A. Pendahuluan
Sejak wafatnya Muhammad Rasulullah s.a.w.,
persoalan ilmiah yang dihadapi para sahabat adalah persoalan kodifikasi
al-Qur’an dalam satu mushhaf. Persoalan kodifikasi inilah yang menjadi
wacana pasca “kepergian” Nabi s.a.w. di samping berbagai persoalan yang ikut
menyemarakkan konstelasi kehidupan umat Islam pada waktu itu. Pada generasi
selanjutnya, yakni di masa tabiinn, kodifikasi al-Qur’an semuanya disandarkan
atau dinisbatkan pada diri Rasulullah s.a.w., yaitu berupa kerkataan, perbuatan,
dan taqrirnya, yang disebut hadis atau sunnah.
Dalam kodifikasi al-Qur’an, para sahabat r.a.
tidak menemukan banyak kendala kerena tugas panitia kodifikasi hanya
mengumpulkan naskah-naskah al-Qur’an yang sudah ada di tangan para sahabat r.a.
untuk disesuaikan dengan hafalan para sahabat lainnya yang secara mutawatir
mereka terima dari Nabi dan secara ilmiah dapat dipastikan sebagai ayat-ayat
al-Qur’an.
Pengkodifikasian al-Qur’an berbeda dengan
pengkodifikasian al-hadis yang banyak diriwayatkan secara ahad, secara
individual1).Hadis
ternyata lebih banyak dipelihara dalam ingatan daripada dalam catatan yang
dimiliki oleh para sahabat, yang pada masanya diijinkan Nabi untuk mencatat
hadis. Hadis yang ada dalam catatan dan ingatan mereka tersebar secara luas ke
berbagai daerah Islam yang dikunjungi oleh para sahabat, baik untuk keperluan
jihad, dakwah maupun niaga/perdagangan..
Untuk menghimpun hadis-hadis itu diperlukan
ketelitian yang sangat tinggi; yakni berupa kerangka ontologi, epistemologi,
dan aksiologi yang akurat, agar yang dinamakan hadis itu bebar-benar dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah2).
Interval waktu yang cukup lama antara Nabi s.a.w. dengan para penghimpun hadis,
dan perbedan visi politik serta madzab pada abad-abad berikutnya, merupakan
dimensilain yang menambah rumitnya pembuktian status hadis oleh ulama dari
generasi ke generasi.
Fokus Kajian makalah ini adalah memotret sejarah
perkembangan hadis dari masa awal (Rasulullah) hingga para mukharrij
(peneliti/kolektor hadis). Kajian ini penting dan mendasar sebelum mengkaji
secara lebih jauh tentang hadis. Prof. Hasbi ash-Shidieqy (1987) dalam buku
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, menyatakan perlunya mempelajari sejarah
hadis, yang kata Hasbi, dengan memeriksa periode-periode yang telah dilalui
oleh hadis (sejarah perkembangannya), maka dapat mengetahui proses pertumbuhan
dan perkembangan hadis dari masa ke masa yang begitu dinamis dan kompleks.
Mempelajari sejarah perkembangan hadis, baik perkembangan riwayat-riwayatnya
maupun pembukuannya, sangat diperlukan karena dipandang menjadi satu kesatuan
dengan studi hadis3).
Lebih lanjut Hasbi menyatakan bahwa jika
dipelajari dengan seksama situasi dan keadaan historis (historical
situation) perjalanan dan perkembangan hadis sejak dari permualaan
pertumbuhan hingga sekarang, dapat disimpulkan bahwa hadis telah melalui enam
masa/periode, dan saat ini telah memasuki periode yang enam4).
Periode pertama, yaitu saat wahyu dan
pembentukan hukum dan dasar-dasarnya dari permulaan kenabian hingga beliau
wafat pada tahun 11 Hijriyah. Periode kedua, masa khulâfa
ar-râsyidin yang dikenal dengan masa pembatasan riwayat. Periode ketiga,
masa perkembangan riwayat, yaitu masa sahabat kecil dan tabiin besar. Periode keempat,
masa pembukuan hadis (permulaan abad kedua Hijriyah). Periode kelima,
masa pentashhikan dan penyaringan (awal abad ketiga). Periode keenam,
masa memilah kitab-kitab hadis dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus (awal
abad keenam sampai tahun 656 h.) Periode ketuju, masa membuat syarah,
kitab-kitab takhrij, pengumpulan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’
yang umum.
B. Hadis pada Masa Rasulullah s.a.w.
Bahwa hadis telah telah ada sejak awal
perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi.
Sesunggunhya semasa hidup Rasulullah adalah wajar sekali jika kaum muslimin
(para sahabat r.a.) memperhatikan apa saja yang dilakukan maupun yang diucapkan
oleh beliau, terutamas sekali yang berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan.
Orang-orang Arab yang suka menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka,
ramalan-ramalan dari peramal mereka dan pernyataan-pernyataan dari para hakim,
tidak mungkin lengah untuk mengisahkan kembali perbuatan-perbuatan dan
ucapan-ucapan dari seorang yang mereka akui sebagai seorang Rasul Allah5).
Di samping sebagai utusan Allah, Nabi adalah
panutan dan tokoh masyarakat. Selanjutnya dalam kapasitasnya sebagai apa saja
(Rasul, pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah tanggal, teman)
maka, tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut sebagai ajaran Islam. Beliau
sendiri sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan
terwujud secara kongkret dalam kehidupan nyata sehari-hari. Karena itu, setiap
kali ada kesempatan Nabi memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat dengan
berbagai media, dan para sahabat juga memanfaatkan hakl itu untuk lebih
mendalami ajaran Islam6).
Mereka para sahabat tidak sekedar mengisahkan
kembali pengamatan mereka terhadap Rasul, tetapi apa yang didapat dari Rasul
benar-benar menjadi petunjuk dan pedoman dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Sebagian sahabat sengaja mendatangi Rasul dari tempat tinggal mereka yang jauh
hanya sekadar menanyakan sesuatu hukum syar’i.7)
Dikisahkan pula para Kabilah yang tinggal jauh dari kota Madinah secara rutin
mengutus salah seorang anggotanya pergi mendatangi Nabi untuk mempelajari
hukum-hukum agama. Dan sepulang mereka kembali ke kampungnya, mereka segera
mengajari kawan-kawannya.
Hadis Nabi yang sudah diterima oleh para
sahabat, ada yang dihafal dan ada pula yang dicatat. Sahabat yang banyak
mengahafal hadis dapat disebut misalnya Abu Hurairah, sedangkan sahabat Nabi
yang membuat catatan hadis diantaranya ; Abu Bakar Shidiq, Ali bin Abi Thalib,
Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abdullah bin Abbas9).
Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk
menerima dan menyampaikan hadis disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya : Pertama,
Dinyatakan secara tegas oleh Allah dalam al-Qur’an, bahwa Nabi Muhammad adalah
panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh orang-orang beriman dan
sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka10).
Kedua, Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi
kepada mereka yang berpengetahuan11).
Ajaran ini telah mendorong para sahabat untuk berusaha memperoleh pengetahuan
yang banyak, yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabisendiri.
Ketiga, Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan
pengajaran kepada mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi
orang yang tidak hadir akan lebih paham daripada mereka yang hadir mendengarkan
langsung dari Nabi12).
Perintah ini telah mendorong para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka
peroleh dari Nabi.
Setelah melihat perkembangan penyebaran hadis
pada masa itu, Nabi tampaknya cukup khawatir para sahabat terjerumus dalam
penyampaian berita yang tidak benar, karena pada umumnya manusia cenderung
untuk “membumbui” berita yang ingin disampaikannya. Di samping itu masyarakat pada umumnya
tertarik kepada berita yang sensasional dan didramatisir sedemikian rupa13).
Di samping itu Nabi juga
khawatir jika fokus utama kajian sahabat bergeser dari al-Qur’an ke hadis,
bahkan tidak mungkin ada percampuran (infiltrasi) baik secara langsung maupun
tidak langsung ayat-ayat al-Qur’an oleh teks maupun makna hadis. Kekhawatiran
dinyatakan langsung oleh Nabi dengan sabdanya :”Janganlah kalian tulis apa
yang kalian dengan dariku, selain al-Qur’an.Barangsiapa yang telah menulis
sesuatu yang selain al-Qur’an hendaklah dihapus” (HR. Muslim dari Abu
Sa’id al-Khudri).
Lebih jauh Hasbi Ash-Shiddieqy
menjelaskan makna filosofis atau faktor-faktor yang melatarbelakangi larangan
penulisan teks kenabian selain al-Qur’an yang menurut dia adalah : Pertama,
mentadwinkan ucapan-ucapan Nabi, amalan-amalannya, muamalah-muamalahnya adalah
sesuatu yang sulit, karena memerlukan beberapa sahabat yang terus-menerus harus
menyertai Nabi untuk menulis segala yang terkait dengan tersebut di atas,
padahal orang yang dapat menulis pada saat itu tidak banyak (baca:masyarakat ummiyyun).
Kedua, sebagaimana telah disinggung
diatas, orang Arab saat itu jarang yang pandai menulis, tapi di sisi lain
mereka sangat kuat berpegang pada hafalan dalam segala hal yang mereka ingin
menghafalnya. Tetapi ada catatan Hasbi di sisi, mereka-orang Arab itu- mudah
untuk mengafal al-Qur’an yang turun secara berangsur-angsur, dibanding
menghafal hadis. Dan ketiga, Karena dikhawatirkan akar terjadi percampuran
antara teks al-Qur’an dan hadis jika terjadi penulisan hadis.14)
Akan tetapi Muh. Zuhri15)
mengutip hasil penelitian yang telah dilakukan Prof. al-A’zami, menyatakan
bahwa semua hadis yang menyebut larangan penulisan hadis itu dha’if kecuali
hadis riwayat Abu Sa’id al-Khudri jalur dari Hammam, dari Zaid bin Aslam, dari
Atha’ bin Yasir, dari Abu Said al-Khudri. Redaksi yang sama dari jalur yang
lain dinyatakan dha’if. Sebuah hadis yang sahih ini pun diragukan,
apakan marfu’ atau hanya ucapan Abu Said sendiri. Al-A’zami setelah
mengadakan penelitian seksama, berkesimpulan, andai hadis ini marfu’,
maka dalam konteks larangan penulisan hadis bersama al-Qur’an dalam satu buku.
Al-A’zami membantah pendapat
bahwa para sahabat dilarang menulis karena kebanyakan mereka tidak dapat
menulis. Banyaknya sekretaris al-Qur’an menggambarkan banyaknya sahabat yang
pandai menulis. Andaikata kebanyakan mereka tidak pandai menulis, tidak perlu
Nabi menyebut pelarangan menulis Hadis, karena dengan sendirinya mereka tidak
menulis16).
Apakah benar hadis sudah
ditulis sejak masa Rasulullah s.a.w.? Fazlur Rahman berpendapat hadis belum ada
pada periode Rasulullah. Yang ada kala itu adalah sunnah – yaitu praktek
keagamaan yang dilakukan secara tradisi karena keteladanan Nabi-, yang setelah
Rasulullah wafat, berkembanglah penafsiran individu terhadap teladan Rasul itu.
Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tetapi
sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Kemudian sunnah yang sudah
disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam hadis. Hadis adalah
verbalisasi sunnah. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke
dalam hadis ini telah memasung proses kreatif sunnah dan menjerat para ulama
Islam pada rumus-rumus yang kaku17).
Namun, berlawanan dengan tesis
Fazlur Rahman, Jalaluddin Rakhmad18)
berpendapat bahwa yang pertama kali beredar di kalangan kaum Muslim kala itu
adalah hadis. Banyak riwayat menunjukkan perhatian para sahabat untuk menghafal
ucapan-ucapan Nabi atau menyampaikan apa yang dilakukan Nabi s.a.w. Ada
diantara mereka yang menuliskannya. Misalnya Ali r.a., seperti diriwayatkan
Bukhari, mempunyai mushhaf di luar al-Qur’an, yang menghimpun
keputusan-keputusan hukum yang pernah dibuat Nabi. Abdullah bin Amr bin Ash
juga dilaporkan rajin mencatat apa yang didengarnya dari Nabi. ‘Aisyah juga
menyimpan catatan-catatan hadis (mungkin ditulis Abu Bakar). Umar sendiri
pernah mengumpulkan catatan-catatan hadis yang berserakan dan membakarnya.
C. Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Setelah Nabi wafat (11 H/632 M),
kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi
yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (wafat 13
H/634 M), kemudian disusul oleh Umar bin Khaththab (wafat 23 H/644 M), Usman
bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/611 M).
keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafau
al-Rasyidin dan periodenya disebut dengan zaman sahabat besar19)
(Fazlur Rahman menyebut sahabat senior).
Sesudah Ali bin Abi Thalib
wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul era sahabat kecil. Dalam
masa itu muncullah tabi’in besar yang bekerja sama dalam perkembangan
pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu. Di antara
sahabat Nabi yang amsih hidup setelah periode al-Khulafa al-Rasyidin dan yang
cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis diantaranya ‘Aisyah (wafat 57
H/677 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687
M), Abdullah bin Umar bin Khaththab (wafat 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah
(wafat 78 H/697 M)20).
Menurut Muhammad bin Ahmad
al-Dzahabi (w.1347 M), Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama
menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis21).
