Bermula
dari upaya klarifikasi tentang perilaku salah satu
mahasiswa yang tergolong overacting,
saya yang kebetulan memegang amanah sebagai pendamping
mahasiswa (Pembantu Ketua bidang Kemahasiswaan Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Malang tahun 2000) berkesimpulan
harus segera ada upaya solutif yang
komprehensif dan berkelanjutan.
Perilaku
mahasiswa tersebut adalah "rajin
demo" (baca; rajin ngajak demo) yang seringkali tidak jelas issue dan
tujuaannya. Saking rajinnya dia tidak memperdulikan ketika mengajak demo tidak
ada mahasiswa lainnya yang merespon, walaupun hanya 5 mahasiswa yang mengikuti
aksi tetap dilanjutkan.
Mahasiswa sekaligus santri Ma'had Sunan Ampel al-A’ly UIN Maliki Malang angkatan pertama tersebut juga penggerak aksi protes kepada para kyai Ma'had. Ini pengalaman pertama
saya menyaksikan santri demo kyainya. Disamping rajin demo mahasiswa tadi juga
malas masuk kuliah, sehingga tertinggal jauh dengan teman-teman seangkatannya,
justru kalau tidak salah tidak sampai lulus sarjana.
Di balik itu semua, saya dibuat kaget bukan kepalang,
setelah mendapat pengakuan bahwa dia adalah abituren (lulusan) salah satu
Pondok Pesantren Tahfidh Qur'an di
Tebuireng Jombang. Lebih kaget lagi dia bilang sebenarnya pernah mempunyai
hafalan al-Qur'an sebanyak 15 juz tetapi hafalan tersebut hilang tidak
membekas.
Dari pengakuan yang terakhir tentang hilangnya hafalan
al-Qur'an, saya menjadi teringat pesan guru mengaji saya ketika di pesantren
bahwa "seseorang yang memiliki
hafalan al-Qur'an kemudian tidak bisa dan sengaja tidak menjaga hafalannya akan
mendapat laknat dari Allah SWT". Pesan guru saya tersebut menggugah
saya untuk berpikir, kalau muridnya dapat laknat, bagaimana dengan
guru/dosennya, lebih-lebih pimpinannya yang mempunyai tanggung jawab atas
amanah orang tua si mahasiswa. Pasti laknat tersebut lebih berat, akibat
kelalaian dan/atau ketidakpeduliannya atas amanah yang diembannya.
Upaya solutif kemudian saya coba lakukan dalam bentuk
mengusulkan kebijakan Rektor untuk memberi penghormatan berupa bebas uang
Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) bagi hafidh
al-Qur'an. Langkah pertama yang saya lakukan adalah mapping huffadh di
masing-masing jurusan (ketika masih STAIN Malang) dengan menyebar form isian,
dan hasilnya ditemukan ada 17 mahasiswa penghafal al-Qur'an antara 1 sd 30 juz.
Sebenarnya masih banyak yang tidak mau mengisi form yang
kami sediakan, tetapi mereka enggan mengisinya, karena mendengar "mereka
akan mendapatkan beasiswa". Saya tidak terlalu kaget dengan respon tersebut, karena sedikit banyak saya pernah mendengar dan mengetahui bahwa penghafal al-Qur'an rata-rata tidak selalu mau menampakkan diri, apalagi kemudian karena hafalannya
kemudian mereka mendapat pemberian materi (baca: hadiah). Suatu perilaku
ikhlas, tanpa pamrih dan apalagi kemudian menerima hadiah, merupakan karakteristik para hamil
al-Qur’an.
Dari hasil mapping dan saya lengkapi dengan konsep bentuk
pemberian penghomatannya saya sampaikan kepada Ketua STAIN Malang, Pak Imam.
Usulan bentuk pemberian penghormatan tersebut
antara lain sebagai berikut :
1.
Program
Pendampingan Merawat Hafalan al-Qur'an;
a)
Tashih periodik
setiap semester untuk memastikan perkembangan hafalan.
b)
Setoran dan tashih
harian untuk mengetahui perkembangan hafalan.
c)
Khotmul Qur'an
setiap satu minggu sekali secara bergantian antara santri putra (minggu 1 dan
3) dan santri putri (minggu 2 dan 4).
2.
Program
Pendampingan Peminat Hafalan al-Qur'an;
a)
Pembinaan bacaan al-Qur'an mulai dasar.
b) Bergabung pada setiap acara khotmil Qur'an.
3.
Program Pemberian
Penghormatan Terhadap Penghafal al-Qur'an;
a)
Pemberian bebas SPP
satu semester bagi hafidh sekitar 10 juz.
b)
Pemberian bebas SPP
dua semester bagi hafidh sekitar 20 juz.
c)
Pemberian bebas SPP
tiga semester bagi hafidh sekitar 30 juz.
Pemberian bebas SPP akan diteruskan apabila pada setiap semester ditashih (dicek) masih tetap hafalannya.
4.
Pembentukan
Jam'iyatul Qurra' wa al-Huffdh (JQH) STAIN
Malang sebagai wadah kegiatan.
Pak Imam tidak
memerlukan banyak waktu untuk merespon usulan/konsep yang saya ajukan, beliau
menyatakan bahwa ”soal-soal yang sangat baik seperti ini harus segera
direalisasikan Pak Muhtadi”. Agar tidak ada kesulitan saya mau menanyakan beberapa hal soal ide ini, yaitu; pertama, uangnya dari mana ? yang kedua, saya minta P.
Muhtadi menjelaskan sedikit tentang latar belakang ide ini.
Untuk pertanyaan pertama saya mencoba menjawab sekenanya,
kita tidak perlu menyiapkan uang, hanya secara teknis ketika kita membuat
laporan ke Menteri Agama, pada daftar herregistrasi mahasiswa yang biasa kita
lakukan setiap semester cukup dibubuhi keterangan ”yang bersangkutan tidak
membayar SPP karena hafal al-Qur’an sekian juz”. Wa, ini solusi kreatif
namanya, demikian Pak Imam menyambutnya.
Untuk pertanyaan kedua saya juga mencoba menyampaikan
tentang ”laknat” sebagaimana saya
sampaikan diatas. Kemudian saya lanjutkan bahwa kita ingin menciptakan suasana Qur’any di kampus kita
tercinta ini. Lagi-lagi Pak Imam tersenyum merespon penjelasan singkat saya
tadi.
Alhamdulillah, program yang sederhana namun penting tersebut teralisasi
dengan baik, justru sekarang sudah berkembang, baik secara kelembagaan maupun
jumlah mahasiswa yang bergabung. Secara kelembagaan, dari JQH menjadi Haiah Tahfidh al-Qur’an dengan jumlah
mahasiswa sebesar 2.600 lebih.
Tentu, kita semua berharap program yang mungkin pertama kali dilakukan di
UIN Maliki Malang yang kemudian selanjutnya dicontoh oleh beberapa Perguruan
Tinggi lainnya, terus dijaga dan dikembangkan sebagai bagian dari upaya
melahirkan generasi yang tangguh dan berkarakter sesuai ajaran al-Qur’an, amin.
Wallahu a’lam bi al-Shawab.
0 komentar:
Posting Komentar