KEKERASAN ATAS NAMA
AGAMA DAN BEBERAPA LANGKAH
SOLUTIF-IMPLEMENTATIF
MENGATASINYA*
Dua hari berturut-turut (19-20 April 2011) Radar Malang merilis tragedi/peristiwa
yang mengejutkan banyak pihak, yaitu hilangnya mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM), yang dicurigai menjadi korban pencucian otak
bermodus agama oleh sekelompok orang yang diduga tergabung dalam organisasi
Negara Islam Indonesia (NII). Berita tragedy ini menjadi perhatian
sekaligus keprihatinan banyak pihak, setalah Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) cabang Malang Senin (18/4) mengadakan komperensi pers tentang
upaya melakukan penelusuran kasus hilangnya mahasiswa UMM tersebut.
Upaya dari
sahabat-sahabat PMII tersebut patut mendapatkan apresiasi dan dukungan banyak
pihak sebagai langkah ikhtiyar pencegahan timbulnya korban-korban kebiadaban
lainnya, karena peristiwa (perilaku) tersebut sangat berbahaya dan tergolong
tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Satu hal yang segera dilakukan
dalam upaya ini adalah gerakan bersama dari berbagai pihak; semua kampus
perguruan tinggi, Organisasi Ekstra Kampus/OMEK terutama PMII, HMI, IMM, dan
komponen lainnya. Sebagai upaya kerja
ini saya mencoba urun rembug beberapa langka mengatasinya dalam tulisan
berikut.
Melabelkan agama
sebagai salah satu varian potensial pemicu kekerasan, dalam banyak aspek
tidaklah rasional. Karena tidak satupun agama secara normatif mengajarkan
perilaku kekerasan itu, baik kekerasan terhadap sesama pemeluk agama maupun
antarpemeluk agama. Pesan-pesan ideal masing-masing ajaran agama tersebut pada
hakikatnya lebih menekankan sikap damai, kasih sayang, toleran, solider,
egaliter, dan keadilan. Namun demikian, fakta sosiologis selalu menunjukkan
praktik yang sebaliknya, yaitu adanya perilaku
keagamaan maupun keberagamaan yang timpang. Ketimpangan tersebut,
tidak menutup kemungkinan berakar dari faktor cara pemahaman agama yang sangat literalis
dan skripturalis. Sebuah pemahaman keagamaan yang memicu munculnya kelompok-kelompok konservatisme,
puritanisme, dan radikalisme, yang oleh kalangan islamist
disejajarkan dengan gerakan fundamentalisme Kristen awal abad 20-an.
Fenomena kekerasan
atas nama agama ini tidak saja terjadi dalam kawasan lokal di Indonesia, tetapi hampir menyeluruh
kawasan dunia. Di Eropa misalnya, kita kenal dengan ethnic cleansing
islam yang dilakukan oleh pemeluk Kristen Bosnia dan Kroasia. Di Irlandia,
konflik terjadi antara pemeluk Kristen Katolik dan Kristen Anglikan. Di Benua
Asia, konflik terjadi antara Agama Hindu dan Agama Islam dalam hal ini di India. Sementara di benua Afrika, terjadi konflik internal di kalangan Kristen
Rwanda. Konflik Islam dan Nasrani di Filipina, Yaman, Sudan dan Indonesia, dan
lebih fatal lagi konflik terjadi antar tiga pemeluk agama yang berbeda, yaitu
Islam, Kristen dan Yahudi tepatnya di Libanon.
Dalam konteks keindonesiaan, kekerasan antar pemeluk agama juga terjadi
pada gejala-gejala kekerasan yang terdapat di Purwokerto awal November 1995,
Akhir Nopember 1995 dan April 1997 di Pekalongan, Tasikmalaya, September 1996,
Situbondo, Oktober 1996, Rengas Dengklok, Januari 1997, Sampang dan Bangkalan
Mei 1997, Medan, April 1996, Tanah Abang, Agustus 1997, Mataram, September
1997, Flores dan Subang, Agustus 1997, Konflik antara FPI versus Ahmadiyah,
FKBP versus FPI sekitar tahun 2010.
Demikian juga peristiwa terorisme, seperti pembajakan atas nama jihad Garuda
Indonesia Penerbangan 206-1981, Bom Candi Borobudur 1985, Bom Kedubes
Filipina 2000, Bom Bursa Efek Jakarta 2000, Bom malam Natal 2000, Bom Plaza Atrium 2001, Bom Gereja
Santa Anna dan HKBP 2001, Bom Tahun Baru 2002, Bom Bali 2002, Bom McDonald's
Makassar 2002, Bom Kompleks Mabes Polri 2003, Bom Bandara Soekarno-Hatta 2003, Bom JW Marriott 2003, Bom Palopo 2004, Bom Kedubes Australia 2004, Bom Bali 2005, Bom Tentena 2005, Bom Palu 2005, Bom Jakarta 2009, dan Bom Cirebon 2011. Semua peristiwa
di atas acapkali dianggap sebagai fenomena kekerasan atas nama agama
oleh perkembangan sosial di sekitarnya.