Pernyataan al-Dzahabi ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar ketika
menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek
menghadap kepada khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta ynag ditinggalkan
oleh cucunya. Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak melihat petunjuk al-Qur’an dan
praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu
bertanyaa kepada para sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu
Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam
(1/6) bagian. Al-Mughirah mengaku hadir ketika Nabi menetapkan demikian itu.
Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah
menghadirkanseorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian atas
kebenaran pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan
nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadis Nabi yang
disampaikan al-Mughirah tersebut22).
Kasus dia atas memberikan
petunjuk, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera menerima riwayat hadis,
sebelum meneliti periwayatannya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta
kepada periwayat hadis untuk menghadirkan saksi.
Bukti lain tentang sikap ketat
Abu Bakar dalam periwayatan hadis terlihat pada tindakannya yang telah membakar
catatan-catatan hadis miliknya. Putri Abu Bakar, ‘Aisyah, menyatakan bahwa Abu
Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadis. Menjawab
pertanyaan ‘Aisyah, Abu menjelaskan bahwa dia membakar catatannya itu karena
dia khawatir berbuat salah dalam periwayatan hadis23).
Hal ini membuktikan sikap sangat hati-hati Abu Bakar dalam periwayatan hadis.
Sebagaimana Abu Bakar,
khalifah selanjutnya, Umar bin al-Khaththab juga terkenal sangat hati-hati
dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat misalnya, ketika Umar mendengar hadis
yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab, Umar baru bersedia menerima hadis dari
Ubay, setelah para sahabat yang lain, seperti Abu Dzar menyatakan telah
mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut.
Akhirnya Umar berkata kepada Ubay :”Demi Allah, sungguh saya tidak
menuduhmu telah berdusta. Saya bertindak demikian karena saya ingin
berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi”.24)
Selain itu, Umar juga
menekankan kepada para sahabatnya agar tidak meriwayatkan hadis di masyarakat.
Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan
mendalami al-Qur’an25).
Abu Hurairah yang dikemudian hari dikenal banyak menyampaikan riwayat hadis,
pada zaman Umar terpaksa menahan diri untuk tidak banyak meriwayatkan hadis.
Abu Hurairah pernah menyatakan, sekiranya dia banyak meriwayatkan hadis pada
zaman Umar, niscaya dia akan dicambuk oleh Umar26).
Gerakan pengetatan periwaytan
hadis, bahkan dapat dikatakan penghilangan sebagian hadis oleh dua khalifah itu
telah memberikan pengaruh baik positif maupun negatif dalam perkembangan hadis
di kemudian hari. Implikasi positif dari gerakan itu adalah otentisitas hadis lebih
terjaga sekaligus membuka peluang interpretasi yang lebar bagi umat Islam dalam
mengapresiasi keberagamaannya karena tidak terkungkung oleh normativitas hadis.
Di sini kreatifitas umat mendapat lahan yang cukup subur sehingga dapat
berkembang dengan baik.
Tetapi implikasi negatif dari
gerakan pengetatan hadis itu, oleh Rasm Ja’farian telah mengakibatkan hal-hal
yang merugikan umat Islam. Pertama, hilangnya sejumlah besar hadis.
Urwah bin Zubair pernah berkata :” Dulu aku menulis sejumlah hadis, kemudia
aku hapuskan semuanya. Sekarang aku berfikir, alangkah baiknya kalau aku tidak
menghancurkan hadis-hadis itu. Aku bersedia memberikan seluruh anakku dan
hartaku untuk memperolehnya kembali”
Kedua, terbukanya peluang pemalsuan
hadis. Abu al-Abbas al-Hanbali menulis, “Salah satu penyebab timbulnya
perbedaan pendapat di antara para ulama adalah hadis-hadis dan teks-teks yang
kontradiktif. Sebagian orang menuding Umarlah yang bertanggung jawab atas
kejadian itu, karena para sahabat meminta ijin untuk menulis hadis tetapi umar
mencegahnya. Seandainya para sahabat menulis apa-apa yang pernah didengarnya
dari Rasulullah s.a.w., sunnah akan tercatat tidak lebih dari satu mata rantai
saja antara Nabi dan umat sesudahnya”.
Ketiga, periwayatan dengan makna.
Karena orang hanya menerima hadis secara lisan, ketika menyampaikan hadis itu,
mereka hanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan, redaksinya
dapat berubah-ubah. Karena makna adalah masalah persepsi, masalah penafsiran,
maka redaksi hadis berkembang sesuai dengan penafsiran orang yang
meriwayatkannya.
Keempat, terjadinya perbedaan
pendapat di kalangan umat. Bersamaan dengan perbedaan ini, lahirlah akibat yang
kelima, yaitu ra’yu menjadi menonjol dalam proses interpretasi keagamaan.
Karena sejumlah hadis hilang, orang-orang mencari petunjuk dari ra’yu-nya.
Dalam pasar ra’yu yang bebas (dalam kenyatannya, pasar gagasan umumnya
tidak bebas) sebagian ra’yu menjadi dominan Ra’yu dominan
inilah, menurut Fazlur Rahman, kemudian menjadi sunnah. Sebuah ra’yu
menjadi dominan boleh jadi karena proses kreatif dan adanya demokrasi, boleh
jadi juga karena ada intervensi dari penguasa27).
Dalam semua kejadian itu,
dominasi ra’yu sangat ditopang oleh hilangnya catatan-catatan hadis. Untuk
memperparah keadaan, tidak ada rujukan tertulis menyebabkan banyak orang secara
bebas membuat hadis untuk kepentingan politis, ekonomis dan sosiologisnya.
Kemudian ditambah panjangnya rangkaian periwayatan hadis telah memungkinkan
orang-orang menambahkan kesimpulan dan pendapatnya pada hadis-hadis. Tidak
mengherankan bila kemudian Fazlur Rahman28)
sampai pada kesimpulan, hadis adalah produk pemikiran kaum muslim awal untuk
memformulasikan sunnah. Sunnah pada gilirannya kelihatan sebagai produk para
ahli hukum Islam, yang kemudian dinisbatkan kepada Nabi. Secara kronologis
dapat dijelaskan sebagai berikut : Mula-mula muncul hadis, kemudian ada upaya
dua khalifah untuk menghambat kemunculannya, terutama, dalam bentuk tertulis.
Timbullah sunnah, yang lebih merujuk kepada tema perilaku yang hidup di
tengah-tengah masyarakat, daripada teks. Ketika hadis-hadis dihidupkan kembali,
melalui kegiatan pengumpul hadis, kesulitan menguji otentisitas dan validitas
hadis menjadi sangat besar.
