Siti Barokah,
10 Tahun Mengabdi di Panti Asuhan AT-Taufiq Sebagai Juru Masak
GAJINYA UNTUK BELI BUKU, PUKUL
04.00 MASAKAN HARUS SUDAH SIAP
(Sumber; Irham
Thoriq wartawan Jawa Pos, Radar Malang, edisi Jum’at, 13 April 2012, halaman 29
(Headline)
Ketika sudah
tua, kebanyakan orang akan memilih menghabiskan hidupnya dengan anak atau
cucunya. Namun tidak bagi Siti Barokah. Sudah 10 tahun dia menghabiskan
hidupnya bersama puluhan anak yatim piatu di Yayasan At-Taufiq, Jalan Sanan 70
Kelurahan Purwantoro Kecamatan Blimbing Kota Malang
Selasa (9/4) sekitar pukul
11.00 Siti Barokah yang biasa dipanggil “nenek” tampak sedang berada di dapur Yayasan Anak
Yatim At-Taufiq. Dia sibuk memasak makanan untuk anak asuh yayasan. Ketika
Radar Malang mendatangi yayasan, tampak seorang perempuan berkaos oblong berada
di depan kamar di lantai II.
Perempuan tersebut tak lain
anak kandung nenek yang datang dari Surabaya untuk mengunjungi ibunya. Tak lama
kemudian, nenek datang. Wajahnya tampak berkeringat dengan baju dan kerudung
seadanya.
Dengan ramah dia menemui
Radar. Meskipun sudah berumur 68 tahun, wanita kelahiran Malang ini tampak
masih muda dari usianya. “Di sini aja ya Mas. Sejuk udaranya”, pinta nenek
yang siap diwawancarai.
Lantas perempuan lima anak ini
bercerita sejarah masuknya ke yayasan yang dikelola Muhtadi ridwan, dekan FE
UIN Malang ini. Menurut dia, sebelum mengabdikan diri di yayasan, dia yang
menjanda karena suaminya meninggal dunia pada 1989 ini memilih jalan hidup
untuk mengabdi di pondok pesantren.
Pada 1999, dia mengabdi di
Pondok Pesantren Nurul Amin Sawangan, Jawa Barat yang diasuh (alm) Prof. KH. Khadirul
Yahya.
Sekitar tiga tahun dia
mengabdi di pondok tersebut. Selanjutnya pada tahun 2002 dia pindah ke Yayasan Anak
yatim At-Taufiq setelah diberitahu tetangganya yang ada di Malang.
Saat itu dia mendapatkan
informasi ada yayasan membutuhkan tukang masak dan mengurusi anak asuh di
yayasan tersebut. “Akhirnya saya memilih di yayasan ini karena ingin lebih
dekat dengan keluarga”, ujar ibu
lima anak ini.
Nenek menjelaskan bahwa dia
ingin menghabiskan waktu tuanya di Yayasan Anak Yatim At-Taufiq. Ini dilakukan
karena sejak kecil sebenarnya dia ingin sekali menjadi santri di pondok
pesantren. Karena tidak kesampaian, maka cita-cita itu diganti dengan mengabdi
di Yayasan ini. “Ini kesempatan untuk ibadah sambil memanfaatkan masa tuanya
untuk berbuat yang bermanfaat buat orang lain, sekecil apapun,” ungkap
nenek yang bulan kemarin baru datang ibadah umroh ke tanah suci Mekkah atas
biaya yayasan.
Meskipun semua anaknya
berkecukupan, namun tidak membuat nenek lalu ingin tinggal bersama anaknya.
Selain tidak mau mencampuri urusan rumah tangga anak, dia ingin lebih tenang
dan konsentrasi beribadah di tempat ini.
Nenek yang sangat dekat dengan
anak asuh dan telaten ini memang sudah dianggap ibu/neneknya sendiri oleh anak-anak
yayasan. Semua anak asuh ini sangat dekat dengan nenek, karena selain sabar dan
telaten, dia juga dianggap sudah mengenal betul mengenai pola asuh anak-anak.
Tinggal dan hidup bersama anak
yayasan yang usianya masih kecil memang mempunyai kisah tersendiri bagi nenek.
Suatu ketika dia marah karena anak-anak susah bisa diatur. Saat itu dia pulang
ke rumah anaknya di Surabaya dan seringkali rencananya tidak mau kembali lagi.
Namun tidak sampai seminggu
dia kembali lagi ke yayasan ini. Dia mengaku tidak bisa meninggalkan anak-anak
yang sudah dirawat bertahun-tahun. “Saya tidak bisa meninggalkan anak-anak.
Meski saya marah, tapi saya ndak tega,” tambahnya.
Semenjak kejadian itu Siti
berjanji tidak akan meninggalkan anak-anak. Ketika marah karena anak-anak tidak
mau diatur, dia mempunyai tips tersendiri, yakni pulang atau refreshing.
Setelah marahnya selesai, dia baru kembali lagi ke yayasan. “Saya refreshing
kalau lagi marah. Baru setelah selesai kembali lagi”, tambah dia.
Selama 10 tahun di yayasan
Anak yatim At-Taufiq, banyak anak asuh yang sudah alumni di yayasan ini
menganggap nenek sebagai ibunya. “seringkali mereka dari jauh datang ke sini katanya kangen sama
saya. Mereka sudah seperti anak saya sendiri”, ungkapnya.
Nenek 18 cucu ini memang
dikenal penyabar dan perhatian. Sebelum anak-anak asuh yayasan berangkat
sekolah pukul 07.00, masakan dan piring sudah siap. Aktivitas perempuan
berkulit putih ini selain memasak untuk anak-anak asuh, juga mengerjakan semua
hal.
Setiap hari bangun pukul 24.00
untuk membersihkan halaman yayasan dan menyiapkan masakan untuk anak-anak. “Pukul
04.00 biasanya sudah beres semua”, ujarnya.
Nenek kelahiran 17 Agustus
1944 ini terkadang merasa malas ketika harus mengurus anak yang besar dan tidak
bisa diatur. “Abah Muhtadi Ridwan itu yang biasanya menasehati saya. Katanya
namanya juga anak-anak, maklum kalau nakal, sabar nek ya !” katanya.
Selain itu, untuk urusan gaji,
bagi nenek tidak menjdi persoalan yang penting. Karena gaji yang setiap bulan diterima
sebesar Rp. 500 ribu tidak dihabiskan sendiri. Namun, hampir semua gajinya itu
justru diberikan kepada anak-anak di yayasan untuk beli buku atau sekedar beli
jajan. “Sebenarnya uang buku dan jajan buat anak-anak sudah disediakan oleh
yayasan. Namun, walaupun sudah cukup, saya secara pribadi hanya ingin sekedar
memberi, karena mereka sudah saya anggap sebagai anak saya sendiri”,
tambahnya.
Hal ini bukan tanpa alasan.
Mengingat lima anaknya kini sudah mandiri semua dan menjadi orang sukses. “Bagi
saya mengabdi di yayasan ini menjadi kebanggaan tersendiri. Dan itu saya
nikmati hingga kapanpun. Karena ini jalan hidup yang harus saya jalani, semoga
bermanfaat dan Allah SWT. meridloinya, amien ya Robbal ‘alamin”, tambahnya
(*/ziz)
0 komentar:
Posting Komentar