri>kh-nya, bahwa dalam kejadian-kejadian pada
tahun 126 H perkara Bani Marwa>n kacau-balau dan terjadilah fitnah.
Hipotesis ini menyeretnya untuk menjadikan perkataan Ibn Si>ri>n sebagai bahan karena ia wafat pada tahun 110 H, yaitu sebelum terjadinya
fitnah.
Berbeda dengan Schacht, James Robson (1890- ) mengajukan
interpretasi lain mengenai fitnah tersebut. Menurutnya, fitnah itu adalah
fitnah ‘Abd Alla>h ibn al-Zubayr pada tahun 72 H ketika
ia memproklamasikan dirinya sebagai khalifah. Orientalis ini mendasarkan
pendapatnya pada perkataan fitnah yang dilontarkan oleh Ma>lik ibn Anas atas gerakan Ibn al-Zubayr. Berdasarkan itu, isna>d
muncul setengah abad lebih awal dari penentuan Schacht karena ini sesuai dengan
umur Ibn Si>ri>n. Ia juga mengilustrasikan kepada kita
kemungkinan menerima keterlibatan dan pengetahuan Ibn Si>ri>n tentang apa yang terjadi pada saat itu.
Pada gilirannya, sebagaimana akan terlihat dalam
pembahasan berikutnya, interpretasi fitnah Schacht dan Robson memengaruhi
pandangan mereka tentang teori permulaan penggunaan isna>d, evolusi
historitas hadis, dan problem validitas hadis. Bila mereka berdua mendasarkan
teori permulaan isna>d-nya pada
penentuan penanggalan fitnah di kalangan umat Islam, maka Sprenger, Caetani,
dan Horovitz mendasarkan teori kemunculan isna>d
pada tulisan-tulisan ‘Urwah, sosok yang dianggap sebagai penghimpun hadis
pertama.
Alois Sprenger (1813-1893), orientalis Jerman generasi
pertama yang mula-mula skeptis terhadap orisinalitas hadis, sependapat dengan
Leone Caetani (1869-1926), orientalis Italia. Dengan nada skeptis, sebagaimana
dinukil oleh Muh}ammad Baha>’ al-Di>n, Sprenger mengemukakan
argumentasinya bahwa tulisan-tulisan ‘Urwah kepada ‘Abd al-Ma>lik tidak disertai dengan sanad-sanad. Oleh sebab itu, apa pun yang
dinisbatkan kepada ‘Urwah berupa penggunaan sanad-sanad pasti muncul relatif
lebih akhir.
Sementara itu Caetani, sebagaimana menurut Muh}ammad Must}afa> al-A’z}ami, meyakini bahwa penggunaan isna>d
untuk hadis-hadis Nabi belum dikenal pada masa ‘Abd al-Ma>lik (80 H) atau lebih dari enam puluh tahun paska Nabi saw. wafat, karena
‘Urwah (w. 94 H), penghimpun hadis pertama, tidak menggunakan isna>d dan
tidak menyebutkan referensi pembicaraannya selain al-Qur’an sebagaimana tampak
dengan jelas dalam penukilan-penukilan al-T{abari> darinya. Oleh sebab itu, bisa
dikatakan bahwa penggunaan sanad-sanad bagi hadis dimulai antara ‘Urwah dan Ibn ‘Ish}a>q (151 H), sehingga sebagian besar sanad yang ada dalam
buku-buku sunnah pastilah kreasi para sarjana hadis pada abad kedua hijriah,
bahkan begitu juga pada abad ketiga.
Di pihak berseberangan, Josef Horovitz (1873-1931),
orientalis Jerman, membantah keras pendapat Sprenger dan Caetani. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pihak yang menafikan penggunaan ‘Urwah terhadap
isna>d tidaklah mengkaji tulisan-tulisan dan sanad-sanadnya
dengan sempurna. Ia sampai pada kesimpulan bahwa penggunaan isna>d
untuk hadis bermula sejak sepertiga yang ketiga dari abad pertama hijriah.