Bagaimana dengan kegiatan
khalifah sesudah Umar bin al-Khaththab, yakni Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib? Dari beberapa sumber yang dapat menjelaskan tentang hal itu, dapat
diterangkan bahwa dua khalifah terakhir- sebagaimana dua khalifah sebelumnya-
melakukan pula gerakan pengetatan hadis. Walaupun tidak seketat dan seradikal
apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar maupun Umar bin al-Khaththab. Sikap
sedikit longgar oleh dua khalifah terakhir ini mungkin disebabkan oleh pribadi
dua khalifah itu yang tidak sekeras Umar bin al-Khaththab, dan juga karena
wilayah kekuasaan Islam semakin luas, sehingga menyulitkan adanya kontrol yang
ketat terhadap kegiatan periwayatan hadis. Sehingga pengaruhnya bagi
perkembangan hadis ; banyak (baca : lebih banyak dibandingkan pada era dua
khalifah awal) aktivitas periwayatan hadis pada era itu.
Secara pribadi Utsman jauh lebih
sedikit meriwayatkan hadis29),
dibanding dengan empat khalifah yang lain. Sedangkan Ali30)
dalam meriwayatkan hadis, disamping lisan juga tertulis31).
Sebagaimana telah diketahui, salah satu sahabat yang rajin menulis hadis
diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib, yang tulisan hadisnya terkumpul dalam shahifah
Ali.
Beberapa sahabat32)
Nabi selain Khulafa’ al-Rasyidin telah menunjukkan pula sikap
hati-hati mereka baik dalam menerima atau meriwayatkan hadis. Hal ini dapat
dilihat, misalnya, pada pernyataan-pernyataan mereka sebagai berikut :
Anas bin Malik pernah berkata,
sekiranya dia tidak takut keliru niscaya semua apa yang telah didengarnya dari
Nabi dikemukakan pula kepada orang lain. Pernyataan Anas ini memberi petunjuk
bahwa tidak seluruh hadis yang pernah didengarnya dari Nabi disampaikannya
kepada sahabat lain atau kepada tabi’in, dia berlaku hati-hati dalam
meriwayatkan hadis33).
Saad bin Abi Waqqash (w. 55
H/675 M), pernah ditemani oleh al-Sa’ib bin Yazid dalam perjalanan dari Makkah
ke Madinah pergi-pulang. Selama dalam perjalanan, Sa’ad tidak menyampaikan
sebuah hadis pun kepada al-Sa’ib. Apa yang dilakukan Sa’ad itu tidak lepas dari
sikap hati-hatinya dalam periwayatan hadis34).
Sikap
hati-hati para sahabat Nabi tersebut bukan hanya ketika menyampaikan hadis
saja, melainkan juga ketika menerimanya. Tidak jarang seorang sahabat terpaksa
menempuh perjalanan yang sangat jauh hanya untuk mendapatkan atau mencocokkan
sebuah hadis saja.
Pada periode sahabat ini telah
muncul tradisi kritik terhadap hadis yang dibawa oleh sesama sahabat. Tradisi
kritik hadis ini untuk menjaga otentisitas hadis dan agar hadis tidak mudah
untuk dipalsukan, baik secara sengaja maupun tidak. Misalnya, sikap Aisyah r.a.
ketika mendengar hadis yang menyatakan bahwa orang mati itu diadzab Tuhan
karena ditangisi keluarganya. Bunyi hadis itu :”… sesungguhnya orang mati
itu diadzab karena tangis keluarganya …”. ‘Aisyah menolak hadis itu dengan
nada tanya :”Apakah kalian lupa firman Allah : … seseorang tidak
akan menanggung/memikul dosa orang lain…”35)
Dalam kasus lain, Abu Hurairah
pernah meriwayatkan hadis “Barangsiapa junub hingga subuh, maka puasanya
tidak berguna”. Setelah berita itu sampai kepada ‘Aisyah, ia menolak hadis
tersebut seraya mengatakan bahwa ketika Nabi berpuasa, ia mandi jinabat setelah
masuk waktu Subuh, kemudian Shalat dan berpuasa mendengar kritik itu Abu
Hurairah menyerah dan mengatakan bahwa ‘Aisyah lebih mengetahui persoalan ini,
dan mengatakan bahwa ia tidak mendengar langsung dari Nabi, tetapi dari sahabat
lain36).
D. Munculnya Hadis-Hadis Maudhu’ (Palsu)
Hadis Nabi yang belum ditadwin
(dihimpun) dalam suatu kitab hadis dan kedudukan hadis yang belum signifikan
dalam struktur sumber ajaran Islam, telah dimanfaatkan – untuk dipalsukan –
oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kesempatan yang begitu lebar
untuk melakukan pemalsuan hadis, plus dengan keuntungan baik politis, ekonomis,
maupun sosial yang besar dengan melakukan hal itu, telah mendorong
kelompok-kelompok tertentu melakukan tindakan yang –menurut sabda Nabi terkutuk
(fal yatabawwa’ maq’adahu man al-nar)-sangat merugikan dunia Islam.
Para ulama berbeda pendapat
tentang kapan kegiatan pemalsuan hadis dimulai. Pendapat pertama mengemukakan,
bahwa pemalsuan hadis telah ada pada era Rasulullah. Pendapat ini dikemukakan
oleh Ahmad Amin (w. 1373 H/1954 M), dengan alasan hadis mutawatir yang
menyatakan, bahwa barangsiapa yang secara sengaja membuat berita bohong dengan
mengatas namakan Nabi, maka hendaklah orang itu bersiap-siap menempati tempat
duduknya di neraka. Kata Ahmad Amin, hadis itu memberi gambaran telah ada
individu maupun kelompok pada masa Nabi yang telah melakukan pemalsuan hadis37).
Tetapi sayang Ahmad Amin tidak memberi contoh hadis-hadis yang telah dipalsukan
tersebut, sehingga apa yang dinyatakan Ahmad Amin ini masih dalam tataran
asumsi.
Shahal ad-Din al-Adhabi,
menyatakan bahwa pemalsuan hadis yang berkenaan dengan maslah keduaniawian
telah terjadi pada masa Nabi dan dilakukan oleh orang munafiq. Sedang pemalsuan
yang berkenaan dengan maslah agama (amr dini), pada zaman nabi belum
terjadi. Alasannya, ialah hadis yang diriwayatkan oleh al-Thahawi dan
al-Thabrani, yang menyatakan bahwa pada masa Nabi ada seorang yang telah
membuat berita bohong dengan mengatas namakan Nabi. Orang itu telah mengaku
diberi kuasa Nabi untuk menyelesaikan suatu masalah di suatu kelompok
masyarakat di sekitar Madinah. Kemudian orang itu melamar seorang gadis dari
masyarakat tersebut, tetapi lamaran itu ditolak. Masyarakat tersebut lalu
mengirim utusan kepada Nabi untuk mengkonfirmasi berita utusan dimaksud.
Ternyata Nabi tidak pernah menyuruh orang yang mengatasnamakan beliau38).
