“Tertawa dengan Siapa saja”. Dr. H.A. Muhtadi Ridwan, M.A (kami menyebut Abah), Beliau merupakan sosok pemimpin yang bisa tertawa dengan siapa saja. Artinya beliau mudah menjalin komunikasi dan persahabatan dengan siapa saja tanpa melihat latar belakang orang yang dihadapinya dan dalam situasi apapun, karena komunikasi adalah salah satu cara bagaimana seseorang dapat mendengar dan didengar ide dan keinginan yang datang dari diri sendiri atau orang lain. P Muhtadi (abah) selalu mendengar dan menerima penilaian, saran, kritikan dan ide dari siapa saja, termasuk dari mahasiswa. Sehingga saya sebagai bawahan tidak mengalami hambatan komunikasi, baik dengan beliau sebagai atasan saya. Bahkan di kampus STAIN – sekarang UIN Malang, tidak ada yang tidak mengenal Abah Muhtadi. Dari cleaning service, tukang kirim kue di lingkungan UIN, mahasiswa, satpam, dosen maupun pimpinan.
Saya pun demikian, mengenal sosok Dr. HA. Muhtadi Ridwan, MA yang biasa saya panggil Abah Muhtadi itu bukan baru kemarin, tetapi sudah hampir 14 tahun mengenal beliau yakni semenjak saya masuk STAIN Malang tahun 1998. Sepanjang mengenal beliau sebagai Kajur Syariah dan bahkan menjadi PUKET III, beliau termasuk pemimpin yang lain dari pada yang lain, gayanya yang apa adanya, akomodatif dan selalu memberikan palayanan dan perhatian yang lebih kepada staf dan mahasiswa sebagai contoh kita (staf) dalam kegiatan pengembangan jurusan menjadi fakultas, beliau tidak segan untuk makan menjes bersama staff, setiap ada kegiatan yang akan dilakukan selalu memberikan laporan kepada mahasiswa, apapun kegiatan yang akan dan telah dilakukan selalu diberikan kepada mahasiswa. Beliau selalu mengajarkan kepada kita semua cara hidup bermasyarakat, agar selalu “bermanfaat bagi manusia lain” yang sekaligus menjadi jargon hidup beliau, bahkan saya sampai lupa, berapa ratus kali beliau mengingatkan saya untuk menerapkan prinsip tersebut. Hal ini selalu dibuktikan beliau dari semenjak permulaan awal pendirian program studi muamalah sebagai cikal bakal FE sekarang, beliau tidak merasa canggung harus makan gorengan menjes sebagai makanan pokok bersama staf (P Fahruddin, P Zainul, P Musleh dan Saya sendiri). Artinya beliau bekerja bukan karena mendapatkan Tunjangan atau mendapatkan SK, namun bekerja karena memiliki amanah dititipi anak didik (mahasiswa/santri) oleh para wali mahasiwa.
Ada beberapa catatan penting tentang sosok HA. Muhtadi Ridwan yang pernah saya ketahui diantaranya: Pemimpin yang ngayomi, ngayemi, lan nglayani, apa adanya.
Dibanyak institusi pemerintah (tanpa harus menyebut nama), kita terbiasa melihat seorang pemimpin selalu menampilkan gaya kepemimpinan yang cenderung elitis, kurang peduli, dan “sok”, sekaligus menampilkan perilaku moral hazard atau pemimpin yang aji mumpung yaitu pemimpin yang selalu memanfaatkan kekuasaannya untuk dirinya sendiri, “mumpung lagi menjabat” bahkan cenderung menghalalkan segala cara untuk dirinya. Namun model pemimpin yang seperti itulah yang tidak saya temui pada sosok Abah Muhtadi ini. Beliau memiliki sikap ngayomi, ngayemi, lan ngayani.
Ngayomi, atau memberikan perlindungan bukan semata-mata perlindungan terhadap yang bersifat wantah, tetapi lebih bermakna memberikan perlindungan pada rasa batin. Dengan sifat-sifat ngayomi tersebut, seorang pemimpin tidak harus hadir secara fisik memberikan perlindungan, tetapi semua kebijakannya memberikan rasa itu. Beliau tidak pernah menuding-nuding anak buah yang salah di depan umum, namun akan memanggilnya dan memberikan nasehat yang membangun. Jika dengan menuding-nuding anak buah (staf di depan umum bukan lagi sifat ngayomi), tetapi memperlihatkan wajah kekuasaan dan membuat anak buah tidak tentram secara batin. Ngayemi itu ekspresi dari damai, ikhlas, dan jujur, sehingga ketika seorang pemimpin itu berada dalam kejauhan, tetap saja hadir “rasa anyem” itu. Rasa yang sedemikian ini sangat mahal, dan sangat jarang pemimpin yang mampu melakukan hal ini. Bahkan, yang sering terjadi, dan terlihat adalah hanya dengan wajahnya saja, orang tersebut tidak bisa ngayemi. Apalagi sikap diri, dan kebijakannya.
Sedangkan ngayani lebih menekankan pada sikap “memberi” kekayaan. Memberi kekayaan ini sangat salah jika semata-mata diartikan sebagai memberi uang. Pasti bukan ini juga yang dimaksud oleh Abah Muhtadi. Sikap “ngayani” itu bisa ditafsirkan dua sisi, yaitu sikap diri ke dalam diri pribadi, dan sikap diri terhadap orang lain. Sikap diri ke dalam diri pribadi yang ngayani itu adalah kemampuan memiliki “kekayaan” batin yang tinggi, yang oleh Raden Panji Sosrokartono disebut sebagai “sugih tanpa bandha”.