Menurut Muh}ammad Baha>’ al-Di>n, Horovitz menuangkan kritik
ini dalam bukunya Alter and Ursprung des Isnad Der Islam VIII pada tahun 1918. Akram al-‘Umri> menyebutkan dua pendapat Horovitz. Pertama, Robson menarik
kesimpulan bahwa Horovitz sependapat dengan Caetani yang berpendapat bahwa
sanad belum ada sebelum tahun 74 H. Kedua, isna>d pada masa sebelum al-Zuhri> merupakan kebiasaan, bukan sesuatu
yang telah paten.
Jauh berbeda dengan tiga orientalis di atas, Ignaz
Goldziher (1850-1921) melangkah lebih ekstrem. Menurut orientalis Hungaria ini,
sebagaimana dinukil oleh Ali Masrur, isna>d adalah hasil dari
perkembangan pemikiran generasi Islam awal. Pendapat ini sama dengan pendapat
Joseph Schacht. Orientalis spesialis hadis-hadis fikih ini, sebagaimana dikutip
oleh Muh}ammad Baha>’ al-Di>n, berpendapat bahwa isna>d diketahui secara luas berawal dari bentuk sederhana dan mencapai
kesempurnaannya pada paruh kedua abad ketiga hijriah. Banyak isna>d
yang tidak mendapatkan perhatian dan kelompok apa pun yang ingin menisbatkan
pendapat-pendapatnya kepada orang-orang terdahulu (al-mutaqaddimu>n), maka mereka memilih figur-figur itu lalu meletakkannya
ke dalam isna>d.
Masih menurut Schacht, sebagaimana dikutip oleh Ali
Masrur, isna>d memiliki kecenderungan untuk
berkembang ke belakang. Isna>d berawal dari bentuk yang sederhana,
lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengaitkan doktrin-doktrin aliran
fikih klasik kepada tokoh yang lebih awal, seperti sahabat dan akhirnya kepada
Nabi. Dengan kata lain, isna>d merupakan rekayasa sebagai hasil dari
pertentangan antara aliran fikih klasik dan ahli hadis. Pendapat terakhir
Schacht ini dikenal dengan nama projecting back theory.
Pendapat senada diutarakan oleh Noel J. Coulson.
Sebagaimana dikutip oleh Muh}ammad Baha>’ al-Di>n, ia berpendapat bahwa demi
mengukuhkan madhhab dalam mengikuti apa yang sudah ditetapkan dari hukum-hukum
al-Qur’an, ahli hadis mulai menisbatkan banyak kaidah dan hukum secara salah
kepada Rasulullah saw. Mereka menciptakannya dalam bentuk cerita-cerita dan
informasi-informasi tentang apa yang dikatakan dan dilakukan Muhammad dalam
kesempatan-kesempatan tertentu. Itu adalah akibat kepercayaan kokoh mereka bahwa
Nabi saw. akan memutuskan secara tegas dengan hukum-hukum yang dinisbatkan
kepadanya ketika ia menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi.
Jika dibandingkan dengan pendapat Goldziher, Schacht, dan
Coulson, maka pendapat Robson lebih lunak. Menurut orientalis Inggris ini,
sebagaimana dikutip oleh Ali Mustafa Yaqub, pada pertengahan abad pertama
hijriah mungkin sudah ada suatu metode semacam sanad. Sebab pada pada masa itu
sejumlah sahabat sudah wafat, sedangkan orang-orang yang tidak pernah bertemu
dengan Nabi saw. mulai meriwayatkan hadis-hadisnya. Dengan sendirinya mereka
akan ditanya oleh orang-orang yang mendengarnya, dari siapa mereka mendapatkan
hadis-hadis itu. Hanya saja metode sanad secara detail tentulah berkembang
sedikit demi sedikit setelah itu.
Setelah
itu Robson menarik kesimpulan, sebagaimana dinukil oleh Muh}ammad Must}afa> al-A’z}ami>, dengan berkata sebagai berikut:
Sesungguhnya kita tahu bahwa Ibn Ish}a>q pada paruh kedua dari abad kedua hijriah memberikan informasi-informasinya
tanpa sanad. Sebagian besar yang tersisa darinya tanpa sanad utuh dan para
pendahulunya pasti lebih sedikit memperhatikan sanad-sanad dibanding dirinya.
