MEMBANGUN KOMUNIKASI DI LEMBAGA PENDIDIKAN
Ada kebiasaan yang saya lakukan ketika berangkat
dan atau pulang kantor, yaitu menyetel gelombang Radio untuk mendengarkan siaran
dialog interaktif, salah satu program yang dikemas dengan nama Program Pro Tiga
Radio Republik Indonesia (RII). Program yang sangat menarik tersebut tentu saja
terkait dengan berbagai problem dan issue aktual yang terjadi di negeri kita
tercinta, soal sosial, soal politik, soal budaya, soal pendidikan, soal
ekonomi, dan saembrek persoalan lainnya.
Program, yang menurut RRI termasuk program
unggulan pada pagi hari ini (Jum’at, 28 Desember 2012) mengusung tema “Membangun
Pendidikan Perspektif non Politis; Refleksi Pendidikan Nasional 2012”,
dengan narasumber salah satu pejabat tinggi di Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI. Suatu tema yang sangat menarik, karena rasanya hampir dipastikan
banyak persoalan yang muncul di negeri kita tercinta ini, yang kemudian cara
pengelolaan dan penyelesaiannya dengan pendekatan politik, dan atau selalu
dipolitisasi. Agama dipolitisasi, korupsi dipolitisasi, sosial dipolitisasi,
demikian juga pendidikan juga dipolitisasi. Jadi, “uangisasi” dan
“politisasi” cara yang dianggap ideal, karena disamping “uang”,
“politik” nampaknya sudah menjadi panglima dalam kehidupan
kita. Tanpa keduanya hidup ini tidak akan survive, begitu kira-kira.
Pemilihan tema di atas, menurut narasumber
didasari atas fenomena yang sering terjadi banyak kebijakan dan keputusan yang
terkait dengan soal pendidikan diselesaikan dengan pendekatan politik, tidak
nyambung. Karena pendekatan politik itu berarti pendekatan “kalah”
atau “menang”. Seharusnya dengan pendekatan akademik,
dengan dialog akademik, berarti rasionalitas, obyektifitas yang
dipakai dasar utama untuk bertindak. Beliau sangat prihatin dengan proses
pengelolaan pendidikan dengan cara seperti di atas, maka selanjutnya beliau
mengajak kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya untuk membangun
pendidikan di Indonesia dengan pendekatan non politis, sebagaimana tema di atas.
Lembaga pendidikan adalah insitusi, atau suatu
tempat dimana terdapat kegiatan pendidikan. Garapan pokoknya adalah peserta
didik. Untuk mengelola kegiatan pendidikan tentu saja ada tujuan pendidikan.
Kalau mau ringkas, tujuan pendidikan adalah “memanusiakan manusia”.
Dengan kata lain, pendidikan adalah suatu kegiatan untuk mengaktualisasikan
potensi manusia sehingga benar-benar menjadi manusia sejati, yakni
mengaktualkan berbagai potensinya untuk dapat benar-benar menjadi manusia yang
memiliki kehidupan yang penuh makna, bagi orang lain dan bagi dirinya sendiri.
Mengutip ungkapan E.F.Schumacher dalam buku klasiknya yang luar biasa, Small
is Beautiful, pendidikan hendaknya tidak hanya menekankan know how,
tapi justru harus mengembangkan aspek know-why-nya, yakni makna (meaning)
dari kemampuan dan keterampilan yang dimiliki dalam mencapai kebahagiaan hidup.