Pemalsuan hadis mulai muncul
pada masa Khalifat Ali bin Abi Thalib. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa
ulama hadis39).
Menurut pendapat ini, keadaan hadis pada zaman Nabi sampai terjadinya
pertentangan antara Ali dan Mu’awiyah masih terhindah dari pemalsuan-pemalsuan.
Perang yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah (dikenal dengan perang shiffin)
telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Upaya damai yang diusulkan Mu’awiyah
dan diterima Ali telah mengakibatkan sekelompok pendukung Ali menjadi kecewa,
dan mereka menyatakan keluar dari kelompok Ali yang kemudian dikenal sebagai
kelompok khawarij. Kelompok Khawarij ini dalam gerakan selanjutnya tidak hanya
memusuhi Mu’awiyah saja, tapi juga Ali. Akibat kemelut politik yag kian rumit
itu, akhirnya Ali bin Abi Thalib dapat dikalahkan Mu’awiyah, dan kekuasaan Ali
digantikan oleh Mu’awiyah yang kemudian membangun basis kekuasaannya dengan
mendirikan daulah bani Umayah40).
Runtuhnya kekuasaan Ali tidak
menyurutkan perjuangan para pendukungnya, yakni kelompok syi’ah. Pertikaian
segitiga yang berlarut telah mendorong ketiga pihak untuk saling mengalahkan,
yang salah caranya ialah dengan membuat hadis palsu untuk mengukuhkan
kelompoknya dan memperlemah posisi lawan secara sosial-politik.
Berdasarkan data sejarah,
pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam saja, melainkan
juga telah dilakukan oleh orang-orang yang non Islam. Orang-orang non Islam
membuat hadis palsu41),
karena didorong oleh keinginan meruntuhkan Islam dari dalam. Dan orang-orang
Islam meriwayatkan hadis palsu karena mereka didorong oleh beberapa motif.
Motif itu ada yang bernuansa duniawi ada yang agamawi. Secara rinci, motif
orang-orang Islam itu adalah; 1) membela kepentingan politik42),
2) membela aliran teologi, 3) membela madzab fiqih43),
4) memikat hati orang yang mendengarkan kisah yang dikemukakannya, 5)
menjadikan orang lain lebih zahid, 6) menjadikan orang lain lebih rajin
mengamalkan ibadah, 6) mendapatkan perhatian dan pujian dari penguasa, 9)
mendapatkan hadiah uang dari orang yang menggembirakan hatinya, 10) menerangkan
keutamaan suku bangsa tertentu.
Jumlah hadis palsu tidak
sedikit. Seorang yang mengaku sebagai pemalsu hadis mengatakan, bahwa dia telah
membuat empat ribu hadis palsu. Seorang pemalsu lainnya mengaku, bila dia ingin
memperkuat pendapatnya, maka dia membuat hadis palsu. Ada pula yang mengaku
bila ada yang memberi upah sebesar satu dirham saja, dia bersedia untuk membuat
sebanyak lima puluh hadis palsu43).
Prof. Muhammad Zuhri44),
mengidentifikasi orang-orang yang terkenal sebagai pemalsu hadis, diantaranya ;
Abban ibn Ja’far al-Numairi, Ibrahim ibn Zaid al-Aslami, Jabir ibn Yazid
al-Ja’fi, Muhammad ibn Syuja’ al-Laitsi, Nuh ibn Abi Maryam, Al-Harits ibn
Abdillah al-A’war, Ahmad ibn Abdullah al-Juwaibari.
Untuk menyelamatkan hadis Nabi di
tengah-tengah berkecamuknya pembuatan hadis palsu, maka ulama hadis menyusun
berbagai kaedah penelitian hadis. Kaedah-kaedah yang mereka susun, tujuan
utamanya adalah untuk penelitian keshahihan matan hadis tersebut, maka
disusunlah kaedah keshahihan sanad hadis. Dalam konteks ini, munculah berbagai
macam ilmu hadis. Yang paling urgen kedudukannya dalam penelitian sanad hadis,
diantaranya adalah ‘ilm rijal al-Hadis, dan ‘ilm al-jarh wa
al-ta’dil45).
Ilmu yang disebut pertama lebih banyak membicarakan biografi para
periwayat yang satu dengan periwayat yang lain dalam periwayatan hadis. Sedang
ilmu yang disebut kedua, lebih menekankan kepada pembahasan kualitas
pribadi periwayat hadis, khususnya dari segi kekuatan hafalannya (dhabith),
kejujurannya (tsiqah), dan berbagai keterangan lain yang berhubungan
dengan penelitian sanad hadis.
E. Proses pen-tadwîn-an hadis
Andaikata Umar bin Khaththab
tidak mengurungkan niat untuk menghimpun hadis Nabi dalam satu kitab, maka akan
dapat dikendalikan lebih dini upaya-upaya pemalsuan hadis. Akan tetapi Umar,
sebagaimana telah disinggung di atas, mengurungkan niat itu, karena dia
khawatir umat Islam akan mengabaikan al-Qur’an.
Sesudah era Umar bin
al-Khaththab, tidak ada khalifah yang merencanakan menghimpun hadis, kecuali
khalifah ‘Umar bin Abd al-Ziz (w. 101 H/720 M). Walaupun demikian pada era
antara Umar bin al-Khaththab dan Umar bin Abd al-Aziz tidak ada kegiatan sama
sekali untuk men-tadwin hadis. Informasi historis menyebutkan, tidak sedikit, baik di
kalangan sahabat Nabi maupun tabiin yang telah melakukan pencatatan hadis. Akan
tetapi pencatatan hadis itu masih bersifat per-individu, dalam arti belum
menjadi kegiatan kolektif yang mendapat mandat dari pemerintah.
Khalifah Umar bin Abd Aziz
yang terkenal berpribadi shalih dan cinta kepada ilmu pengetahuan46),
sangat berkeinginan untuk segera menghimpun hadis. Keinginan itu sudah muncul
sebenarnya ketika dia masih menjabat sebagai Gubernur di Madinah (86-93 H),
pada masa pemerintahan al-Walid bin Abd al-Malik (86-96 H).
Keinginan Khalifah Umar bin
Abd Aziz untuk menghimpun hadis diwujudkan dalam bentuk surat perintah. Surat
itu dikirim ke seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah pada akhir tahun
100 H. Isi surat perintah itu adalah agar seluruh hadis Nabi di masing-masing
daerah agar segera dikumpulkan47).
Salah satu surat khlifah dikirim
kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr bin Muhammad ‘Amr bin Hazm (w. 117 H/735 M).