Tetapi tidak tepat kita berkata, “Sesungguhnya isna>d
berasal dari masa al-Zuhri> dan tidak diketahui pada masa ‘Urwah,
sementara sistem isna>d yang mencapai kesempurnaannya memakan
waktu lama dan berkembang dengan lambat. Sebagian orang mungkin bisa menerima
bahwa sebagian sanad bermula sejak dulu sebagaimana yang diklaim orang.
Masih berkaitan dengan posisi Ibn Ish}a>q dalam persoalan permulaan isna>d, W.
Montgomery Watt, orientalis Inggris, berpendapat bahwa sanad bermula dari
bentuk tidak sempurna. Ia berargumentasi dengan apa yang terdapat dalam buku Ibn Ish}a>q pada paruh pertama dari abad kedua hijriah dan dengan al-Wa>qidi>, seorang juru tulis Ibn Sa’ad yang kira-kira dua puluh tahun lebih muda
darinya, yang berusaha menyebutkan silsilah para periwayat (ruwa>t)
dengan sempurna. Orang yang memaksakan diri menyebutkan silsilah para periwayat
dengan sempurna adalah al-Sha>fi’i>, orang yang sezaman dengan al-Wa>qidi. Sehingga bila penyebutan sanad yang sempurna sudah tersebar luas, maka
para sarjana hadis terdorong untuk menisbatkan sanad kepada orang-orang yang
sezaman dengan Muh}ammad saw., sehingga ketika mereka menisbatkan kepada para
periwayat, maka penisbatan mereka akan menjadi benar karena mereka mengetahui
dari mana para pendahulu mereka mendapatkan informasi-informasinya.
Pendapat yang bertolak belakang dengan para orientalis di
atas dikemukakan oleh Nabia Abbot. Sebagaimana dikutip oleh Ali Masrur, ia
menyatakan bahwa praktik penulisan hadis sudah berlangsung “sejak awal” dan
“berkesinambungan”. Kata “sejak awal” di sini mengandung arti bahwa para
sahabat Nabi saw. sendiri telah menyimpan catatan-catatan hadis, sementara kata
“berkesinambungan” berarti bahwa sebagian besar hadis memang diriwayatkan
secara tertulis, selain tentunya juga dengan lisan, hingga akhirnya hadis-hadis
itu dihimpun dalam berbagai koleksi kanonik.
B. Evolusi Historisitas Hadis
Teori sistem isna>d sangat erat kaitannya dengan
evolusi historisitas hadis, karena isna>d tidak bisa dipisahkan dari hadis. Oleh sebab
itu, bila seorang peneliti berangkat dari asumsi salah tentang teori isna>d, maka pada gilirannya ia akan memengaruhi pandangannya tentang evolusi
historisitas hadis; apakah kemunculan isna>d bersamaan dengan kemunculan
hadis atau ia muncul jauh sesudah hadis itu disabdakan oleh Nabi saw. dan
apakah hadis-hadis dalam buku-buku koleksi hadis itu benar-benar berasal dari
Nabi saw. atau tidak. Ini juga masuk pada persoalan otentisitas dan validitas
hadis.
Dalam hal ini, pendapat Goldziher dalam Muhamedanische
Studien perlu dikemukakan. Sebab, menurut Muh}ammad Must}afa> al-A’z}ami>, buku ini ibarat kitab suci pegangan
para peneliti di dunia orientalisme. Dalam buku ini Goldziher mencatat,
sebagaimana dinukil oleh Ali Masrur, bahwa fenomena hadis berasal dari zaman
Islam yang paling awal. Akan tetapi, karena kandungan hadis yang terus
membengkak pada era selanjutnya dan dalam setiap generasi Muslim materi hadis
berjalan paralel dengan doktrin-doktrin fikih dan teologi yang seringkali
saling bertentangan, maka dapat disimpulkan bahwa sangat sulit untuk menentukan
hadis-hadis orisinal yang berasal dari Nabi. Sebagian besar materi hadis dalam
koleksi kitab hadis merupakan hasil perkembangan keagamaan, historis, dan
sosial Islam selama dua abad pertama, atau refleksi dari kecenderungan-kecenderungan
yang tampak pada masyarakat Muslim selama masa-masa tersebut.