Memanusiakan Manusia atau Nguwongne Wong sebagai kata
kunci tujuan pendidikan mempunyai makna fungsional dan tidak sekedar
ceremonial. Kyai Hasan Sahal (salah satu pimpinan Pondok Pesantren Modern
Gontor Ponorogo) pernah memberikan jawaban singkat ketika ditanya tentang
tujuan pondok yang dipimpinnya, yaitu “ben dadi wong” (santrinya biar
jadi orang). Pertanyaannya tersebut muncul dari pembicaraan ketika beberapa
wali santri sowan kepadanya dan dan bergabung dengan mereka. Rata-rata wali
santri merasakan ada perbedaan cara pengelolaan antara Pondok Gontor dengan
beberapa Pondok Pesantren pada umumnya. Perbedaan tersebut antara lain, tentang
partisipasi santri pada pengelolaan Pondok, tentang pengaturan disiplin santri,
tentang kreatifitas dan keaktifan santri, tentang respon masyarakat yang tidak hanya
dari dalam negeri tetapi sudah sangat dikenal di manca negara, dan tidak kalah
penting adalah tentang konsistensi sistem pendidikan yang diatur secara mandiri
oleh Pondok Pesantren.
Perbedaan sistem pengelolaan Pesantren diatas yang
juga diakui oleh Ustadz Hasan (demikian kebiasaan santri memanggilnya)
mempunyai fungsi memanusiakan manusia, karena mengandung ajaran
kemandirian, ajaran kebebasan berkreasi, ajaran mengatur waktu, ajaran
partisipatif, dan ajaran tidak selalu bergantung pada orang lain. Tidak ada
sedikitpun yang bernuansa politis.
Sistem yang yang sudah tertata dan teralisasi
secara konsisten selama bertahun-tahun tersebut sangat dipahami oleh semua
pihak; santri, wali santri, pengasuh, dan pimpinan Pesantren, karena
dikomunikasikan secara baik melalui proses penyusunan sistem yang dilakukan
dengan pendekapatan partisipatif.
Contoh model pengelolaan lembaga pendidikan
seperti yang dilakukan Pondok Pesantren pada umumnya dan Pondok Modern Gontor
memang tidak serta merta bisa diterapkan di lembaga pendidikan lainnya,
termasuk lembaga pendidikan tinggi, tetapi lembaga pendidikan tinggi justru
harus dapat melakukan melebihi yang sudah dilakukan oleh Pondok Pesantren.
Pendidikan Tinggi adalah institusi yang melakukan
kerja proses transformasi produkstif yang intinya untuk menghasilkan lulusan
yang kompeten, berkualitas dan mampu memenuhi kepuasan –tidak hanya bagi user-
tetapi juga bagi dirinya sendiri sebagai sumber insani yang produktif. Proses
transformasi ini tentu memerlukan prasyarat agar mampu menghasilkan lulusan
akhir (finished goods output) yang berkualitas dan mampu menjamin
tercapainya standar kinerja yang ditetapkan. Inti dari prasyarat tersebut
adalah perlunya penciptaan iklim akademik atau sering juga disebut sebagai academic
atmosphere, yang berimplikasi pada bangunan komunikasi. Sebagai lembaga
pendidikan tinggi tidak seharusnya ada simbol-simbol dan/atau prilaku politis,
tetapi yang selalu muncul adalah penciptaan iklim akademik, sehingga tercipta
suasana dialogis. Pendekatan kekuasaan dalam banyak hal ketika menyelesaikan
persoalan dan pengambilan keputusan adalah salah satu dari bentuk simbol dan
prilaku politis. Kebiasaan menggunakan
term domokrasi yang kental dipakai kalangan politisi juga bagian dari simbol
politis. Jelas ini menyalahi sistem bangunan komunikasi di kalangan akademisi.
Ketika ada persoalan kelembagaan yang segera
diselesaikan, harus segera pula dikomunikasikan kepada semua pemangku
kepentingan, karena persoalan kelembagaan pada hakekatnya adalah persoalan
bersama dan menjadi tanggung jawab bersama. Dengan cara-cara seperti ini kita
semua yakin akan terjalin komunikasi dengan baik dan insyaallah juga bisa akan
tercipta suasana dialogis, dan tidak perlu lagi ada yang dikhawatirkan dan
dicurigai. Tentang bagaimana kita harus menciptakan iklim akademik atau academic
atmorphere ikuti tulisan berikutnya.
Wallahu a’lam wi al-Shawab.
Malang, 28 Desember 2012
HA. MUHTADI RIDWAN
0 komentar:
Posting Komentar