Selain latar belakang cara pemahaman keagamaan di atas, banyak teori lain
yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa kekerasan atas nama agama ini
tumbuh subur di Indonesia, baik teori ekonomi (kemiskinan), psikologi
(marginalisasi), pendidikan
(keterbelakangan), politik (pemerintah yang KKN), sosial (globalisasi), maupun
budaya (sekuler). Atas dasar ini, kekerasan atas nama agama bukanlah isu
tunggal melainkan sebagai isu plural dan global. Ia tidak saja berkembang di
Indonesia, tetapi juga berkembang di dunia luas. kekerasan atas nama agama yang
melahirkan gerakan sosial teroris ini, kini bukan dianggap sebagai hal baru
khususnya di mata masyarakat Indonesia dan dunia pada umumnya.
Sebab efek gerakan terorisme ini
bagi masyarakat secara umum tidaklah sederhana. Dari hasil pembacaan
secara psikologis gerakan terorisme agama telah menyebabkan rasa tidak aman dan
sikap ketakutan secara masal bagi bangsa Indonesia. Sedangkan secara politis
gerakan terorisme agama ini juga telah merugikan upaya-upaya diplomasi secara
internasional, secara ekonomis terorisme dituding telah menggagalkan
langkah-langkah perdagangan secara internasional, sementara itu, cost
dan resistensi sosial yang harus
ditanggung dari gerakan terorisme ini
sangatlah tinggi, belum lagi ketika gerakan teorisme ini telah mengancam
eksistensi empat (4) pilar suatu bangsa, yaitu Pancasila, UUD ’45, Bhineka
Tunggal Ika, dan NKRI.
Mengingat sedemikian resistennya kekerasan atas nama agama bagi masyarakat
Indonesia secara luas, maka dipandang perlu untuk segera dicari berbagai
langkah upaya deradikalisasi agama secara solutif dan implementatif, yaitu
antara lain sebagai berikut:
1.
Diperlukan adanya
kerja integratif antara lembaga pendidikan, ormas-ormas keagamaan, Kementerian
Pendidikan Nasional, Kementerian Agama, Kementerian Keamanan dan Pertahanan, Badan
Nasional Penanggulangan Teorisme dan instansi lain yang terkait dalam upaya
menanggulangi dan meminimalisir gerakan kekerasan atas nama agama.
2.
Pemerintah dan DPR
perlu mengkaji ulang UU tindak pidana teroris No. 15 pasal 45 2003 tentang
kriminalisasi atau perluasan objek hukum dan perbaikan mekanisme hukum.
3.
Mendorong Kementerian
Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama untuk memberikan materi pelajaran
multikulturalisme, anti terorisme, anti militanisme, anti ekstrimisme, dan
Islam rahmatan li al-‘alamin di semua jenjang pendidikan.
4.
Mendorong kerjasama
para elit agama, elit adat, maupun pemerintah untuk mengoptimalkan berbagai
ruang budaya sebagai media terciptanya pola hidup egaliter, gotong royong,
toleransi, rukun, saling menghormati dan menghargai masing-masing perbedaan.
5.
Mendorong
pemerintah, media masa, Ormas, LSM, dan tokoh masyarakat untuk menginformasikan
peristiwa radikalisme agama secara proporsional dan arif dengan
mempertimbangkan dampak sosiologis dan psikologis masyarakat.
6.
Mengoptimalkan
peran konseling yang melibatkan institusi pesantren dan mantan teroris yang telah sadar untuk
meminimalisir kemungkinan-kemungkinan berkembangnya gerakan kekerasan atas nama
agama.
7.
Mengintensifkan
kajian-kajian dan sosialisasi tentang radikalisme, multikulturalisme,
terorisme, militanisme di semua lapisan
masyarakat.
8.
Mengatasi akar-akar
permasalahan yang dapat menumbuhkan tindak kekerasan dan kekerasan atas nama
agama, baik yang berupa persoalan ekonomi, budaya, politik, social maupun
psikologis.
*Naskah dikirim ke Radar Malang
Malang, 20 April 2011
HA. Muhtadi Ridwan
Pemerhati Perilaku Sosial Keagamaan
Mengabdi di PMII dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Alamat;
email : read_one_feuinmlg@yahoo.co.id
0 komentar:
Posting Komentar