Pendapat dengan substansi hampir senada, tetapi dengan
rangkaian kata berbeda dicetuskan oleh Schacht melalui projecting back
theory gagasannya. Teori yang juga dikenal dengan nama backward-projection
theory atau naz}ariyyah al-qadhaf al-khalfi> li
al-asad ini
termasuk teori penting dalam kajian hadis orientalis yang sedikit atau banyak
memengaruhi pemikiran dua sarjana Muslim kontemporer, A. A. Fyzee dan Fazlur
Rahman. Schacht menegaskan bahwa hukum Islam belum eksis pada masa al-Sha’bi> (w. 110 H). Oleh sebab itu, bila ditemukan hadis-hadis yang berkaitan
dengan hukum, maka hadis-hadis itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah
al-Sha’bi>. Hukum Islam baru dikenal sejak pengangkatan para hakim
agama (qa>d}i>) yang baru dilakukan pada masa Dinasti
Umayyah. Keputusan-keputusan yang diberikan pada qa>d}i> ini memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih
tinggi. Oleh karena itu, mereka tidak menisbatkan keputusan-keputusan itu
kepada dirinya sendiri, melainkan menyandarkannya kepada tokoh-tokoh sebelumnya
demi memperoleh legitimasi lebih kuat, yang semakin lama semakin jauh ke
belakang hingga kepada Nabi Muhammad saw.
Bila merujuk pada teori ini, maka klaim kesejarahan hadis
yang diyakini umat Islam tidak berguna lagi. Sebab teori ini secara tidak
langsung menafikan kemunculan hadis pada masa Rasulullah saw., tetapi muncul
jauh sesudah beliau wafat di tangan para qa>d}i> yang dibubuhi sanad serta diproyeksikan pada generasi-generasi sebelumnya.
Dengan kata lain, hadis tidak otentik berasal dari Nabi, tetapi hanya kreasi
orang-orang setelahnya.
Tidak jauh dari pendapat Schacht, salah seorang
orientalis yang banyak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Goldziher dan Schacht
dan memusatkan perhatiannya pada kajian hadis selama puluhan tahun, G. H. A.
Juynboll, mengatakan bahwa pada paruh pertama dari abad pertama hijriah hadis
Nabi tidak mendapatkan perlakuan seperti generasi-generasi Muslim belakangan.
Ia berargumentasi dengan informasi dari buku-buku koleksi hadis empat khalifah:
Abu> Bakar, ‘Umar, ‘Uthma>n, dan ‘Ali>. Khusus khalifah pertama,
jarang sekali ia menemukan dalam karangan-karangan terdahulu seperti T}abaqa>t karya Ibn Sa’ad hadis-hadis dari lisan khalifah ini. Ma>lik
tidak meriwayatkannya dalam al-Muwat}t}a’-nya kecuali empat puluh empat hadis.
Satu di antaranya hadis musnad kepada Nabi dengan isna>d
tidak terputus. Dalam Musnad al-T{aya>lisi> ia menemukan sembilan hadis
milik Abu> Bakar. Tujuh di antaranya tentang al-targhi>b dan al-tarhi>b. Sedangkan Musnad Ah}mad ibn H{anbal ia menemukan sembilan puluh tujuh dengan pengulangan,
sisanya tentang bermacam-macam tema, dan enam hadis yang tidak berkaitan dengan
hukum-hukum haram-halal. Berkaitan dengan S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, ia menemukan lima hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Bakar. Juyboll lalu menarik kesimpulan melalu perbandingan koleksi hadis yang
beragam dalam sejarah kodifikasinya bahwa tidak mungkin memasukkan Abu> Bakar dalam daftar para periwayat atau periwayat terbanyak dan bahwa hadis-hadis
tidak berperan penting sepanjang kekhalifahannya.
Pendapat Juynboll menarik sehingga perlu dieksplorasi
lebih jauh. Kalau kita merujuk pada koleksi hadis tiga khalifah pertama selain Abu> Bakar al-S{iddi>q (w. 13 H) dalam buku-buku hadis kanonik, maka kita
mendapatkan data serupa yaitu mereka bertiga tidak termasuk para periwayat
hadis dengan koleksi hadis terbanyak seperti Abu> Hurayrah (w. 59 H), ‘Ad secara ketat, sebagaimana tersurat dalam perkataan Ibn Si>ri>n di atas. Secara tidak langsung, itu juga membuktikan bahwa proses
transmisi hadis sebelum terjadinya fitnah berlangsung dengan longgar dan tidak
mendapatkan perhatian ekstra dibanding periode-periode belakangan.
