Jumat, 17 Mei 2013

Siti Barokah, 10 Tahun Mengabdi di Panti Asuhan AT-Taufiq Sebagai Juru Masak

Siti Barokah, 10 Tahun Mengabdi di Panti Asuhan AT-Taufiq Sebagai Juru Masak
GAJINYA UNTUK BELI BUKU, PUKUL 04.00 MASAKAN HARUS SUDAH SIAP
(Sumber; Irham Thoriq wartawan Jawa Pos, Radar Malang, edisi Jum’at, 13 April 2012, halaman 29 (Headline)

Ketika sudah tua, kebanyakan orang akan memilih menghabiskan hidupnya dengan anak atau cucunya. Namun tidak bagi Siti Barokah. Sudah 10 tahun dia menghabiskan hidupnya bersama puluhan anak yatim piatu di Yayasan At-Taufiq, Jalan Sanan 70 Kelurahan Purwantoro Kecamatan Blimbing  Kota Malang

Selasa (9/4) sekitar pukul 11.00 Siti Barokah yang biasa dipanggil “nenek”  tampak sedang berada di dapur Yayasan Anak Yatim At-Taufiq. Dia sibuk memasak makanan untuk anak asuh yayasan. Ketika Radar Malang mendatangi yayasan, tampak seorang perempuan berkaos oblong berada di depan kamar di lantai II.
Perempuan tersebut tak lain anak kandung nenek yang datang dari Surabaya untuk mengunjungi ibunya. Tak lama kemudian, nenek datang. Wajahnya tampak berkeringat dengan baju dan kerudung seadanya.
Dengan ramah dia menemui Radar. Meskipun sudah berumur 68 tahun, wanita kelahiran Malang ini tampak masih muda dari usianya. “Di sini aja ya Mas. Sejuk udaranya”, pinta nenek yang siap diwawancarai.
Lantas perempuan lima anak ini bercerita sejarah masuknya ke yayasan yang dikelola Muhtadi ridwan, dekan FE UIN Malang ini. Menurut dia, sebelum mengabdikan diri di yayasan, dia yang menjanda karena suaminya meninggal dunia pada 1989 ini memilih jalan hidup untuk mengabdi di pondok pesantren.
Pada 1999, dia mengabdi di Pondok Pesantren Nurul Amin Sawangan, Jawa Barat yang diasuh (alm) Prof. KH. Khadirul Yahya. 
Sekitar tiga tahun dia mengabdi di pondok tersebut. Selanjutnya pada tahun 2002 dia pindah ke Yayasan Anak yatim At-Taufiq setelah diberitahu tetangganya yang ada di Malang.
Saat itu dia mendapatkan informasi ada yayasan membutuhkan tukang masak dan mengurusi anak asuh di yayasan tersebut. “Akhirnya saya memilih di yayasan ini karena ingin lebih dekat  dengan keluarga”, ujar ibu lima anak ini.
Nenek menjelaskan bahwa dia ingin menghabiskan waktu tuanya di Yayasan Anak Yatim At-Taufiq. Ini dilakukan karena sejak kecil sebenarnya dia ingin sekali menjadi santri di pondok pesantren. Karena tidak kesampaian, maka cita-cita itu diganti dengan mengabdi di Yayasan ini. “Ini kesempatan untuk ibadah sambil memanfaatkan masa tuanya untuk berbuat yang bermanfaat buat orang lain, sekecil apapun,” ungkap nenek yang bulan kemarin baru datang ibadah umroh ke tanah suci Mekkah atas biaya yayasan.
Meskipun semua anaknya berkecukupan, namun tidak membuat nenek lalu ingin tinggal bersama anaknya. Selain tidak mau mencampuri urusan rumah tangga anak, dia ingin lebih tenang dan konsentrasi beribadah di tempat ini.
Nenek yang sangat dekat dengan anak asuh dan telaten ini memang sudah dianggap ibu/neneknya sendiri oleh anak-anak yayasan. Semua anak asuh ini sangat dekat dengan nenek, karena selain sabar dan telaten, dia juga dianggap sudah mengenal betul mengenai pola asuh anak-anak.
Tinggal dan hidup bersama anak yayasan yang usianya masih kecil memang mempunyai kisah tersendiri bagi nenek. Suatu ketika dia marah karena anak-anak susah bisa diatur. Saat itu dia pulang ke rumah anaknya di Surabaya dan seringkali rencananya tidak mau kembali lagi.
Namun tidak sampai seminggu dia kembali lagi ke yayasan ini. Dia mengaku tidak bisa meninggalkan anak-anak yang sudah dirawat bertahun-tahun. “Saya tidak bisa meninggalkan anak-anak. Meski saya marah, tapi saya ndak tega,” tambahnya.
Semenjak kejadian itu Siti berjanji tidak akan meninggalkan anak-anak. Ketika marah karena anak-anak tidak mau diatur, dia mempunyai tips tersendiri, yakni pulang atau refreshing. Setelah marahnya selesai, dia baru kembali lagi ke yayasan. “Saya refreshing kalau lagi marah. Baru setelah selesai kembali lagi”, tambah dia.
Selama 10 tahun di yayasan Anak yatim At-Taufiq, banyak anak asuh yang sudah alumni di yayasan ini menganggap nenek sebagai ibunya. “seringkali mereka  dari jauh datang ke sini katanya kangen sama saya. Mereka sudah seperti anak saya sendiri”, ungkapnya.
Nenek 18 cucu ini memang dikenal penyabar dan perhatian. Sebelum anak-anak asuh yayasan berangkat sekolah pukul 07.00, masakan dan piring sudah siap. Aktivitas perempuan berkulit putih ini selain memasak untuk anak-anak asuh, juga mengerjakan semua hal.
Setiap hari bangun pukul 24.00 untuk membersihkan halaman yayasan dan menyiapkan masakan untuk anak-anak. “Pukul 04.00 biasanya sudah beres semua”, ujarnya.
Nenek kelahiran 17 Agustus 1944 ini terkadang merasa malas ketika harus mengurus anak yang besar dan tidak bisa diatur. “Abah Muhtadi Ridwan itu yang biasanya menasehati saya. Katanya namanya juga anak-anak, maklum kalau nakal, sabar nek ya !” katanya.
Selain itu, untuk urusan gaji, bagi nenek tidak menjdi persoalan yang penting. Karena gaji yang setiap bulan diterima sebesar Rp. 500 ribu tidak dihabiskan sendiri. Namun, hampir semua gajinya itu justru diberikan kepada anak-anak di yayasan untuk beli buku atau sekedar beli jajan. “Sebenarnya uang buku dan jajan buat anak-anak sudah disediakan oleh yayasan. Namun, walaupun sudah cukup, saya secara pribadi hanya ingin sekedar memberi, karena mereka sudah saya anggap sebagai anak saya sendiri”, tambahnya.
Hal ini bukan tanpa alasan. Mengingat lima anaknya kini sudah mandiri semua dan menjadi orang sukses. “Bagi saya mengabdi di yayasan ini menjadi kebanggaan tersendiri. Dan itu saya nikmati hingga kapanpun. Karena ini jalan hidup yang harus saya jalani, semoga bermanfaat dan Allah SWT. meridloinya, amien ya Robbal ‘alamin”, tambahnya (*/ziz)

0 komentar:

Posting Komentar