Bismillahirrahmanirrahim,
Puasa dalam bahasa Arab disebut shiyam atau
shaum berarti menahan diri dari suatu perbuatan. Menurut istilah hukum
Islam, “puasa berarti menahan atau mengendalikan diri dari makan, minum,
seks, dan hal-hal lain yang dapat membatalkan dari terbit fajar sampai terbenam
matahari”.
Puasa dengan bentuk yang khas ini, kewajibannya
dideklarasikan pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah, yaitu saat
diturunkannya ayat tentang kewajiban puasa (al-Qur’an, surat al-Baqarah ayat
183). Pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijriyah itu, Rasulullah SAW bersama kaum
muslimin generasi pertama melakukan kewajiban puasa perdana, termasuk pada
saat-saat mereka berjuang melawan orang-orang kafir dalam peperangan Badar yang
terjadi pada 17 Ramadhan tahun itu.
Ayat 183 tersebut menjelaskan bahwa puasa di
samping diwajibkan kepada kaum muslimin, tradisi olah psikis dan olah fisik ini
juga diwajibkan kepada umat-umat dan bangsa-bangsa pada masa nabi-nabi
sebelumnya.
Umat Nabi Musa as. Dan juga umat Nabi Isa as telah
menerima kewajiban puasa sebulan Ramadhan (30 hari), namun mereka melakukan
perubahan. Pendeta-pendeta di kalangan mereka menambahkan puasa sepuluh hari
sehingga menjadi 40 hari. Suatu ketika salah seorang pendeta jatuh sakit.
Umatnya lalu bernadzar, “jika Allah menyembuhkan dia, mereka akan menambah
puasa sepuluh hari lagi”, sehingga menjadi 50 hari. Berpuasa 50 hari ini
dirasa terlampau berat bagi mereka bila jatuh di musim panas. Mereka menderita
karenanya, kemudian mereka pindahkan puasa itu ke musim semi.
Nabi Musa as., diperintahkan untuk melakukan puasa
selama 40 hari sebagai syarat meneri wahyu berupa kitab Taurat. Pemimpin bani
Israel ini melakukan puasa dari 1 Dzulqa’dah sampai 10 Dzulhijjah. Taurat
diterima Nabi Musa as., bersamaan pada hari raya kurban (Idul Adha). Puasa 40
hari ini lalu dilakukan oleh rohaniawan di antara orang-orang Yahudi sampai
kini. Merka puasa hari kesepuluh pada bulan ketujuh menurut perhitungan mereka
(Q., Surat al-A’raf; 142).
Selain puasa 40 hari, orang Yahudi atau bani
Israel dahulu juga melakukan ritual puasa beramai-ramai dalam rangka meredakan
kemarahan Tuhan atau sebagai ungkapan peneyesalan atas pembangkangan yang
mereka perbuat, seperti pada hari-hari ketika mereka dikepung di padang pasir
bernama Tih selama kurang lebih 40 hari. Sementara, umat Nabi Isa as.,
adanya tradisi puasa di kalangan mereka dapat diketahu dari Bibel, kitab yang
disebut sebagai Perjanjian Baru (Matius 4; 16-18).
Puasa juga dilakukan oleh orang-orang Arab sebelum
Islam, yaitu puasa pada hari Asyura. Setelah Rasulullah datang ke
Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi juga berpuasa pada hari Asyura
yang dimaksudkan sebagai peringatan atas selamatnya Nabi Musa dari kejaran
Fir’un. Karena lebih berhak dalam meneladani Nabi Musa, beliau berpuasa pada
hari itu dan menyuruh para sahabat berpuasa pula.
Bangsa-bangsa primitif yang tidak terjangkau oleh
dakwah tiga agama besar (Yahudi, Nasrani, dan Islam), ternyata juga melakukan
puasa. Bangsa Mesir Kuno misalnya, biasa melakukan puasa pada hari-hari besar
mereka, sebagaimana kebiasaan para tokoh dan dukun bangsa Mesir melakukan puasa
tujuh hari sampai enam minggu setiap tahunnya.
Bangsa Cina juga melakukan puasa pada hari-hari
besar mereka dan pada hari-hari tertentu yang dianggap sebagai hari malapetaka.
Mereka berpuasa ketika ada anggota keluarganya meninggal. Sebagian orang Cina
tinggal di Tibet, bahkan berpantang makan selama 24 jam terus-menerus, tanpa
berhenti sampai mau menelan ludahnya sendiri.
Bangsa Yunani mengambil tradisi puasa dari bangsa
Mesir Kuno. Mereka berpuasa pada sebelum musim bunga dan sebelum masa panen.
Sebagian mereka berpuasa beberapa hari berturut-turut sebelum berangkat menuju
ke medan perang supaya memperoleh kemenangan. Bangsa Romawi dan Persia juga
demikian.
Dalam agama Hindu, pengikut Brahma melakukan puasa
selama 24 hari setahun atau 40 hari berturut-turut diserta dengan bacaan-bacaan
kitab suci mereka. Pengikut Wisnu sangat berlebihan dalam puasanya, Ada yang
tidur di atas paku menyiksa diri, berdiri terus tidak duduk, dan bahkan ada
yang bergelimbungan di bawah terik matahari.
Dalam masyarakat Jawa Kuno, tradisi puasa sangat
terkenal. Seakan-akan puasa sudah menjadi keakraban hidup mereka. Ada puasa
mutih, puasa ngrowot, puasa patigeni, puasa ngalong, dan lain sebagainya.
Terlepas
dari sekian banyak tujuan dan latarbelakang umat dan bangsa terdahulu dalam
berpuasa, tampaklah bahwa puasa
merupakan ajaran universal. Puasa seperti menjadi kebutuhan naluri,
bahkan kebutuhan fitrah manusia. Uraian diatas menunjukkan bahwa tradisi puasa
dalam sejarahnya sangat tua setua umur manusia itu sendiri. Hanya saja puasa
dalam ajaran Islam konsep dan tata caranya lebih konkret dan elegan.
Tradisi puasa para Nabi dan umat-umat mereka
dahulu yang kini dilestarikan oleh agama Islam membuktikan bahwa agama yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ini merupakan penerus yang murni dan konsekuen
dari ajaran-ajaran para Nabi itu. Dan, semakin jelaslah bahwa agama Islam
benar-benar sejalan dengan fitrah manusia.
Wallahu A’lam bi al-Shawab...
0 komentar:
Posting Komentar