Pendapat Harald Motzki selaras dengan tesis tersebut.
Menurutnya, sebagaimana dinukil oleh Wael Hallaq dalam The Origins and
Evolution of Islamic Law, tampak jelas bahwa hadis tidak berperan dalam
bentuk-bentuk pemikiran fikih yang berkembang pada awal-awal kemunculannya.
Penggunaan rasio terus berkembang sejak periode pertama hingga pertengahan abad
kedua hijriah/abad kedelapan masehi. Hasil studi statistik salah seorang
peneliti menunjukkan bahwa sepertiga dari riwayat-riwayat al-Zuhri>
berisi penalaran rasio, sementara sepertiga terakhir hanya mengandung
pendapat-pendapat yang dinisbatkan kepada para pendahulu. Hasil studi statistik
itu juga menunjukkan bahwa Qata>dah berpegang pada rasio sebanyak 62%
dalam riwayat-riwayatnya yang sangat menunjukkan bahwa 84% dari bagian yang
tersisa atau 32% dari keseluruhan riwayat berisi penalaran rasio para
pendahulu.
Selain pendapat Goldziher, Schacht, Juynboll, dan Motzki
tentang persoalan evolusi historisitas hadis di atas, Muh}ammad Must}afa> al-A’z}ami menyebut pendapat sebagian orientalis bahwa hadis-hadis
Nabi ada dengan bentuk sederhana pada akhir abad pertama hijriah dan kemudian
berkembang, sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa ia muncul pada abad kedua
hijriah dan menjadi sempurna pada abad ketiga hijriah. Sayangnya, al-A’z}ami
tidak menyebut nama mereka sehingga tidak bisa dilacak dan dieksplorasi lebih
jauh.
C. Problem Validitas Hadis
Bila teori sistem isna>d sangat erat kaitannya dengan
evolusi historisitas hadis, maka dua hal itu juga sangat memengaruhi problem
validitas hadis. Sebab sistem isna>d adalah sistem untuk mengukur tingkat
akurasi periwayatan hadis, sehingga hadis itu bisa dinilai valid atau tidak.
Dengan kata lain, validitas hadis sangat bergantung pada penilaian terhadap
akurasi penerapan sistem isna>d .
Sementara
itu, pengkajian terhadap evolusi historisitas hadis sangat membantu pelacakan
otentisitas dan validitas sebuah hadis. Dengan kata lain, apakah keadaan sebuah
hadis bisa dibuktikan dengan adanya catatan historis atau tidak. Oleh sebab
itu, hasil kajian yang salah terhadap salah satu dari tiga hal tersebut sangat
memengaruhi hasil kajian yang lain.
Contoh terbaik untuk tesis tersebut adalah dua
argumentasi dari empat argumentasi Goldziher dalam meragukan kesahihan hadis
Nabi saw. Pertama, koleksi hadis belakangan tidak menyebutkan sumber
tertulisnya dan memakai istilah-istilah isna>d yang lebih mengimplikasikan
periwayatan lisan daripada periwayatan tertulis. Kedua, perkembangan hadis
secara massal sebagaimana terdapat dalam koleksi hadis belakangan tidak termuat
dalam koleksi hadis yang lebih awal. Dua argumentasi itu sangat berkaitan
dengan tiga aspek sekaligus.
Argumentasi pertama mengandung tiga kemungkinan yang
saling berkaitan satu sama lain. Pertama, aspek isna>d
yang menurutnya menggunakan istilah-istilah periwayatan dengan lisan, bukan
periwayatan tertulis. Secara tidak langsung, ia berpendapat bahwa periwayatan
tertulis lebih kuat daripada periwayatan lisan. Kedua, aspek
historisitas hadis yang menurutnya koleksi hadis belakangan tidak menyebutkan
sumber tertulisnya. Sumber tertulis merupakan sumber historis yang cukup
memadai untuk dipercaya sebagai salah satu dukomen yang bernilai tinggi. Ketiga,
aspek validitas hadis yang bisa ditangkap secara tersirat bahwa ketika sebuah
hadis tidak memiliki sumber tertulis atau direkam sejarah serta lebih banyak
dilakukan secara lisan, maka validitas hadis itu sangat diragukan.