Isi surat itu ialah; 1) Khalifah merasa khawatir akan punahnya pengetahuan
hadis dan meninggalnya para ahli hadis, dan 2) khalifah memerintahkan agar
hadis yang ada di tangan ‘Amrah binti Abd al-Rahman dan al-Qasim bin Muhammad
bin Abi Bakr al-Shiddiq, keduanya murid ‘Aisyah dan berada di Madinah, segera
dikumpulkan (di-tadwin). Namun sayang, sebelum Ibn Hazm berhasil
menyelesaikan tugasnya, khalifah telah meninggal dunia48).
Menurut al-Shiba’I, Ibn Hazm mengumpulkan lalu menulis hadis hanya yang berasal
dari Amrah dan al-Qashim.
Ulama yang berhasil menghimpun
hadis dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal ialah Muhammad bin Muslim bin
Syihab al-Zuhri (w. 124 H/742 M). Dia seorang ulama besar di negeri Hijaz dan
Syam. Bagian-bagian kitab al-Zuhri segera dikirim oleh khalifah ke berbagai
daerah untuk bahan penghimpunan hadis selanjutnya49).
Walaupun khalifah Umar bin
‘Abd al-Aziz telah meninggal dunia, namun kegiatan penghimpunan hadis terus
berlangsung. Sekitar pertengahan abad kedua hijriyah, telah muncul berbagai
kitab himpunan hadis di berbagai kota. Ulama berbeda pendapat tentang karya
siapa yang terdahulu muncul. Ada yang mengatakan bahwa yang paling awal muncul
adalah karya ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij al-Bishri (w. 150 H),
ada yang menyatakan karya Malik bin Anas (w. 179 H)50),
dan ada yang menyatakan karya ulama lainnya. Karya-karya tersebut tidak hanya
menghimpun hadis Nabi saja, tetapi juga menghimpun fatwa-fatwa sahabat dan
al-Tabi’in.
Karya-karya ulama berikutnya
disusun berdasarkan nama sahabat Nabi periwayat hadis. Karya yang berbentuk
demikian ini biasa dinamakan al-musnad, jamaknya al-masanid.Ulama yang
mula-mula menyusun kitan al-musnad ialah Abu Daud (w. 204 H). Kemudian menyusul
ulama lainnya, misanya Abu Bakr ‘Abdullah bin al-Zubair al-Humaidi (w. 219 H)
dan Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)51).
Berbagai hadis yang terhimpun
dalam kitab-kitab hadis di atas, ada yang berkualitas shahih dan ada yang
berkualitas tidak shahih. Ulama berikutnya kemudian menyusun kitab hadis yang
khusus menghimpun hadis-hadis Nabi yang berkualitas shahih menurut kriteria penyusunnya.
Misalnya, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 261 H/870 M), dan
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi (w. 261 H/875 M). Kitab himpunan hadis shahih
karya al-Bukhari adalah “al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasyar min
Umur Rasul Allah SAW wa Sunnatihi wa Ayyumihi” dan dikenal dengan al-Jami’
al-Shahih atau Shahih Bukhari. Kitab himpunan hadis shahih karya
Muslim berjudul “al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasyar min al-Sunan bi al-Naql
al-‘Adl ‘an ‘Adl Rasul Allah SAW” dan dikenal dengan sebutan jami’
al-Shahih atau Shahih Muslim.
Di samping itu muncul pula
kitab-kitab hadis yang bab-babnya tersusun seperti bab-bab fiqih dan kualitas
hadisnya ada yang shahih dan ada yang dha’if. Karya itu dikenal dengan nama
al-sunan. Di antara ulama hadis yang telah menyusun kitab al-Sunan ialah ; Abu
Daud (w. 275 H), al-Tirmidzi (w. 279 H), al-Nasa’i (w. 303 H), dan Ibn Majah
(w. 273 H)52).
Karya-karya al-Bukhari,
Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i, di atas disepakati oleh mayoritas
ulama sebagai kitab-kitab hadis standar dan dikenal sebagai al-kutub al-khamsah
(lima kitab hadis standar). Ulama berbeda pendapat tentang kitab standar
peringkat keenam. Sebagian ulama menyatakan, yang keenam itu adalah al-sunan
karya Ibn Majah, sebagian ulama berpendapat kitab al-Muwaththa’ karya Malik bin
Anas dan sebagian ulama lagi berpendapat kitab al-Sunan karya Abu ‘Abdullah bin
‘Abdul Rahman al-Damiri (w. 225 H)53).
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad
Amad bin Hanbal, Beirut : al-Maktab al-Islami, 1978, juz I
Abdullah Muhammad bin Yazid
bin Majah, Sunan Ibn Majah, naskah diteliti dan diberi notasi oleh
Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, Beirut : Dar al-Fikr, t.t., jilid II
Abu ‘Amr Yusuf bin Abd al
Barr, Jami’ al-Bayan al-‘Ilm wa Fadhil, Mesir : Idarat al-Mathba’ah
al-Munirah, t.t., Juz I
Abu Abdullah Muhammad bin
Ahmad al-Dzahabi, Kitab Tadzkirat al-Huffazh, Hiderabat : The Dairati
al-Ma’arifi al-Usmania, 1955, juz I
Ahmad Amin, Dhuha Islam,
Kairo : Maktabah al-Nahdhat al-Mishriyah, 1974
Ahmad bin Ali bin Hajar
al-Ashqalani, Fath al-Bari, ttp : Dar al-Fikr wa Maktabat
al-Salafiyyah, 600 H., Juz I
Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah
Qabla Tadwin, Cairo : Maktabah Wahdah, 1963
Al-Asqalani, Syarh Nukhbat
al-Fikr fi Mushthalah Ahl al-Atsar, Mesir : Maktabah al-Qadiriyah, t.t.
Al-Bukhari, al-Jami’
al-Shalih, Beirut ; Dar al-Fikr, t.t., juz I
Al-Naisaburi, Kitab
Ma’rifat Ulum al-Hadis, Kairo : Maktabah al-Mutanabbi, tt., h. 22-24
an-Nawawi, Shahih Muslim
bi Syarh al-Nawawi, Mesir : al-Mathba’at al-Mishriyah, 1924, juz I
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History,
Anas Mahyudin (penterj.), Karachi : Central Institute of Islamic Research,
1965.
H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis,
Jakarta : Bulan Bintang, 1995
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek,
Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1979, jilid I
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999
Ignaz Goldziher, Muslim Studies, London : Goerge Alen, tth,
Vol Ĩ, h. 195-196.
Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Tadrib
ar-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, 1979, jilid I
Jalaluddin Rakhmat, “Dari Sunnah ke Hadis, Atau
Sebaliknya?”, dalam Budhy Munawar-Rachman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina, 1994
M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis, Ijtihad
al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis, Jakarta : Paramadina, 2000
Muh. Zuhri, Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologi,
Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003
Muhammad al-Khudhari, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami,
Mesir : Mathba’at al-Sa’adah, 1954
Mustafa Amin, Ibrahim al-Tazi, Muhadarat fi ‘Ulu al-Hadis,
jami’ah al-azhar, 1971, jilid I
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif
Al-Qur’an, Jakarta : Paramadina, 1999
Sharafuddin al-Musawi, Menggugat Abu Hurairah,
Menelusuri Jejak Langkah dan Hadis-Hadisnya, Jakarta : Pustaka Zahra, 2002
Shubhi Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuhu, Beirut
: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1960
Catatan
kaki :
1) Al-Asqalani, Syarh Nukhbat al-Fikr fi
Mushthalah Ahl al-Atsar, Mesir : Maktabah al-Qadiriyah, t.t., h.4
2) M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran
Hadis, Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis, Jakarta :
Paramadina, 2000, h. 2
3) Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999, h.26
5) Fazlur Rahman, Islamic Methodology in
History, Anas Mahyudin (penterj.), Karachi : Central Institute of Islamic
Research, 1965. h. 45-46
7) Dalam sebuah hadis dikisahkan Umar bin
Khaththab telah memberi tugas kepada tetangganya untuk mencari berita yang
berasal dari Nabi. Kata Umar, bila tetangganya hari ini menemui Nabi, maka Umar
pada esok harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh
berita yang berasal atau berkenaan dengan Nabi, maka segera ia menyampaikan
kepada yang tidak bertugas. Lihat al-Bukhari, al-Jami’ al-Shalih,
Beirut ; Dar al-Fikr, t.t., juz I h. 28. Dalah kisah yang lain Malik bin
al-Huwairis menyatakan : Saya (Malik bin al-Huwairis bersama rombongan kaum
saya datang kepada Nabi. Kami tinggal di sisi beliau selama dua puluh malam.
Beliau adalah seorang penyayang dan akrab. Ketika beliau melihat kami telah
merasa rindu kepada keluarga kami, beliau bersabda :” Kalian pulanglah,
tinggallah bersama keluarga kalian, ajarlah mereka, dan lakukan shalat bersama
mereka. Bila telah masuk waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kalian
melakukan adzan, dan hendaklah yang tertua bertindak sebagai imam. Lihat : Ibid.,
h. 117.
Abu hurairah telah meriwayatkan hadis
sebanyak 5374 buah, yang terdapat dalam Shalih Bukhari 446 buah. Jumlah ini
jauh melebihi hadis yang diriwayatkan oleh shahabat yang lain. Abu Bakar
“hanya” meriwayatkan 142 hadis, Umar meriwayatkan 437 hadis, Usman meriwayatkan
146 dan 586 telah diriwayatkan oleh Ali. Inilah yang menyebabkan ada sebagian
ulama yang “curiga” dengan periwayatan hadis oleh Abu Hurairah yang sedemikian
banyak, salah satunya adalah Sharafuddin al-Musawi. Dia menyatakan bahwa tidak
masuk akal jika Abu Hurairah yang bersama Nabi hanya 2 tahun (sebelum Nabi
maninggal) mampu meriwayatkan hadis melebihi para sahabat yang 23 tahun bersama
Nabi. Lihat Sharafuddin al-Musawi, Menggugat Abu Hurairah, Menelusuri Jejak
Langkah dan Hadis-Hadisnya, Jakarta : Pustaka Zahra, 2002, h.53-60
13) Nabi bersabda :”Telah cukup seseorang
dinyatakan berdusta apabila orang itu menceritakan seluruh yang didengarnya” (HR.
Muslim dan al-Hakim dari Abu Hurairah). Hadis ini dan berbagai pernyataan
sahabat yang semakna dengannya, dinyatakan oleh an-Nawawi (1277) sebagai
petunjuk tentang larangan menceritakan semua berita yang telah didengar. Jika
semua yang didengar diceritakan, berarti orang itu telah menyampaikan berita
bohong. Lihat : an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Mesir :
al-Mathba’at al-Mishriyah, 1924, juz I, h.75
16) Lihat al-A’zami, Studies in Early Hadis
Literature, h. 106-116. Dinulil dari Muh. Zuhri, ibid., h. 34-35
18) Lihat Jalaluddin Rakhmat, “Dari Sunnah ke
Hadis, Atau Sebaliknya?”, dalam Budhy Munawar-Rachman (Ed.), Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina, 1994, h. 228-229.
Bandingkan dengan Muh. Zuhri, op.cit., h. 36
19) lihat : Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1979,
jilid I, h. 57-58; bandingkan dengan Muhammad al-Khudhari, Tarikh
al-Tasyri’ al-Islami, Mesir : Mathba’at al-Sa’adah, 1954, h.103
20) Muhammad al-Khudhari, Ibid., h.131
dan 134-135. Dinukil dari H.M. Syuhudi Islamil, op.cit., h.41
21) Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Kitab
Tadzkirat al-Huffazh, Hiderabat : The Dairati al-Ma’arifi al-Usmania,
1955, juz I, h. 2
22) Hadis yang dikemukakan oleh al-Dzahabi
tersebut diriwayatkan (di-takhrij) oleh banyak ulama, di antaranya oleh Malik
bin Anas, Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-darami, dan al-Marwazi. Para
periwayat dalam sanad hadis itu berkualitas tsiqah, akan tetapi sanadnya
munqathi’, dalam hal ini mursal. Jadi, kualitas sanad hadis itu lemah (dha’if),
karena Qubaisyah bin Dzu’aib yang menyatakan menerima hadis dimaksud berasal
dari Abu Bakar, menurut penelitian sebagian ulama hadis, ternyata tidak pernah
bertemu dengan Abu Bakar. Tetapi menurut al-Dzahabi, Qubaisyah telah
meriwayatkan hadis itu dari Abu Bakar. Dengan demikian hadis tersebut muttashil
sanadnya. Lihat : H.M. Syuhudi Ismail, op.cit., 42
25) Lihat Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah,
Sunan Ibn Majah, naskah diteliti dan diberi notasi oleh Muhammad Fu’ad
‘Abd al-Baqi, Beirut : Dar al-Fikr, t.t., jilid II, h.12 diambil dari HM.
