Sabtu, 16 Maret 2013

KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA


KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA DAN BEBERAPA LANGKAH
SOLUTIF-IMPLEMENTATIF MENGATASINYA*

Dua hari berturut-turut (19-20 April 2011) Radar Malang merilis tragedi/peristiwa yang mengejutkan banyak pihak, yaitu hilangnya mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), yang dicurigai menjadi korban pencucian otak bermodus agama oleh sekelompok orang yang diduga tergabung dalam organisasi Negara Islam Indonesia (NII). Berita tragedy ini menjadi perhatian sekaligus keprihatinan banyak pihak, setalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) cabang Malang Senin (18/4) mengadakan komperensi pers tentang upaya melakukan penelusuran kasus hilangnya mahasiswa UMM tersebut.
Upaya dari sahabat-sahabat PMII tersebut patut mendapatkan apresiasi dan dukungan banyak pihak sebagai langkah ikhtiyar pencegahan timbulnya korban-korban kebiadaban lainnya, karena peristiwa (perilaku) tersebut sangat berbahaya dan tergolong tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Satu hal yang segera dilakukan dalam upaya ini adalah gerakan bersama dari berbagai pihak; semua kampus perguruan tinggi, Organisasi Ekstra Kampus/OMEK terutama PMII, HMI, IMM, dan komponen lainnya. Sebagai  upaya kerja ini saya mencoba urun rembug beberapa langka mengatasinya dalam tulisan berikut.  
Melabelkan agama sebagai salah satu varian potensial pemicu kekerasan, dalam banyak aspek tidaklah rasional. Karena tidak satupun agama secara normatif mengajarkan perilaku kekerasan itu, baik kekerasan terhadap sesama pemeluk agama maupun antarpemeluk agama. Pesan-pesan ideal masing-masing ajaran agama tersebut pada hakikatnya lebih menekankan sikap damai, kasih sayang, toleran, solider, egaliter, dan keadilan. Namun demikian, fakta sosiologis selalu menunjukkan praktik yang sebaliknya, yaitu adanya  perilaku keagamaan maupun keberagamaan yang timpang. Ketimpangan tersebut, tidak menutup kemungkinan berakar dari faktor cara pemahaman agama yang sangat literalis dan skripturalis. Sebuah pemahaman keagamaan yang  memicu munculnya  kelompok-kelompok konservatisme, puritanisme, dan radikalisme, yang oleh kalangan islamist disejajarkan dengan gerakan fundamentalisme Kristen awal abad 20-an.
Fenomena kekerasan atas nama agama ini tidak saja terjadi dalam kawasan lokal di Indonesia, tetapi hampir menyeluruh kawasan dunia. Di Eropa misalnya, kita kenal dengan ethnic cleansing islam yang dilakukan oleh pemeluk Kristen Bosnia dan Kroasia. Di Irlandia, konflik terjadi antara pemeluk Kristen Katolik dan Kristen Anglikan. Di Benua Asia, konflik terjadi antara Agama Hindu dan Agama Islam dalam hal ini  di India. Sementara di benua Afrika, terjadi konflik internal di kalangan Kristen Rwanda. Konflik Islam dan Nasrani di Filipina, Yaman, Sudan dan Indonesia, dan lebih fatal lagi konflik terjadi antar tiga pemeluk agama yang berbeda, yaitu Islam, Kristen dan Yahudi tepatnya di Libanon.        
Dalam konteks keindonesiaan, kekerasan antar pemeluk agama juga terjadi pada gejala-gejala kekerasan yang terdapat di Purwokerto awal November 1995, Akhir Nopember 1995 dan April 1997 di Pekalongan, Tasikmalaya, September 1996, Situbondo, Oktober 1996, Rengas Dengklok, Januari 1997, Sampang dan Bangkalan Mei 1997, Medan, April 1996, Tanah Abang, Agustus 1997, Mataram, September 1997, Flores dan Subang, Agustus 1997, Konflik antara FPI versus Ahmadiyah, FKBP versus FPI sekitar tahun 2010.
Demikian juga peristiwa terorisme, seperti pembajakan atas nama jihad Garuda Indonesia Penerbangan 206-1981, Bom Candi Borobudur 1985, Bom Kedubes Filipina 2000, Bom Bursa Efek Jakarta 2000, Bom malam Natal 2000, Bom Plaza Atrium 2001, Bom Gereja Santa Anna dan HKBP 2001, Bom Tahun Baru 2002, Bom Bali 2002, Bom McDonald's Makassar 2002, Bom Kompleks Mabes Polri 2003, Bom Bandara Soekarno-Hatta 2003, Bom JW Marriott 2003, Bom Palopo 2004, Bom Kedubes Australia 2004, Bom Bali 2005, Bom Tentena 2005, Bom Palu 2005, Bom Jakarta 2009, dan Bom Cirebon 2011. Semua peristiwa di atas acapkali dianggap sebagai fenomena kekerasan atas nama agama oleh perkembangan sosial di sekitarnya.