Argumentasi kedua juga mengandung tiga hal yang saling
berkaitan satu sama lain. Pertama, aspek isna>d yang dapat ditangkap secara
tersirat bahwa ada semacam keterputusan dan pelebaran sanad antara koleksi
hadis yang lebih awal dengan koleksi hadis belakangan. Dua hal itu menyebabkan
perbedaan jumlah koleksi hadis yang seharusnya sama antar generasi. Kedua,
aspek historisitas hadis yang dapat ditangkap secara tersirat bahwa sejarah
pembukuan hadis tidak berjalan secara linear, tetapi berjalan membengkak. Ini
terbukti dengan adanya perluasan materi atau koleksi hadis yang semakin hari
semakin banyak. Ketiga, aspek validitas hadis yang dapat ditangkap secara
tersirat bahwa pembengkakan jumlah hadis dari generasi ke generasi menimbulkan
asumsi bahwa hadis tersebut bukan berasal dari Nabi saw., tetapi berasal dari
generasi-generasi setelahnya.
Menurut Muh}ammad ‘Abd al-Razza>q Aswad dalam disertasinya Al-Ittija>ha>t al-Mu’a>s}irah fi> Dira>sah al-Sunnah
al-Nabawiyyah fi> Mis}r wa Bila>d al-Sha>m, Goldziher termasuk dalam lingkaran
orientalis seperti Caetani, Guston White, dan Wensinck yang berpendapat bahwa
para sarjana hadis Muslim hanya mengkritik sanad hadis, tidak mengkritik
matannya.
Menurut Goldziher, sebagaimana diringkas oleh Muh}ammad H{amzah, umat Islam hanya fokus pada kritik sanad tanpa kritik matan. Itu berasal
dari peran dari kesaksian atas kehidupan religi umat Islam, sehingga tingkat
kesahihan hadis ditentukan oleh derajat keadilan para periwayatnya. Meskipun
dengan metode ini umat Islam berhasil mengetahui banyak hal dan memisahkan
banyak hadis yang silsilah isna>d-nya terdiri dari para periwayat
mudallis, tetapi itu tidak cukup guna mendeteksi hadis-hadis palsu. Sebab para
pemalsu dan para mudallis berhasil mengedarkan banyak hal dengan merangkai
sanad-sanad imajinatif untuk hal-hal yang hendak mereka edarkan. Pada saat yang
sama, para mudallis mendasarkan periwayatan hadis-hadis aneh mereka pada para
periwayat terkenal. Silsilah sanad-sanad imajinatif banyak memengaruhi para
audiens yang cenderung mempercayai apa yang diriwayatkan dari mereka.
Selanjutnya, ia menarik kesimpulan bahwa langkah-langkah
yang diterapkan dalam penyelidikan dan penyaringan isna>d-isna>d kurang memadai dan gagal menyaring hadis-hadis dari penambahan-penambahan
yang tampak dengan jelas, karena kritik hadis dalam pandangan umat Islam sejak
awal lebih didominasi oleh aspek eksternal. Oleh sebab itu, obyek kritiknya hanya
pada aspek eksternal saja. Kesahihan matan lebih terikat pada kritik silsilah isna>d. Jika sanad hadis lolos dari kaidah-kaidah kritik aspek eksternal, maka
matan-nya juga akan sahih meskipun bertentangan dengan realita atau berisi
hal-hal kontradiktif.
Bila Goldziher hanya meragukan validitas hadis, maka
Schacht melangkah lebih jauh lagi darinya. Orientalis yang mengklaim dirinya
sebagai penerus Goldziher ini menyatakan bahwa tidak ada satu pun hadis yang
sahih, terutama hadis-hadis fikih. Ia melampaui Goldziher dengan mengganti
sikap skeptisnya menjadi sikap penuh keyakinan dalam menolak kesahihan hadis.
