Bismillahirrahmanirrahim,
Bulan Ramadhan yang penuh hikmah dan maghfirah,
tak ubahnya seperti musim obral pahala bagi kaum muslimin. Dalam suatu
hadis Nabi SAW diriwayatkan oleh Ibnu
Huzaimah dari sahabat Salman al-Farisi disebutkan bahwa “beramal sunnah pada
bulan Ramadhan dinilai laksana beramal fardhu di bulan lain. Sedang beramal
fardhu di dalamnya dinilai sama dengan tujuh puluh kali amal fardhu di bulan
lain”. Jika ditelusuri kiranya akan banyak didapati obral pahala dari
berbagai ibadah di dalamnya.
Ibadah umrah di bulan Ramadhan misalnya, ia
diobral nilainya menjadi serupa dengan ibadah haji bersama Rasulullah SAW,
sebagaimana sabda beliau, yang artinya; “Umrah di bulan Ramadhan nilainya
sebanding dengan ibadah haji bersamaku” Hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam
Muslim.
Dalam obral pahala di bulan Ramadhan berlaku pula
pada amalan bersedekah, memberi nafakah, memberi makanan berbuka, dan membaca
tasbih/kalimat thayyibah lainnya.
Pada setiap malam di bulan Ramadhan kaum muslimin
selalu melaksanakan shalat tarawih secara berjamah. Tarawih atau juga
disebut dengan “qiyamu Ramadhan” merupakan kegiatan ibadah ritual khas Ramadhan. Menurut
al-Qasthallani, shalat sunnah sehabis shalat Isya’ sampai menjelang subuh di
bulan Ramadhan ini dinamakan “tarawih”, karena dilakukan oleh para sahabat
dengan waktu yang lama dan panjang. Karena lama dan panjangnya setiap selesai
melakukan dua rakaat dan salam, mereka beristirahat (rohah/rehat) sebentar.
Bagi penduduk Makkah, waktu istirahat ini sering digunakan untuk thawaf,
tradisi di Indonesia dibacakan bilal dan shalawat.
Ibadah khas Ramadhan inipun, tidak luput pula dari
obral pahala, Dalam hadis masyhur disebutkan yang artinya; “Barangsiapa
melaksanakan qiyamu Ramadhan dengan penuh keimanan dan ikhlas (semata-mata
mengharap keridhaan Allah SWT) maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. Hadis riwayat Imam
Bukhari dan Muslim.
Ada tiga pendapat ulama berkaitan dengan jumlah
atau bilangan rakaat tarawih; pertama, 18 rakaat ditambah 3 rakaat
witir. Pendapat ini disamakan dengan qiyamullail yang lazim dilakukan
pada bulan-bulan yang lain. Kedua, 20 rakaat ditambah 3 rakaat witir.
Pendapat ini didasari atas konsensus ulama yang dipromotori pertama kali oleh
sahabat Umar ibnul Khaththab. Ketiga, 30 rakaat. Hal ini seperti
dilakukan oleh penduduk Madinah pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam
rangka ghibthah (berharap secara positif) dapat menyamai ibadah tarawih
20 rakaat penduduk Mekkah yang leluasa menambah dengan
thawaf mengelilingi Ka’bah. Pendapat ketiga ini diikuti oleh Imam Malik bin
Anas (pendiri madzhab Maliki)
Terlepas dari bilangan rakaat yang kita pilih,
dalam ibadah tarawih hendaknya dilakukan dengan khusyu’ dan tadlarru’
serta menegakkan adab-adab di dalamnya. Tergesa-gesa semata-mata karena
mengejar kuantitas rakaat tertentu, tentu tidak dibilang bagus. Dan yang lebih
penting adalah dilakukan secara istiqamah pada setiap malam yang penuh mubarak
tersebut.
Pada kesempatan obral pahala yang begitu “wah”
ini, kehadiran bulan Ramadhan selalu dinanti-nantikan oleh setiap orang yang
beriman. Karenanya, ketika jelang Ramadhan tiba diharapkan disambut dengan
suka-cita bak menyambut tamu agung yang dirindukan kedatangannya. Ketika jelang
Ramadhan berakhir perasaan sedih dan galau menyelimuti, justru Jununjungan kita
Nabi Muhammad SAW menangis tersedu-sedu, karena segera berpisah dengan Ramadhan
seperti perpisahan antara dua kekasih yang sangat dicintainya.
Begitu pentingnya bulan Ramadhan, Mualla bin Fadhl
seperti disebut oleh Ibnu Rajab al-Hambali, bahwa para sahabat membagi dua
belas bulan menjadi dua bagian. Bagian pertama (enam bulan pertama),
para sahabat selalu berdoa agar bisa mendapati bulan Ramadhan yang akan datang dan bisa beribadah
dengan sebaik-baiknya. Bagian kedua (enam bulan berikutnya), mereka
memohon kepada Allah SWT agar berkenan menerima puasa dan amal ibadah lainnya
yang telah dilakukan pada bulan Ramadhan yang lalu.
Bagi orang yang memahami nilai besar dari obral
pahala ini, ia akan bersemangat dan berkeinginan yang sangat kuat agar
bulan-bulan dalam setahun seluruhnya berganti menjadi bulan Ramadhan, atau
berharap, bila bulan Ramadhan waktunya diperpanjang sampai setahun penuh. Tentu
harapan ini tidak mungkin, tetapi dengan kemurahan dan kasih sayang Allah SWT
dan Rasulullah SAW, nilai satu bulan justru dapat disamakan atau malah melebihi
nilai dua belas bulan, khususnya bagi mereka yang betul-betul mau memanfaatkan
moment tersebut dengan sebaik-baiknya. Semoga termasuk bagian dari orang-orang
yang selalu merindukan kedatangan bulan Ramadhan, amin...
Wallahu a’lam bi al-Shawab..
0 komentar:
Posting Komentar