Selain latar belakang cara pemahaman keagamaan di atas, banyak teori lain yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa kekerasan atas nama agama ini tumbuh subur di Indonesia, baik teori ekonomi (kemiskinan), psikologi (marginalisasi),  pendidikan (keterbelakangan), politik (pemerintah yang KKN), sosial (globalisasi), maupun budaya (sekuler). Atas dasar ini, kekerasan atas nama agama bukanlah isu tunggal melainkan sebagai isu plural dan global. Ia tidak saja berkembang di Indonesia, tetapi juga berkembang di dunia luas. kekerasan atas nama agama yang melahirkan gerakan sosial teroris ini, kini bukan dianggap sebagai hal baru khususnya di mata masyarakat Indonesia dan dunia pada umumnya.
Sebab efek gerakan terorisme ini  bagi masyarakat secara umum tidaklah sederhana. Dari hasil pembacaan secara psikologis gerakan terorisme agama telah menyebabkan rasa tidak aman dan sikap ketakutan secara masal bagi bangsa Indonesia. Sedangkan secara politis gerakan terorisme agama ini juga telah merugikan upaya-upaya diplomasi secara internasional, secara ekonomis terorisme dituding telah menggagalkan langkah-langkah perdagangan secara internasional, sementara itu, cost dan resistensi sosial yang  harus ditanggung  dari gerakan terorisme ini sangatlah tinggi, belum lagi ketika gerakan teorisme ini telah mengancam eksistensi empat (4) pilar suatu bangsa, yaitu Pancasila, UUD ’45, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. 
Mengingat sedemikian resistennya kekerasan atas nama agama bagi masyarakat Indonesia secara luas, maka dipandang perlu untuk segera dicari berbagai langkah upaya deradikalisasi agama secara solutif dan implementatif, yaitu antara lain sebagai berikut:
1.      Diperlukan adanya kerja integratif antara lembaga pendidikan, ormas-ormas keagamaan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Agama, Kementerian Keamanan dan Pertahanan, Badan Nasional Penanggulangan Teorisme dan instansi lain yang terkait dalam upaya menanggulangi dan meminimalisir gerakan kekerasan atas nama agama.
2.      Pemerintah dan DPR perlu mengkaji ulang UU tindak pidana teroris No. 15 pasal 45 2003 tentang kriminalisasi atau perluasan objek hukum dan perbaikan mekanisme hukum.
3.      Mendorong Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama untuk memberikan materi pelajaran multikulturalisme, anti terorisme, anti militanisme, anti ekstrimisme, dan Islam rahmatan li al-‘alamin di semua jenjang pendidikan.
4.      Mendorong kerjasama para elit agama, elit adat, maupun pemerintah untuk mengoptimalkan berbagai ruang budaya sebagai media terciptanya pola hidup egaliter, gotong royong, toleransi, rukun, saling menghormati dan menghargai masing-masing perbedaan.
5.      Mendorong pemerintah, media masa, Ormas, LSM, dan tokoh masyarakat untuk menginformasikan peristiwa radikalisme agama secara proporsional dan arif dengan mempertimbangkan dampak sosiologis dan psikologis masyarakat.
6.      Mengoptimalkan peran konseling yang melibatkan institusi pesantren  dan mantan teroris yang telah sadar untuk meminimalisir kemungkinan-kemungkinan berkembangnya gerakan kekerasan atas nama agama.
7.      Mengintensifkan kajian-kajian dan sosialisasi tentang radikalisme, multikulturalisme, terorisme, militanisme di semua  lapisan masyarakat.
8.      Mengatasi akar-akar permasalahan yang dapat menumbuhkan tindak kekerasan dan kekerasan atas nama agama, baik yang berupa persoalan ekonomi, budaya, politik, social maupun psikologis.

*Naskah dikirim ke Radar Malang
Malang, 20 April 2011
HA. Muhtadi Ridwan
Pemerhati Perilaku Sosial Keagamaan
Mengabdi di PMII dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Alamat;
email : read_one_feuinmlg@yahoo.co.id

0 komentar:

Posting Komentar