Dalam meragukan dan menolak validitas hadis, sebagai
sarjana dengan reputasi baik tentu saja mereka menggunakan perangkat keilmuan
dengan usaha bertahun-tahun sehingga sampai pada kesimpulan tersebut. Sebagai
orientalis kenamaan, Goldziher meneliti beragam disiplin keilmuan Islam,
termasuk hadis. Begitu juga Schacht melalui kajian mendalam terhadap al-Muwat}t}a’ karya Ma>lik ibn Anas dan al-Risa>lah karya Muh}ammad ibn Idri>s al-Sha>fi’i>. Usaha mereka berdua kemudian
dilanjutkan oleh orientalis-orientalis lain, seperti G. H. A. Juynboll dan
Harald Motzki, baik itu berupa kritik, pengembangan dari penemuan sebelumnya,
bahkan penemuan-penemuan baru.
Juynboll, misalnya, berusaha sunguh-sungguh mengembangkan
teori common link gagasan Schacht dalam meneliti otentisitas dan validitas
hadis. Menurut Ali Masrur, ia menggunakannya untuk menyelidiki asal-usul dan
sejarah awal periwayatan hadis selama dua puluh tahun terakhir ini. Teori ini
berpijak pada asumsi dasar bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu
pada seorang periwayat, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkannya,
semakin besar pula seorang periwayat dan jalur periwayatannya memiliki klaim
kesejarahan.
Ia
menawarkan teori ini sebagai ganti dari metode kritik hadis konvensional. Jika
metode kritik hadis konvensional berpijak pada kualitas periwayat, maka metode
common link tidak hanya menekankan kualitas periwayat saja, tetapi juga
kuwantitasnya. Menurutnya, kritik hadis konvensional memiliki beberapa
kelemahan yang cukup mendasar dan tidak mampu memberikan kepastian mengenai
sejarah periwayatan hadis.
Sementara itu, menurut Ali Masrur, dalam upayanya
memperbaiki metode analisis isna>d Juyboll, Motzki mengajukan suatu
metode yang disebut dengan metode analasis isna>d-cum-matn. Metode ini bertujuan untuk menelusuri sejarah periwayatan hadis dengan
cara membandingkan varian-varian yang terdapat dalam berbagai kompilasi yang
berbeda-beda. Tentu saja metode ini tidak hanya menggunakan isna>d, tetapi
juga matan hadis. Dalam mengamati varian-varian hadis yang dilengkapi dengan isna>d,
metode ini berangkat dari asumsi dasar bahwa sebagian berbagai varian dari
sebuah hadis, setidak-tidaknya sebagiannya, merupakan akibat dari proses
periwayatan dan juga bahwa isna>d dari varian-varian itu,
sekurang-kurangnya sebagiannya, merefleksikan jalur-jalur periwayatan yang
sebenarnya.
Data-data di atas menunjukkan adanya jaringan intelektual
yang kuat antara Goldziher, Schacht, Juynboll, dan Harald Motzki, terutama
pengaruh pemikiran-pemikiran hadis Goldziher terhadap Schacht dan Joynboll. Ini
terbukti salah satunya dengan keterkaitan ide dan kajian mereka di samping
pengakuan mereka sendiri. Bahkan menurut Fuat Sezgin, sebagaimana dinukil oleh Nu>r al-Di>n ‘Itr, para peneliti menganggap pencapaian-pencapaian Goldziher dalam hal ini
secara umum bersifat pasti. Oleh karena itu, dalam proses penelitian terhadap
perkara-perkara utama dan rincian-rinciannya mereka mencukupkan diri pada
pencapaian-pencapaian Goldziher.
Lebih dari itu, dalam mengkaji seluk-beluk hadis, para orientalis
memiliki istilah-istilah teknis tertentu yang sama atau berbeda sama sekali
dengan istilah-istilah teknis kreasi para sarjana Muslim, seperti kritik
internal, kritik eksternal, common link, common link cum partial
common link, real common link, seeming (artificial) common link, inverted
common link, inverted partial common link, partial common link, diving
strand, single strand, argument e silentio, fabricator, source critical method,
spider, geometric progression, isna>d-cum-matn, dan terminus ante
quem.