Pemimpin yang “sugih rasa” itu diekspresikan pada sikap batin seperti sabar, ikhlas, jembare manah, ikut merasakan penderitaan bawahan, bukan sebaliknya ketika ada anak buah salah malah “diumpat-umpat” di keramaian, rapat terbuka, dan sebagainya. Bukankah seharusnya dengan “sugih rasa” itu, seorang pemimpin akan mendatangi anak buah atau keluarganya yang tersandung masalah hukum misalnya. Memberikan motivasi, dorongan, nggedekke ati . Bukan sebaliknya dengan mengatakan” rasakna kowe !”.
Sikap “sugih rasa” (ngayani) ini jika terekspresikan keluar, masuk ke dalam pergaulan luas, lebih mencerminkan sikap diri yang andap asor, rendah hati, merasa diri bukanlah yang terbaik, sehingga orang lain tidak merasa “risih”. Pemimpin yang baik sepanjang masa akan mengekspresikan sikap batin, durung gedhe yen durung wani cilik, dan durung dhuwur yen durung wani endhek. Dengan mengatakan bahwa, ora ana pemimpin sing jempol kaya aku….Nah, pemimpin tersebut sedang “merasa “besar. (rumangsa gedhe).
Tidak mudah memposisikan diri sebagai orang biasa atau bawahan disaat menduduki jabatan tertinggi di fakultas, tetapi berbeda dengan sosok yang satu ini, beliau termasuk orang yang pandai memposisikan diri yakni kapan menjadi dekan, kapan menjadi bawahan dan kapan menjadi bapak. Sering kami “gak” enak sendiri dengan beliau tatkala beliau memposisikan sebagai teman bagi dosen dan karyawan. Sering kita ngobrol dan bercanda lepas dengan beliau dan sampai kami tidak sadar kalau orang yang diajak ngobrol tersebut adalah pimpinannya sendiri.
Paling tidak, pengalaman ter-update (Sabtu, 25 Mei 2013) ketika kita bersama dengan beliau bernostalgia di Lamongan –rumah kelahiran beliau- kita bersenda gurau di tambak ikan milik kakak beliau sambil menjala ikan. Sebenarnya itu masuk dalam agenda rutin kami memancing ikan keliling Jawa Timur, namun beliau menawarkan kepada kita agar mancing di lamongan. bak gayung bersambut, kami pun langsung meng-iya-kan. Sesampai di Lamongan senda gurau terus muncul seakan lupa kesibukan masing-masing di fakultas. Bahkan ketika ikan di tambak tidak mau makan, beliau terjung langusng untuk menjala ikan di tambak, meskipun harus basah kuyup dan belumur lumpur (bukan lumpur LAPINDO lho.heheheheh).. Setelah selesai memancing dan menjala ikan kita mandi bersama di sungai belakang rumah beliau (meskipun saya masih asyik memancing di sungai...... hehehe) tapi suasananya sangat hangat sekali, lagi-lagi serasa lupa kalau yang bersenda gurau itu adalah pimpinan di fakultas. Suasana seperti itulah yang kami inginkan dan sudah sering kami jumpai. Bukan berarti dikemudian hari kita “nglamak” karena seringnya bercanda tetapi semakin memperkuat ta’dzim kita kepada beliau.
Belum lagi terkait dengan performance beliau dibandingkan dengan posisi pimpinan lain di institusi ini, tampak sekali kesederhanaan pada diri beliau, seakan-akan tidak tampak kalau beliau adalah seorang dekan di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia. Sikap seperti itulah yang selalu tampil dari sosok seorang Dr. HA. Muhtadi Ridwan. Bahkan saya teringat sebutan dari rekan dan kolega Fakultas Ekonomi dari salah satu lembaga Investasi terkenal dengan menyebut beliau sebagai ”DEKAN KOBOI” bukan bermaksud negatif malahan bermaksud positif.
Koboi artinya walaupun berpakaian dan menggunakan kopiah, namun ide kreatif dan brilian namun pemikira, visi dan misi dan gaya kepemimpinan, serta gaya kerjanya Cekatan dan lincah atau kata orang jawa (cekat-ceket) seperti KOBOI bukan menunggu dan menunggu mampu memberikan contoh tanpa harus menyuruh, Beliau tidak segan mengerjakan sendiri pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab staffnya, tanpa menyuruh staffnya untuk bekerja. Bliau bekerja bukan karena mendapatkan SK, atau Tunjangan taua bahkan Bayaran, namun beliau bekerja karena rasa amanah dan tanggung jawab beliau. Mereka berp\kata Adakah KOBOI bekerja karena di bayar??? Tidak, Koboi bekerja karena amanah dan tanggung jawab agar bermanfaat untuk rakyat banyak.
Setelah beliau tidak menjabat lagi menjadi Dekan FE Universitas Islam Negeri Maliki Malang, kita kehilangan sosok pemimpin yang begitu ramah, pengayom, dan visioner, dan tanggap, tanpa menunggu beliau akan action langsung dan juga bukan tipe pemimpin birokrasi, rapat ini, rapat itu namun tidak terlihat hasilnya. Namun demikian kita terus berharap semoga ide-ide segar, cerdas, brilian dan kiprah beliau secara langsung untuk kemajuan Fakultas Ekonomi UIN Maliki Malang. Saya bingung harus memberikan balasan apa, jika harus diberikan rupiah pun saya pikir tak akan cukup untuk membalas hanya Terima kasih Abah atas semua dedikasi yang besar terhadap Fakultas Ekonomi. Kami akan terus mengambil teladan nya dan kami hanya berdoa Semoga Allah memberikan pahala yang melimpah dan barokah kepada jasa abah Muhtadi serta kepada kita semua….
(Oleh : Eko Suprayitno)
Dosen FE UIN Maliki Malang
Sumber : Buku Sang Inspirator
0 komentar:
Posting Komentar