Syuhudi Islmail, op.cit., h.45
26) al-Dzahabi, op.cit., juz I, h.7. Bandingkan
dengan Abu ‘Amr Yusuf bin Abd al Barr, Jami’ al-Bayan al-‘Ilm wa Fadhil,
Mesir : Idarat al-Mathba’ah al-Munirah, t.t., Juz I, h.121
29) Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis dari
Utsman bin Affan sekitar empat puluh hadis saja. Itu pun banyak matan hadis
yang terulang, karena perbedaan sanad. Matan hadis yang banyak terulang itu
adalah hadis tentang tata cara berwudhu. Lihat Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad
Amad bin Hanbal, Beirut : al-Maktab al-Islami, 1978, juz I, h. 57-75
30) Ali bin Abi Thalib cukup banyak meriwayatkan
hadis, labih banyak dibanding tiga khalifah yang lain. Ahmad bin Hanbal telah
meriwayatkan hadis melalui riwayat Ali sebanyak lebih dari 780 hadis. Sebagian
hadis itu berulang-ulang karena perbedaan sanadnya. Lihat Ibid., h. 75-180
31) Hadis riwayat Ali yang tertulis berkisar
tentang 1) hukuman denda (diyat) 2) pembebasan orang Islam yang ditawan orang
kafir dan 3) larangan melakukan hukum qishash terhadap orang Islam yang
membunuh orang kafir. Lihat al-Bukhari, op.cit., juz I, h. 32; juz II, h. 178
32) Definisi sahabat dalam konteks ini mengacu
kepada orang yang semasa hidupnya pernah semasa dan berjumpa dengan Nabi,
mereka beriman kepada Nabi dan mati sebagai orang Islam. Lihat : Mustafa Amin,
Ibrahim al-Tazi, Muhadarat fi ‘Ulu al-Hadis, jami’ah al-azhar, 1971,
jilid I, h.131. Bandingkan dengan Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla Tadwin,
Cairo : Maktabah Wahdah, 1963, h.387. Jika difinisi yang diambil, jumlah
sahabat sangat banyak, maka al-Naisaburi membagi para sahabat dalam beberapa
kelompok (sesuai dengan tingkat keutamaan : 1) Sahabat yang masuk Islam di
Makkah, seperti, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dll; 2) Sahabat yang tergabung
dalam Dar al-Nadwah; 3) Sahabat yang ikut hijrah ke Habsyi; 4) Sahabat
yang membaiat Nabi di Aqabah al-Ula; 5) Sahabat yang membaiat Nabi di
Aqabah al-Tsani; 6) Muhajirin yang menemui Nabi di Quba 7) Sahabat yang
terlibat dalam perang Badar pertama;
Sahabat yang hijrah diantara
Badar dan Hudaibiyah; 9) Kelompok Baitur Ridhwan; 10) Sahabat yang hijrah
antara Hudaibiyah dan al-Fath, seperti Khalid bin Walid, Amru bin Ash, Abu
Hurairah dll; 11) para remaja dan anak-anak yang sempat melihat
Rasulullah pada waktu penaklukan Makkah dan Haji Wada’ atau di tempat-tempat
lain. Lihat : Al-Naisaburi, Kitab Ma’rifat Ulum al-Hadis, Kairo :
Maktabah al-Mutanabbi, tt., h. 22-24

35) Demikianlah, ‘Aisyah dengan tegas menolak
periwayatan suatu hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an. Walaupun begitu,
hadis yang tertolak ini masih saja tercantum dalam kitab-kitab shahih. Bahkan
Ibn Sa’d, dalam bukunya ath-Thabaqat al-Kubra, mengulang-ulang dengan sanad
yang berbeda. Lihat : Muhammad al-Ghazali, op.cit., h.29
38) Dalam hadis tersebut baik yang diriwayatkan
al-Thahawi maupun al-Thabrani, ternyata sanadnya lemah (dha’if). Lihat : HM.
Syuhudi Ismail, op.cit., h. 105
40) Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya, Jakarta : Universitas Indonesia, 1985, h. 54
41) Yang terkenal dari hadis ini adalah
hadis-hadis israilliyat. Contoh hadis-hadis Israilliyat berkaitan dengan hadis
tentang penciptaan Adam dan Hawa, sampai proses kejatuhan Adam dan Hawa dari
sorga. Lihat : Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif
Al-Qur’an, Jakarta : Paramadina, 1999, h. 55-79
42) Contoh hadis model ini adalah “Orang-orang
yang dapat dipercaya di hadirat Allah hanya ada tiga orang : aku (Muhammad),
Jibril, dan Muawiyah”. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu
Hurairah. Lihat : Syarafuddin Al-Musawi, op.cit., h.41; bandingkan
dengan HM. Syuhudi Ismail, op.cit., h. 109
43) Contoh hadis model ini adalah “di
kalangan umatku ada seorang laki-laki yang dikenal dengan nama Muhammad bin
Idris. Dia itu lebih berbahaya terhadap umatku daripada iblis. Dan di kalangan
umatku ada seorang laki-laki yang dikenal bernama Abu Hanifah. Dia itu
merupakan obor bagi umatku.” Lihat Ibid.
43) Lihat : HM. Syuhudi Ismail, op.cit., h. 109.
Dia mengutip keterangan itu dari Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr
al-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, 1979, jilid I, h.284-286
46) Dia juga dikenal sebagai orang yang zuhud
(tidak seperti kebanyakan khalifah bani umayyah yang lain), adil, dekat dengan
ulama dan juga periwayat hadis, walaupun hadis yang diriwayatkannya tidak
banyak. Sufyan asy-Syafri dan asy-Syafi’i menyebut khalifat Umar bin Abd
al-Aziz sebagai Khulafa ar-Rasyidin yang kelima. Lihat : HM. Syuhudi Ismail,
op.cit., h.113
47) Lihat Ahmad bin Ali bin Hajar al-Ashqalani, Fath
al-Bari, ttp : Dar al-Fikr wa Maktabat al-Salafiyyah, 600 H., Juz I, h.
194-195
50) karya malik bin Anas yang dikenal dengan
nama al-Muwaththa’ tersebut sampai sekarang masih ada. Di dalamnya
terdapat 1726 hadis dari Nabi, sahabat dan tabi’in. Menurut hasil penelitian
dari jumlah hadis itu terdapat 600 musnad, 228 mursal, 613 mauquf dan 285
maqthu’. Dari segi sanad, hadis yang terkandung di dalamnya ada yang shahih,
hasan dan dha’if. Kemudian bila dikonfirmasikan dengan hadis yang ditulis
Bukhari dan Muslim, maka diketahui bahwa matan al-Muwaththa’ itu shahih. Lihat
Muh. Zuhri, op.cit., h 59. Ignas Goldziher tidak menyetujui karya Malik itu
sebagai kitab hadis, dengan alasan antara lain ; 1) belum mencakup seluruh
hadis yang ada, 2) lebih menekankan pada hukum dan pelaksanaan ibadah, serta
kurang mengarah kepada penyelidikan dan penghimpunan hadis, dan 3) tidak hanya
berisi hadis emata, tetapi juga berisi fatwa sahabat (fatwa al-tabi’in) dan
konsensus masyarakat Islam di Madinah. Lihat Ignaz Goldziher, Muslim Studies, London : Goerge Alen, tth,
Vol Ĩ, h. 195-196.
53) Lihat Shubhi Shalih, ‘Ulum al-Hadis
wa Mushthalahuhu, Beirut : Dar al-Ilm li al-Malayin, 1960, h. 117-119
0 komentar:
Posting Komentar