Penutup
Sekelumit fakta dalam pembahasan makalah ini membuktikan
bahwa pandangan para orientalis tentang hadis bermacam-macam, termasuk
pandangan mereka mengenai teori sistem isna>d, evolusi historisitas hadis,
dan problem validitas hadis. Oleh karena itu, menggeneralisasi mereka dalam
satu kategori saja tidak dapat dibenarkan. Lebih dari itu, sebagian orang
menganggap negatif seluruh usaha mereka. Padahal faktanya tidak demikian.
Justeru sebagian usaha mereka sangat berarti bagi kemajuan kajian Islam.
Salah satu nilai positif kajian keislaman mereka terutama
hadis adalah bisa memacu gairah kajian umat Islam sendiri terhadap agama
warisan intelektual para pendahulu mereka. Tidak bisa dibayangkan bila kajian
keislaman tidak mendapatkan sentuhan dari para orientalis akan sepesat seperti
sekarang. Sebagai bentuk kajian ilmiah dengan beragam kepentingan, baik
sentimen keagamaan, ekonomi, politik maupun murni pengembangan kajian
ketimuran, usaha mereka tetap harus tidak dipandang sebelah mata. Sebab nilai
positif tidak selalu atau harus berasal dari umat Islam, sedangkan nilai
negatif dari non-Muslim.
Menyadari hal itu, usaha mereka tetap harus diterima
dengan kepala dingin seraya menyelidiki, mengkritik, bahkan dikembang
sedemikian rupa agar spirit mengkaji Islam terutama hadis tetap menyala di
tengah-tengah umat Islam. Bila itu dilakukan, setidaknya mereka akan menyadari
bahwa Islam serta kekayaan warisan intelektual para sarjana Muslim merupakan dua
hal yang sangat berarti, sehingga mereka sebagai para pewaris sah tidak rela
bila yang berhasil mengembangkan apalagi yang menghancurkannya adalah orang
lain di luar komunitas mereka.
Dalam makalah ini, penulis membuktikan bahwa mereka
mengkaji hadis dengan serius, bahkan rela menghabiskan puluhan tahun dari sisa
hidupnya sehingga menghasilkan beberapa karya dan penemuan yang tidak bisa
dilakukan oleh umat Islam. Sebagai peneliti outsiders, tentu saja metode
dan hasil kajian mereka tidak harus sama dengan metode dan hasil kajian umat
Islam. Oleh sebab itu, kelebihan dan kekurangan tetap menghiasi metode dan
hasil kajian mereka, sebagaimana juga berlaku terhadap metode dan hasil kajian
umat Islam sebagai peneliti insiders.
Daftar Pustaka
Aswad, Muh}ammad ‘Abd al-Razza>q. Al-Ittija>ha>t
al-Mu’a>s}irah fi> Dira>sah al-Sunnah al-Nabawiyyah fi> Mis}r wa
Bila>d al-Sha>m. Damaskus: Da>r al-Kalim al-T{ayyib, 2008.
Al-A’z}ami>, Muh}ammad Must}afa>. Dira>sa>t
fi> al-H{adi>th al-Nabawi> wa Ta>ri>kh Tadwi>nih. Beirut: al-Maktab al-Isla>mi>, 1992.
Baha>’ al-Di>n, Muh}ammad. Al-Mustashriqu>n
wa al-H{adi>th al-Nabawi>. Kuala Lumpur: Fajar Ulung SDN. BHD., 1999.
Hallaq, Wael. Nash’ah al-Fiqh
al-Isla>mi> wa Tat}awwuruh. Beirut: Da>r al-Mada>r
Isla>mi>, 2007.
H{amzah, Muh}ammad. Al-H{adi>th
al-Nabawi> wa Maka>natuha> fi> al-Fikr al-Isla>mi>
al-H{adi>th. Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fi> al-‘Arabi>, 2005.
‘Itr, Nu>r al-Di>n. Manhaj al-Naqd
fi> ‘Ulu>m al-H{adi>th. Damaskus:
Da>r al-Fikr, 2008.
Masrur, Ali. Teori Common link G. H. A.
Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta,
2007.
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008.
Wallahu a’lamu bis-shawab.
bermanfaat sekali gan..
BalasHapus